BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Bab 3. Metodologi Penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II PROSES KERJA DAN MATERIAL

PERANCANGAN PROSES 81

BAB 2 LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. vii. Unisba.Repository.ac.id

M A K A L A H Operation Process Chart Of Banquet Chair Disusun Oleh :...(...) Muhammad Faisol Bahri ( )

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PEMECAHAN MASALAH

SYSTEMATIC LAYOUT PLANNING (SLP) PERTEMUAN #3 TKT TAUFIQUR RACHMAN PERANCANGAN TATA LETAK FASILITAS

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERANCANGAN MEJA KERJA UNTUK PENGGUNA NOTEBOOK DI INDONESIA

MODUL 4 PERENCANAAN PROSES

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGAJUAN... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL...

PENGEMBANGAN ALAT PEMOTONG TAHU YANG ERGONOMIS DENGAN MENGGUNAKAN METODE RULA

BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

Systematic Layout Planning

PERANCANGAN DESAIN KURSI DAN MEJA KOMPUTER YANG SESUAI UNTUK KENYAMANAN KARYAWAN DI PT. BUMI FLORA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Unit kerja menengah CV. Raya Sport merupakan usaha yang. memproduksi pakaian (konveksi). Pada kegiatan proses produksi ditemukan

PERANCANGAN PRODUK. Chapter 2. Gasal 2014

ANALISIS PERBAIKAN POSTUR KERJA DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI PADA HOME INDUSTRY JKS SNACK & CATERING DI SERANG-BANTEN

93 Jurnal Rekayasa Sistem & Industri Volume 1, Nomor 1, Juli 2014

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. proses produksi. Jika manusia bekerja dalam kondisi yang nyaman baik

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

Seminar Nasional IENACO ISSN: ANALISIS POSISI DAN POSTUR PEKERJA LANTAI PRODUKSI DI PT. SERENA HARSA UTAMA

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Gambar 3.1 Metodologi Penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

BAB 3 METODE PENELITIAN

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Industri Tugas Akhir Sarjana Semester Genap tahun 2006/2007 (sesuai periode berjalan)

19/03/2013. Apa Itu RULA? Contoh RULA Worksheet. Klasifikasi Skor RULA. Penghitungan Skor RULA. Contoh Kasus

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

ANALISIS PRODUK DAN PROSES MANUFAKTURING

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

Perancangan Alat Bantu Pemasangan Stiker Gitar untuk Mengurangi Keluhan dan Memperbaiki Postur Kerja di Tarjo Guitar Sukoharjo

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Ergonomi Antropometri

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

PERANCANGAN STASIUN KERJA PEMBUATAN KULIT MOCHI DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. Postur kerja kurang ergonomis saat bekerja bersumber pada posisi kerja operator

BAB V HASIL DAN ANALISA

PERANCANGAN ULANG FASILITAS KERJA PADA PROSES MEMAHAT UNTUK MEMPERBAIKI POSTUR KERJA DI JAVA ART STONE

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Format Standard Nordic Quetionnaire

BAB 1 PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perbaikan Postur Kerja Dengan Menggunakan Metode RULA (Rapid Upper Limb Assesment) Di CV.XYZ

PRODUCT ARCHITECTURE. Ir. Erlinda Muslim, MEE

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN ULANG STASIUN KERJA UNTUK MENGURANGI KELUHAN BIOMEKANIK PADA AKTIFITAS LOUNDRY DI PT X

PERANCANGAN GERGAJI LOGAM UNTUK PENGURANGAN KELUHAN FISIK DI BENGKEL LAS SEJATI MULIA JAKARTA SELATAN

TUGAS SARJANA Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik. Oleh MATYANTO M. TUMANGGOR NIM.

IMPLEMENTASI KONSEP ERGONOMI PADA PEMBUATAN ALAT TENUN TRADISIONAL MENGGUNAKAN PRINSIP PERANCANGAN YANG DAPAT DISESUAIKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ERGONOMI DESAIN MEJA DAN KURSI SISWA SEKOLAH DASAR

BAB V ANALISA HASIL. 5.1 Hasil Perhitungan Seluruh Tahapan Menggunakan Metode REBA, REBA, OWAS & QEC

BAB 4 PENGUMPULAN DAN ANALISA DATA

PERANCANGAN GERGAJI LOGAM DAN PETA KERJA UNTUK PENGURANGAN KELUHAN FISIK DI BENGKEL LAS SEJATI MULIA JAKARTA SELATAN

RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT (RULA)

BAB 2 LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. Halaman KATA PENGANTAR ABSTRAKSI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN

ABSTRAK. iv Universitas Kristen Maranatha

BAB 4 PENGUMPULAN, PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

PERENCANAAN PRODUK PERANCANGAN DAN PENGEMBANGAN PRODUK

BAB I PENDAHULUAN I-1

EVALUASI FASILITAS KERJA BAGIAN FINISHING PERUSAHAAN MEUBEL DENGAN METODE RAPID UPPER LIMB ASSESSMENT (RULA)

ANALISIS POSTUR KERJA DAN KELUHAN PEKERJA PADA AKTIVITAS PEMOTONGAN BAHAN BAKU PEMBUATAN KERIPIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam beraktifitas membutuhkan suatu alat yang dirancang atau

BAB I PENDAHULUAN. pesat. Khususnya bagi industri pembuatan canopy, tralis, pintu besi lipat,

USULAN RANCANGAN FASILITAS KERJA PADA STASIUN PEMOTONGAN DAUN PANDAN UNTUK MENGURANGI RESIKO MUSCULOSKELETAL DISORDERS DI CV XYZ

1 Pedahuluan. Malikussaleh Industrial Engineering Journal Vol.5 No.1 (2016) 4-10 ISSN X

PERBAIKAN POSTUR KERJA PADA PROSES PENGIKIRAN WAJAN DI SP ALUMINIUM YOGYAKARTA

BAB III METODOLOGI PENELITAN

PERBAIKAN PROSES IRAT BAMBU DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI DI UKM ALIFA CRAFT WEDDING SOUVENIR KASONGAN,BANTUL

MODUL I DESAIN ERGONOMI

Ergonomic and Work System Usulan Fasilitas Kerja yang Ergonomis Pada Stasiun Perebusan Tahu di UD. Geubrina

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Tabel 1.1 Gambar 1.1.

BAB I PENDAHULUAN. baik, salah satunya adalah fasilitas kerja yang baik dan nyaman bagi karyawan,

BAB 2 LANDASAN TEORI

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI (LANJUTAN)

Seminar Nasional IENACO 2016 ISSN: DESAIN ALAT BANTU PADA AKTIVITAS PENUANGAN MATERIAL KEDALAM MESIN PENCAMPUR DI PT ABC DENGAN METODE REBA

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

B A B III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN MESIN PENYAYAT BAMBU SECARA ERGONOMIS

USULAN PERANCANGAN FASILITAS KERJA DENGAN PENDEKATAN ERGONOMI MENGGUNAKAN METODE RAPID ENTIRE BODY ASSESSMNET (REBA) DI PT Z

Transkripsi:

6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengembangan Produk Proses pengembangan produk secara umum terdiri dari tahapan-tahapan atau sering juga disebut sebagai fase. Menurut Ulrich dan Eppinger (2012) dalam bukunya yang berjudul Product Design and Development, proses pengembangan produk secara keseluruhan terdiri dari 6 fase, yaitu: 1. Fase 0 (Perencanaan) Disebut sebagai zero phase karena kegiatan ini mendahului persetujuan proyek dan proses peluncuran pengembangan produk aktual. 2. Fase 1 (Pengembangan Konsep) Konsep di sini adalah uraian dari bentuk, fungsi, dan tampilan produk dan disertai dengan sekumpulan spesifikasi, analisis produk-produk pesaing serta pertimbangan ekonomis proyek. 3. Fase 2 (Perancangan Tingkatan Sistem) Output fase ini meliputi tata letak bentuk produk, spesifikasi secara fungsional dari tiap subsitem produk, serta diagram aliran proses pendahuluan untuk proses rakitan akhir. 4. Fase 3 (Perancangan Detail) Output fase ini adalah pencatatan pengendalian untuk produk, gambar tiap komponen produk dan peralatan produksinya, spesifikasi komponenkomponen yang dapat dibeli, serta rencana untuk proses pabrikasi dan perakitan produk. 5. Fase 4 ( Pengujian dan Perbaikan) Fase pengujian dan perbaikan melibatkan konstruksi dan evaluasi dari bermacam-macam versi produksi awal produk. Prototipe awal (alpha) dibuat menggunakan komponen dalam bentuk dan jenis meterial pada produksi sesungguhnya, namun tidak memerlukan proses sama dengan yang dilakukan pada proses pabrikasi sesungguhnya. Prototipe beta dibuat dengan komponen yang dibutuhkan pada produksi namun tidak dirakit menggunakan proses perakitan akhir seperti pada perakitan akhir seperti

7 pada perakitan sesungguhnya. Prototipe beta dievaluasi secara internal dan juga diuji oleh konsumen dengan menggunakannya secara langsung. 6. Fase 5 ( Produksi Awal) Tujuan produksi awal ini adalah melatih tenaga kerja dalam memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada proses produksi sesungguhnya. Peralihan dari produksi awal menjadi produksi sesungguhnya harus melewati tahap demi tahap. Telah banyak perusahaan yang mengubah cara pengembangan produkproduknya sebagai dampak telah meningkatnya pemahaman terhadap pengembangan produk yang berkelanjutan (Sousa & Wallace, 2006) Fase 0 Perencanaan Fase 1 Pengembangan konsep Fase 2 Peranangan Tingkat Sistem Fase 3 Perancangan Deatail Fase 4 Pengujian dan Perbaikan Fase 5 Produksi Awal Sumber: Ulrich-Eppinger (2012) Gambar 2.1 Fase Pengembangan Produk Menurut Ulrich & Eppinger 2.2 Pernyataan Misi Pernyataan misi mencakup beberapa dari keseluruhan informasi sebagai berikut yaitu : Uraian Produk Ringkas Mencakup manfaat produk utama untuk pelanggan namun menghindari penggunaan konsep produk secara spesifik, berupa pernyataan visi produk. Sasaran Bisnis Utama Sebagai tambahan sasaran proyek yang mendukung strategi perusahaan, sasaran ini biasanya mencakup waktu, biaya dan kualitas (contoh penentuan waktu pengenalan produk, informasi finansial yang diinginkan, target pangsa pasar). Pasar target untuk produk Bagian ini mengidentifikasikan pasar utama dan pasar kedua yang perlu dipertimbangkan dalam usaha pengembangan. Asumsi batasan untuk mengarahkan usaha pengembangan

8 Asumsi-asumsi harus dibuat dengan hati-hati, meskipun dibatasi kemungkinan jangkauan konsep produk, mereka membantu untuk menjaga lingkup proyek yang terkelola. Untuk itu dibutuhkan informasi-informasi untuk pencatatan keputusan mengenai asumsi dan batasan. Stakeholder Satu cara untuk menjamin bahwa banyak permasalahan pengembangan ditujukan untuk mendaftar secara eksplisit seluruh stakeholder dari produk, yaitu sekumpulan orang yang dipengaruhi oleh keberhasilan dan kegagalan produk. Daftar stakeholder terdiri dari pengguna akhir dan pelanggan eksternal yang membuat keputusan tentang produk. Stakeholder juga mencakup pelanggan produk yang mendampingi perusahaan seperti tenaga penjual, organisasi pelayanan dan departemen produksi. Tabel 2.1 Contoh Format Pernyataan Misi Pernyataan Misi : *** Deskripsi Produk *** Sasaran Bisnis Utama *** *** *** Pasar Utama *** Pasar Kedua *** *** Asumsi-asumsi dan Batasan-batasan *** *** Stakeholder *** *** (Sumber : Ulrich-Eppinger, 2012) 2.3 Anthropometri Anthropometri menurut Stevenson dan Nurmianto (Nurmianto, 2008) adalah suatu kumpulan data numeric yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain.

9 Distribusi normal ditandai adanya nilai mean (rata-rata) dan SD (standard deviasi). Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimesinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Di dalam anthropometri, persentil 95 menunjukan ukuran tubuh yang besar, sedangkan untuk persentil 5 menunjukan ukuran tubuh kecil. Perancangan tinggi meja sering kali dirumitkan dengan adanya interaksi dengan tempat duduk. Dalam perancangan meja kerja salah satu kriterianya adalah tinggi permukaan meja kerja tetap berada dibawah siku, akan tetapi perancangan tersebut akan memperpersempit ruang untuk lutut bergerak. Kadang-kadang pengetik akan menjadi terbiasa, sehingga hal ini lebih fleksibel untuk memperoleh ukuran meja dengan kemiringan serta mempunyai ruang yang cukup untuk gerak lutut. Namun meja yang tidak dapat disetel sesuai dengan ketinggian yang diinginkan akan mengakibatkan pada operator yang memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. Operator yang memiliki tubuh lebih kecil dari pada rata-rata perlu menaikan ketinggian bangkunya agar siku mereka akan pada posisi tepat, sehingga kaki operator akan menggantung yang mengakibatkan kelelahan pada otot bagian paha operator. Perlunya pengadaan sadaran kaki dianggap cukup layak. Pendekatan ini digunakan E. Grandjean (1986), yang dijelaskan berikut ini; Untuk menjamin cukup ruang bagi lutut orang dewasa (besar) maka direkomendasikan menggunakan persentil 95 dari ukuran-ukuran telapak kaki sampai puncak lutut (tinggi lutut) dan menambahakan kelonggarankelonggaran lainnya. Kebanggaan orang adalah dengan memiliki kursi yang bisa disetel dan mempunyai sandaran kaki. Untuk penyederhanaan dan untuk memberikan pengertian yang mudah dari posisinya lebih baik menghindari sandaran kaki dan hal ini biasanya dapat dicapai dengan membuat tinggi meja yang dapat disetel. Untuk kegiatan membaca dan menulis, orang biasanya mengistirahakan lengan mereka pada meja sehingga perlu permukaan yang lebih tinggi. Granjean memberikan nilai antara 740-780 mm untuk laki-laki dan untuk perempuan 700-740 mm.

10 2.4 Arsitektur Produk Arsitektur produk adalah skema elemen-elemen fungsional dari produk disusun menjadi chunk yang bersifat fisik dan menjelaskan bagaimana setiap chunk berinteraksi. Elemen fisik produk dibagi beberapa building blocks utama yang disebut chunks. Setiap chunk terdiri dari sekumpulan komponen yang mengimplementasikan fungsi dari produk (Ulrich-Eppinger,2012). Semua produk terdiri dari elemen fungsional dan fisik. Elemen-elemen fungsional dari produk terdiri dari operasi dan transformasi yang menyumbang terhadap kinerja keseluruhan produk. Elemen-elemen fisik dari sebuah produk adalah bagian-bagian, komponen, dan sub rakitan yang pada akhirnya diimplementasikan terhadap fungsi produk. Langkah-langkah dalam menetapkan arsitektur produk adalah dengan (Ulrich-Eppinger, 2012): 1. Membuat skema produk, yaitu diagram yang menggambarkan pengetian terhadap elemn-elemen penyusun produk, yakni berupa elemen fisik, komponen kritis dan elemen fungsional. Sumber: Ulrich-Eppinger, 2012 Gambar 2.2 Skema Produk 2. Mengelompokkan elemen-elemen pada skema, yaitu menugaskan setiap elemen yang ada pada skema menjadi chunk. Setiap chunk memiliki satu fungsi. Elemen yang memiliki fungsi yang sama dapat digabungkan dalam satu chunk.

11 Sumber: Ulrich-Eppinger, 2012 Gambar 2.3 Function Diagram 3. Membuat susunan Geometris yang masih kasar,yaitu susunan geometris dibuat dalam bentuk gambar, model komputer atau model fisik yang terdiri dari 2 dan 3 dimensi, penyusunan Geometri yang masih berbentuk kotak dapat memberikan beberapa alternatif penyusunan sehingga tidak ada hubungan antara chunk yang paling saling bertentangan. 2.5 Design for Manufacturing (DFM) Design for manufacturing (DFM) merupakan metode yang memiliki tujuan mengurangi biaya manufaktur dengan tetap menjaga fungsi dan kualitas yang diinginkan dengan mengoptimalkan rancangan suatu produk hingga pabrikasi (Widodo, 2003).

12 Usulan Rancangan Perkiraan biaya biaya manufaktur Mengurangi biaya biaya komponen Mengurangi biaya biaya perakitan Mengurangi niaya -biaya penunjang produksi Mempertimbangkan pengaruh terhadap keputusan DFM terhadap faktor lain Menghitung ulang biaya manufaktur Tidak Cukup Baik? Ya Desain yang Diterima Sumber: Widodo, 2003. Gambar 2.4 Metode Design For Manufacturing Metode DFM terdiri dari 5 langkah (Ulrich-Eppinger, 2012) 1. Memperkirakan biaya manufaktur. Input biaya manufaktur meliputi bahan mentah komponen yang dibeli, usaha-usaha karyawan, energi manufaktur merupakan jumlah seluruh biaya untuk input dari sistem dana untuk proses pembuangan output yang dihasilkan oleh sistem. Biaya manufaktur dari suatu produk yang terdiri dari biaya-biaya dalam tiga kategori : a Biaya-biaya komponen Beberapa komponen pesanan dibuat di pabrik sendiri, yang lain dihasilkan oleh pemasok berdasarkan spesifikasi rancangan pembuat.

13 b Biaya-biaya perakitan Barang-barang diskrit dirakit dari komponen-komponen. Proses perakitan mencakup biaya upah tenaga kerja dan biaya peralatan serta perlengkapan. c Biaya-biaya overhead Overhead merupakan kategori yang digunakan untuk mencakup seluruh biaya-biaya lainnya. Biaya overhead terbagi 2 tipe: biaya pendukung dan alokasi tidak langsung. Cara lain untuk membagi biaya manufaktur adalah dengan menggunakan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang tercakup dalam jumlah yang telah ditentukan sebelumnya, tanpa menghiraukan beberapa banyak unit produk yang dibuat. Biaya variable adalah biaya yang mencakup dalam proposi langsung dari jumlah unit yang dihasilkan. Biaya variabel mencakup material,waktu mesin, dan upah. Biaya tetap terdiri dari peralatan dan biaya yang tidak berulang seperti peralatan khusus dan biaya set up. 2. Mengurangi biaya komponen. a. Memahami batasan-batasan proses dan dasar-dasar biaya. Beberapa komponen dapat ditentukan harganya secara sederhana, karena perancang tidak memahami kemampuan biaya dasar, dan batasan-batasan proses produksi. Dalam merancang ulang komponen untuk mendapatkan kinerja yang sama dan menghindari langkah manufaktur yang menimbulkan biaya, perancang harus mengetahui tipe operasi yang sulit dilakukan dalam produksi, dan dengan dasar biaya. b. Merancang ulang komponen untuk mengurangi langkah pemrosesan. Kecermatan rancangan yang diusulkan mengarah pada usulan rancangan ulang menghasilkan penyederhanaan proses produksi. Dengan mengurangi jumlah langkah dalam proses pabrikasi umumnya memberikan hasil pengurangan biaya. c. Pemilihan skala ekonomi yang sesuai untuk pemrosesan komponen. Biaya manufaktur suatu produk turun bila volume produksi meningkat, yaitu pengertian dari skala ekonomi. Skala ekonomi untuk suatu komponen yang dibuat terjadi karena dua alasan berikut: 1. Biaya tetap dibagi di antara lebih banyak unit

14 2. Biaya variabel menjadi lebih rendah karena perusahaan dapat mempertimbangkan penggunaan proses-proses dan peralatan yang lebih luas dan efisien. d. Menstandarkan komponen-komponen dan proses-proses. Prinsip skala ekonomis juga digunakan dalam pemilihan komponen dan proses. Jika volume produksi bertambah, biaya perunit komponen akan berkurang. Kualitas dan kinerja meningkat dengan bertambahnya jumlah produksi karena pihak penghasil komponen dapat menginvestasikan dalam proses pembelajaran dan perbaikan dalam perancangan komponen dan proses produksinya. 3. Mengurangi Biaya Perakitan. Untuk kebanyakan produk, perakitan memberikan total biaya yang relatif kecil. Walaupun demikian, dengan memfokuskan perhatian pada biaya perakitan akan memberikan manfaat tidak langsung. 4. Mengurangi Biaya Pendukung Produksi. Biaya manufaktur sering tidak sensitif untuk kebanyakan faktor yang secara aktual menyebabkan beban overhead. Meskipun demikian, sasaran rancangan untuk hal ini seharusnya mengurangi biaya aktual pendukung produksi, walaupun perkiraan biaya overhead tidak berubah. 5. Mempertimbangkan Pengaruh Keputusan DFM Pada Faktor Lainnya. Keterkaitan di antara DFM dan waktu pengembangan adalah kompleks. Penggunaaan beberapa petunjuk DFM dapat menghasilkan komponen-komponen yang sangat kompleks. 2.6 Assembly Chart Peta rakitan adalah gambaran grafis dari urutan-urutan aliran komponen dan rakitan-bagian (sub assembly) ke rakitan suatu produk (Apple, 1990). Akan terlihat bahwa peta rakitan menunjukkan cara yang mudah untuk memahami: 1. Komponen-komponen yang membentuk produk. 2. Bagaimana komponen-komponen ini bergabung bersama. 3. Komponen yang menjadi bagian suatu rakitan-bagian. 4. Aliran komponen ke dalam sebuah rakitan. 5. Keterkaitan antara komponen dengan rakitan-bagian. 6. Gambaran menyeluruh dari proses rakitan.

15 7. Urutan waktu komponen bergabung bersama. 8. Suatu gambaran awal dari pola aliran bahan. Tujuan dari Assembly Chart terutama untuk menunjukkan keterkaitan antara komponen. Sumber : Apple, 1990. Gambar 2.5 Assembly Chart 2.7 Operation Process Chart Operation Proses Chart (OPC) akan menunjukkan langkah-langkah secara kronologis dari semua operasi inspeksi, waktu longgar, dan bahan baku yang digunakan di dalam satu proses manufaktur yaitu mulai datangnya bahan baku sampai ke proses pembungkusan dari produk jadi yang dihasilkan. Dalam membuat OPC ini ada 3 simbol yang digunakan yaitu simbol lingkaran yang menggambarkan aktivitas operasi, persegi yang menunjukan inspeksi dan segitiga yang menunjukan penyimpanan. Pada pembuatan OPC ini garis vertikal menggambarkan aliran proses yang dilakukan, garis horizontal yang mengarah pada garis vertikal menggambarkan material yang bergabung dengan komponen yang dibuat.

16 Sumber : Wignjosoebroto, 2009 Gambar 2.6 Operation Process Chart 2.8 Struktur Produk Struktur produk dapat didefinisikan sebagai cara komponen-komponen bergabung ke dalam suatu produk selama proses manufaktur. Struktur produk menggambarkan proses perakitan yang dilakukan untuk memperoleh suatu produk jadi dalam bentuk tingkatan. Penyajian struktur produk dibedakan menjadi dua yaitu metode explotion dan implotion. Metode explotion adalah penyajian struktur produk, dimana pada level 0 terdapat produk jadi, hingga pada level paling bawah menunjukkan komponen paling awal dirakit. Sebaliknya, struktur produk implotion merupakan kebalikan dari struktur produk explotion. Perbedaan antara struktur produk explotion dan implotion hanya pada penyusunan levelnya. Manfaat dari struktur produk adalah memberikan informasi mengenai material, komponen atupun sub-assembly yang diperlukan dalam pembuatan suatu produk. 2.9 Bill Of Material (BOM) Bill of material (BOM) merupakan daftar dari semua material, parts, dan sub assembly, serta kuantitas dari masing-masing yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly (Ulrich-Eppinger, 2012). Tiga jenis BOM yang digunakan dalam dunia perindustrian, yaitu:

17 1. Phantom Bill, merupakan jenis bill yang digunakan untuk material yang tidak untuk disimpan atau untuk material yang hanya lewat saja. 2. Modular Bill, digunakan untuk material dalam menyusun produk dengan sejumlah option yang berbeda. 3. Pseudo Bill, digunakan untuk menyusun daftar kebutuhan material yang bukan untuk disusun menjadi produk melainkan untuk dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Jenis bill dapat juga dibagi berdasarkan tingkatan level yang disampaikannya, yaitu single level BOM dan multilevel BOM. Jenis bill lainnya adalah planning bill, yang merupakan jenis bill yang digunakan untuk keperluan peramalan dan perencanaan. Manfaat dari BOM adalah sebagai alat pengendali produksi yang menspesifikasikan bahan-bahan kandungan yang penting dari suatu produk, 2.10 Prototipe Prototipe didenifisikan sebagai tiruan dari produk berhubungan dengan satu atau lebih dimensi kepentingan (Ulrich-Eppinger,2012). Dimensi kepentingan tersebut meliputi fungsi, penampilan, manfaat dan keamanan produk jika telah digunakan oleh konsumen. Prototipe dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu berdasarkan alam/sifatnya dan berdasarkan cakupannya: a. Berdasarkan alam/sifatnya. Berdasarkan alam/sifatnya prototipe dapat dibedakan dalam dua kategori untama, yaitu : 1) Prototipe fisik: merupakan obyek yang tangible yang dapat dilihat dan dipegang. 2) Prototipe analitik: merupakan prototipe yang non-tangible, seperti model matematika, simulasi, 3D video image, dan lain lain. b. Berdasarkan pandangannya (cakupan). Berdasarkan pandangannya prototipe terbagi atas dua, yaitu : 1) Prototipe terfokus: menggambarkan hanya sebagian dari produk, untuk memenuhi kepentingan tertentu. 2) Prototipe komprehensif: menggambarkan seluruh bagian produk, meliputi seluruh fungsi dan tampilannya.

18 2.11 Analisa Komparatif k Sampel Independen untuk Data Interval/Rasio Untuk data interval atau rasio independen yang terdiri dari k sampel, analisis komparatifnya menggunakan Uji One Way Anova dan Two Way Anova (Ihsan, 2009). a. One Way Anova untuk k Sampel Independen Merupakan pengujian hipotesis komperatif untuk data interval atau rasio dari k sampel (lebih dari dua sampel) yang berkorelasi dengan satu faktor yang berpengaruh. One Way Anova dibedakan menjadi dua yaitu : 1) One Way Anova dengan sampel yang sama banyaknya yaitu di mana setiap kelompoknya memliki jumlah atau ukuran sampel sama banyaknya. 2) One Way Anova dengan sampel yang tidak sama banyaknya yaitu di mana setiap kelompoknya memiliki jumlah atau ukuran sampel yang tidak sama banyak. b. Two Way Anova untuk k Sampel Independen Merupakan pengujian hipotesis komperatif untuk data interval atau rasio dari k sampel (lebih dari dua sampel) yang independen dengan dua faktor yang berpengaruh. Two Way Anova dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Two Way Anova Tanpa Interaksi Merupakan pengujian hipotesis komperatif untuk data interval atau rasio dari k sampel (lebih dari dua sampel) yang independen dengan dua faktor yang berpengaruh sedangkan interaksi kedua faktor tidak dihitung. 2) Two Way Anova dengan Interaksi Merupakan pengujian hipotesis komperatif untuk data interval atau rasio dari k sampel (lebih dari dua sampel) yang independen dengan dua faktor yang berpengaruh sedangkan interaksi kedua faktor diperhitungkan. 2.12 Nordic Musculoskeletal Questionnaire (NMQ) Tujuan dari Nordic Musculoskeletal Questionnaire (NMQ) yaitu untuk mengembangkan dan menguji metode standar kuesioner yang meliputi

19 perbandingan dari punggung, leher, bahu dan keluhan secara umum untuk digunakan dalam pembelajaran epidemiologis. Sumber: (Dickinson, Campion, Foster, Newman, O'Rourke, & Thomas, 1992) Gambar 2.7 Nordic Musculoskeletal Quetionnaire (NMQ) 2.13 Rapid Upper Limb Assessment (RULA) RULA (Rapid Upper Limb Assessment) adalah sebuah metode untuk menilai postur, gaya dan gerakan suatu aktivitas kerja yang berkaitan dengan penggunaan anggota tubuh bagian atas (upper limb) (McAtamney & Corlett, 1993). RULA dapat membantu untuk mengurangi resiko cedera pada seorang pekerja. RULA digunakan dengan cara mengevaluasi postur tubuh, kekuatan yang dibutuhkan dan gerakan otot pekerja pada saat sedang bekerja. Analisa RULA dapat dilakukan sebelum dan sesudah percobaan untuk mengetahui apakah resiko cedera sudah berkurang. Terdapat 5 faktor eksternal yang dapat menjadi faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya cedera pada tubuh bagian atas, yaitu:

20 1. Jumlah gerakan 2. Kerja otot statis 3. Beban 4. Dimensi perlatan 5. Lama kerja tanpa istirahat Terdapat 3 langkah untuk mendapatkan hasil dari metode RULA: 1. Merekam postur tubuh ketika sedang bekerja. Bagian tubuh yang dianalisa meliputi: lengan (lengan atas), siku tangan (lengan bawah), pergelangan tangan, leher, trunk, dan kaki. Padalangkah ini, peneliti merekam dan memasukkan data postur tubuh pekerja pada software RULA. Kemudian, dari data tersebut dapat diketahui bagian tubuh yang mempunyai kemungkinan terbesar mengalami cedera. 2. Menghitung nilai Data hasil rekaman yang telah dimasukkan software, dihitung nilainya untuk masing-masing bagian tubuh. 3. Action Level. Dari hasil nilai yang didapatkan, kemudian diklasifikasikan menurut action level yang dibedakan menjadi 4 action level sebagai berikut : a. Action Level 1: Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama. b. Action Level 2: Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan. c. Action Level 3: Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan segera. d. Action Level 4: Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan sesegera mungkin (mendesak).

21 Sumber: (McAtamney & Corlett, 1993) Gambar 2.8 RULA Employee Assessment Worksheet 2.14 Titik Impas (Breakeven Point) pada Permasalahan Produksi Nilai suatu parameter atau variabel yang menyebabkan dua atau lebih alternative sama baiknya disebut nilai titik impas (breakeven point). Aplikasi analisa titik impas pada permasalahan produksi biasanya digunakan untuk menentukan tingkat produksi yang bisa mengakibatkan perusahaan pada kondisi impas. Untuk mendapatkan titik impas ini maka harus dicari fungsifungsi biaya manapun pendapatannya. Pada saat kedua fungsi tersebut bertemu maka total biaya sama dengan total pendapatan. Ada tiga komponen biaya yang dipertimbangkan dalam analisa ini yaitu : 1. Biaya-biaya tetap (fixed cost) yaitu biaya-biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh volume produksi. Beberapa yang termasuk biaya tetap adalah biaya gudang, biaya tanah, biaya mesin, dan peralatan dan sebagainya 2. Biaya-biaya variabel (variable cost) yaitu biaya yang besarnya tergantung pada tingkat volume produksinya. Biaya-biaya yang tergolong biaya variabel diantanya adalah biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. 3. Biaya total adalah penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel.

22 Bila dimisalkan X adalah volume produk yang dibuat, dan c adalah ongkos variabel yang terlibat dalam pembuatan satu buah produk maka ongkos variabel untuk membuat X buah produk adalah (Pujawan, 2004): VC= cx Karena ongkos total adalah jumlah dari ongkos-ongkos tetap dan ongkos-ongkos variabel maka berlaku hubungan (Pujawan, 2004): TC = FC + Vc = FC + cx Dimana : TC = ongkos total untuk membuat X produk FC = ongkos tetap VC = ongkos variabel untuk membuat X produk c = ongkos variabel untuk mebuat satu produk Dalam analisa titik impas selalu diasumsikan bahwa total pendapantan (total revenue) diperoleh dari penjualan semua produk yang diproduksi. Bila harga satu buah produk adalah p maka harga X buah produk akan menjadi total pendapatan, atau (Pujawan, 2004) : TR = px Dimana ; TR = total pendapatan dari penjualan X buah produk p = harga jual per satuan produk Titik impas akan diperoleh apabila total ongkos-ongkos yang terlibat persis sama dengan total pendapatan, atau;

23 TR=TC Atau px = FC + cx X= FC/p-c Dimana x dalah hal ini adalah volume produksi yang menyebabkan perusahaan pada titik impas (BEP). Tentu saja perusahaan akan mendapat untung apabila bisa berproduksi diatas X.