BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran penting di sektor pertanian, khususnya sub sektor perkebunan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai bahan pangan sumber kalori yang menempati urutan ke-4 setelah padi-padian, pangan hewani, minyak dan lemak dengan pangsa pasar sebesar 6,7 % (Sugiyanto, 2007). Permintaan gula secara nasional akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman serta adanya dukungan kondisi agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja menjadikan Indonesia potensial sebagai produsen gula dunia. Tabel 1.1 Produksi, Konsumsi dan Impor Gula, 2005-2013 Tahun Produksi (ton) Konsumsi (ton) Impor (ton) 2005 2.241.742 3.057.536 1.980.487 2006 2.307.027 3.760.000 1.405.942 2007 2.448.143 3.750.067 2.972.788 2008 2.668.429 3.508.000 983.944 2009 2.299.503 4.850.109 1.373.546 2010 2.214.489 4.289.000 2.300.089 2011 2.228.259 4.670.770 2.060.000 2012 2.591.687 5.200.000 2.350.000 2013 *) 2.762.477 5.516.470 2.260.000 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2013 Keterangan: *) Angka Sementara 1
2 Industri gula merupakan salah satu pilar pengerak ekonomi nasional. Kebutuhan gula nasional Indonesia terus mengalami peningkatan dan mencapai angka 5,5 juta ton pada tahun 2013 seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.1, sementara realitas tingkat produksi yang tercapai hanya sekitar 2,3 juta ton pada tahun 2013 seperti yang ditunjukkan pada tabel 1.2. Tabel 1.2 Perkembangan Luas Areal Giling, Produksi Tebu, Rendemen, dan Produksi Gula Tahun 2003 2013 Tabel 1.2 juga menunjukkan kondisi produksi selama 10 tahun terakhir yang meningkat secara signifikan namun dengan produktivitas gula yang relatif tidak berubah, bahkan masih berada di bawah tingkat konsumsi nasional (Gambar 1.1). Hal itu merupakan suatu kemunduran bagi bangsa Indonesia karena pada tahun 1984 1995 tingkat produksi gula nasional Indonesia mampu melebihi tingkat kebutuhan gula nasional.
3 Sumber: Pakpahan, 2008 Gambar 1.1 Grafik Produksi dan Kebutuhan Gula Indonesia Tahun 1984-2008 Dampak dari kekurangan gula nasional ini adalah dilakukannya impor gula. Saat ini Indonesia telah menjadi importir gula terbesar di Asia, dan terbesar ke-2 di dunia setelah Rusia (Nainggolan, 2007). Impor gula sebagian besar berasal dari Brazil, Thailand, Uni Eropa, Korea, Malaysia, Australia, dan Afrika Selatan. Hal ini merupakan permasalahan besar yang dihadapi bangsa Indonesia melihat luas areal produksi tebu yang terus meningkat namun impor gula masih mengalami peningkatan. Padahal pamor Indonesia pernah menjadi negara pengekspor gula terbesar ke-2 di dunia pada sekitar tahun 1930, namun berangsur-angsur menurun menjadi negara importir gula. Kondisi pada gambar 1.1 menunjukkan bahwa jumlah produksi gula harus ditingkatkan kembali dengan mencari penyebab menurunnya produksi gula dan memperbaiki faktor-faktor yang terkait dalam produksi gula, yang
4 biasanya dituliskan dalam bentuk 5M. 5M adalah istilah yang merujuk pada faktor produksi utama yang dibutuhkan oleh perusahaan agar dapat beroperasi secara maksimal. Dari kelima faktor tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Adapun 5M meliputi: a) Man: manusia sebagai tenaga kerja b) Machine: mesin sebagai fasilitas operasional produksi c) Money: uang sebagai modal untuk pembiayaan kegiatan perusahaan d) Method: metode pelaksanaan kegiatan perusahaan e) Material: bahan baku untuk diolah hingga menjadi produk akhir Menurunnya tingkat produksi gula disebabkan berbagai permasalahan hampir meliputi seluruh hierarki, mulai dari sektor perkebunan, proses pengolahan di pabrik gula, dan kebijakan gula. Permasalahan yang terjadi pada tingkat perkebunan akan menimbulkan permasalahan pada tingkat pabrik dan sebaliknya sehingga untuk dapat meningkatkan produksi gula, perbaikan yang dilakukan tidak hanya di perkebunan atau pabrik saja, tetapi harus dilakukan dari perkebunan sampai ke pabrik (Sriwarna, 2007). PG Madukismo merupakan pabrik gula yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perusahaan ini mempunyai sistem pengolahan secara otomatis dengan mesin sehingga sebagian besar terdiri dari mesin daripada tenaga kerja manusia. Perbaikan dan pengawasan kinerja mesin sering dilakukan agar tidak terjadi kerugian perusahaan akibat kerja mesin yang tidak optimal. Namun terkadang perbaikan mesin justru menjadi pembiayaan tertinggi bagi perusahaan akibat perbaikan yang dilakukan tak mendasar sampai ke
5 permasalahan sesungguhnya. Pabrik gula beroperasi secara kontinyu 24 jam per hari selama kurang lebih 150 hari. Menjaga kelancaran giling pada kapasitas optimal merupakan keharusan dalam menjaga agar kehilangan zat gula di pabrik minimal. Prasyarat ini memang berat karena kondisi mesin yang sebagian besar sudah tua. Permasalahan yang sering muncul di pabrik gula adalah mengenai kondisi mesin yang sering mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan jam berhenti giling pabrik tinggi (Sriwarna, 2007). Adanya jam berhenti giling (downtime) pabrik yang tidak sesuai dengan perencanaan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada tebu yang sudah ditebang, yaitu penurunan kadar gula dalam tebu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan pemeliharaan mesin agar downtime dapat dihindari. Pada musim giling 2013 jumlah downtime yang disebabkan oleh faktor mesin di stasiun penggilingan PG Madukismo cenderung mengalami peningkatan dibandingkan downtime pada musim giling 2012. Selama 3 bulan terakhir pada musim giling 2013, downtime juga terlihat melebihi persentase standar yang ditetapkan perusahaan (Gambar 1.2). Adapun standar downtime akumulasi beberapa mesin pada stasiun penggilingan tahun 2012-2013 menurut pimpinan departemen Instalasi PG Madukismo adalah sebesar 1 %. Kondisi ini mempengaruhi efektivitas mesin dalam pencapaian output dan tingkat kualitas produksi.
6 Downtime yang Disebabkan oleh Faktor Mesin pada Stasiun Penggilingan PG Madukismo Tahun 2012-2013 Persentase (%) 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Mei Juni Juli Agustus September Oktober November 2012 0,19 1,08 0,58 0,17 0,14 0,74 0,14 2013 1,42 0,53 0,24 0,56 1,33 1,57 1,23 Standar 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 Sumber: Departemen Instalasi PG Madukismo, 2014 Gambar 1.2. Grafik Persentase Downtime yang disebabkan oleh Faktor Mesin pada Stasiun Penggilingan PG Madukismo Tahun 2012 2013 Departemen Instalasi PG Madukismo selalu berusaha dan fokus untuk mengurangi downtime yang terjadi dalam proses produksi yaitu dengan cara manajemen perawatan. Perawatan mesin PG Madukismo yang telah dilakukan selama ini terbagi menjadi Preventive Maintenance dan Breakdown. Alasan dipilihnya metode Overall Equipment Effectiveness (OEE) pada penelitian ini adalah karena tepat untuk digunakan dalam pengukuran stabilitas proses produksi melalui pengukuran efektivitas mesin pada setiap periode masa giling. Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target output (waktu, kuantitas, kualitas) telah dicapai. Selain itu, metode OEE mencakup ketiga target output tersebut sejenis dengan tiga komponen utama yang terdapat pada metode OEE, yaitu meliputi availability, performance, dan quality. Ketiga komponen tersebut mencakup seluruh
7 pokok permasalahan yang dapat mempengaruhi seberapa banyak produk dapat dihasilkan oleh peralatan dan operator sistem yang digunakan. Sedangkan metode lain seperti Overall Recovery hanya terbatas pada pengukuran efisiensi ditinjau dari segi kualitas, dan metode Data Envelopment Analysis tidak diperoleh penjelasannya secara lengkap. Kelemahan metode OEE adalah tidak mampu mengukur efektivitas mesin secara kualitatif sehingga masih diperlukan tools lain pada penelitian ini yaitu diagram sebab-akibat. Williamson (2006) menjelaskan keandalan OEE dengan kemampuannya mengukur efektivitas secara total (complete, inclusive, whole) dari kinerja suatu peralatan dalam melakukan suatu pekerjaan yang sudah direncanakan, dan diukur dari data aktual terkait dengan availability, performance efficiency, dan quality of product. Informasi dari OEE digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan penyebab dari rendah atau tingginya kinerja suatu peralatan. OEE adalah pengukuran dasar dari TPM untuk mengevaluasi seberapa capaian performansi mesin. Standar nilai OEE (world class) adalah sebesar 85,4 %, dengan nilai availability adalah 90 %, performance rate adalah 95 %, dan quality rate adalah 99,9 %. Dengan mengetahui efektivitas mesin melalui pengukuran nilai OEE, maka selalu dapat dilakukan improvement terhadap sistem perawatan (Dal et al, 2000). Stasiun penggilingan dipilih dalam penelitian ini karena proses pada stasiun ini dinilai kritis dan paling berpengaruh terhadap pencapaian kualitas
8 dan kuantitas produk gula, serta stasiun ini menjadi penyebab nomor satu terjadinya jam berhenti dalam. Kondisi mesin pada stasiun penggilingan ini sudah usang karena didatangkan sejak tahun 1955 dari Jerman. Proses yang terjadi di stasiun penggilingan PG Madukismo meliputi proses pengecilan ukuran serta pemisahan ampas dan nira dari batang tebu. Stasiun penggilingan terdiri dari meja tebu, cane carrier I, cane carrier II, unigrator, cane carrier III, 5 unit mesin giling di mana setiap unit terdiri dari rol atas, rol muka, rol belakang, feeding roll, dan intermediate carrier. Tenaga penggerak unit giling adalah turbin uap. Dengan demikian penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas mesin di stasiun penggilingan menggunakan metode OEE serta menghasilkan solusi terbaik dalam perencanaan peningkatan efektivitas mesin. 1.2 Rumusan Masalah a. Permasalahan yang sering muncul di pabrik gula adalah mengenai kondisi mesin yang sudah usang dan sering mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan jam berhenti giling tinggi. b. Persentase downtime yang disebabkan oleh faktor mesin di stasiun penggilingan PG Madukismo pada tahun 2013 cenderung mengalami peningkatan dibandingkan pada tahun 2012. Pada 3 bulan terakhir tahun 2013, downtime melebihi standar yang telah ditetapkan perusahaan. Hal itu dapat mempengaruhi pencapaian kualitas dan kuantitas output.
9 1.3 Batasan Masalah a. Penelitian mencakup seluruh mesin di stasiun penggilingan tebu. b. Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu pada bulan Mei hingga November 2014. c. Pengukuran efektivitas mesin menggunakan metode Overall Equipment Effectiveness. d. Penelitian tidak membahas mengenai implementasi TPM. e. Penelitian tidak meliputi perhitungan biaya. 1.4 Tujuan Penelitian a. Melakukan pengukuran efektivitas mesin pada stasiun penggilingan tebu. b. Menganalisis faktor yang mempengaruhi nilai efektivitas mesin. 1.5 Manfaat Penelitian a. Mengetahui tingkat efektivitas mesin pada stasiun penggilingan di PG Madukismo dan mengetahui faktor yang mempengaruhi efektivitas mesin. b. Mengetahui kinerja mesin sebagai dasar perbaikan proses di stasiun penggilingan. c. Menjadi masukan bagi perusahaan dalam menyusun rencana peningkatan produktivitas dan efisiensi mesin dengan memaksimalkan efektivitas penggunaan mesin. d. Memperoleh pengalaman untuk dapat memecahkan masalah mengenai perawatan mesin yang ada di perusahaan dengan menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama menjalani perkuliahan.