BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS PENELITIAN

Bab III Studi Kasus III.1 Sekilas Tentang Ciptagelar III.1.1 Bentang Alam di Daerah Kasepuhan Ciptagelar

BAB IV ANALISIS. 4.1 Penentuan Batas Wilayah Adat

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

Bab I Pendahuluan I. 1 Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Harahap, B., Rangkuti, S., Batubara, K. dan Siregar, A., 2005: Tanah Ulayat dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV Yani s, Jakarta.

Gambar 3.1 Lokasi Kasepuhan Ciptagelar (Google Earth, 2008)

DAFTAR PUSTAKA. Dale and McLaughlin, 1999: Land Administration, Oxford Press, New York, USA

SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT KAMPUNG NAGA ABSTRACT

DAFTAR PUSTAKA. 4. Dale, P. F. dan Mclaughlin, J. D Land Administration. Oxford University Press. New York, USA

BAB III PENENTUAN BATAS WILAYAH ADAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

Bab IV Analisis. Batas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Bab I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. BT dan LS. Suhu rata-rata pada musim kemarau antara 28 C

2015 POLA PEWARISAN NILAI DAN NORMA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA DALAM MEMPERTAHANKAN TRADISI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KAMPUNG NAGA MASYARAKAT ADAT YANG MENJAGA PELESTARIAN LINGKUNGAN oleh : redaksi butaru *

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 11 PROFIL DESA KOTO PERAMBAHAN. Kampar Timur Kabupaten Kampar. Menurut beberapa tokoh masyarakat, Desa

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Seberang Pulau Busuk merupakan salah satu desa dari sebelas desa di

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Singkat dan letak geografis Desa Sikijang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN EMPANG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB III ALASAN PENENTUAN BAGIAN WARIS ANAK PEREMPUAN YANG LEBIH BESAR DARI ANAK LAKI-LAKI DI DESA SUKAPURA KECAMATAN SUKAPURA KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II. KONDISI WILAYAH DESA ONJE A. Letak Geografi dan Luas Wilayahnya Desa Onje adalah sebuah desa di Kecamatan Mrebet, Kabupaten

BAB II. DESKRIPSI DESA NAMO RAMBE PADA TAHUN Kecamatan Namo Rambe, Kabupaten Deli Serdang. Luas wilayahnya sekitar 389

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II IDENTIFIKASI DAN PRIORITAS MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

DAFTAR PUSTAKA. Artawilaga, R. Rustandi Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek. NV Masa Baru. Jakarta

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Pada Bab sebelumnya peneliti telah menjelaskan beberapa metode yang

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Awal terbentuknya Desa Margo Mulyo Pada tahun 1960 terjadi bencana alam

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Gambaran Umum Desa

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB VI IMPLIKASI PENERAPAN STANDAR PENGELOLAAN DI LAPANGAN

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

Pembuatan Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas Tanah

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN SISTEM PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB III MEKANISME GADAI TANAH SAWAH DI DESA BAJUR KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PRAKTEK SEWA SAWAH DI DESA TAMANREJO KECAMATAN TUNJUNGAN KABUPATEN BLORA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

BAB I PENGANTAR. terlepas dari hasil kegiatan, atau budaya yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh

Pertanyaan: Ringkasan Jawaban: Analisa. 1. Surat Tanah di Indonesia. Dapat kah dilakukan amandemen nama pemilik pada surat tanah?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angki Aulia Muhammad, 2013

Kampung Wisata -> Kampung Wisata -> Konsep utama -> akomodasi + atraksi Jenis Wisatawan ---> Domestik + Mancanegara

Lampiran 1. Peta Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal yang turun temurun untuk melanjutkan kelangsungan generasi. sangat erat antara manusia dengan tanah.

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB V STRUKTUR AGRARIA DAN STATUS PENGUASAAN LAHAN

BAB I PROFIL WILAYAH

BAB VI KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA PANGRADIN. 6.1 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Pangradin

BAB III PRAKTIK UTANG PIUTANG HEWAN TERNAK SEBAGAI MODAL PENGELOLA SAWAH DI DESA RAGANG

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KAMPAR HAK TANAH ULAYAT

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN SISTEM KONVERSI HAK ATAS TANAH ADAT DI JAWA BARAT MENGACU PADA KETENTUAN KONVERSI UUPA DAN PP NO. 24/1997

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

BAB III PRAKTEK SEWA SUNGAI KALIANYAR DAN PEMANFAATANNYA DI DESA SUNGELEBAK KECAMATAN KARANGGENENG KABUPATEN LAMONGAN

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Perawang Barat maju pesat dalam pembangunan maupun perekonomian, hal ini didukung

BAB I PROFIL WILAYAH

TATA CARA PEMBAGIAN ATAU PENGKAPLINGAN TANAH DALAM SISTEM PERTANAHAN MENGGUNAKAN HUKUM ADAT DI KASEPUHAN CIPTAGELAR

Transkripsi:

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang berbeda-beda. Berbagai macam suku bangsa tersebut tersebar kedalam berbagai wilayah adat yang terdiri dari 18 wilayah adat yang terdapat di berbagai provinsi di Indonesia dan salah satunya adalah Jawa Barat (Directorate of Prosperity of Isolated Adat Communities, 2000 1 ). Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Sebagian besar penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda, yang bertutur menggunakan Bahasa Sunda. Di beberapa daerah di Jawa Barat masih ada penduduk yang tetap mempertahankan aturan adat dan budaya leluhur, diantaranya adalah Kampung Naga yang berada di Kabupaten Tasikmalaya dan Kasepuhan Ciptagelar yang berada di Kabupaten Sukabumi. 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang pertama, yaitu Kampung Naga. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Posisi Kampung Naga berdasarkan pengukuran GPS terletak pada 7 o 21 30 S dan 107 o 59 30 E (Google earth, 2008), dapat dilihat pada peta citra yang ditunjukkan pada Gambar 3.1. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Kota Garut dengan Kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. 1 http://www.adb.org/documents/reports/indigenous_peoples/ino/biblio.pdf 36

(sumber : Google earth, 2008) Gambar 3.1 Peta citra lokasi Kampung Naga Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter, kemudian melalui jalan setapak menyusuri Sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga. Lokasi penelitian yang kedua, yaitu Kasepuhan Ciptagelar. Secara administratif, Kasepuhan Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Posisi Kasepuhan Ciptagelar berdasarkan pengukuran GPS terletak pada 6Ç48'9"S dan 106Ç29'53"E (Google earth, 2008), dapat dilihat pada peta citra yang ditunjukkan pada Gambar 3.2. 37

(Sumber : Google earth, 2008) Gambar 3.2 Peta citra lokasi Kasepuhan Ciptagelar Jarak Kasepuhan Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km, dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Sebuah desa seluas sekitar enam hektar di tengah kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. 3.2 Pola Penguasaan Tanah Adat Pada umumnya asal usul penguasaan tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar adalah akibat adanya pembukaan hutan belantara untuk tempat tinggal dan lahan garapan. Hal ini disebabkan tanah tersebut digarap terus menerus setiap musim, maka hak atas tanah dan tanaman yang tumbuh diatasnya dianggap dan diakui oleh masyarakat sebagai hak penggarap. Lambat laun hak masyarakat adat sebagai penggarap tanah itu semakin lama semakin tua dan bersifat tetap karena hidup para penggarap itu tergantung dari hasil tanah garapannya. Penguasaan tanah oleh masyarakat adat untuk keperluan pemukiman dan garapan, memiliki pola yang unik. Pola penguasaan tanah adat ini erat hubungannya dengan karakteristik masyarakat adat, status tanah adat, hak atas tanah adat, dan bukti kepemilikan atas tanah adat. 38

3.2.1 Kampung Naga 3.2.1.1 Keberadaan Masyarakat Adat Masyarakat Kampung Naga kuat dalam memegang adat istiadat atau tradisi nenek moyangnya yang dilaksanakan secara turun temurun. Mulai dari letak, bentuk, jumlah, arah rumah, bahan-bahan pembuat rumah, pola perkampungan, sampai kepada perilaku kehidupan sehari-hari ditaati sebagai ketentuan yang digariskan leluhurnya yaitu Eyang Sembah Daleum Singaparna. Disamping menjalankan syariat Islam, mereka secara ketat menjalankan dan mempertahankan adat kebiasaan dan tata cara kehidupan sehari-hari menurut kebiasaan nenek moyang mereka. Mereka tidak hidup mengisolasikan diri dari pergaulan dan tidak menutup diri dari pengaruh luar, sejauh tidak merusak kehidupan adat istiadat dan tidak bertentangan dengan aturan adat yang telah ditentukan. Akan tetapi pengaruh dari luar tersebut tidak merubah kepercayaan yang mereka anut. Jumlah penduduk Kampung Naga yaitu sekitar 108 KK atau 307 jiwa. Karena areal Kampung Naga terbatas, sehingga tidak memungkinkan lagi mendirikan rumah baru, maka banyak penduduk Kampung Naga yang tinggal di luar Kampung Naga maupun di luar Desa Neglasari. Mereka menamakan warga Kampung Naga yang tinggal di luar Kampung sebagai sanaga. Pada umumnya 97 persen penduduk Kampung Naga tinggal di luar Kampung, berarti hanya 3 persen saja yang tinggal di dalam (Henhen, 2008 2 ). Mereka yang tinggal di luar kampung adalah kerabat-kerabat dan keturunan penduduk Kampung Naga yang memang ingin merantau dan turut mengukir peradaban dunia, sedangkan yang tinggal di dalam kampung adalah mereka yang memutuskan hidup untuk setia dengan tradisi dan lemah cai (kampung halaman). Kelembagaan yang ada di Kampung Naga terbagi menjadi 2 yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan non formal (Risman, 2008 3 ). Kelembagaan formal merupakan suatu sistem yang sama dengan desa-desa lainnya seperti RT dan RW, sedangkan kelembagaan non formal terdiri dari kuncen, punduh, dan lebe. Secara garis besar warga disini mengikuti garis keturunan dari pihak laki- 2 Wawancara dengan Henhen, wakil ketua adat Kampung Naga, 31 Januari 2008 3 Wawancara dengan Risman, Ketua RT Kampung Naga, 27 Februari 2008 39

laki atau ayah, yang dikenal dengan istilah Patrilineal. Oleh karena itu, pimpinan adat yang berkuasa disini harus laki-laki dan memiliki keturunan dari asalnya. Pada saat ini kepemimpinan Kampung Naga atau kuncen dipegang oleh Pak Ade Suherlin dan wakilnya atau punduh dipegang oleh Pak Henhen yang merupakan adik kandung dari Pak Ade. Punduh adalah pembantu kuncen yang tugasnya Ngurus Laku, Meres Gawe. Arti dari Ngurus Laku adalah mengurusi tingkah laku yang harus sesuai dengan falsafah harus dapat mengendalikan hidupnya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di lingkungan tersebut, sedangkan Meres Gawe berarti memimpin segala aktivitas yang berhubungan dengan kegotongroyongan dalam masyarakat. Dengan wajah sederhana dan tradisionalnya, masyarakat Kampung Naga masih tetap bertahan di samping pola kehidupan modern masa kini. Mereka tidak menolak program pemerintah untuk mengembangkan Kampung Naga asal tidak bertentangan dengan aturan adat Kampung Naga. Mereka menyebutkan bahwa pemerintah bukan tempat meminta, tetapi tempat pengabdian. Masyarakat Kampung Naga akan menuruti pemerintah asal tidak bertentangan dengan aturan dan kehidupan adat Kampung Naga (Risman, 2008). Masyarakat Kampung Naga hidup dari pertanian, disamping mata pencaharian lainnya seperti berdagang, beternak, dan menangkap ikan dengan tatanan sosial yang feodal. 3.2.1.2 Status Tanah Kampung Naga Tanah adat kampung naga berada di atas tanah yang tidak dimiliki oleh pihak manapun. Tanah tersebut diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka dan sudah ditarik pajak serta memiliki alat bukti pembayaran pajak (SPPT), akan tetapi tidak ada alat bukti kepemilikan tanah. Tanah Kampung Naga dikategorikan sebagai tanah ulayat. Luas wilayah Kampung Naga yaitu sekitar 1,5 ha yang didalamnya terdapat 111 bangunan termasuk balai adat, masjid dan lumbung umum. Dalam mendirikan rumah, masyarakat Kampung Naga mendirikan rumah pada kapling yang sudah disediakan, yaitu berjumlah 108 kapling. Kapling tersebut sudah ada 40

dari dulu dan tidak berubah posisinya. Kapling tersebut dibuat dari batu kali yang diambil dari sungai. Selain digunakan untuk pemukiman, tanah tersebut juga digunakan sebagai lahan pertanian dan tempat mengadakan upacara-upacara adat. Lahan pertanian di Kampung Naga yang terletak di luar wilayah pemukiman, jenis hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas lahan pertaniannya merupakan hak milik yang diberikan oleh pemerintah dengan tanda bukti berupa sertifikat atas kepemilikan lahan pertanian. 3.2.1.3 Jenis Hak Atas Tanah Adat Tanah di Kampung Naga merupakan milik bersama masyarakat adat. Penguasaan tanah diatur dalam bentuk hak. Masyarakat Kampung Naga mempunyai dua jenis hak atas tanah yaitu Hak Ulayat dan Hak Perorangan. Tanah ulayat yang ada di Kampung Naga merupakan tanah turun temurun dari nenek moyangnya yang telah mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Kewenangan warga secara bersama-sama dalam memanfaatkan tanah ulayat dan objek lainnya diatas tanah ulayat tersebut dapat dinyatakan sebagai hak ulayat. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diklasifikasikan kewenangan bersama yang melekat pada objek berikut ini (hasil modifikasi dari Budiono, 1999) : 1. Tanah Lapang, berfungsi sebagai tempat melaksanakan upacara-upacara adat dan pertunjukan kesenian terbangun. Dengan demikian, halaman rumah masyarakat Kampung Naga dianggap sebagai milik bersama yang dapat digunakan bersama-sama, baik untuk kepentingan keluarga sendiri maupun untuk kepentingan bersama. Tanah lapang ini mempunyai dua tempat di areal Kampung Naga, yaitu : a. Lapangan Bawah, digunakan sebagai tempat bermain anak-anak dan tempat untuk mempersiapan bahan bangunan. b. Lapangan Atas (lapangan mesjid), digunakan untuk tempat melakukan upacara-upacara adat, tempat bermain anak-anak, dan tempat berkumpul warga pada sore hari. 41

2. Bumi Ageung, berarti rumah besar (bumi=rumah, ageung=agung atau besar). Bumi ageung adalah sebuah bangunan rumah yang dianggap suci. Orang hanya diperbolehkan masuk ke halaman rumah tersebut pada hari-hari tertentu saja dengan diantar dan atas seijin kuncen. 3. Leuit atau lumbung padi yaitu tempat menyimpan padi milik masyarakat kampung bersama. bentuk bangunan lebih kecil dibandingkan dengan rumahrumah yang ada, tetapi bahan-bahan pembuat bangunan tersebut sama dengan bahan pembuat rumah. Biasanya lumbung ini dibangun di luar rumah, berdampingan dengan rumah pemiliknya (terpisah dari bangunan rumah), dan biasanya pula lumbung ini hanya dimiliki oleh orang-orang mampu saja. 4. Saung lisung merupakan bangunan milik bersama yang digunakan untuk menumbuk padi. Pada umumnya saung lisung terletak di luar kawasan pemukiman. Saung lisung dilengkapi dengan sebuah lesung atau lebih. Saung ini berjumlah 9 buah. 5. Balai (bale) yaitu suatu bangunan khusus yang fungsinya sebagai balai desa, dimana warga dapat berkumpul dan melakukan musyawarah. 6. Mesjid, yaitu sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat bersembahyang lima waktu maupun solat jumat. Selain itu mesjid ini digunakan untuk tempat anak-anak mengaji. Selain kewenangan bersama atas tanah ulayat, warga Kampung Naga mempunyai kewenangan perorangan. Kewenangan warga secara perorangan untuk memanfaatkan tanah ulayat dinyatakan sebagai hak perorangan. Hak perorangan warga adat Kampung Naga dibagi menjadi dua yaitu Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan; dan Hak Menggarap Tanah dan Memiliki Hasilnya (pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan). Berdasarkan hasil penelitian, dapat diklasifikasikan kewenangan perorangan warga Kampung Naga yang melekat pada beberapa objek berikut ini (hasil modifikasi dari Budiono, 1999) : 1. Imah (kasar) atau Bumi (halus) yaitu digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat Kampung Naga untuk berlindung dari panas dan hujan. Saat ini terdapat 108 bangunan rumah yang yang berdiri di atas tanah seluas 1,5 ha. Pada umumnya masyarakat Kampung Naga membangun rumah dengan tipe 42

56 dan ada juga yang mempunyai tipe 69, artinya setiap pembangunan rumah tersebut, masyarakat memiliki tata cara untuk membangun rumah, mulai dari ukurannya yang disesuaikan dengan kapling yang ada, bentuk rumah, arah rumah, penempatan pintu, dan jendela rumah, serta bahan pembuat rumah. Setiap rumah didirikan diatas tanah yang telah dikapling sebelumnya. Menurut Henhen (2008), kapling yang dibuat dari batu kali yang diambil dari sungai tersebut sudah ada sejak lama dan warga tidak boleh menambah kapling untuk membangun lagi rumah diatasnya. Setiap ada pertambahan keluarga, maka keluarga tersebut tidak boleh menambah rumah di wilayah Kampung Naga dan mereka harus pindah keluar wilayah dengan menyandang status warga Kampung Naga dengan sebutan sanaga. Jika ada seseorang yang meninggal, maka rumah tersebut dapat diwariskan pada keturunannya. Jika almarhum/ah tidak mempunyai ahli waris, maka rumah tersebut bisa dijual atau disewakan kepada warga Kampung Naga yang tinggal di wilayah Kampung Naga, warga keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga dan orang lain yang memiliki ikatan darah dengan masyarakat Kampung Naga, misalkan seseorang luar kampung yang menikahi salah satu warga Kampung Naga dengan syarat harus mengikuti aturan adat yang ditetapkan disana. 2. MCK (mandi, cuci, kakus) yaitu tempat bagi masyarakat kampung untuk melaksanakan kegiatan mandi, mencuci baju, membuang air besar dan kecil, dan tempat untuk memberi makan bagi ikan, karena kamar mandi tesebut pada umumnya didirikan di luar bangunan rumah dan diatas kolam ikan. Saat ini terdapat 27 buah kamar mandi yang tersebar di berbagai tempat wilayah Kampung Naga. Kamar mandi tersebut dimiliki secara perorangan oleh warga, namun dapat dipergunakan oleh siapapun, baik oleh warga disana maupun oleh warga luar kampung. 3. Kolam ikan yaitu kolam untuk pemeliharaan ikan sebagai nafkah bagi warga. Letaknya terdapat di luar wilayah pemukiman. Makanan untuk ikan tersebut diambil dari alam yaitu dengan menggunakan tanaman dan kotoran yang dibuang oleh warga melalui kakus yang didirikan diatas kolam tersebut. 43

4. Kandang ternak yaitu bangunan sederhana sebagai tempat pemeliharaan ternak yang merupakan milik pribadi warga Kampung Naga. Pada umumnya kandang tersebut dibangun diluar pemukiman dan terdapat 12 buah kandang. Ternak yang dipelihara oleh warga diantaranya kambing dan ayam. Hasil ternak tersebut dipergunakan oleh warga untuk kebutuhan hidup warganya sendiri maupun untuk keperluan adat dan hari besar. 5. Sawah yaitu lahan adat yang dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan warga perorangan maupun keperluan adat. Sawah tersebut ada yang terdapat di wilayah Kampung Naga dan ada juga yang terdapat di luar wilayah Kampung Naga. Sawah yang berada di wilayah Kampung memiliki fungsi untuk mendanai keperluan-keperluan warga secara perorangan bagi sawah yang dimiliki perorangan dan adapun sawah yang digunakan untuk mendanai keperluan-keperluan adat misalkan kegiatan upacara adat dan keperluan adat lainya, sawah tersebut dimiliki oleh adat dan diolah warga secara bersama. Sawah yang berada di luar wilayah Kampung Naga yang dimiliki oleh warga Kampung Naga digunakan sebagai tempat mata pencaharian mereka untuk menafkahi keluarga dan membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga. Sawah tersebut disertai dengan alat bukti kepemilikan lahan dan didaftarkan kepemilikannya di pemerintah setempat. 3.2.1.4 Alat Bukti Kepemilikan Tanah Menurut Henhen (2008), tanah ulayat Kampung Naga tidak memiliki tanda bukti kepemilikan tanah, meskipun telah terjadi transaksi jual beli diantara mereka. Transaksi jual beli hanya dilakukan atas objek yang ada diatas tanah tersebut, seperti rumah dan kandang ternak. Pelaku transaksi adalah mereka yang mempunyai ikatan darah atau ikatan perkawinan dengan warga Kampung Naga. Hal ini tidak berlaku pada warga luar Kampung Naga. Transaksi tersebut didasarkan pada rasa saling percaya dan hanya diketahui oleh beberapa anggota keluarga yang bersangkutan dan tidak ada alat bukti atas transaksi tersebut. Beberapa warga mempunyai tanah di luar wilayah Kampung Naga. Mereka mempunyai alat bukti kepemilikan atas tanah tersebut yang berupa sertipikat. Tanah tersebut biasanya berupa persawahan yang digunakan untuk 44

memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tidak ada aturan adat yang melarang warganya untuk mempunyai suatu hak atas tanah asalkan berada di luar wilayah Kampung Naga. 3.2.2 Kasepuhan Ciptagelar 3.2.2.1 Keberadaan Masyarakat Adat Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sudah ada sejak sekitar 1300an tahun yang lalu (Kuntari dan Badil, 2005). Pengaruh Kerajaan Pajajaran sangatlah kental dalam penerapan tradisi adat pada kehidupan sehari-harinya, terutama dalam pengelolaan lahan pertanian. Beberapa pengaruh nyata dari Kerajaan Pajajaran tersebut yaitu adanya upacara seren taun yang dilaksanakan setiap panen padi untuk menghormati Dewi Sri, serta adanya aturan-aturan adat mengenai hutan titipan, tutupan, dan garapan yang sangat berkaitan dengan pertanian warga Kasepuhan Ciptagelar (Karma, 2007 4 ). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menganut kepercayaan akan hal-hal yang berbau mistis, atau biasa disebut Religio-magis. Sebagai contoh, mereka masih percaya akan wangsit dan hukuman berupa walatan atau kualat. Wangsit dan walatan tersebut mereka yakini berasal dari leluhur-leluhur mereka. Wangsit yaitu berupa nasihat atau pesan yang disampaikan oleh leluhur mereka, sedangkan walatan yaitu hukuman atau akibat yang ditimbulkan jika seseorang tidak mematuhi aturan-aturan adat. Hanya orang tertentu saja yang bisa menerima wangsit, yaitu ketua adatnya. Mereka percaya bahwa ketua adat merupakan keturunan dari leluhur-leluhur mereka. Segala urusan disana mulai dari kependudukan, pertanian, kesenian, pertanahan, dan lain-lain diatur oleh ketua adatnya. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terkenal dengan sifat ramahnya, saling menghormati satu sama lain, patuh akan aturan adatnya dan jauh sekali dari sifat yang suka berlebihan. Mereka hidup dalam lingkungan sederhana, tetapi dalam hal tertentu mereka juga hidup dengan sesuatu yang modern. Hampir semua warga disana memiliki mata pencarian sebagai petani dan pekerjaan lain di bidang agrikultur. 4 Wawancara dengan Karma, salah satu Baris Kolot Kasepuhan Ciptagelar, 23 Desember 2007 45

Bisa dikatakan dalam hal pertanian mereka sangat berhasil. Sampai sekarang mereka mempunyai persediaan beras untuk dua sampai lima tahun yang disimpan di dalam leuit dan tidak pernah ada warganya yang kelaparan akibat kekurangan beras. Oleh karena itu, mereka sangat menjaga keseimbangan alam disana. Mereka memelihara dan menjaga hutan dan tanah mereka agar tetap lestari. Salah satu usahanya yaitu dengan menanam padi hanya satu kali dalam setahun. Hal itu dilakukan agar tanah tetap subur walaupun tanpa menggunakan pupuk kimia. Cara tersebut juga merupakan salah satu dari hukum/aturan adat disana, yang melarang menanam padi lebih dari satu kali dalam setahun. Bisa dikatakan bahwa urusan tanah merupakan urusan hidup mati bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar (Wisudawanto, 2008). 3.2.2.2 Status Tanah Kasepuhan Ciptagelar Tanah Kasepuhan Ciptagelar merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang diberikan secara turun temurun. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah berpindah sebanyak 11 kali, lokasi kepindahan mereka masih sebatas pada tanah adat. Tanah Kasepuhan Ciptagelar dikategorikan sebagai tanah ulayat semi berpindah. Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menggunakan tanah tersebut untuk pemukiman, lahan pertanian dan tempat melakukan upacara adat. Pengaturan terhadap tanah tersebut telah diserahkan kepada ketua adat sebagai pemimpin tertinggi. Setiap warga berhak untuk memilih lokasi mana yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal atau garapan sawahnya. Warga di Kasepuhan Ciptagelar bebas menentukan ukuran tanah dan menyesuaikan dengan kemampuannya. Tempat tinggal yang dibangun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dijualbelikan kepada siapa saja termasuk warga luar kampung, asalkan warga tersebut wajib mematuhi dan mengikuti aturan adat yang telah ditetapkan oleh adat. Terdapat perbedaan mengenai penetapan luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar. Menurut masyarakat, luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar yaitu sekitar É 70.000 ha (Karma, 2008), sedangkan menurut Kehutanan, luas wilayah 46

Kasepuhan Ciptagelar yaitu sekitar É 5000 ha. Berdasarkan identifikasi wilayah adat Kasepuhan Ciptagelar yang dilakukan dengan cara delineasi batas berdasarkan data-data yang telah dianalisis, maka luas wilayah Kasepuhan Ciptagelar sekitar É 68.000 ha (Wisudawanto, 2008). Kasepuhan Ciptagelar terletak didalam kawasan TNGHS. Saat ini terjadi perselisihan antara masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dengan pengelola TNGHS mengenai pengaturan tanah disana. Perselisihan tersebut terjadi karena perbedaan pandangan mengenai status kepemilikan dan pengolahan lahan yang masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tempati. Keinginan dari masyarakat Kasepuhan Ciptagelar untuk memiliki lahan (mempunyai hak didalamnya) dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa sertipikat atas tanah yang mereka tempati sangatlah besar (Karma, 2007), sedangkan status kawasan hutan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak mengakui adanya tanah hak di dalamnya (Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta, 2006). Status penguasaan tanah di Kasepuhan Ciptagelar adalah tanah milik Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada TNGHS. Oleh karena itu, tanah di Kasepuhan Ciptagelar tidak dapat dipunyai hak daripadanya dan tidak dapat disertipikatkan. 3.2.2.3 Jenis Hak Atas Tanah Adat Pada dasarnya tanah yang ditempati oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah tanah ulayat. Warga mempunyai kewenangan, baik secara bersama-sama atau perorangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah ulayat tersebut. Jenis hak atas tanah adat yang ada di Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari Hak ulayat dan Hak Perorangan. Kewenangan bersama terhadap tanah ulayat dinyatakan sebagai hak ulayat. Hak masyarakat untuk mempergunakan dan memanfaatkan fasilitas milik bersama di atas tanah ulayat merupakan bagian dari hak ulayat. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diklasifikasikan kewenangan bersama yang melekat pada objek berikut ini : 1. Imah Gede, merupakan bangunan utama yang berfungsi sebagai ruang pertemuan, ruang penerima tamu, ruang makan bagi tamu dan ruang memasak. Imah Gede ini berhimpitan dengan rumahnya Abah Anom. 47

2. Sawah, merupakan mata pencaharian utama warga Kasepuhan Ciptagelar. Menurut Wisudawanto (2008), sawah ini merupakan wilayah adat subkelas yang kedua. Wilayah adat yang diolah oleh warga adat, yang hasilnya digunakan untuk keperluan adat. 3. Mesjid, yaitu sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat bersembahyang lima waktu maupun solat jumat. Selain itu mesjid ini digunakan untuk tempat anak-anak mengaji. 4. Alun-alun, berfungsi sebagai tempat melaksanakan upacara-upacara adat dan pertunjukan kesenian. Alun-alun ini merupakan milik bersama masyarakat adat. 5. Leuit, tempat menyimpan padi milik masyarakat kampung bersama. Bentuk bangunan lebih kecil dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada, tetapi bahan-bahan pembuat bangunan tersebut sama dengan bahan pembuat rumah. Adapun leuit utama yang terletak di kawasan alun-alun Kasepuhan Ciptagelar. Ukuran leuit ini lebih besar dibandingkan leuit yang lainnya. 6. Pakemitan, yaitu gudang untuk menyimpan peralatan upacara adat. 7. Ajeng Jipeng, yaitu gudang untuk menyimpan dan melakukan pertunjukan wayang golek. 8. Kamar mandi, terletak hampir disetiap sudut tempat di pusat Kasepuhan Ciptagelar. Kamar mandi ini sengaja dibuat banyak untuk dipergunakan bersama oleh penduduk sekitar dan para tamu yang sedang berkunjung ke Kasepuhan Ciptagelar. 9. Lesung, yaitu tempat untuk menumbuk padi. Lesung ini merupakan milik bersama warga. 10. Radio lokal dan pemancar radio FM, berfungsi sebagai alat telekomunikasi dan penghubung antara Kasepuhan Ciptagelar dengan Kampung lain. Selain itu warga mempunyai kewenangan secara perorangan untuk menggunakan tanah ulayat. Kewenangan tersebut dinyatakan sebagai hak perorangan. Kewenangan perorangan masyarakat atas tanah di Kasepuhan Ciptagelar pada umumnya hanya terkait pada objek di atas tanah tersebut seperti rumah dan pada hasil yang diperoleh dari pemanfatan tanah tersebut, seperti padi dan hasil kebun. Hak perorangan di Kasepuhan Ciptagelar dibagi menjadi dua, 48

yaitu Hak Mendirikan dan Memiliki Bangunan; dan Hak menggarap tanah dan memiliki hasilnya. Kepemilikan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap suatu objek diatas tanah pada umumnya hanya sebatas diakui oleh hukum adat. Status atas tanah wilayah Kasepuhan Ciptagelar sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun (TNGHS), menjadikan tanah tersebut tidak dapat dimiliki secara mutlak dan diakui di mata hukum nasional. Tidak ada satupun warga yang memiliki hak penuh atas tanah yang mereka tempati. 3.2.2.4 Alat Bukti Kepemilikan Tanah Kasepuhan Ciptagelar Tanah adat Kasepuhan Ciptagelar tidak memiliki alat bukti apa-apa untuk membuktikan kepemilikan atas tanahnya (Anom, 2008). Kehidupan mereka yang semi nomaden, membuat tanah yang mereka tempati seringkali berubah dalam hal status, luas maupun fisiknya. Selama ratusan tahun mereka telah menempati areal kawasan gunung salak, dan hingga saat ini masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih menempati areal tersebut hingga status kawasan tersebut menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Status ini menjadikan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar kesulitan dalam memperoleh hak atas tanah yang mereka tempati dan mereka tidak mempunyai tanda bukti atas tanahnya. 3.3 Sistem Konversi Hak Atas Tanah Adat Pada umumnya corak kepemilikan tanah adat di Jawa Barat adalah komunal. Dengan kata lain tanah adat tersebut dimiliki secara bersama dengan mengatasnamakan masyarakat adat. Hal ini juga berlaku di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar yang menerapkan corak komunal pada tanah adatnya. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hak-hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan hukum. Dengan melihat pada aturan tersebut diatas, maka hak atas tanah di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar bisa dikonversi dan didaftarkan atas nama bersama maupun perorangan. Mengenai apakah mereka akan membagi-bagi tanahnya menurut adat atau tidak, itu diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat yang bersangkutan. Baik 49

didaftarkan secara keseluruhan atas nama adat maupun dibagi-bagi terlebih dahulu atas nama perorangan, mekanisme atau proses penegasan haknya tetap seperti pelaksanaan konversi hak atas tanah adat (Warman, 2006). Secara umum berdasarkan tingkatannya, pelaksanaan konversi hak atas tanah adat dibagi menjadi dua tingkat kegiatan, yang pertama adalah kegiatan di tingkat adat yang bertujuan untuk melepaskan tanah milik adat tersebut dari kungkungan adat. Kegiatan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat adat yang bersangkutan untuk memutuskan apakah tanahnya akan didaftarkan atau tidak, baik atas nama bersama atau perorangan. Hal ini penting untuk proses pembuatan surat pernyataan pemilikan tanah. Kedua adalah kegiatan di tingkat pemerintahan yang melibatkan aparat pemerintah mulai dari desa/kelurahan, camat, dan kantor pertanahan. Mulai dari kegiatan merekomendasikan atau pengakuan hak, sampai kepada penerbitan sertipikat hak. Berdasarkan alur sistematikanya, pelaksanaan konversi hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar dapat mengacu pada Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah, yang dideskripsikan sebagai berikut : 1. Kegiatan pengakuan hak yang dilakukan oleh perorangan atau bersama atas suatu bidang tanah. a. Pelepasan tanah milik adat dari kungkungan adat menjadi tanah bersama atau tanah perorangan. b. Membuat pernyataan pemilikan tanah yang disahkan oleh kepala adat serta pejabat pemerintahan setempat dengan syarat yang disebutkan pada PP No. 24 Pasal 24 ayat (1) dan (2). c. Pemohon mengajukan permohonan pengakuan hak kepada kantor pertanahan setempat dengan membawa surat pernyataan pemilikan tanah yang disebutkan dalam point b. d. Pemeriksaan berkas yang diperlukan oleh kantor pertanahan setempat. e. Jika syarat-syaratnya lengkap dan terpenuhi, kantor pertanahan akan menurunkan panitia ajudikasi untuk melakukan pemeriksaan tanah dan pihak-pihak yang terkait dengan surat pernyataan pemilikan tanah. 50

f. Kegiatan pengumuman yang dilakukan di kantor pertanahan, kantor camat, kantor kepala desa/kelurahan, lokasi sekitar pemohon, dan tempat lain yang ditentukan. Pengumuman ini dilakukan selama 60 hari untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan atau sanggahannya. g. Jika tidak ada sanggahan maka dibuat surat pengakuan hak oleh kantor pertanahan setempat. 2. Kegiatan penegasan hak atas tanah. a. Pengiriman berkas-berkas termasuk surat pengakuan hak oleh kantor pertanahan setempat kepada Kanwil BPN setempat. b. Hak tersebut ditegaskan konversinya menjadi salah satu hak yang ada pada UUPA. c. Penerbitan surat keputusan penegasan hak. d. Surat keputusan penegasan hak tersebut dikirimkan kembali ke kantor pertanahan setempat untuk diserahkan kepada pemohon. 3. Setelah surat keputusan penegasan hak dikeluarkan, maka proses selanjutnya sama dengan proses pendaftaran tanah pertama kali yang ditetapkan pada PP No.24 tahun 1997. Dari proses tersebut diatas maka dapat digambarkan diagram alir pelaksanaan konversi hak atas tanah adat yang terdiri dari Mekanisme Pengakuan dan Penegasan Hak. Diagram alir tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.4. 51

Mekanisme Pengakuan Hak Gambar 3.3 Diagram alir konversi mekanisme pengakuan hak Mekanisme Penegasan Hak Gambar 3.4 Diagram alir konversi mekanisme penegasan hak 52

3.4 Hasil Konversi Mekanisme konversi hak atas tanah adat pada sub bab sebelumnya kemudian digunakan dalam pelaksanaan konversi hak atas tanah adat yang ada di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar. Konversi tersebut terdiri dari konversi hak ulayat dan konversi hak perorangan. Selain itu, dijelaskan juga tentang bukti penguasaan fisik tanah, pada tanah yang tidak memiliki alat bukti sama sekali, sebagai salah satu syarat dalam pelaksanaan konversi. Pada tanah di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, penguasaan fisik tanah dibuktikan dengan syarat-syarat tertentu menurut undangundang. 3.4.1 Konversi Hak Ulayat dan Hak Perorangan Berdasarkan mekanisme konversi hak atas tanah adat pada sub bab sebelumnya, maka diperoleh suatu pelaksanaan konversi untuk hak ulayat dan hak perorangan. Pada umumnya proses konversi hak ulayat dan hak perorangan sama dengan proses konversi secara umum yang disebutkan pada sub bab sebelumnya. Seperti disebutkan pada sub bab sebelumnya, bahwa hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat adat. Maka, pelepasan yang dimaksud pada proses konversi hak ulayat adalah kesepakatan masyarakat adat beserta ketua adat untuk mendaftarkan tanahnya dan merubah hak ulayat menjadi hak yang ada dalam UUPA. Pendaftaran tersebut dilakukan atas nama bersama warga adat. Sedangkan, pelepasan yang dimaksud pada proses konversi hak perorangan adalah kesepakatan masyarakat adat beserta ketua adat untuk melepaskan sebagian dari tanah ulayat atau objek yang ada di atas tanah tersebut kepada salah satu warga yang memintanya. Tanah atau objek yang sudah dilepaskan tersebut, sepenuhnya menjadi hak warga adat yang memintanya. Hak tersebut kemudian didaftarkan dan dikonversi menjadi salah satu hak yang ada dalam UUPA. Pendaftaran tersebut dilakukan atas nama perorangan. 53

3.4.2 Bukti Penguasaan Fisik Tanah Alat bukti yang dimaksudkan oleh aturan konversi meliputi data fisik maupun data yuridis suatu objek konversi dan pendaftaran tanah (Pasal 1 angka (6) dan (7) PP No. 24 tahun 1997). Baik alat bukti fisik maupun yuridis, Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar tidak memilikinya. Tidak ada satupun alat bukti tertulis yang menyatakan kepemilikan tanah di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar. Dengan demikian, alat bukti berupa data fisik dan data yuridis bagi bidang tanah yang tidak memiliki alat bukti tertulis sama sekali seperti yang terjadi Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, dapat merujuk kepada PP No. 24 Pasal 24 ayat (1) dan (2); dan dan PMPA No.2 tahun 1962. Dinyatakan bahwa pembuktian hak bisa dilakukan berdasarkan penguasaan fisik oleh pemohon atau pendahulunya, dengan syarat : 1. Penguasaan tanah dilakukan dengan itikad baik selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut. 2. Kenyataan penguasaan tanahnya diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. 3. Kenyataan penguasaan tanah tersebut tidak diganggu gugat oleh masyarakat adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan. 4. Diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman. 5. Penguasaan tanah tidak berada dalam sengketa. 6. Memiliki surat pernyataan pemilikan tanah yang dikuatkan oleh kepala adat, kepala desa, dan lembaga masyarakat lainnya. Adanya surat pernyataan pemilikan tanah ini disebabkan tanah tersebut tidak mempunyai bukti tertulis mengenai pemilikan tanahnya. Walaupun ada bukti tertulis mengenai perlakuan hukum terhadap tanah tersebut seperti penarikan pajak, namun tetap surat ini diperlukan. Prosesnya termasuk ke dalam kategori tanah-tanah yang bukti haknya tidak ada lagi (Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962). 54