BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Era global dikenal juga dengan istilah era informasi, dimana informasi telah

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan oleh pemerintah dan / atau masyarakat (UU No.36, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERAN APOTEKER DI DALAM PENGELOLAAN OBAT DAN ALKES DI INSTALASI FARMASI PROVINSI, KABUPATEN/ KOTA. Hardiah Djuliani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Sekretaris Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data hasil wawancara mengenai perencanaan obat di Instalasi Farmasi RSUD Pohuwato HASIL WAWANCARA

No.1414, 2014 BNPB. Pergudangan. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PERGUDANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan

DWI UTAMI NUGRAHANI NAFTANI CHANDRA DINI AISYAH RIZQI MUFIDAH MUTIA FARIDA A.

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2007 NOMOR 2 SERI E

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Kebijakan Obat dan Pelayanan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai kebutuhan. Untuk itu

EVALUASI KESESUAIAN PENGELOLAAN OBAT PADA PUSKESMAS DENGAN STANDAR PENGELOLAAN OBAT YANG ADA DI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

nasional. Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa

KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS) Kepmenkes No 189/Menkes/SK/III/2006

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

DEKONSENTRASI & DANA ALOKASI KHUSUS: STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Pendapatan JUMLAH PENDAPATAN Belanja Pegawai Belanja Tidak Langsung

1. Apakah puskesmas telah memiliki tenaga Apoteker? 2. Apakah Puskesmas juga memiliki tenaga teknisi

RENJA BAGIAN PERTANAHAN TAHUN 2015 (REVIEW)

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN GUBERNUR GORONTALO NOMOR 34 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DEKONSENTRASI & DANA ALOKASI KHUSUS: STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN PROGRAM KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas menurut Permenkes No. 75 tahun 2014 adalah fasilitas

L A P O R A N K I N E R J A

MANAGEMEN FARMASI RUMAH SAKIT. Oleh : Dra. Hj. Deswinar Darwin, Apt.,SpFRS

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

2017, No telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. harus memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan

2016, No perkembangan kebutuhan implementasi penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gudang merupakan sarana pendukung kegiatan produksi industri farmasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ( DPA SKPD ) TAHUN ANGGARAN 2016 BELANJA LANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengambilan data ini di lakukan mulai tanggal 6 Januari 2012 sampai 20

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

FORMAT KETERSEDIAAN OBAT DAN RENCANA KEBUTUHAN OBAT 2017 KABUPATEN/KOTA PEMAKAIAN RATA-RATA PER BULAN SELAMA 2016 SISA STOK PER 30 SEPT 2016

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT

Assalamualaikum Warokhmatullahi Wabarokatuh

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 128 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dengan tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya5.

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

B A B V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGANTAR. Soreang, Januari 2015 KEPALA BAGIAN UMUM. DIAN WARDIANA, S.IP, M.Si, MP Pembina NIP

BAB I PENDAHULUAN manajemen upaya kesehatan manajemen kesehatan

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

KEBIJAKAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN dan JAMINAN KETERSEDIAAN OBAT melalui E-KATALOG

PENGELOLAAN OBAT DI PUSKESMAS

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Umum Identifikasi Masalah

KABUPATEN BULELENG LAPORAN KETERANGAN PERTANGGUNGJAWABAN AKHIR TAHUN 2017 DINAS STATISTIK KABUPATEN BULELENG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS KESEHATAN KABUPATEN LANDAK

DAFTAR INFORMASI PUBLIK DINAS KEARSIPAN DAN PERPUSTAKAAN PROV. KEP. BANGKA BELITUNG TAHUN 2017 INFORMASI INFORMASI YANG DIUMUMKAN SECARA BERKALA

PEMERINTAH KABUPATEN PEKALONGAN

BAB VII PENUTUP. Kabupaten Solok Selatan diketahui berdasarkan komponen input :

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan terdepan sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

INTISARI STUDI EVALUASI PENGELOLAAN PENYIMPANAN OBAT DI UPTD GUDANG FARMASI DINAS KESEHATAN KOTAWARINGIN TIMUR

Penyimpanan Obat. Standar penyimpanan obat yang sering di gunakan adalah sebagai berikut :

CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL DAERAH PROVINSI BANTEN

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 13 TAHUN 2008 SERI : D NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kebijakan Peningkatan Pembinaan Produksi dan Distribusi Kefarmasian

SKPD : DINAS PENDAPATAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2005 TENTANG

Pendapatan

Perencanaan. Pengadaan. Penggunaan. Dukungan Manajemen

BUPATI SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA PEKALONGAN TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 6 TAHUN 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional. Dalam undang-undang Kesehatan No. UU Nomor 36 Tahun 2009

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 03 TAHUN 2005 TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TARAKAN

Rencana Umum Pengadaan

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PRIORITAS DAERAH TAHUN 2018 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Program pembangunan kesehatan nasional mencakup lima aspek Pelayanan

PEDAGANG BESAR FARMASI. OLEH REZQI HANDAYANI, M.P.H., Apt

BAB II GAMBARAN UMUM KECAMATAN GEDEBAGE KOTA BANDUNG 2.1. TUGAS POKOK, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan di bidang obat antara lain bertujuan untuk menjamin tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan dengan mutu terjamin, tersebar secara merata dan teratur, sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat. Untuk mencapai tujuan tersebut biaya pengadaan obat merupakan salah satu komponen terpenting dan terbesar dalam pembangunan kesehatan. Beberapa survey yang dilakukan di Indonesia menunjukkan sekitar 3-4% dari dana alokasi pembangunan kesehatan dialokasikan untuk pengadaan obat. Penerapan Undang - Undang nomor 32 tahun 4 tentang Otonomi daerah membawa implikasi terhadap organisasi kesehatan baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Demikian pula halnya dengan organisasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, bila sebelumnya di seluruh Kabupaten/Kota terdapat Gudang Farmasi, maka dengan diserahkannya Gudang Farmasi kepada pemerintah daerah, organisasi tersebut tidak selalu eksis di setiap Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota yang masih mempertahankan Gudang Farmasi Kabupaten (GFK), minimal pengelolaan obat berjalan sebagaimana semula. Dalam artian ada penanggung jawab, personal terlatih, sistem pengelolaan obat, sarana baik gedung, komputer maupun kendaraan roda empat. Berbeda dengan Kabupaten/Kota yang melikuidasi Gudang Farmasi, kemungkinan pengelolaan obat tidak berjalan sebagaimana mestinya relatif lebih besar dibanding dengan adanya Gudang Farmasi Kab/Kota (GFK), karena personal terlatih di pindah tugaskan, sarana diubah peruntukkannya, mekanisme pengelolaan obat tidak sesuai dengan standar yang berlaku. 1

Agar pengelolaan obat sesuai dengan tujuan di atas, maka perlu dilakukan bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan secara terus menerus yang berdampak terhadap semakin baik dan efisien pelayanan kesehatan dasar, terutama pelayanan obat, sehingga masyarakat pengguna jasa kesehatan akan mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan standar yang ditetapkan. B. Tujuan 1. Agar diperoleh gambaran mengenai pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan SDM pengelola obat 2. Sebagai bahan untuk penentu kebijakan dalam rangka menetapkan langkah-langkah yang akan dilakukan di masa yang akan datang. C. Sasaran Kegiatan Pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di 33 Provinsi yang masing-masing diwakili oleh dua Kabupaten/Kota, dilihat dari aspek SOTK, SDM, Sarana Prasarana, Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, dan Anggaran Belanja Obat. 2

BAB II GAMBARAN UMUM Sejak berlakunya otonomi daerah tahun 1 tentang kebijakan desentralisasi berimplikasi terhadap jumlah propinsi dan kabupaten/kota. Pada tahun 7 secara administratif wilayah Indonesia terdiri atas 33 Propinsi, 47 Kabupaten/Kota. Adapun gambaran umum yang akan diuraikan adalah mengenai Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang dikelompokkan dalam tiga wilayah yaitu wilayah barat, tengah, dan timur. Sebelum penerapan UU No. 22, di Kabupaten/Kota telah berdiri Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK) yang berfungsi sebagai pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan di masing-masing Kabupaten/Kota. Pengelolaan obat merupakan salah satu pendukung penting dalam pelayanan kesehatan. Demikian juga halnya pengelolaan obat di pelayanan kesehatan dasar mempunyai peran sangat signifikan dalam pelayanan kesehatan di puskesmas. Oleh karena itu pengembangan dan penyempurnaan pengelolaan obat di kabupaten/kota harus dilakukan secara terus menerus. Hal ini perlu dilakukan agar dapat mendukung kualitas pelayanan kesehatan dasar. Perbaikan secara menyeluruh di semua aspek pelayanan kesehatan dasar diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Salah satu bentuk perbaikan pada pengelolaan obat adalah dengan melakukan penilaian terhadap apa yang sudah dilaksanakan. Aspek yang dinilai meliputi : sumber daya manusia, proses pengelolaan serta sarana dan prasarana. Agar penilaian pengelolaan obat di kabupaten/kota dapat terukur, diperlukan adanya instrumen. Instrumen yang dikembangkan ini merupakan salah satu upaya agar dapat membantu Kabupaten/Kota maupun provinsi mengetahui kondisi pengelolaan obat di masing-masing kabupaten/kota. 3

Penilaian menggunakan instrumen Stratifikasi Instalasi Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, dengan pembagian strata : 1. Strata A dengan nilai 86-2. Strata B dengan nilai 71 85 3. Strata C dengan nilai 56 7 4. Strata D dengan nilai kurang dari 55 Indikator yang digunakan untuk melakukan penilaian yaitu: A. Sumber Daya Manusia a. Penanggungjawab Instalasi Farmasi b. Ketenagaan c. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia B. Sarana dan Prasarana a. Luas Tanah b. Luas Gedung c. Status Gedung d. Sarana Perlengkapan Penyimpanan e. Sarana Pengolahan Data f. Sarana Transportasi g. Sarana Pengamanan h. Peralatan Komunikasi C. Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan a. Perencanaan b. Pengadaan c. Penyimpanan d. Pendistribusian e. Pengendalian Penggunaan f. Pencatatan dan Pelaporan g. Monitoring dan Evaluasi 4

BAB III PEMBAHASAN A. STRUKTUR ORGANISASI PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Penerapan Undang - Undang nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU 32/4 tentang Pemerintahan Daerah membawa pengaruh terhadap bentuk organisasi kesehatan di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebelum penerapan Otonomi Daerah seluruh Kabupaten/Kota mempunyai organisasi pengelolaan obat yang disebut GFK. Dengan adanya PP Nomor 41 Tahun 7 Organisasi Perangkat Daerah diharapkan organisasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sudah berbentuk UPT. Namun, saat ini bentuk organisasinya masih sangat beragam mulai dari seksi, UPTD, GFK, Instalasi dan sebagainya. Untuk lebih meningkatkan keberadaan gudang farmasi Kabupaten/Kota dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, di dalam KONAS tahun 5 disebutkan bahwa keberadaan gudang farmasi Kabupaten/Kota dirubah namanya menjadi Instalasi Farmasi Kabupaten Kota ( IFK ). Kebijakan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/Kota dipusatkan pada Unit Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang lebih dikenal dengan one gate policy drug supply management. Adapun fungsi yang harus dijalankan meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan pelaporan, dan evaluasi yang terintegrasi dengan unit kerja terkait. Kebijakan ini didasarkan kepada efisiensi, efektivitas dan profesionalisme. Pengelolaan mencakup seluruh obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari semua sumber anggaran dan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan di masingmasing Kabupaten/Kota. 5

Di dalam pembentukan organisasi kesehatan di daerah perlu dipertimbangkan keberadaan, kapasitas serta kesiapan dalam merumuskan/ melaksanakan kebijakan kesehatan. Organisasi tersebut juga harus mampu membuat perencanaan operasional, serta mengembangkan berbagai inisiatif baru untuk menyelaraskan visi segenap komponen bangsa mengenai Indonesia Sehat dengan prioritas kegiatan pokok pembangunan kesehatan di daerah. Untuk tugas dan fungsi unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan dapat mengacu kepada SK Menkes RI No. 6/Men.Kes./S.K/XI/81 tahun 1981. tentang Organisasi dan Tata Kerja Gudang Perbekalan Kesehatan di Bidang Farmasi di Kabupaten/Kota, sementara untuk kedudukan organisasi yang akan dibentuk disesuaikan dengan keperluan dalam rangka pelaksanaan salah satu bidang tugas untuk menunjang tugas pokok induknya. Struktur Organisasi UPTD, 33, 49% Lain-lain, 2, 3% Sie Farmasi, 32, 48% Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa dari 67 (enam puluh tujuh) kab/kota di 33 provinsi yang diberikan bimbingan teknis sebanyak 33 (tiga puluh tiga) kab/kota sudah dalam bentuk UPTD, 32 (tiga puluh dua) dalam bentuk seksi farmasi dan 2 (dua) kab/kota dalam bentuk lain-lain. 6

B. SUMBER DAYA MANUSIA PENGELOLA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Pada UU No. 23 tahun 1992 pasal 63 tentang Kesehatan, dijelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 1. PENANGGUNG JAWAB Penanggungjawab IFK AA/SMF, 9, 13% Tenaga Kes Lain, 3, 4% Lain-lain, 3, 4% D-3 Farmasi, 3, 4% S-1 Farmasi, 1, 1% Apoteker, 51, 74% Dari diagram dapat dilihat bahwa Instalasi Farmasi pada 67 Kabupaten/Kota di 33 Propinsi sebagian besar sudah dikelola oleh Apoteker sebagai penanggung jawabnya (51 kabupaten/kota). Hal ini sudah cukup baik mengingat Instalasi Farmasi di Kabupaten/Kota sebagian besar sudah dikelola oleh apoteker yang sesuai dengan keahliannya. 7

2. KETENAGAAN Ketenagaan Jumlah Kabupaten/Kota 7 6 5 4 3 6 9 Apoteker S-1 Farmasi 34 D-3 Farmasi 46 AA/SMF 1 1 Tenaga Kes Lain Lain-lain Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 67 Kabupaten/Kota, 6 Kabupaten/Kota memiliki apoteker, 46 Kabupaten/Kota memiliki AA/SMF, 34 Kabupaten/Kota memiliki D3 Farmasi, 9 Kabupaten/Kota memiliki S1 Farmasi dan 1 Kabupaten/Kota memiliki Tenaga Kesehatan Lain dan Lain-lain. 3. PENINGKATAN KAPASITAS SUMBER DAYA MANUSIA Peningkatan Kapasitas SDM 25 Jumlah Kabupaten / Kota 15 5 PENGELOLAAN OBAT DAN PERBEKKES 5 PENGELOLAAN OBAT PUSKESMAS 12 PPOT SOFT-WARE KETERSEDIAAN OBAT 8

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 67 Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota telah mengikuti pelatihan pengelolaan obat dan perbekkes, 12 Kabupaten/Kota telah mengikuti pelatihan perencanaan pengelolaan obat terpadu (PPOT), Kabupaten/Kota telah mengikuti pelatihan software ketersediaan obat dan 5 Kabupaten/Kota telah mengikuti pelatihan pengelolaan di puskesmas. C. SARANA DAN PRASARANA PENYIMPANAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat-obatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Adapun tujuan penyimpanan antara lain adalah : Untuk memelihara mutu obat, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga kelangsungan persediaan dan memudahkan pencarian dan pengawasan. Untuk mendukung kegiatan tersebut perlu adanya sarana dan prasarana yang ada di Instalasi Farmasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut : 9

1. LUAS TANAH Luas Tanah Jumlah kab/kota 45 4 35 3 25 15 5 42 22 5 > 5 Luas Tanah (m2) Dari diagram diatas terlihat bahwa sebanyak 22 (dua puluh dua) kabupaten/kota memiliki luas tanah kurang dari 5 m 2, 42 (empat puluh dua) kabupaten kota memiliki luas tanah lebih dari 5 m 2. 2. LUAS GEDUNG Luas Bangunan Jumlah Kab/Kota 45 4 35 3 25 15 5 39 28 3 > 3 Luas Bangunan (m2)

Dari diagram diatas terlihat bahwa 39 (tiga puluh sembilan) kabupaten/kota memiliki luas bangunan kurang dari 3 m 2, dan hanya 28 (dua puluh delapan) Kabupaten/Kota sudah memiliki luas bangunan lebih dari 3 m 2. Luas tanah dan bangunan yang memadai berguna untuk kemudahan dan kelancaran dalam penyimpanan dan distribusi obat.. Ruang penyimpanan yang cukup luas mempermudah sirkulasi keluar masuk obat di ruang penyimpanan. Luasnya ruang penyimpanan obat dapat disesuaikan dengan jumlah anggaran obat yang ada. 3. STATUS GEDUNG Status Gedung Jumlah Kab/Kota 8 7 6 5 4 3 67 Milik Sendiri Sewa Sudah semua gedung Instalasi Farmasi kabupaten/kota memiliki status hak milik. Status kepemilikan gedung ini sangat penting bagi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk dapat mendesain/merenovasi sesuai dengan kebutuhannya. 11

4. PENGAMANAN Sarana pengamanan gedung sangat penting dimiliki oleh instalasi farmasi untuk menjaga obat dari pencurian dan bahaya kebakaran. Untuk jenis dan jumlah teralis disesuaikan dengan bentuk bangunan termasuk pintu, jendela dan plafon dengan spesifikasi terbuat dari bahan besi dengan ketebalan 12 mm, untuk jenis pagar dibuat kombinasi tembok yang terbuat dari bata merah, batako atau bahan lain yang cukup kuat dan kawat berduri atau kawat harmonika juga dapat digunakan pagar hidup dari tanaman yang mudah tumbuh dan mudah dipelihara serta mempunyai kerapatan yang dapat mencegah masuknya ternak dengan jumlah yang disesuaikan dengan luas tanah. Sedangkan untuk alat pemadam kebakaran selain digunakan jenis tabung CO2 juga dapat digunakan pasir dan karung. Sarana Pengamanan 6 56 5 47 46 Jumlah Kab/Kota 4 3 8 Alarm Teralis Pagar Pengaman Pemadam Kebakaran Dari diagram diatas terlihat bahwa instalasi farmasi di 33 propinsi pada 67 (enam puluh tujuh) kab/kota memiliki alarm sebanyak 8 (delapan) kab/kota, memiliki teralis sebanyak 56 (lima puluh enam) kab/kota, memiliki pagar pengamanan sebanyak 47 (empat puluh tujuh) kab/kota, serta 46 (empat puluh enam) kab/kota memiliki alat pemadam kebakaran. 12

5. PERLENGKAPAN PENYIMPANAN Kegiatan penyimpanan memegang peranan penting dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana penyimpanan yang memadai. Sirkulasi udara yang cukup sangat penting untuk menjaga mutu obat agar obat tidak mudah rusak oleh udara yang lembab atau terlalu panas untuk itu diperlukan juga ventilasi atau saluran udara yang memadai. Alat penunjang lainnya yang juga diperlukan di instalasi farmasi adalah generator yang digunakan sebagai pengganti apabila aliran listrik padam. Sarana Perlengkapan Penyimpanan Jumlah Kab/Kota 7 6 5 4 3 62 62 65 49 51 54 5 34 27 16 Rak Pallet Lemari Obat Lemari Narkotik & OKT Lemari Vaksin/Cold Chain Lemari Es Kereta Dorong Air Conditioner Exhaust Fan Kipas Angin Generator Pompa Air Dari gambar diatas terlihat bahwa Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang memiliki sarana penyimpanan obat seperti rak sudah dimiliki 62 (enam puluh dua) kab/kota, pallet sudah dimiliki oleh 62 (enam puluh dua) kab/kota, lemari obat dimiliki oleh 49 (empat puluh sembilan) kab/kota, lemari Narkotika & OKT dimiliki oleh 51 (lima puluh satu) kab/kota, lemari vaksin/cold Chain dimiliki oleh (dua puluh) kab/kota, pompa air dimiliki oleh (dua puluh) kab/kota, lemari es dimiliki oleh 65 (enam puluh lima) kab/kota, kereta dorong dimiliki oleh 5 (lima 13

puluh) kab/kota, air conditioner dimiliki oleh 54 (lima puluh empat) kab/kota. Sebanyak 16 (enam belas) kab/kota memiliki exhaust fan, sebanyak 34 (tiga puluh empat) kab/kota memiliki kipas angin, dan sebanyak 27 (dua puluh tujuh) kab/kota memiliki generator. 6. SARANA PENGOLAHAN DATA Sarana Pengolahan Data 7 6 62 6 Jumlah Kab/Kota 5 4 3 2 Komputer Laptop Software Printer Dari gambar di atas terlihat bahwa Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang memiliki sarana pengolahan data sebagai penunjang terlaksananya suatu kegiatan olah data seperti komputer dimiliki oleh 62 (enam puluh dua) kab/kota, Laptop dimiliki oleh 2 (dua) kab/kota, software dimiliki oleh (sepuluh) kab/kota dan Printer dimiliki oleh 6 (enam puluh) kab/kota Ini menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan data dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh sarana yang memadai. 14

7. SARANA TRANSPORTASI Sarana Transportasi 6 5 5 49 Jumlah Kab/Kota 4 3 Kendaraan Roda 4 Kendaraan Roda 2 Dari gambar diatas terlihat bahwa Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota yang memiliki kendaraan operasional roda 2 hanya sejumlah 49 (empat puluh sembilan) kabupaten/kota, yang telah memiliki kendaraan roda 4 sebanyak 5 (lima puluh) kabupaten/kota. Kendaraan tersebut sangat diperlukan oleh instalasi farmasi dalam menunjang kelancaran distribusi obat. 8. PERALATAN KOMUNIKASI Peralatan Komunikasi 4 38 Jumlah Kab/Kota 35 3 25 15 5 Telepon 18 Faksimil Sebagai penunjang terlaksananya suatu kegiatan perlu adanya sarana peralatan komunikasi, dari gambar di atas terlihat sudah 38 (tiga puluh delapan) kab/kota punya telepon dan sudah 18 (delapan belas) kabupaten/kota yang mempunyai faksimile. 15

Ini menunjukkan bahwa untuk kelancaran komunikasi memang masih terkendala pada instalasi farmasi terutama di pulau dan daerah terpencil. D. PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN 7 6 Pengelolaan Obat Publik dan Perbekkes 6 19 1 7 2 8 Jumlah Kab/Kota 5 4 3 6 47 66 64 58 62 56 Tidak Melakukan Melakukan Perencanaan Pengadaaan Penyimpanan Pendistribusian Penendalian Pengunaan Pencatatan Pelaporan Monitoring & Evaluasi Aspek Pengelolaan Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa instalasi farmasi telah melakukan pelaksanaan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di kab/kota dengan hasil yang terlihat pada diagram diatas, 6 kab/kota telah melaksanakan kegiatan perencanaan obat, 47 kab/kota telah melaksanakan kegiatan pengadaan obat, 66 kab/kota telah melaksanakan kegiatan penyimpanan obat, 64 kab/kota telah melaksanakan kegiatan pendistribusian obat, 58 kab/kota telah melaksanakan kegiatan pengendalian penggunaan obat, 62 kab/kota telah melaksanakan 16

kegiatan pencatatan dan pelaporan serta 56 kab/kota telah melaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi. E. ANGGARAN Keputusan Menkes RI No. 922/Menkes/SK/X/8 tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang terhadap penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota. Sumber anggaran obat di kab/kota dapat diambil dari dana APBD II (DAU), APBD I, Askes, Buffer stok kab/kota, atau dari sumber anggaran Program. Jumlah Kab/Kota 5 45 4 35 3 25 15 5 12 Anggaran per Kapita 3 4 < 5 5-9 > 9 Belum terealisasi Dalam rupiah 44 Dari hasil bimbingan teknis yang dilakukan pada 33 Propinsi di 67 kab/kota terlihat pada diagram bahwa anggaran APBD II di 12 (dua belas) kab/kota kurang dari Rp 5.,- per kapita, 3 (tiga) kab/kota Rp 5,- s/d Rp 9,- per kapita, 4 (empat) kab/kota 17

lebih dari Rp 9,- per kapita dan 48 (empat puluh delapan) kab/kota belum terealisasi. Besarnya anggaran pengadaan obat di Kab/kota bervariasi tergantung dari kemampuan Kab/Kota memenuhi kebutuhan obat untuk daerahnya masing-masing. F. HASIL STRATIFIKASI TERHADAP PENGELOLAAN OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN DI KABUPATEN/KOTA Strata Sarana & Prasarana Nilai D, 27, 39% Nilai A,, % Nilai B, 7, % Nilai C, 36, 51% Dari hasil uji petik pada 33 (tiga puluh tiga) Propinsi pada 67 (enam puluh tujuh) kab/kota penilaian aspek sarana & prasarana dapat dilihat pada diagram diatas, tidak ada satu kab/kota yang mempunyai nilai strata A, 7 (tujuh) kab/kota mempunyai nilai strata B, 36 (tiga puluh enam) kab/kota mempunyai nilai strata C dan 27 (dua puluh tujuh) kab/kota mempunyai nilai strata D. 18

Strata SDM Nilai A, 2, 3% Nilai B, 3, 4% Nilai C, 11, 15% Nilai D, 55, 78% Dari hasil uji petik pada 33 (tiga puluh tiga) Propinsi pada 67 (enam puluh tujuh) kab/kota penilaian aspek sumber daya manusia dapat dilihat pada diagram diatas, 2 (dua) kab/kota mempunyai nilai strata A, 3 (tiga) kab/kota mempunyai nilai strata B, 11 (sebelas) kab/kota mempunyai nilai strata C dan 55 (lima puluh lima) kab/kota mempunyai nilai strata D. Strata Pengelolaan Obat Kab/Kota Nilai C, 3, 4% Nilai D, 6, 9% Nilai B,, 14% Nilai A, 51, 73% Dari hasil uji petik pada 33 (tiga puluh tiga) Propinsi pada 67 (enam puluh tujuh) kab/kota penilaian aspek pengelolaan obat dapat dilihat pada diagram diatas, 51 (lima puluh satu) kab/kota yang mempunyai nilai strata A, (sepuluh) kab/kota mempunyai nilai strata B, 3 (tiga) kab/kota mempunyai nilai strata C dan 6 (enam) kab/kota mempunyai nilai strata D. 19

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil evaluasi data bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan pada 67 (enam puluh tujuh) Kabupaten/kota di 33 (tiga puluh tiga) Provinsi sudah melaksanakan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan dengan hasil sebagai berikut : 1. 1 Kab/Kota mempunyai nilai strata A 14 Kab/Kota mempunyai nilai strata B 44 Kab/Kota mempunyai nilai strata C 11 Kab/Kota mempunyai nilai strata D 2. Kriteria penilaian tersebut diatas berdasarkan buku Instrumen Stratifikasi Pengelolaan Obat Publik Dan Perbekalan Kesehatan, Depkes, Tahun 3 3. Masih ada beberapa kabupaten/kota yang nilai anggaran obatnya masih rendah (12 Kabupaten) dengan anggaran obat perkapitanya kurang dari Rp 5.,- B. Saran Umum: Agar Pemerintah Daerah lebih memperhatikan unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan dari segala aspek baik SDM, sarana dan prasarana maupun anggaran obat yang dibutuhkan dalam mengelola obat sehingga upaya untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan serta mutu obat dan perbekalan kesehatan secara terpadu dapat tercapai dalam rangka tercapainya derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Khusus Agar untuk kab/kota rutin melaksanakan pertemuan, pelatihan, monev dan bimtek untuk meningkatkan kompetensi tenaga pengelola obat serta meningkatkan pengawasan pada pengelolaan obat di pelayanan kesehatan dasar Agar pemerintah kab/kota meningkatkan alokasi dana pengadaan obatnya terutama yang masih rendah anggaran obat perkapitanya 21

BAB V PENUTUP Demikianlah hasil penilaian terhadap unit pengelola obat di 67 (enam puluh tujuh) kabupaten/kota pada 33 (tiga puluh tiga) Provinsi. Besar harapan laporan ini bermanfaat dalam menentukan langkah-langkah pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta dasar-dasar kebijakan di setiap daerah khususnya di 33 (tiga puluh tiga) Provinsi. Hasil penilaian sifatnya tidak mutlak karena keterbatasan informasi yang diterima. Untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan, mudahmudahan kedepannya nanti penyusunan profil akan lebih sempurna lagi. 22