BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Meilani Magdalena/

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB II TATANAN GEOLOGI

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI TEMBAGA PADA AREA PENAMBANGAN TERBUKA BATU HIJAU, SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

BAB V PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

Lintong Mandala Putra Siregar 1, Fauzu Nuriman 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KECAMATAN SUBI KABUPATEN NATUNA - PROVINSI KEPULAUAN RIAU Wahyu Widodo Kelompok Penyelidikan Mineral Logam

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

EKEPLORASI UMUM BESI PRIMER DI KECAMATAN RAO, KABUPATEN PASAMAN, PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB II TATANAN GEOLOGI

Ciri Litologi

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB III METODA PENELITIAN

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Petrologi Tersier Pliosen Intrusi (Tpi) pada Sumur KL , Grasberg, Papua-Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN I.1

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan

INVESTIGASI PENYEBARAN LAPISAN PEMBAWA EMAS MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISTIVITY DI KELURAHAN LATUPPA

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan di bidang otomotif, elektronik dan sebagainya. Endapan timah dapat ditemukan dalam bentuk bijih timah primer dan

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN

Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2008 IST AKPRIND Yogyakarta

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

EKSPLORASI TIMAH DAN REE DI PULAU JEMAJA, KECAMATAN JEMAJA KABUPATEN ANAMBAS, PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. bijih besi, hal tersebut dikarenakan daerah Solok Selatan memiliki kondisi geologi

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

Transkripsi:

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA 4.1 Tinjauan Umum Menurut kamus The Penguin Dictionary of Geology (1974 dalam Rusman dan Zulkifli, 1998), mineralisasi adalah proses introduksi (penetrasi atau akumulasi suatu massa) yang akan membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue) pada suatu batuan sehingga terbentuk endapan mineral. Boyle (1970 dalam Garwin, 2000) menyatakan bahwa terdapat empat kemungkinan asal mineral bijih dalam cebakan hidrotermal, yaitu: 1. Unsur yang berasal dari hasil proses kristalisasi magma. 2. Unsur yang berasal dari batuan samping (wall rocks) yang melingkari cebakan bijih tersebut atau berasal dari batuan-batuan yang terdapat di atasnya atau di bawahnya. 3. Unsur yang berasal dari sumber keterdapatannya jauh di bawah permukaan bumi kemungkinan berasal dari mantel atau dari bagian yang lebih dalam lagi. 4. Unsur yang mungkin berasal dari permukaan yang mengalami proses pelapukan. Menurut Hedenquist dan Reid (1985), daerah berkelurusan tinggi seperti zona sesar, tubuh breksiasi, serta litologi yang porous merupakan syarat dalam pembentukan tubuh bijih. Hal-hal pokok yang menentukan pembentukkan mineral hasil proses mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan hidrotermal sabagai pembawa mineral, adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan hidrotermal, adanya tempat bagi pengendapan mineral, terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terjadinya pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral. Dalam tipe endapan porfiri Cu-Au, mineralisasi akan terakomodasi bersama urat kuarsa, akibat kondisi bawah permukaan yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, yang hanya memungkinkan larutan hidrotermal untuk Meilani Magdalena/12005066 39

bergerak melalui rekahan. Kelimpahan mineralisasi akan lebih banyak terdapat dalam urat-urat halus. Urat-ura halus tersebut akan membentuk suatu struktur acak (stockwork) (Gambar 4. 1). Stockwork terbentuk sebagai hasil proses pembentukan rekahan selama pendinginann pada daerah atas dari sebuah intrusi batuan beku (Bateman dan Jensen, 1981). Gambar 4.1. Kenampakan stockwork pada dinding area tambang. Proses mineralisasi unsur logam terutama Cu dan Au dikontrol oleh penurunann temperatur, ph, dan salinitas dari larutan hidrotermal (Henley, 1973 dalam Corbett dan Leach, 1996). Dalam hal ini, proses ubahan dapat menjadi indikator penting untuk menentukan dimana mineralisasi terjadi. Pada zona hipogen, mineralisasii bijih akan cenderung hadir dalam bentuk mineral sulfida. Hal ini disebabkan oleh tipe larutan pembawa mineralisasi yang kaya akan unsur sulfur (S) dan oksigen (O). 4.2 Mineralisasi Daerah Penelitian Mineralisasi di daerah penelitian terjadi semenjak kehadiran batuan tonalit tua yang hadir mengintrusi tuf kristal dan batuan diorit. Oleh karena itulah batuan tonalit tua bertindak sebagai batuan pembawa mineralisai pertama di Batu Hijau. Intensitas mineralisasi pada batuan ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan batuan tonalit muda yang hadir setelahnya. Hal inii dapat dibuktikan dengan kehadiran urat padaa tonalit tua yang dipotong oleh tonalit muda (Gambar Meilani Magdalena/12005066 40

4.2). Mineralisasi lebih intensif pada tonalit tua dibandingkan pada tonalit muda kemungkinan penyebabnya adalah pada saat tonalit tua hadir mengintrusi batuan samping, larutan hidrotermal yang hadir megisi rekahan atau celah pada tonalit tua tersebut sangat kaya akan mineralisasi, namun ketika tonalit muda hadir, kandungan mineralisasi di larutan hidrotemal telah berkurang atau dengan kata lain tonalit muda hanya mendapatkan mineralisasi sisa-sisa dari tonalir tua. Gambar 4.2. Urat pada tonalit tua dipotong oleh tonalit muda. Hal ini menunjukkan mineralisasi yang terkandung pada urat terjadi sebelum kehadiran tonalit muda. 4.2.1 Metode Pengamatan Dalam menentukan zonasi mineralisasi dan paragenesa mineralisasi di daerah penelitian, penulis menggunakan beberapa metode pengamatan, yaitu pengamatan secara megaskopis dan pengamatan secara mineragrafis. Kedua metode ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui jenis urat, mineral bijih yang terdapat pada batuan, dan tekstur mineral bijih tersebut. 4.2.1.1 Pengamatan Megaskopis Dalam studi mineralisasi, dengan melakukan pengamatan megaskopis dapat mengidentifikasi mineral sulfida yang hadir pada suatu batuan. Pengamatan megaskopis dilakukan terhadap conto cutting, conto inti bor, dan conto batuan permukaan secara detail dengan tujuan akhir dapat menentukan zonasi Meilani Magdalena/12005066 41

mineralisasi. Informasi yang di dapatkan dari pengamatan megaskopis ini yaitu berupa persentase densitas urat dan persentase mineral sulfida utama (bornit, kalkopirit, dan pirit). 4.2.1.2 Pengamatan Mineragrafis Pengamatan mineragrafis dilakukan terhadap sayatan poles dengan menggunakan mikroskop cahaya pantul. Mikroskopis bijih (mineragrafi) meliputi identifikasi butiran individu mineral dan interpretasi mineral bijih dengan cara mengidentifikasi hubungan antar butiran mineral bijih. Kenampakan tekstur merupakan manifestasi dari karakteristik fluida dan kimia-fisika batuan samping serta sifat-sifat proses pengendapan mineral bijih, kesetimbangan kembali (reequilibration), pemanasan kembali (annealing), pengisian celah, dan sebagainya (Craigh dan Vaughan, 1981). Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafis, dapat diketahui mineralisasi yang terbentuk pada daerah penelitian. Umumnya mineralisasi bijih yang dijumpai merupakan mineral-mineral sulfida dan oksida. Hasil identifikasi mineragrafi ditemui 8 macam mineral bijih, yaitu kalkopirit, bornit, pirit, kovelit, kalkosit, digenit, magnetit, dan hematit. 4.2.2 Tipe-Tipe Urat di Daerah Penelitian Tipe-tipe urat yang dipakai di daerah penelitian mengacu pada klasifikasi yang di lakukan Gustafson dan Hunt (1975) untuk endapan porfiri tembaga di El- Savador, Chile, Amerika Selatan, yaitu (Gambar 4.3): Urat Tipe A Urat tipe A umumnya memiliki tebal <1 cm, mineral pengisi berupa kuarsa, kadang-kadang berasosiasi dengan bornit, digenit, kalkopirit, magnetit dan biotit. Kuarsa biasanya berbentuk granular, berasosiasi dengan mineral-mineral sulfida yang tersebar, berbentuk iregular dan tidak menerus, batas dengan batuan samping tidak tegas, dan berasosiasi dengan alterasi biotit (Gambar 4.3a). Urat Tipe A-B (A Family Veins) Urat tipe A-B merupakan transisi antara urat tipe A dan B, bentuknya terkadang tidak menerus, namun terkadang ada pula yang menerus, batas dengan batuan samping tidak tegas. Pada umumnya urat tipe ini diisi oleh mineral kuarsa dengan Meilani Magdalena/12005066 42

sedikit kalkopirit dan bornit yang tersebar di dalam urat (disseminated) (Gambar 4.3a). Urat Tipe B Urat tipe B bentuknya beraturan dan menerus, batas dengan batuan samping tegas, mempunyai kenampakan tekstur sisir (comb texture), berisi kuarsa dengan centerline berupa kalkopirit dan bornit (Gambar 4.3b). Urat Tipe C Urat tipe C bersifat menerus dan beraturan, dominan terisi oleh kalkopirit dan sedikit kuarsa dan batas dengan batuan samping tegas (Gambar 4.3c). Urat Tipe D Bentuk urat tipe D menerus dan teratur, batas dengan batuan samping tegas, Bentuk urat dominan terisi oleh pirit dengan sedikit kuarsa. Urat tipe D umumnya hadir memotong urat tipe A, AB, dan B (Gambar 4.3d). Gambar 4.3. Tipe-tipe urat pada daerah penelitian: (a) urat tipe A dan urat tipe AB yang berbentuk tidak beraturan; (b) urat tipe B dengan bentuknya yang beraturan dan pada garis tengahnya diisi oleh mineral bornit dan kalkopirit; (c) urat tipe C dengan mineral pengisi kalkopirit; dan (d) urat tipe D dengan mineral pengisi yaitu pirit. Meilani Magdalena/12005066 43

4.2.3 Zonasi Mineralisasi Daerah Penelitian Mineral bornit dan kalkopirit merupakan mineral bijih utama di Batu Hijau yang memberikan kontribusi besar dalam kandungan Cu dan Au. Mineral sulfida ini banyak hadir sebagai pengisi dalam urat kuarsa. Urat ini biasanya memiliki dimensi lebar <10 cm dan membentuk struktur stockwork. Selain diisi oleh mineral sulfida, urat kuarsa juga dapat hadir bersama mineral magnetit, biotit, dan klorit. Menurut perhitungan empiris, bornit akan memberikan kontribusi Cu sebesar 63.33% dan kalkopirit akan memberikan kontribusi Cu sebesar 34.64% (Tabel 4.1). Dalam pengamatan terhadap conto inti bor dapat diamati, bahwa kenaikan kandungan mineral bornit diikuti oleh kenaikan unsur Cu dan Au. Emas hadir pada bijih yang banyak mengandung bornit, yaitu terdapat dalam butiran CuS (invisible gold dalam struktur sulfida) dan sebagai emas bebas (native gold). Pada bijih yang banyak mengandung kalkopirit, emas lebih banyak hadir sebagai emas bebas dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan pada bijih yang kaya bornit (Arif, 2002). Tabel 4.1. Mineral sulfida utama di Batu Hijau beserta ciri fisiknya. Berdasarkan pengamatan terhadap conto inti bor, cutting, dan batuan permukaan, dapat diketahui penyebaran mineral sulfida yang menghasilkan zonasi Meilani Magdalena/12005066 44

mineralisasi di daerah penelitian. Area yang banyak mengandung bornit terdapat pada batuan tonalit tua dan pada bagian tepi Zona Potasik dengan persentase mineral sulfida >1%, sehingga pada area tersebut merupakan zona bornit > kalkopirit > pirit. Begitu pula halnya dengan kalkopirit yang berkembang baik pada Zona Potasik dan pada area yang dekat dengan intrusi tonalit tua, sehingga pada area tersebut merupakan zona kalkopirit > bornit > pirit. Semakin ke arah luar yang menjauhi intrusi tonalit, kehadiran bornit dan kalkopirit semakin berkurang, sedangkan kehadiran pirit melimpah, sehingga pada area tersebut merupakan zona pirit > kalkopirit > bornit. Pada batuan tonalit muda, mineralisasi terlihat melemah dengan persentase mineral sulfida <0,5%. Melemahnya persentase mineral sulfida ini berhubungan dengan melemahnya densitas urat kuarsa. Zonasi mineral sulfida utama ini dapat dilihat pada Penampang Mineralisasi dan Zona Mineralisasi Area Penambangan Aktif Batu Hijau (Lampiran F dan Lampiran H). 4.3 Studi Paragenesa Mineralisasi Paragenesa dalam konteks mineralisasi adalah urutan waktu pengendapan dari mineral bijih yang berada di dalam suatu endapan pada suatu periode tertentu. Studi paragenesa berguna dalam menentukan mineral yang mula-mula terbentuk dan mineral yang terbentuk kemudian. Hal penting dalam penentuan paragenesa suatu endapan bijih yaitu dengan pengamatan tekstur dari mineral bijih, karena tekstur pada mineral bijih akan mencerminkan genesanya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Craig dan Vaughan (1981) yang menyebutkan bahwa identifikasi tekstur merupakan langkah penting untuk memperkirakan genesa pembentukan bijih. Pengertian tekstur adalah suatu bentuk yang memperlihatkan hubungan antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya, hubungan mineral inklusi terhadap host mineral, dan hubungan antara mineral-mineral terhadap masa dasarnya. Pengamatan dan interpretasi tekstur penting dalam menafsirkan genesa pembentukan, paragenesa, lingkungan pengendapan, cara pengendapan, maupun proses yang berlangsung setelah pengendapan bijih tersebut. Dalam penelitian ini, tekstur mineral bijih membantu dalam interpretasi paragenesa mineral bijih. Meilani Magdalena/12005066 45

Beberapa metode yang dapat digunakan menurut Craig dan Vaughan (1981) dalam mengidentifikasi paragenesa mineral bijih, yaitu: Morfologi kristal dan hubungan batas butir Bentuk dari individu kristal dan kenampakan kontak antara butir-butir yang berdekatan sering kali dijadikan sebagai kriteria dalam penentuan paragenesa. Secara umum, kristal euhedral diinterpretasikan sebagai mineral yang terbentuk lebih dahulu dan tumbuh tanpa mengalami gangguan. Untuk kebanyakan mineral yang memiliki morfologi euhedral mengindikasikan bahwa bahwa mineral tersebut tumbuh pada tempat terbuka (open space), seperti pada urat (Gambar 4.4). Morfologi kristal dan hubungan batas butir seperti ini harus diinterpretasikan secara hati-hati karena pengamatan dengan mikroskopi hanya mempunyai pandangan 2 dimensi dari suatu bentuk yang 3 dimensi. Gambar 4.4. (a) Foto sayatan poles memperlihatkan kalkopirit yang hadir mengisi open space, dan memiliki bentuk mengikuti rekahan yang diisinya. (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa dengan centerline berisi kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Meilani Magdalena/12005066 46

Hubungan potong-memotong (crosscutting) Dalam studi mineralogi, seperti halnya studi geologi lapangan, hubungan potong memotong merupakan kunci dalam interpretasi paragenesa. Urat atau kenampakan sejenis yang memotong urat yang lain adalah lebih muda daripada urat yang dipotong, kecuali urat yang dipotong tersebut telah mengalami penggantian (Gambar 4.5). Gambar 4.5. (a) Foto sayatan poles yang memperlihatkan kalkopirit (kuning) dipotong oleh bornit (merah muda) menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit. (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa yang diisi oleh bornit dan kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Penggantian (replacement) Replacement merupakan tekstur yang sangat penting dalam studi paragenesa. Sangat jelas bahwa mineral yang digantikan lebih tua dibanding mineral yang menggantikan. Karena replacement umumnya merupakan sebuah reaksi kimia pada permukaan kristal, maka replacement biasanya dimulai dari luar batas butir / mineral atau sepanjang rekahan menuju ke dalam kristal. Secara umum, selama replacement tahap lanjut terjadi, mineral yang digantikan Meilani Magdalena/12005066 47

menunjukkan bentuk yang cekung sedangkan mineral yang menggantikan menunjukkan bentuk yang cembung dan kemudian akan meninggalkan sisa mineral yang berbentuk pulau di dalam matriks. Gambar 4.6. (a) Foto sayatan poles yang memperlihatkan replacement kalkopirit oleh bornit, kemudian replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit. Hal ini menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit, sedangkan kovelit, kalkosit, dan digenit terbentuk paling akhir (setelah kalkopirit dan bornit). (b) Foto conto secara megaskopis yang memperlihatkan bagian yang dilakukan sayatan poles yaitu urat kuarsa dengan mineral pengisi kalkopirit. (c) Bagian yang diberi tanda panah merupakan posisi pengambilan conto. Kembaran (twinning) Kembaran dapat terbentuk selama pembentukan awal dari suatu mineral selama inversi, atau sebagai hasil deformasi. Pembentukan kembaran ini merupakan fungsi dari temperatur fluida di dalam mineral bijih, sehingga kehadiran kembaran pada mineral bijih yang khas dapat membantu dalam merekonstruksi paragenesanya. Meilani Magdalena/12005066 48

Exsolution Exsolution merupakan kenampakan yang umum pada beberapa tipe mineral dan sangat berguna dalam penentuan paragenesa. Exsolution akan memberikan pola yang khas seperti pola lamellae. 4.4 Tekstur Mineral Bijih Daerah Penelitian Pada penelitian ini, identifikasi tekstur merupakan hal utama dan penting untuk memperkirakan genesa pembentukan bijih. Tekstur yang teramati dari hasil analisis sayatan poles yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 4.7. Replacement merupakan tekstur yang dominan yang teramati pada mineral bijih, yaitu replacement magnetit oleh hematit; replacement kalkopirit oleh bornit, kalkosit, dan digenit; dan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit dan digenit. (Gambar 4.7a dan b). Secara keseluruhan, tekstur replacement ini dapat dijadikan acuan untuk menentukan mineral mana yang terbentuk lebih dahulu dan mineral mana yang terbentuk kemudian. Hasil dari replacement akan membentuk batas antar mineral menjadi tidak teratur (iregular) (Craigh dan Vaughan, 1981). Seperti yang ditunjukan pada gambar 4.7a menjadikan batas mineral dari magnetit menjadi tidak sempurna akibat kehadiran hematit yang menggantikannya. Menurut Ramdohr (1969), tekstur replacement ini mencerminkan akibat penggantian oleh mineral lain tanpa adanya perubahan volume semula. Penggantian yang terjadi terhadap suatu mineral hanya dapat pada sebagian mineral saja atau seluruhnya mengalami penggantian. Tekstur granular dapat diamati antara mineral pirit dan kalkopirit (Gambar 4.7c). Tekstur granular yang teramati mencerminkan hubungan mineral yang disebut dengan matual boundary antara pirit dan kalkopirit, dimana antar butiran mineral tidak saling menembus satu sama lainnya. Tekstur granular ini dapat tersusun dari satu mineral atau beberapa mineral yang terdapat dalam batuan, dimana terjadi endapan mineral secara bersamaan (Ramdohr, 1969). Tekstur inklusi dapat diamati pada gambar 4.7c, yaitu adanya inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit. Tekstur inklusi mempunyai karakteristik yaitu tergantung pada keadaan pembentukan inklusi serta mineral induknya. Inklusi yang terjadi dapat berupa butiran mineral yang terperangkap selama pertumbuhan Meilani Magdalena/12005066 49

mineral induk atau beberapa sisa dari mineral yang telah terbentuk terlebih dahulu dan kemudian diganti oleh mineral induk. Mineral inklusi terbentuk lebih dahulu daripada mineral induk (Ramdohr, 1969). Tekstur intergrowth atau tumbuh bersama dapat kita amati antara mineral kalkopirit dengan pirit dan antara mineral kovelit, kalkosit, dan digenit. Pada gambar 4.7d terlihat tekstur tumbuh bersama antara kalkopirit dengan pirit. Tekstur intergrowth terjadi akibat perubahan temperatur yang tinggi serta pengaruh dari jenis mineral yang menyebabkan terjadinya penyimpangan struktur kristalografi atau dengan kata lain susunannya tidak beraturan (Ramdohr, 1969). Gambar 4.7. Tekstur yang teramati pada analisis sayatan poles : (a) tekstur replacement magnetit oleh hematit (conto M45); (b) tekstur replacement kalkopirit oleh bornit, serta replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit (conto M11); (c) tekstur granular antara kalkopirit dan pirit, serta terdapat inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit (conto M45). (d) tekstur intergrowth pirit dengan kalkopirit (conto M45). Meilani Magdalena/12005066 50

4.5 Paragenesa Mineral Bijih Daerah Penelitian Kriteria yang digunakan untuk mendeterminasi paragenesis mineralmineral hipogen dan supergen adalah bentuk individu kristal dan sifat kontak antar butiran yang berdampingan (Craigh dan Vaughan, 1981). Berdasarkan hasil pengamatan mineragrafi berupa tekstur (bentuk individu kristal dan sifat kontak antar butiran yang berdampingan) maka dapat diurutkan pembentukan mineral bijih. Berikut ini merupakan urutan pembentukan mineral bijih pada daerah penelitian berdasarkan pengamatan mineragrafi. Mineral bijih yang hadir dari analisis mineragrafi adalah magnetit, hematit kalkopirit, pirit, bornit, kovelit, kalkosit, dan digenit. Urutan pembentukan mineral bijih berdasarkan pengamatan tekstur yaitu diawali dengan kristalisasi magnetit yang terbentuk pada temperatur diatas 1000º C (Craigh dan Vaughan, 1981). Sebagian besar magnetit tersebar secara acak (disseminated) pada batuan (Gambar 4.8a). Pada gambar 4.8b teramati tekstur replacement yaitu mineral magnetit yang digantikan oleh hematit. Hal ini menunjukkan magnetit hadir sebelum hematit. Pembentukkan hematit selanjutnya diikuti dengan pembentukan kalkopirit bersama dengan pirit. Adanya inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit menunjukkan hematit terbentuk sebelum kalkopirit dan pirit. (Gambar 4.8c). Kehadiran kalkopirit yang pada umumnya mengisi celah/rekahan diantara pirit (Gambar 4.8d) menunjukkan kehadiran kalkopirit relatif tidak lama setelah pirit. Namun, pada beberapa tempat dijumpai adanya tekstur granular yang mencerminkan hubungan mineral dimana antar butiran kalkopirit dan pirit tidak saling menembus satu sama lainnya (Gambar 4.8c). Hal ini menunjukkan kalkopirit dan pirit terbentuk secara bersamaan (Ramdohr, 1969). Pada gambar 4.8e dan gambar 4.8f terlihat tekstur replacement kalkopirit oleh bornit dan dilanjutkan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit. Maka dapat diperkirakan bahwa bornit hadir setelah kalkopirit dan kemudian pada tahap akhir kovelit, kalkosit, dan digenit hadir menggantikan kalkopirit dan bornit. Berdasarkan pengamatan tekstur mineral bijih, dapat diketahui tahapan pembentukan mineral bijih di daerah penelitian yang dapat dilihat pada tabel 4.2. Meilani Magdalena/12005066 51

Gambar 4.8. (a) Magnetit hadir tersebar pada batuan. (b) Replacement magnetit oleh hematit menunjukan kehadiran magnetit sebelum hematit; kalkopirit digantikan hampir seluruhnya oleh bornit menunjukkan bornit terbentuk setelah kalkopirit. (c) Inklusi hematit pada kalkopirit dan pirit menunjukkan kalkopirit dan pirit hadir setelah hematit; tekstur granular pada kalkopirit dan pirit menunjukkan kalkopirit dan pirit tumbuh bersama (intergrowth). (d) Kalkopirit hadir mengisi celah/rekahan (open space filling) di antara pirit. (e) Replacement kalkopirit oleh bornit, kalkosit, dan digenit menunjukkan kalkopirit hadir sebelum bornit, kalkosit, dan digenit. (f) Replacement kalkopirit oleh bornit yang dilanjutkan dengan replacement bornit oleh kovelit, kalkosit, dan digenit, menunjukkan kovelit, kalkosit, dan digenit hadir setelah kalkopirit dan bornit. Meilani Magdalena/12005066 52

Tabel 4.2. Tahapan pembentukan mineral bijih di daerah penelitian. Mineral Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Magnetit Hematit Pirit Kalkopirit Bornit Kovelit Kalkosit Digenit Tahap pembentukan mineral bijih apabila diasosiasikan dengan mineralmineral penciri alterasi hidrotermal di daerah penelitian dapat di lihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Tahap pembentukan mineral alterasi hidrotermal dan mineral bijih di daerah penelitian. Meilani Magdalena/12005066 53