KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

EVALUASI KINERJA PENINGKATAN KAPASITAS PENGOMPOSAN CAMPURAN BLOTONG, BAGAS, DAN ABU KETEL PRONIKA KRICELLA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

TINJAUAN PUSTAKA II.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

III. METODOLOGI PE ELITIA

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian

KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur analisis karakteristik kompos

Karakteristik Limbah Padat

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PENGARUH UKURAN BAHAN TERHADAP KOMPOS PADA PEMANFAATAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT (SLUDGE) PABRIK PULP DAN PAPER

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH RASIO C/N AWAL DAN LAJU AERASI PADA PROSES CO-COMPOSTING BLOTONG DAN ABU KETEL

TINJAUAN PUSTAKA. yang baik yaitu : sebagai tempat unsur hara, harus dapat memegang air yang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

Niken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahu, parameter yang berperan dalam komposting yang meliputi rasio C/N. ph. dan suhu selama komposting berlangsung.

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

KEMAMPUAN KOTORAN SAPI DAN EM4 UNTUK MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN NILAI EKONOMIS DALAM PENGOMPOSAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan 2. Alat

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANFAATAN SLUDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH AIR INDUSTRI PUPUK SEBAGAI BAHAN BAKU PUPUK KOMPOS

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI *

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

PROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

PENGOMPOSAN BLOTONG, BAGAS DAN ABU KETEL DARI INDUSTRI GULA DENGAN PERLAKUAN AERASI AKTIF DAN PERBEDAAN NILAI C/N AWAL

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Nur Rahmah Fithriyah

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FACTORS OF INITIAL C/N AND AERATION RATE IN CO-COMPOSTING PROCESS OF BAGASSE AND FILTER CAKE ABSTRACT

Bab V Hasil dan Pembahasan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan yang penting

MATERI DAN METODE. Materi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lima pasar tradisonal yang terdapat di Bandar

III. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

Transkripsi:

11 KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Peningkatan Kapasitas Proses Co-Composting Blotong dan Abu Ketel adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Elva Surya Al Ghifary NIM F34090103

13 ABSTRAK ELVA SURYA AL GHIFARY. Kajian Peningkatan Kapasitas Proses Co- Composting Blotong dan Abu Ketel. Dibimbing oleh ANDES ISMAYANA dan NASTITI SISWI INDRASTI. Penanganan blotong dan abu ketel dapat dilakukan dengan co-composting, dan untuk diaplikasikan dalam skala industri perlu dilakukan kajian terhadap kinerja co-composting pada kapasitas yang lebih besar. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji perbandingan kinerja proses pengomposan pada kapasitas besar dengan skala laboratorium sebagai acuan untuk aplikasi pengomposan skala industri. Parameter kinerja yang dikaji dalam peningkatan skala, meliputi kinetika penurunan C/N dan pengaruh aerasi selama 60 hari pengomposan. Peningkatan kapasitas dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pengomposan dari 5 kg menjadi 120 kg. Faktor yang dipertahankan dalam peningkatan kapasitas adalah kesebangunan geometri, laju aerasi sebesar 0.4 l/menit.kg dan nilai C/N awal 40. Hasil penelitian menunjukkan kondisi proses pengomposan pada skala 120 kg sama dengan pada skala 5 kg, dimana suhu yang terbentuk berada pada fase mesofilik, ph netral dan kadar air berada dalam kondisi optimun. Laju penurunan C/N yang dihasilkan pada kedua skala yang berbeda menunjukkan nilai yang hampir sama yaitu, 1,3675 /hari dengan rendemen sebesar 68,97% dan waktu perkiraan pengomposan selama 20 hari untuk skala 120 kg dan 21 hari untuk skala 5 kg. Disamping itu, aerasi selama pengomposan 120 kg tidak memberikan pengaruh pada laju penurunan C/N. Analisis finansial usaha pengomposan kapasitas industri dilihat dari B/C rasio sebesar 1,42 yang berarti dapat dijalankan. Kata kunci : co-composting, peningkatan kapasitas, blotong, abu ketel. ABSTRACT ELVA SURYA AL GHIFARY. Study of Capacity increasing on Co-composting process of filter cake and Boilers ash. Supervised by ANDES ISMAYANA and NASTITI SISWI INDRASTI. Co-composting at industrial scale can be applied for utilization of filter cake and boiler ash. For applying in industrial scale, study on composting performance in larger capacity was needed. The purpose of this research was to study the performance of composting process in large scale compared with laboratory scale as reference for industrial implementation. The parameters in scale increasing consist of the C/N decrease rate and the effect of aeration for 60 days of composting. Increased composting capacity was done by increasing the capacity of 5 kg to 120 kg. Constant factor in the increase in capacity is congruency geometry, aeration rate and the value of C/N beginning 40. The result showed that composting process at 120 kg scale was not different from 5 kg scale, in which the temperature formed in mesophilic phase, ph level was neutral and optimum moisture content. The rate of decrease C/N was, 1.3675 / day with yield of 68.97% and the estimated time of compost for 20 days. There was no effect of

14 aeration during compost of 120 kg at a rate of decrease C/N. B/C ratio in the analysis of business of industrial compost capacity was 1.42, that means it could be implemented. Key Word : co-composting, increased capacity, filter cake, boiler ash

15 KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING BLOTONG DAN ABU KETEL ELVA SURYA AL GHIFARY Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

16 Judul Skripsi : Kajian Peningkatan Kapasitas Proses Co-Composting Blotong dan Abu Ketel Nama : Elva Surya Al Ghifary NIM : F34090103 Disetujui oleh Ir. Andes Ismayana, M.T Pembimbing I Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Pembimbing II Diketahui oleh Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen Tanggal Lulus :

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah pengelolaan limbah padat gula, dengan judul Kajian Peningkatan Kapasitas Co- Composting Blotong-Abu Ketel. Pada Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Ir Andes Ismayana MT dan Ibu Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama masa studi hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Bapak Dr Prayoga Suryadarma STP MT selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam tugas akhir ini. 3. Bapak Yusno yang telah banyak membantu dalam administrasi pengadaan bahan baku penelitian berupa limbah padat blotong dan abu ketel. 4. Ibu Tri Sani dan Bapak Julius atas bimbinganya selama praktik lapangan di PT. Great Giant Pineapple. 5. Ayah dan ibu beserta keluarga atas kasih sayang dan do a. 6. Pronika, Subiyantoro selaku rekan kerja atas penelitian yang telah membantu dan memberikan dukungan. 7. Mba Fefi, Ipank, Sudrajat, Dziqi, luqman,oci beserta kelurga dersane Bogor yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penyelesaian tugas akhir. 8. Seluruh laboran dan teknisi Laboratorium Teknologi Industri Pertanian atas bantuan dan informasinya. 9. Seluruh keluarga besar Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB khususnya angkatan 46 atas dukungan dan motivasinya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2014 Elva Surya Al Ghifary

2 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 Ruang Lingkup Penelitian 3 METODE 4 Waktu dan Tempat 4 Bahan 4 Alat 4 Tahapan Penelitian 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Karakterisik Bahan Baku 6 Desain Kapasitas Reaktor Co-composting 7 Kondisi Proses Co-composting 9 Perubahan Nilai C/N rasio 15 Mutu Hasil Kompos 20 Neraca Masa dan Rendemen 21 Analisis Finansial 21 KESIMPULAN DAN SARAN 23 Simpulan 23 Saran 23

iv 3 DAFTAR TABEL 1 Kandungan abu ketel dan blotong 6 2 Dimensi Ukuran Reaktor pengomposan 8 3 Kecepatan Aliran Udara dan Kerapatan 9 4 Persamaan Eksponensial Nilai C/N rasio terhadap waktu 19 5 Rincian biaya penyusutan alat 22 6 Rincian Biaya Operasional 22 DAFTAR GAMBAR 1 Rangkaian sistem aerasi 5 2 Kesebangunan reaktor co-composting kapasitas 5 kg dan 120 kg 8 3 Perubahan suhu selama co-composting abu ketel dan blotong 10 4 Perubahan ph selama co-composting abu ketel dan blotong 12 5 Perubahan kadar air selama co-composting abu ketel dan blotong 13 6 Perubahan kadar Nitrat selama co-composting abu ketel dan blotong 14 7 Perubahan C organik selama co-composting abu ketel dan blotong 16 8 Perubahan Nitrogen selama co-composting abu ketel dan blotong 17 9 Perubahan nilai C/N selama co-composting abu ketel dan blotong 18 DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur analisis mutu kompos 26 2 Formulasi bahan kompos 28 3 Mutu hasil kompos berdasarkan SNI-19-7030-2004 29 4 Neraca massa co-composting kapasitas produksi 120 kg 30

2

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan produksi gula berdampak pada meningkatnya limbah padat gula berupa abu ketel dan blotong yang berpotensi sebagai pencemar di lingkungan. Salah satu upaya untuk mereduksi dampak pencemaran limbah tersebut adalah co-composting dengan produk yang dihasilkan adalah kompos, yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada perkebunan tebu. Penelitian skala laboratorium mengenai co-composting dengan metode aerated pile yang mengkombinasikan dua jenis bahan berupa blotong dan abu ketel telah dilakukan oleh Erica (2012). Erica (2012) menyatakan bahwa proses co-composting abu ketel dan blotong mencapai kondisi optimum pada nilai C/N awal 40 dengan pencapaian suhu mesofilik dan kondisi ph netral, serta menghasilkan produk kompos yang sesuai dengan standar (SNI 19-7030-2004) dengan nilai C/N akhir yang diperoleh sebesar 15,34. Hasil penelitian skala laboratorium yang dilakukan oleh Erica (2012) belum sepenuhnya dapat diterapkan langsung pada skala industri. Hal ini disebabkan dalam skala laboratorium, kondisi operasional pengomposan dapat dikendalikan dengan mudah dimana pada skala industri seringkali menjadi permasalahan. Oleh karena itu diperlukan kajian kondisi proses pengomposan dengan kapasitas lebih besar sebagai gambaran pengomposan skala industri. Parameter kinerja yang dikaji dalam pengomposan kapasitas besar terdiri atas kondisi proses, laju pengomposan, aerasi dan aspek finansial. Dengan membandingkan kinerja pengomposan kapasitas laboratorium dan pengomposan kapasitas besar, dapat diketahui gambaran kondisi pengomposan skala industri. Kajian peningkatan kapasitas proses pengomposan dilakukan juga untuk memperkirakan waktu pengomposan saat produk kompos mencapai kondisi matang. Hal tersebut ditunjukan melalui penentuan laju penurunan C/N selama pengomposan sampai mencapai nilai C/N sesuai standar. Waktu menjadi faktor penting dalam aplikasi industri, khususnya untuk analisis biaya dan penentuan proses pengomposan. Oleh karena itu kondisi proses yang berpengaruh terahadap waktu pengomposan, merupakan parameter utama yang dikaji dalam cocomposting dengan kapasitas yang lebih besar. Kondisi tersebut terdiri atas suhu, ph, kadar air dan kadar nitrat. Selain itu, kondisi proses pengomposan juga dipengaruhi oleh faktor aerasi. Aerasi pada tumpukan kompos memberikan pasokan aliran udara, khususnya pada pengomposan secara aerated pile (Yuwono 2005). Sehingga proses pengomposan dapat berjalan secara aerobik tanpa harus dilakukan pembalikan. Akan tetapi dengan penambahan aerasi aktif suplai udara pada tumpukan kompos akan semakain meningkat sehingga proses penguraian pada kompos dapat berjalan optimal dan waktu penguraian akan semakin lebih cepat. Menurut Liang et.al (2006) dan Guardia (2007) aerasi merupakan faktor yang memudahkan pengendalian proses penguraian pada pengomposan sehingga waktu proses penguraian kompos akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam peningkatan kapasitas pengomposan, evaluasi perlakuan aerasi aktif perlu di

2 lakukan untuk mengetahui apakah aerasi aktif yang diberikan memberikan pengaruh yang signifikan pada kondisi proses dan produk pengomposan. Peningkatan kapasitas proses pengomposan memudahkan didapatnya parameter-parameter proses pengomposan yang berhubungan dengan nilai ekonomi khususnya analisis finansial. Parameter tersebut meliputi rendemen dan waktu pengomposan. Oleh karena itu analisis finasial dalam peningkatan kapasitas pengomposan perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kelayakan dari sisi nilai ekonomi usaha dalam meningkatkan kapasitas pengomposan. Menurut Mulayadi (2005) parameter usaha dikatakan layak dari segi ekonomi adalah nilai rasio penerimaan dan biaya (B/C) yang lebih dari satu. Dengan demikian kajian kinerja proses co-composting pada kapasitas besar ini dapat dijadikan sebagai gambaran pada industri gula khususnya dalam pemilihan alternatif pengolahan limbah padat gula. Faktor-faktor yang telah diketahui yang berpengaruh terhadap kondisi pengomposan kapasitas besar serta kelayakan dari segi anailisis keuangan cukup untuk mengaplikasikan proses cocomposting blotong dan abu ketel pada skala industri. Rumusan Masalah Peningkatan kapasitas pengomposan (co-composting) sebagai upaya pengendalian pencemaran limbah padat gula dilakukan dengan mengacu pada kondisi optimum pengompson skala laboratorium hasil penelitian Erica (2012). Dalam peningkatan kapasitas pengomposan, kondisi proses merupakan permasalah utama yang menentukan produk kompos sesuai dengan standar mutu. Hal ini karena kapasitas bahan yang berbeda akan berpengaruh terhadap kondisi proses yang berbeda sehinga kualitas produk akhir yang dihasilkan akan berbeda pula. Kondisi tersebut tampak pada perubahan suhu, kadar nitrat, ph dan laju penurunan C/N. Oleh karena itu dalam peningkatan kapasitas pengomposan, kondisi proses harus dibuat tetap sama dengan kondisi laboratorium agar hasil yang diperoleh selama pengomposan sesuai dengan standar mutu pengomposan sebagaimana kualitas yang dihasilkan pada skala laboratorium. Dengan kondisi proses yang sama dalam peningkatan kapasitas pengomposan maka laju penurunan C/N dan waktu pengomposan yang dihasilkan untuk mencapai kondisi matang akan sama dengan kondisi laboratorium. Dalam peningkatan kapasitas pengomposan terdapat beberapa faktor yang dibuat tetap sama dengan pengomposan skala laboratorium. Faktor yang dibuat tetap sama adalah nilai C/N awal dan laju aerasi. Nilai C/N awal yang sama akan berpengaruh terhadap keseimbangan proporsi bahan co-composting, sehingga perbandingan proporsi bahan antara pengomposan kapasitas besar dengan kapasitas laboratorium relatif sama. Proposi bahan yang seimbang dengan ukuran partikel bahan yang sama akan berpengaruh terhadap kondisi pororitas atau kerapatan bahan pada tumpukan kompos (Yuwono 2002). Sehingga kondisi pororitas pada pengomposan kapasitas besar akan relatif sama dengan kondisi pororitas skala laboratorium. Sedangkan laju aerasi dalam peningkatan pengomposan akan berpengaruh terhadap banyaknya udara yang kontak dengan bahan. Udara yang berada pada kompos digunakan untuk proses metablosime mikroorganisme yang akan berdampak pada lamanya proses penguraian kompos. Menurut Yuwono (2002) laju udara merupakan faktor yang mempengaruhi

3 terhadap proses penguraian kompos secara aerobik. Dengan demikian besarnya nilai laju udara dan C/N awal yang sama dengan skala laboratorium, akan menghasilkan kondisi proses pengomposan kapasitas besar yang mendekati dengan kondisi proses skala laboratorium. Kondisi kontak udara pada pengomposan kapasitas besar juga dipengaruhi oleh kecepatan aliran udara (Guardia 2008, Luo 2007). Kecepatan aliran udara yang dipengaruhi oleh diameter reaktor dan laju aerasi berdampak pada penyebaran udara seluruh area tumpukan kompos. Tingginya kecepatan aliran udara akan memudahkan penyebaraan udara ke seluruh area tumpukan semakin mudah terjangkau, sehingga seluruh area tumpukan akan mendapatkan suplai udara sebagai kebutuhan mikrooganisme aerob untuk proses metaboliseme. Selain itu pula, hasil peningkatan pengomposan ini akan diperoleh informasi mengenai jumlah rendemen yang dihasikan. Rendemen yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pertimbangan kelayakan dari segi finansial. Dengan parameter rasio keuntungan dan biaya produksi (B/C rasio) akan diperoleh gambaran usaha dalam peningkatan kapasitas pengomposan apakah layak atau tidak. Sehingga pengomposan skala besar ini dapat memberikan gambarkan dari segi kondisi proses, dan finansial sebagai langkah awal untuk menentukan keberlanjutan kegiatan usaha aplikasi pengomposan skala industri. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu, 1. Mengkaji kinerja proses co-composting pada kapasitas besar dengan parameter kondisi proses dan laju perubahan penurunan C/N selama proses co-composting 2. Mendapatkan informasi tentang pengaruh aerasi aktif terhadap laju penurunan C/N selama pengomposan 3. Menentukan kelayakan analisis finansial usaha pengomposan. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pelaku usaha pengomposan khususnya, pengomposan yang memanfaatkan limbah industri gula serta bagi industri gula itu sendiri dalam penanganan limbah padat hasil pengolahan gula. Rancangan peningkatan kapasitas pengomposan ini, memberikan gambaran bagi mengelola limbah padat dengan proses co-composting dalam kapasitas industri. Disamping itu pula, data yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan penerapan co-composting dari segi kondisi perubahan proses, kualitas produk, rendemen dan rasio keuntungan yang diperoleh dilihat dari rasio keuntungan dan biaya (B/C). Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi : 1. Desain reactor berukuran 500 liter untuk proses co-composting blotong dan abu ketel pada skala 120 kg.

4 2. Kondisi laju aerasi aktif 0,4 L/menit/kg bahan dan C/N awal 40 sesuai dengan optimasi hasil pengomposan pada skala laboratorium. 3. Uji analisis kadar proksimat (kadar karbon, nitrogen, kadar Air, ph, nitrat) dan ph selama pengomposan untuk mengetahui kondisi perubahan proses pengomposan. 4. Penentuan analisis finansial dengan menggunakan indikator B/C. METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan sejak bulan April Oktober 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Leuwikopo, Laboratorium Teknik dan Manajemen Lingkungan, Laboratorium Pengawasan Mutu dan Laboratorium Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah padat pabrik gula berupa abu ketel dan blotong yang bersumber dari PT. Gunung Madu Plantation, Lampung. Selain itu, digunakan beberapa bahan kimia untuk analisis mutu kompos, yang terdiri atas H 2 SO 4 pekat, H 2 SO 4 0,02 N, NaOH 40%, asam borat 2 %, Katalis CuSO 4.NaSO 4, HCl 1 N dan Aquades. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi alat yang digunakan dalam proses pengomposan dan alat untuk analisis mutu kompos. Alat yang digunakan dalam proses pengomposan adalah reaktor berupa tempat air kapasitas 550 liter yang dilengkapi dengan pipa aerasi yang terhubung dengan blower melalui selang plastik, kemudian skop, flowmeter udara, timbangan dan cangkul. Sedangkan alat yang digunakan dalam analisis mutu kompos terdiri atas cawan porselin, alumunium, labu kjeldahl, labu destilasi, kertas saring, labu erlemenyer, oven, ph meter, spektrofotometer dan termomenter. Tahapan Penelitian Penelitian ini terlebih dahulu dilakukan analisis karakteristik bahan baku. Analisis karakteristik dilakukan menggunakan analisis visual (fisik) dan analisis proksimat. Analisis visual dilakukan dengan melihat bentuk dan keadaan bahan baku, sedangkan analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur dalam bahan khususnya unsur nitrogen dan karbon, kadar air, kadar abu dan kadar nitrat. Tahapan selanjutnya dilakukan formulasi untuk menentukan banyaknya komposisi bahan pengomposan sesuai dengan perhitungan nilai C/N awal yang telah ditentukan yaitu 40. Formulasi campuran bahan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

5 C/N = %C abu ketel x bobot + %C blotong x bobot %N abu ketel x bobot + %N blotong x bobot Proses pengomposan dilakukan dengan sistem aerated static pile atau penggunaan sistem aerasi tanpa pembalikan tumpukan. Penelitian ini menggunakan dua perlakuan yaitu, aerasi aktif dan aerasi pasif. Aerasi aktif dilakukan dengan memberikan masukan udara dari luar melalui blower dengan laju alir 0.4 L/menit/kg bahan selama satu jam pada minggu pertama. Kedua perlakuan tersebut dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Proses pengomposan dilakukan selama 60 hari dengan parameter analisis yaitu suhu, kadar air, kadar abu, kadar C, kadar N, kadar nitrat, ph dan nilai C/N selama pengomposan. Prosedur analisis mutu kompos dapat dilihat pada Lampiran 1. Reaktor yang digunakan berupa drum reaktor berbahan plastik dengan kapasitas volume 550 liter dengan ukuran diameter 60 cm dan tinggi 100 cm. Reaktor ini merupakan hasil rancangan desain penggandaan dari reaktor skala laboratorium dengan kapasitas 30 liter dengan ukuran diameter 30 cm dan tinggi 50 cm hasil desain oleh Erica (2012). Reaktor tersebut dilengkapi dengan sistem aerasi untuk mengalirkan udara masuk ke dalam tumpukan kompos. Pada aerasi aktif terdapat peralatan penambahan aerasi (forced aeration) seperti blower sebagai penghasil udara, katup atau kran untuk mengatur jumlah udara yang masuk dan flowmeter untuk mengetahui debit udara yang masuk tiap menitnya. Ketiga alat ini dirangkai dan dihubungkan dengan pipa dan selang plastik pada ujung pipa aerasi. Berikut rangkaian sistem aerasi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1. a Keterangan : a : Tangki reaktor b : Rangkaian pipa aerasi c : lubang pori d : Flowmeter e : Katup (kran) f : Blower c b d e f Gambar 1. Rangkaian sistem aerasi pengomposan 120 kg Analisis Data Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk gragik dan model matematika. Data hasil pengujian kondisi proses selama co-composting seperti perubahan suhu, ph, kadar air, kadar nitrat, kadar C organik dan kadar Nitrogen disajikan dalam bentuk grafik berdasarkan satuan waktu. Sedangkan untuk persamaan (model matematika) grafik C/N diolah dengan formula Ms. Excel untuk menghasilkan persamaan eksponensial untuk mengetahui hubungan

6 antara nilai C/N terhadap waktu serta menentukan juga lamanya waktu pengomposan. Disamping itu pula untuk menentukan laju penurunan C/N dihitung menggunakan persamaan dibawah ini. Laju Penurunan C/N = C/N awal C/N akhir t awal t akhir HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Pengomposan Karakterisasi bahan pengomposan digunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kandungan nutrien dan unsur makro pada bahan, khususnya kadar karbon dan nitrogen yang ditujukan untuk menentukan nilai C/N masing-masing bahan. Hasil pengujian tersebut selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam komposisi campuran co-composting berdasarkan nilai C/N awal 40. Hasil pengujian karakteristik kedua bahan tersebut secara keseluruhan menunjukkan nilai C/N yang berbeda. Hal ini menunjukan perbedaan karakteristik antara blotong dan abu ketel. Berikut hasil pengujian kandungan unsur makro dan mineral tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik blotong dan abu ketel Parameter Satuan Blotong Abu Ketel C organik % 9,19 5,83 Nitrogen % 0,24 0,068 C/N - 38,28 85,73 Kadar Abu % 16,32 44,785 Kadar Air % 66,72 44,53 Bahan Organik % 18,3 31,79 Fosfor % 0,199 0,025 Kalium % 0,024 0,024 Kalsium % 0,258 0,235 Besi % 0,002 0,006 Alumunium % 0,192 0,013 Mangan % 0,003 0,007 Magnesium % 0,003 0,008 Berdasarkan pada Tabel 1. tampak perbedaan nilai C/N yang signifikan antara blotong dengan abu ketel. Tingkat nilai C/N yang rendah pada blotong, menunjukan bahwa blotong memiliki proporsi unsur nitrogen lebih banyak dibandingkan dengan abu ketel. Unsur nitrogen tersebut berasal dari ampas nira berupa endapan koloid yang mengandung protein, pektin, gum, lilin dan zat warna (Meyer et al. 2011). Disamping itu pula, blotong juga mengandung mineral yang

7 cukup tinggi sebagai nutrisi tumbuhan. Menurut Horecky (2004) blotong memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi berupa kalium (K), magnesium (Mg) dan kalsium (Ca), dimana mineral tersebut diperlukan sebagai nutrisi tumbuhan. Kemudian, karakteristi abu ketel dengan nilai C/N yang tinggi, menunjukan bahwa kandungan nitrogen pada abu ketel sangat rendah tetapi kaya akan bahan organik yang tinggi. Dengan penambahan abu ketel maka kandungan nutrisi dalam kompos akan semakin meningkat. Menurut Indrasti (2005) penambahan abu sekam berupa hasil sisa pembakaran yang digunakan sebagai bahan baku kompos, akan meningkatkan kandungan nutrisi dan mineral pada kompos. Kandungan mineral pada abu ketel dan blotong merupakan faktor utama yang memengaruhi kandungan mineral pada kompos. Menurut Indrasti (2003) bahwa kandungan mineral dalam kompos sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam kompos. Salah satunya adalah kandungan fospor pada blotong (0,199%) dan abu ketel (0,024%) yang dimanfaatkan oleh tanaman dalam membantu proses metabolisme pada tanaman. Dengan adanya pencampuran kedua bahan tersebut maka kandungan mineral pada kompos akan semakin baik. Perbedaan tingkat C/N dan kandungan mineral menjadi dasar untuk mengkombinasikan bahan pengomposan blotong dan abu ketel, sehingga kondisi proses pengomposan berada pada kondisi optimum dan waktu proses pengomposan tidak relatif lama sebagaimana yang terjadi pada kondisi pengomposan laboratorium. Berdasarkan nilai C/N awal 40 diperoleh komposisi blotong dan abu ketel masing-masing sebanyak 106 kg dan 14 kg dengan kapasitas campuran 120 kg. Hasil perhitungan tersebut menunjukan komposisi co-composting abu ketel lebih kecil dibandingkan dengan blotong, akan tetapi penambahan abu ketel tetap memberikan pengaruh terhadap kondisi proses pengomposan. Hal ini karena nilai C/N yang tinggi pada abu ketel akan membantu mengoptimalkan proses pengomposan dengan blotong yang memiliki nilai C/N yang rendah sehinga nilai C/N campuran menghasilkan proses pengomposan dengan kondisi optimal. Menurut Yuwono (2002) nilai C/N bahan yang terlalu tinggi, akan berdampak pada lamannya proses pengomposan karena kurangnya unsur nitrogen, sedangkan nilai C/N yang rendah akan meracuni mikroorganisme dalam kompos karena kelebihan amoniak yang bersifat racun bagi mikroorganisme. Desain Reaktor Pengomposan Faktor proses desain peningkatan kapasitas co-composting abu ketel dan blotong dari kapasitas 5 kg menjadi kapasitas 120 kg dibuat tetap sama dengan kondisi pada skala laboratorium. Kondisi yang dibuat tetap sama selama proses peningkatan kapasitas pengomposan adalah kesamaan geometri, laju aerasi aktif dan C/N awal. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan terjadinya perubahan yang sangat signifikan selama proses peningkatan kapasitas skala. Prinsip kesamaan geometri atau kesebangunan diterapkan dalam merancang reaktor pengomposan kapasitas 120 kg. Rancangan desain reaktor dibuat sebangun dengan bentuk yang sama tetapi ukurannya yang berbeda. Menurut Valentas et al (1991) dua benda dinyatakan mirip secara geometri atau sebangun, jika setiap titik pada benda yang satu terwakili keberadaanya pada benda yang lain. Dengan demikian rancangan reaktor yang menghasilkan kondisi optimum pengomposan pada skala laborotorium terwakili oleh reaktor kapasitas

8 pengomposan yang lebih besar dari skala laboratorium. Prinsip kesamaan geometri terhadap peningkatan skala juga dikemukakan oleh Wirakartakusumah et al. (1991) bahwa kesamaan geometri merupakan landasan peningkatan kapasitas skala yang paling umum diterapkan. Berikut kesamaan geometri antara reaktor kapasitas 5 kg dengan 120 kg yang tampak pada Gambar 2. beserta perbandingan ukuran reaktor yang ditunjukan pada Tabel 2. T Z 2 T D Gambar 2. Kesebangunan dimensi reaktor 120 kg dengan skala 5 kg penelitian Erica tahun 2012 Tabel 2. Dimensi ukuran reaktor kapasitas 5 kg dan 120 kg Parameter Dimensi Kapasitas 5 kg 120 kg Tinggi Reaktor (cm) (T) 55 110 Diameter Reaktor (cm) (D) 25 50 Jarak Pipa Aerasi (cm) (Z 2 ) 15 30 Jarak Pipa Aerasi (cm) (Z 1 ) 15 30 Tinggi tumpukan (cm) 17 34 Faktor lain yang dijaga tetap sama dari kondisi pengomposan kapasitas 5 kg untuk meningkatkan kapasitas menjadi 120 kg adalah laju aerasi aktif. Laju aerasi dibuat tetap sama agar kebutuhan aerasi pada setiap kg bahan baku kompos sama dengan kondisi yang diterapkan pada skala laboratorium. Selain itu pula Nilai C/N awal campuran dibuat tetap sama dengan nilai C/N awal campuran pada skala laboraotirum, agar proses pengomposan kapasitas 120 kg mencapai kondisi optimum dengan nilai C/N awal campuran 40 dan laju aerasi 0,4 L/menit/kg bahan yang diperoleh dari hasil penelitian Erica (2012) pada skala laboratorium. Nilai C/N dan laju aerasi tersebut akan berpengaruh pada aktivaitas mikroorganisme dan berdampak pada lamanya waktu pengomposan. Ketiga faktor diatas dalam peningkatan kapasitas pengomposan dijaga agar tetap sama seperti pada kondisi laboratorium. Walaupun demikian terdapat dua faktor yang terindentifikasi berbeda saat melakukan desain peningkatan kapasitas pengomposan yaitu kecepatan aliran udara dalam reaktor dan massa jenis campuran bahan dalam reaktor. Perbedaan kedua faktor tersebut tampak pada Tabel 3. Z 1 D Z 2 Z 1

9 Tabel. 3 Pengukuran faktor kecepatan aliran udara dan massa jenis Faktor Satuan Kapasitas 5 kg 120 kg Kecepatan Aliran m/s 0,47 x 10-3- 2,83 x 10-3 Udara Massa Jenis Campuran kg/m 3 599,47 1798,42 Berdasarkan Tabel 3. kecepatan aliran udara di dalam reaktor kapasitas 120 kg lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas 5 kg. Kecepatan aliran udara tersebut menunjukan jarak udara mengalir melalui pipa aerasi atau oksigen meresap ke dalam tumpukan kompos untuk mencapai permukaan tumpukan terhadap waktu proses. Faktor ini dipengaruhi oleh laju aerasi dan diameter reaktor. Kecepatan aliran udara yang lebih tinggi pada pengomposan skala besar memungkinkan waktu untuk udara mencapai keseluruhan tumpukan hampir sama dengan kondisi pengomposan skala laboratorium. Dengan demikian kontak terhadap bahan akan semakin baik dan pengomposan kapasitas besar akan berlajan optimal. Faktor massa jenis yang berbeda pada campuran kompos (Tabel 3) akan berpengaruh terhadap rongga-rongga udara (kerapatan) pada tumpukan. Ronggarongga tersebut membantu aliran udara masuk dan kontak dengan mikroorganisme aerob untuk proses metabolisme dan berkembang biak selama proses pengomposan. Kondisi massa jenis pada tumpukan kompos diakibatkan oleh proporsi bahan campuran yang berbeda antara pengomposan kapasitas 5 kg dengan 120 kg yang ditentukan berdasarkan nilai C/N awal 40. Meskipun demikian, aliran udara pada pengomposan kapasitas besar masih mengalir dalam tumpukan melalui pipa aerasi sehingga aliran udara pada tumpukan kompos masih dapat kontak dengan bahan. Dengan kondisi kerapatan pada tumpukan (massa jenis) yang sama antara pengomposan kapasitas laboratorium dengan kapasitas besar, tentu akan memiliki persentase rongga-rongga udara yang sama pula. Sehingga kondisi proses penguraian kompos pada kapasitas besar akan memiliki kondisi yang sama untuk mencapai kondisi kompos yang matang. Kondisi Pengomposan 1. Suhu Perubahan suhu merupakan indikator terjadinya proses penguraian bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana dalam kondisi aerobik. Proses ini berlangsung secara alami dengan bantuan mikroorganisme berupa bakteri, jamur dan actinomycetes (FFTC 2005). Perubahan suhu juga terjadi akibat konsumsi oksigen pada mikroorganisme yang meningkat ketika proses metabolisme. Semakin tinggi suhu, maka konsumsi oksigen pun akan meningkat dan proses dekomposisi akan lebih cepat. Peningkatan suhu berasal dari perpindahan panas yang diperoleh ketika proses dekomposisi bahan organik (Tiquia dan Tam 2000). Kondisi perubahan suhu tampak pada pengomposan kapasitas 120 kg dan 5 kg ditunjukkan pada Gambar 3.

10 Suhu ( C ) 36 32 28 Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif Pengomposan 5 kg,aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) 24 20 0 10 20 30 40 50 60 70 Waktu (Hari ke-) Gambar 3. Perubahan suhu selama co-composting abu ketel dengan blotong Suhu pengomposan pada kapasitas 120 kg berada pada kondisi fase mesofilik, dengan suhu tertinggi mencapai 34,57 o C. Peningkatan suhu mencapai level tertinggi pada fase mesofilik terjadi pada minggu ke-1 pengomposan. Hal ini menunjukan bahwa proses penguraian karbon pada kompos lebih dominan terjadi pada minggu ke-1 pengomposan dimana hasil penguraian salah satunya adalah panas. Menurut Djuarnani (2005) kenaikan temperatur yang cukup cepat terjadi di 3 sampai 5 hari pertama pengomposan dan kenaikan temperatur tersebut merupakan kondisi yang terbaik bagi mikrooganisme, karena pada kisaran temperatur yang meningkat, pertumbuhan mikroba akan tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan saat penurunan suhu. Penurunan suhu pada kapasitas 120 kg mulai terjadi pada hari terakhir minggu ke-1 pengomposan (hari ke-7), dan stabil di minggu ke-5 (hari ke-30). Penurunan suhu selama pengomposan menunjukan kandungan karbon mulai menurun karena terurai oleh mikroorganisme. Menurut Djaja (2008) saat proses pengomposan, bakteri mutlak membutuhkan bahan organik sebagai bahan makanan untuk pertumbuhan dan berkembang biak. Pada penelitan Erica (2012), pengomposan kapasitas laboratorium menunjukan pencapaian kondisi yang sama (fase mesofilik) dengan pengomposan kapasitas besar, dimana suhu tertinggi pada pengomposan kapasitas laboratorium berada pada level 30,75 o C. Perubahan suhu pada pengomposan kapasitas laboratorium mencapai level tertinggi pada hari ke-4 (minggu ke-1) dan stabil pada minggu ke-3. Perbedaan yang terjadi antara kedua skala pengomposan tersebut diakibatkan oleh aktivitas mikroba. Tingginya aktivitas mikroba dipengaruhi oleh kandungan senyawa karbon organik sebagai sumber makanan bagi mikroba. Kapasitas pengomposan yang lebih besar, akan berdampak langsung pada jumlah kandungan senyawa karbon organik yang lebih tinggi. Hal ini tampak pada tren perubahan suhu antara kapasitas 5 kg dengan 120 kg, dimana kondisi tren perubahan suhu pengomposan kapasitas besar lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pengomposan skala laboratorium. Dengan demikian hubungan suhu dengan kapasitas pengomposan adalah berbanding lurus. Semakin tinggi kapsitas pengomposan maka akan semakin tinggi pula tren perubahan suhu yang

11 dihasilkan. Hal ini tampak pada kondisi perubahan suhu (Gambar 3.), meskipun memiliki tren penurunan yang cendurungan sama, kondisi perubahan suhu pengomposan kapasitas besar lebih tinggi dibandingkan dengan pengomposan skala laboratorium. Pencapaian suhu pada fase mesofilik pada kedua skala pengomposan masih berada pada kondisi optimum, seperti yang dijelaskan oleh Murbandono (1993), proses pengomposan pada suhu mesofilik yang berada pada kisaran suhu 30-45 o C sudah dianggap optimal. Pengaruh aerasi aktif pada pengomposan abu ketel dan blotong kapasitas besar tidak menunjukan perbedaan suhu yang signifikan. Suhu tertinggi pengomposan kapasitas 120 kg pada aerasi aktif berada pada level 33,88 o C sedangkan pada aerasi pasif (tanpa injeksi udara) berada pada level 34,57 o C. Hal ini menunjukan bahwa penguraian pada kondisi aerasi aktif dan pasif masih menghasilkan kondisi proses yang cenderung sama. Oleh karena itu pemberian aerasi aktif tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Menurut Dalzel et al. (1987) dan FFTC (2005) pemberian aerasi (aktif atau pasif) melalui aliran pipa pada tumpukan kompos, akan memasok oksigen untuk kebutuhan mikroorganisme dan mengeluarkan karbodioksida yang dihasilkan sehingga penguraian bisa berjalan optimal. Suhu pengomposan kapasitas 120 kg tidak mengalami fase termofilik (>40 o C), sama halnya yang terjadi pada kondisi pengomposan kapasitas 5 kg. Pengomposan secara aerated file belum tentu mencapai fase termofilik, hal ini karena terdapat rongga-rongga udara yang memungkinkan udara panas keluar dan masuknya udara dingin dari luar tumpukan. Kondisi teresebut mengakibatkan terjadinya perpindahan panas secara konveksi yang berdampak pada penurunan suhu. Perpindahan panas secara konveksi terjadi karena adanya pertukaran panas antara udara dingin dengan udara panas yang terjadi dalam tumpukan. Menurut Ahn et al. (2009), terjadinya perubahan suhu pengomposan diakibatkan oleh kondisi keseimbangan antara panas yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan panas yang hilang melalui konveksi, konduksi dan evaporasi. Selain itu pula, suhu yang tidak mencapai fase termofilik dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme termofilia. Menurut Indrasti dan Elia (2004) kondisi pengomposan yang tidak mencapai suhu fase termofilik menunjukan kelompok dari mikroorganisme termofilia tidak berkembang secara optimum. Suhu juga merupakan salah satu parameter yang menunjukan tingkat kematangan kompos. Kondisi suhu yang stabil akan mendekati suhu ruang yang menunjukan bahwa aktivitas penguraian mulai menurun, hal ini dikarenakan bahan organik yang terus terurai. Pada Gambar 3. menunjukan suhu pengomposan pada kapasitas 120 kg mulai mendekati suhu ruang pada minggu ke-3 (hari ke-30), kondisi teresebut serupa dengan penelitian Erica (2012) pada pengomposan kapasitas 5 kg, dimana suhu mulai mendekati level suhu ruang pada minggu ke-3 (hari ke-30). Hal ini menunjukan bahwa aktivitas mikroba pada kapasitas 120 kg cenderung sama dengan pengomposan kapasitas 5 kg. 2. Nilia ph Nilai ph merupakan parameter penting selama proses pengomposan berlangsung untuk mengetahui apakah kondisi proses penguraian dalam kompos berjalan optimal atau tidak. Nilai ph yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan

12 berdampak buruk bagi kondisi proses pengomposan. Menurut Djuarnani (2005) jika derajat keasaman terlalu tinggi, maka akan menyebabkan unsur nitrogen yang berubah menjadi amoniak (NH 3 ) semakin meningkat, dimana amoniak tergolong dalam zat yang mudah menguap sehingga berdampak pada unsur Nitrogen yang semakin menurun, sedangkan nilai ph terlalu rendah akan berdampak pada mikroorganisme yang mati karena kondisi asam. Oleh karena itu, ph campuran menjadi parameter penting selama proses pengomposan berlangsung. Berikut Gambar 4. menunjukan perubahan ph campuran selama proses pengomposan. 8.5 7.5 Kadar ph 8 7 6.5 6 5.5 5 Pengomposan 5 kg, Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (hari ke-) Gambar 4. Perubahan ph selama co-composting abu ketel dan blotong Berdasarkan pengamatan pada proses pengomposan kapasitas 120 kg (Gambar 4), tampak terjadi peningkatan ph dari kondisi asam mendekati netral. Hal ini menunjukan bahwa pada minggu pertama pengomposan sudah mulai terbentuk amonium (NH 4 + ) baik pada aerasi pasif maupun aerasi aktif. Peningkatan nilai ph pada kapasitas 120 kg hingga mencapai kondisi netral, mulai terjadi pada minggu ke-1 pengomposan sampai minggu ke-4 (hari ke-30). Kenaikan ini, terjadi karena proses perombakan karbon yang menghasilkan asam organik mulai menurun dan berganti menjadi perombakan asam amino yang mengasilkan senyawa amonia yang bersifat basa yang terus meningkat seiring lamanya proses pengomposan. Menurut Ismayana et al. (2012) terjadinya kenaikan ph pada awal pengomposan menunjukan bahwa perombakan bahan organik dan senyawa karbon yang menghasilkan senyawa asam-asam organik tidak lagi menjadi proses dominan, akan tetapi proses dominan lebih terjadi pada perombakan yang menghasilkan senyawa amonium hidroksida yang bersifat basa. Sedangkan kadar ph campuran pada kondisi awal pengomposan (Gambar 4) bersifat asam karena karakteristik bahan baku khususnya blotong. Sebagaimana diketahui pengomposan kapasitas besar didominasi oleh blotong. Menurut Horecky (2004) blotong (filter cake) termasuk bahan organik yang menghasilkan jenis asam-asam lemah (asam asetat, asam laktat,asam butirat). Oleh karena itu, kondisi asam pada awal pengomposan akan tetap tidak akan mengalami penurunan ph. Hal ini terjadi karena ph asam terjadi selama dominasi perombakan karbon, setelah kondisi karbon semakin menurun seiring dengan penurunan mikroorganisme perombak karbon dan meningkatnya perombakan

13 yang menghasilkan senyawa amonium hidroksida maka ph akan semakin meningkat. Pada kondisi ph pengomposan 5 kg tampak berbeda dengan kondisi 120 kg. Perbedaan tersebut terlihat pada perubahan ph yang terjadi pada minggu pertama sampai minggu terakhir, dimana kondisi ph pengomposan sudah menunjukan kondisi netral. Berbeda dengan kapasitas 120 kg yang diawali dengan kondisi ph asam pada minggu pertama pengomposan. Kondisi ini, terjadi karena proposi bahan campuran antara skala 120 kg dengan 5 kg berbeda, dimana proporsi campuran pada pengomposan 5 kg seimbang anatar komposisi blotong dengan abu ketel, sehingga proses penguraian bahan organik menjadi asam-asam organik yang terjadi pada awal pengomposan tidak begitu dominan selama proses pengomposan. Menurut Djuarnani (2005) proses penguraian bahan organik yang menghasilkan senyawa asam asam organik dan senyawa yang bersifat basa terjadi secara berasamaan pada awal proses penguraian bahan organik. Akan tetapi, meskipun berbeda pada kondisi ph, secara keseluruhan kondisi ph pengomposan kapasitas 120 kg dan ph pengomposan hasil penelitian Erica (2012) menunjukan ph (6,8-7,3) mendekati kondisi optimum. Menurut FFTC (2005) ph optimum selama proses pengomposan terjadi pada kisaran 6-7,5. 3. Kadar Air Kadar air pengomposan, termasuk dalam parameter yang sangat penting selama proses pengomposan. Kadar air perlu dijaga untuk menjaga kelembaban dan membantu saat proses penguraian serta menyediakan media untuk reaksi kimia penguraian, mengangkut nutrisi dan memungkinkan mikroorganisme untuk bergerak (Rynk et al. 1992). Kondisi lingkungan yang kurang lembab akan memengaruhi pasokan oksigen yang berdampak pada proses metabolisme mikroorganisme menjadi lambat. Menurut Isroi (2007) kadar air dibawah 40% akan menyebabkan kehilangan panas yang dapat mempengaruhi kelembaban serta aktivitas mikroba, sedangkan kadar air yang mencapai 80%, tingkat volume udara dalam kompos akan berkurang dan terjadi proses anaerobik yang menghasilkan bau. Berikut perubahan kadar air selama pengomposan tampak pada Gambar 5. Kadar Air (%) 90 85 80 75 70 Pengomposan 5 kg, Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif 65 60 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (Hari ke-) Gambar 5. Perubahan kadar air selama co-composting abu ketel dan blotong

14 Gambar 5. menunjukkan kadar air selama pengomposan skala 120 kg berada dalam kisaran 66-68%, relatif stabil dan masih berada pada kondisi optimum pengomposan. Jika dibandingkan dengan pengomposan kapasitas 5 kg, kadar air masih berada pada kisaran yang tidak jauh berbeda yaitu, 74-85%. Dengan demikian kondisi kadar air pada kapasitas pengomposan 120 kg dan kapasitas 5 kg hasil penelitian Erica (2012) masih dalam kondisi optimum selama proses pengomposan. Menurut Djaja (2005) kadar air minimum yang menunjang proses metabolik selama pengomposan adalah 65% agar aktivitas mikroba berjalan optimal. 4. Kadar Nitrat Pembentukan senyawa nitrat selama proses pengomposan, menambah kandungan nutrisi bagi kesuburan tanah khususnya kandungan nitrogen. Menurut Indrasti et.al (2005) kandungan nitrogen yang diserap pada tanaman berupa amonium (NH 4 + ), Nitrit (NO 2 - ) dan Nitrat (NO 3 - ). Kemudian Meunchang et al. (2004) menambahkan, bahwa sebagian besar unsur nitrogen berupa amonium (NH 4 + ) pada pengomposan ditemukan dalam bentuk akhir nitrat (NO 3 - ). Oleh karena itu, perubahan kadar nitrat selama pengomposan sangat penting sebagai indikator kualitas kompos. Perubahan kadar nitrogen (NH 4 + ) menjadi nitrat terjadi melalui proses nitrifikasi, dimana aktivitas bakteri dari genus nitrosomonas dan nitrobacter mengoksidasi serta merubah senyawa ammonium (NH 4 + ) menjadi senyawa nitrat. Berikut perubahan kadar nitrat tampak pada Gambar 6 selama proses pengomposan berlangsung. 20 Kadar Nitrat (Mg/l) 16 12 8 4 0 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (Hari ke-) Pengomposan 5 kg (Erica 2012) Pengomposan 5 kg ( Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif Gambar 6. Perubahan kadar nitrat selama co-composting abu ketel dan blotong Berdasarkan pada grafik, peningkatan kadar nitrat pengomposan kapasitas 120 kg mulai terlihat pada minggu ke-1 sampai stabil memasuki akhir pengomposan. Hal ini menunjukan bahwa kadar amonium yang semakin meningkat yang ditunjukan dengan peningkatan ph pada minggu ke-1 mulai tedegradasi membentuk nitrat oleh bakteri nitrobacter. Menurut Liao et al (1995) peningkatan kadar nitrat terjadi sampai akhir pengomposan, karena perubahan kandungan nitrogen (NH 4 - ) yang ternitrifikasi oleh bakteri pengahasil nitrat dalam suasana aerob. Akan tetapi, di dua hari awal pengomposan, kadar nitrat masih dalam

15 kondisi stabil, belum terlihat adanya peningkatan kadar nitrat. Kondisi ini terjadi karena di awal proses pengomposan perombakan ammonium (NH 4 + ) menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter tidak begitu dominan karena kenaikan kondisi suhu. Menurut Puttana (1999) menyatakan bahwa terjadi penghambatan proses nitrifikasi ketika terjadi kenaikan suhu dari 10 o C sampai 30 o C. Kondisi tersebut tampak di dua hari awal pengomposan terjadi peningkatan suhu tertinggi pada fase mesofilik lebih dari 30 o C yang diakibatkan oleh panas yang dihasilkan ketika proses penguraian senyawa karbon organik (Tiquia dan Tam 2000). Dengan demikian kondisi suhu pada pengomposan berpengaruh terhadap perubahan kadar nitrat. Jika dibandingkan dengan kadar nitrat pada pengomposan 5 kg hasil penelitian Erica (2012), perubahan pembentukan nitrat tampak berbeda. Pada hasil penelitian Erica (2012) kadar nitrat mulai terjadi peningkatan pada minggu ke-3 (hari ke-20) memasuki akhir masa pengomposan, lebih lama dibandingkan dengan pengomposan 120 kg yang mulai terbentuk nitrat pada minggu ke-1. Perbedaan proses pembentukan nitrat tersebut menunjukan proses nitrifikasi baru medominasi pada minggu ke tiga, sedangkan pada minggu pertama pengomposan 5 kg, masih didominasi oleh proses perombakan karbon yang menghasilkan asam-asam organik. Hal ini karena proporsi bahan hasil penentuan nilai C/N awal pada kapasitas 5 kg seimbang, sedangkan pada kapasitas besar (120 kg) campuran bahan didominasi oleh satu bahan (blotong). Kondisi ini lah yang memicu perbedaan terbentuknya senyawa nitrat pada kedua kapasitas pengomposan. Sebagaimana diketahui blotong salah satu bahan yang banyak mengandung ammonium (NH 4 + ). Menurut Neto et.al (1987) bahwa konsentrasi nitrat pada pengomposan mula-mula akan menurun atau stabil pada awal pengomposan tetapi meningkat sampai akhir proses pengomposan. Perubahan nilai C/N Nilai C/N adalah perbandingan nilai Karbon (C) dan Nitrogen (N) sebagai parameter utama yang menunjukan proses pengomposan berjalan baik. Unsur karbon dan nitrogen merupakan unsur penting bagi aktivitas mikroorganisme. Karbon diperlukan sebagai sumber makanan, sedangkan nitrogen diperlukan untuk proses pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Isroi (2008) nilai C/N bahan yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses pengomposan yang berdampak pada waktu proses pengomposan yang semakin lama. Oleh karena itu dalam proses pengomposan diperlukan keseimbangan antara karbon dan nitrogen. Salah satu faktor utama yang menentukan nilai C/N adalah kandungan bahan organik berupa kadar karbon (C). Kadar karbon akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi untuk berkembang biak. Berikut perubahan kandungan karbon selama pengomposan tampak pada Gambar 7.

16 10 Kadar Karbon (%) 8 6 4 2 0 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (Hari ke-) Pengomposan 5 kg,aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg,pasif Gambar 7. Perubahan kadar karbon selama co-composting abu ketel dan blotong Selama proses penguraian berlangsung secara aerobik, kandungan karbon pada kompos akan mengalami perombakkan menjadi unit senyawa yang lebih sederhana, akibatnya kadar karbon total akan mengalami penurunan. Hal ini tampak pada Gambar 7., terjadi perubahan kadar total karbon selama proses pengomposan skala 120 kg berlangsung. Penurunan kadar karbon dimulai pada minggu ke-1 (hari ke-8) sampai memasuki minggu terakhir pengomposan (minggu ke-8). Penurunan yang signifikan terjadi pada minggu ke-1 sampai minggu ke-3 pengomposan yang ditandai dengan peningkatan suhu pengomposan pada minggu ke-1, dimana suhu pengomposan pada minggu ke-1 mencapai level suhu tertinggi pada fase mesofilik. Hal ini menunjukan bahwa proses penguraian karbon sedang berlangsung. Menurut Djuarnani (2005) dan Rynk (1992) hasil proses penguraian bahan organik yang mengandung kadar karbon dengan kondisi aerob, akan menghasilkan CO 2, H 2 O, humus, energi dan sisa energi yang tidak digunakan berupa panas. Perombakan karbon mulai menurun secara lambat memasuki minggu ke-7 pengomposan. Hal ini menunjukan bahwa kadar karbon mulai menipis dan proses perombakan karbon tidak lagi didominasi. Kadar karbon yang mulai menipis, memaksa mikroorganisme menguraikan amonium (NH 4 - ) sebagai sumber energi dan menghasilkan nitrit (NO 2 - ) sebagai hasil samping. Menurut Sugito et al (1995) perombakan amonium sebagai sumber energi akan menghasilkan hasil samping berupa nitrit (HNO 2 ), dimana nitrit akan dikonversi menjadi nitrat (HNO 3 ). Jika dibandingkan dengan kondisi pengomposan skala 5 kg hasil penelitian Erica (2012), perubahan kadar karbon (Gambar 7) menunjukan perubahan yang berbeda. Pada kapasitas 5 kg perubahan senyawa karbon tidak menunjukan penurunan yang signifikan namum lebih cenderung stabil. Menurut Erica (2012) Kondisi tersebut diakibatkan oleh proporsi bahan yang seimbang antara blotong dan abu ketel. Sehingga penurunan karbon selama pengomposan tidak begitu menunjukan tren penurunan. Disamping itu pula, proses penguraian karbon organik tidak mendominasi pada pengomposan kapasitas 5 kg, akan tetapi lebih

17 didominasi oleh perombakan amonium. Hal ini ditunjukan dengan kondisi ph pada kapasitas 5 kg yang terbentuk dengan kondisi basa diawal pengomposan. Faktor selanjutnya, yang menentukan perubahan nilai C/N adalah kadar nitrogen. Kandungan nitrogen berperan penting sebagai nutrisi bagi pertumbuhan mikroorganisme. Bahan yang mengandung kadar nitrogen yang rendah akan menghambat proses penguraian yang berdampak pada lamanya proses pematangan kompos. Menurut Indrasti (2004) mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat lemas berupa nitrogen sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan. Berikut Gambar 7. perubahan kadar nitrogen selama proses pengomposan berlangsung. Kadar Nitrogen (%) 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 10 20 30 40 50 60 Waktu (Hari ke-) Pengomposan 5 kg, Aktif (Erica 2012) Pengomposan 5 kg, Pasif (Erica 2012) Pengomposan 120 kg, Aktif Pengomposan 120 kg, Pasif Gambar 8. Perubahan kadar nitrogen co-composting abu ketel dan blotong Berdasarkan pada Gambar 8., kadar nitrogen mengalami peningkatan mulai minggu ke-1 sampai minggu ke-3 (hari ke-22) pengomposan. Peningkatan kadar nitrogen terjadi karena proses pembentukkan senyawa amonium (NH 4 + ) yang semakin meningkat. Menurut Haug (1980) dan FFTC (2005) selama proses pengomposan berlangsung, sejumlah amonium terbentuk akibat adanya perombakan asam amino yang dihasilkan oleh mikroorganisme pendegradasi gula terlarut dan protein. Kadar nitrogen mulai mencapai stabil memasuki minggu ke-3 pengomposan. Kondisi kadar nitrogen yang stabil, menunjukan proses pengomposan dengan sistem aerated pile mampu mencegah kehilangan senyawa nitrogen berupa amonia (NH 3 + ) yang mudah menguap. Menurut Bertoldi (1982) faktor utama yang mengakibatkan sebagian besar hilangnya nitrogen adalah teknik pengomposan secara manual atau pembalikan. Hal ini karena, kadar nitrogen berupa amonia bersifat volatil atau mudah menguap, sehingga ketika dilakukan proses pembalikan amonia (NH 3 ) yang terkandung dalam kompos akan mudah teruapkan. Menurut Indrasti (2005) kehilangan kadar nitrogen berupa amonia disebabkan oleh kekurangan air dan banyak kehilangan nitrogen akibat penguapan amonia (NH 3 ). Jika dibandingkan dengan penelitian Erica (2012) pada pengomposan kapasitas 5 kg, kadar nitrogen cenderung meningkat sama dengan pengomposan kapasitas 120 kg. Hal ini menunjukan bahwa kapasitas pengomposan 120 kg mendekati kondisi perubahan nitrogen yang sama dengan kondisi pengomposan kapasitas 5 kg.