Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal

dokumen-dokumen yang mirip
Sekalipun Dibenci, Tetapi Selalu Dirindukan

Pendahuluan. Bab 1. Latar Belakang

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari semakin banyaknya perusahaan baru dan jenis atau

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk selalu dapat bersaing dalam hal peningkatan mutu produk barang dan

Bab 2 Tinjauan Pustaka

PRAKTIK CERDAS PEMANFAATAN PAJAK ROKOK DIPROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

8 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

ANDRI HELMI M, SE., MM MANAJEMEN OPERASI INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. relevan dalam konteks ekonomi saat ini (Garzella & Fiorentino, 2014). Mardikanto (2014:83)

BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PETA JALAN PENGENDALIAN DAMPAK KONSUMSI ROKOK BAGI KESEHATAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Rokok merupakan salah satu produk yang cukup unik (terutama cara

BAB VI PENUTUP. manusia. Pada sisi lainnya, tembakau memberikan dampak besar baik bagi

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan memiliki kewajiban sosial atas apa yang terjadi di sekitar

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Studi kasus untuk merancang intervensi tingkat perusahaan untuk mempromosikan produktivitas dan kondisi kerja di UKM SCORE

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran pengetahuan..., Rowella Octaviani, FKM UI, 2009

Bab 5 Persaingan Industri Rokok

I. PENDAHULUAN. adalah dengan mengurangi pengkonsumsian zat-zat yang bersifat toxic seperti

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang sangat pesat secara tidak langsung telah merubah pola hidup dan pola pikir

Pembahasan Materi #5

C. TEORI PERUSAHAAN D. PENGUKURAN LABA - Pengukuran Profitabilitas Perusahaan - Perbedaan Profitabilitas Dari Berbagai Perusahaan

BAB 2 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. menganggap gagasan mereka mutlak benar atau sudah self evident.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang

Program Peningkatan Kemampuan Pemasok secara Efektif Nike 1. Apa persoalan yang perlu diselesaikan?

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Pada umumnya para remaja sekarang senang berbelanja tertutama

Bab VII Pemanfaatan Modal (Capital) Oleh Pengusaha Penduduk Lokal dan Pengusaha Migran dalam Dinamika Berwirausaha

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

ETIKA BISNIS INTERNASIONAL. Week 5

[PP NO.19/2003 (PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN)] December 22, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. sementara pesaing juga melakukan hal yang serupa. Kondisi tersebut

BAB II LANDASAN TEORI

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat suatu perusahaan dituntut untuk terus tumbuh dengan tujuan

Lingkungan Pemasaran

MATERI INISIASI KEEMPAT: BIROKRASI ORGANISASI

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN SISTEM INFORMASI, ORGANISASI DAN STRATEGI

Tantangan Dasar Desain Organisasi

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (UU

Copyright Rani Rumita

Desain Struktur Organisasi: Spesialisasi dan Koordinasi

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB. III PEMASARAN SOSIAL DAN HIJAU

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG LABEL DAN IKLAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. pula pada kemampuan pengusaha untuk mengkombinasikan fungsi-fungsi. tersebut agar usaha perusahaan dapat berjalan lancar.

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN. SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 =========================

MANAJEMEN STRATEJIK DAN BUDAYA PERUSAHAAN: DAMPAK SERTA IMPLEMENTASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. mencari terobosan-terobosan baru dalam mengembangkan usahanya. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. pandang, gaya hidup dan budaya suatu masyarakat, bahkan perseorangan.

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan merupakan tantangan serius pada saat ini. Produk-produk berbasis

III. KERANGKA PEMIKIRAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Jenis dan Bentuk Perubahan Organisasi

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anita Indriana, 2014 Wacana Polemik Pemberitaan Rokok dalam Harian Umum Kompas

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh terjadinya Global warming yang terjadi pada saat ini. Hal ini sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA

Materi Minggu 10. Implementasi Strategik, Evaluasi dan Pengawasan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERTEMBAKAUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BAB 1 PENDAHULUAN. dikelola untuk menghasilkan barang atau jasa (output) kepada pelanggan

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan berkelanjutan menjadi isu penting dalam menanggapi proses. yang strategis baik secara ekonomi maupun sosial politis.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. yang bernilai dengan orang lain (Kotler, 2008). Oleh karena itu, kegiatan

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang berada di daerah tropis merupakan negara yang kaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

BAB 1 PENDAHULUAN. merokok namun kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok masih

KONFLIK ORGANISASI. Rangkaian Kolom Kluster I, 2012

Transkripsi:

Bab 8 Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pengantar Persoalan penting yang dihadapi industri rokok dalam kajian ini adalah adanya tekanan yang mendorong munculnya stigma rokok illegal. Tekanan tersebut berasal dari persaingan, kebijakan dan masyarakat. Tekanan tersebut menyebabkan pergeseran kelembagaan. Kelembagaan industri yang formal, tersentral dan kaku menjadi kelembagaan informal, terdesentralisasi dan fleksibel. Persaingan, tekanan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam kepentingan yang berbeda, menyebabkan terjadinya konflik dan secara bersamaan terjadi kerja sama untuk mewujudkan kepentingan masing-masing. Namun konflik dan kerja sama ini terjadi dalam basis material rokok. Hasil kajian menemukan bahwa kompleksitas industri rokok, bukan hanya dipengaruhi oleh problematika nasional tetapi problematika global. Secara nasional, negara memiliki kepentingan terhadap pendapatan, secara bersamaan terkait dengan kepentingan kesehatan; hak anak dan perlindungan terhadap perempuan; identitas nasional, nilai-nilai lokal dan ekonomi kerakyatan sebagai aspekaspek yang secara bersamaan diperjuangkan. Dalam konteks global lebih terkait dengan pemenuhan standarisasi rokok sebagai bagian 193

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal dari bisnis global, dan kepentingan memproduksi substitusi rokok. industri farmasi yang Paparan di bawah ini selanjutnya menjelaskan kompleksitas tersebut dalam kelembagaan industri rokok. Kelembagaan Industri Rokok Informal, Fleksibel dan Stigma illegal Fakta yang ditemui dalalam penelitian ini, kelembagaan industri rokok bergeser menjadi semakin informal dan perubahan ini tidak diikuti dengan perubahan konsep yang digunakan oleh pemerintah dan lembaga lainnya yang terkait. Akibat dari perubahan ini maka kelembagaan industri rokok dianggap illegal. Rokok illegal menjadi masalah yang sangat birokratis dan administratif. Masalah illegal lebih berkaitan dengan pita cukai, dalam arti mematuhi kewajiban pajak yang ditentukan sebagai konsekuensi dari memproduksi barang kena cukai (BKC). Namun ketentuan ini tidak hanya terkait produk rokok yang dihasilkan tetapi juga lembaga yang memproduksi, proses, alat yang digunakan (mesin). Disisi lain pelaku usaha yang memiliki kapasitas beragam tidak semuanya dapat memahami mekanisme dan kemampuan adminsitratif procedural yang ditetapkan, misalnya pelaporan melalui sistem online, format administrasi, dan sistem pelaporan yang rutin dan terus menerus, serta akses pada birokrasi dan sumber informasi yang terkait. Ketentuan-ketentuan ini mempunyai dampak yang berbeda pada industri dan pabrik untuk berbagai golongan. Pada industri kecil (golongan III) yang faktanya merupakan bagian terbesar dari jumlah pabrik rokok secara keseluruhan, tidak selalu bisa memenuhi ketentuan tersebut karena kondisi yang terus berubah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang relatif terbatas. Sebaliknya pada industri besar (golongan I dan II) memiliki kemampuan yang dimaksud. 194

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Dampak lainnya, mekanisme procedural ini diabaikan karena dianggap rumit dan menjadi kendala dalam berproduksi dan berbisnis rokok. Rokok illegal sebagai stigma yang diterima secara berbeda oleh pelaku usaha bahkan ada kecenderungan mengabaikannya dan lebih mengupayakan bagaimana produk rokok bisa terjual. Artinya, persoalan illegal sebenarnya bisa diantisipasi oleh negara. Pemerintah dapat mendorong kepatuhan pelaku usaha rokok dengan mengembangkan keberpihakan terhadap industri. Di samping itu affirmative action dapat dilakukan, sehingga pita cukai bukan menjadi kewajiban yang dipaksakan tetapi kewajiban yang disadari oleh pelaku usaha /industri rokok. Bab-bab empiris (bab 5, 6 dan 7) dalam kajian ini telah membahas bagaimana rokok illegal sebagai suatu stigma terjadi. Oleh karena itu, perubahan kelembagaan rokok yang semakin informal dan fleksibel merupakan bentuk upaya yang terus dilakukan tidak hanya menghadapi ketentuan di atas tetapi merupakan konsekuensi logis mencari cara-cara efisien menghadapi persaingan di pasar. Dalam kondisi kelembagaan rokok yang informal maka stigma illegal menjadi dipertanyakan, khususnya bagi pelaku usaha. Kompleksitas Relasi Industri Rokok yang Fleksibel dan Informal Industri Rokok melibatkan pabrik-pabrik dengan skala yang beragam, yaitu rokok golongan I, II dan III. Pabrik rokok dalam skala yang sama dan skala yang berbeda saling berinteraksi untuk mencapai tujuannya, menciptakan keuntungan dan keberlanjutan usaha. Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri diatas kepentingan yang berbeda. Interaksi di dalamnya menjadi kompleks karena tidak menyangkut bagaimana menghasilkan rokok dengan segala konsekuensi aturannya dan stigma illegal, tetapi juga bagaimana bisa bertahan dan berkembang dalam kompleksitas tersebut. 195

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Dalam kompleksitas ini relasi timbal-balik inter dan antar aktor dalam industri didalamnya terjadi tidak hanya di antara pabrik yang memproduksi barang sejenis (rokok), juga terjadi dalam dan di antara industri pendukung rokok yaitu industri penyedia dan pemasok bahan baku dan pendukung rokok, seperti industri kertas, percetakan bungkus dan industri saos dan industri terkait. Industri terkait menjadi bagian dari rantai produksi dan pemasaran rokok, misalnya transportasi, lembaga keuangan (perbankan), perusahaan pita cukai dan lain-lain. Pelaku usaha ini melakukan serangkaian interaksi (jejaring) dalam kepentingan keberlanjutan usaha. Hal ini menyangkut tuntutan bagaimana terus memperkuat daya tawarnya terhadap pabrik secara individu, kelompok, antara kelompok yang terkait dan kelompok usaha yang mendukung sebagai satu sistem. Juga sekaligus di dalamnya mereka secara bersama menghadapi industri lainnya dalam rantai yang berbeda. Kompleksitas relasi disebabkan karena masing-masing berdiri di atas kepentingan yang berbeda tetapi sekaligus relatif sama yaitu bagaimana memperoleh keuntungan dan keberlangsungan usaha tetap terjaga. Persaingan antar pabrik pada skala yang sama atau berbeda; industri pendukung secara nasional dan global, industri sejenis secara nasional versus global; industri terkait secara nasional dan global. Persaingan yang terjadi berlangsung dalam sistem kelembagaan yang fleksibel dan informal. Dalam sistem seperti ini, stigma illegal terjadi sebagai suatu yang dibentuk. Dalam kondisi kelembagaan yang informal seperti itu sangat sulit untuk menerapkan aturan formal, karena semua nilai saling berinteraksi secara informal. Pada akhirnya peraturan terus berjalan dan stigma illegal akan terus ada bagi negara. Sebaliknya pelaku usaha tetap melakukan apa yang dianggap illegal, bagi pengusaha merupakan sesuatu yang normal karena tidak ada peraturan baku dan hanya menggunakan norma, misalnya penerapan ketentuan upah minimal regional (UMR), 196

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan lainnya terkait dengan peraturan ketenagakerjaan. Dampak Kompleksitas Kompleksitas permasalahan yang terjadi pada industri rokok menyebabkan kondisi relasi yang hirarchis dan eksploitatif. Hubungan yang berorientasi saling menghancurkan untuk mempertahankan keberadaannya baik dalam persaingan maupun kepentingan yang hanya dapat dicapai menggunakan bargaining position masing-masing. Interelasi yang merendahkan posisi dan keberadaan satu dengan yang lain, karena kompetensi dan kepentingan yang saling bertentangan atau berbenturan. Realitas ini mendukung pernyataan Williamson (1994), mengadaptasi dari Richgart Scott (2001), dan menyusun model yang merupakan skematis kelembagaan yang terdiri dari; lingkungan kelembagaan; pemerintah dan individu yang digambarkan secara hierarkis dan saling mempengaruhi. Dampak kompleksitas menyebabkan konflik berkepanjangan. Konnflik yang terjadi disebabkan adanya kontroversi karena perubahan kelembagaan pada industri rokok. Perubahan ini seharusnya diikuti oleh perubahan perspektif pihak-pihak yang berkepentingan. Tetapi karena perubahan tidak diikuti dengan penyesuaian target dan cara mencapainya maka akan terus terjadi konflik multi pihak sebagai dampak dari kompleksitas yang terjadi. Sinergi di Tengah Konflik Sinergi dan kerja sama dilakukan untuk mewujudkan tujuan saling menguntungkan di antara para pihak yang terlibat serta mencapai kepentingannya masing-masing. Sinergi dilakukan di antara industri dengan negara dan masyarakat, misalnya ditetapkannya golongan pabrik, tarif pita cukai, kawasan bebas rokok, 197

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal standar tar dan nikotin dalam rokok, peringatan bahaya merokok dalam bentuk gambar yang dipatuhi oleh industri rokok. Negara dan industri bekerjasama dalam kebijakan yang mendua hati. Di satu sisi mengendalikan produksi rokok dan jumlah pabrik, di sisi lain terus mengijinkan pabrik baru. Memberantas rokok illegal, tetapi tidak melakukan pencegahan agar tidak melanggar. Yang dilakukan pemerintah hanyalah kegiatan untuk sosialisasi cukai yang tidak difokuskan kepada upaya pencegahan dari sisi perilaku pelaku usaha. Munculnya opportunis, oknum aparat yang bekerjasama dengan pelaku usaha untuk mendapatkan fasilitasi cukai, pembiaran pelanggaran, kebijakan yang sama diimplementasikan dengan cara berbeda untuk daerah dan individu yang berbeda. Fasilitasi penggunaan cukai yang tidak sesuai aturan dengan imbalan natura maupun inatura, dan terbukti sebagai modus pelanggaran yang ditemukan di lapangan. Pada awalnya banyak usaha rokok yang dimiliki bersama oleh aparat, atau usaha aparat yang dioperasikan oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Granovetter (1985), bahwa variasi dari struktur dan sifat dari ikatan antarpersonal menjelaskan integrasi vertikal perusahaan-perusahaan. Perusahaan menghadapi tekanan integrasi vertikal dalam pasar, di mana perusahaan-perusahaan yang bertransasksi kekurangan jaminan sosial dalam hubungan personal, sehingga pada akhirnya menimbulkan dan berada dalam masalah, kekacauan opportunism, atau kejahatan jabatan. Jadi biaya sosial berkaitan dengan ikatan antarpersonal dalam upaya menjauhkan dan memecahkan konflik ataupun dalam mengakumulasi kewajiban-kewajiban berdasarkan perhitungan rasional ketika mereka memperhitungkan bentuk-bentuk alternatif organisasi ekonomi. Dalam konsep kelembagaan ekonomi baru, yang mempertimbangkan kekhususan aset, dan keberadaan opportunist yang terpenting adalah biaya transaksi, biaya negosiasi, jaminan, dan penyelesaian transaksi melalui ekonomi pasar dan semua itu merupakan pilihan rasional (Coase, 1984); (Simons, 1957). 198

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Kepentingan industri adalah keberlanjutan usahanya. Sedangkan kepentingan negara terhadap pendapatan dan pengendalian rokok. Kepentingan masyarakat adalah pengendalian dampak asap rokok yang merugikan kesehatan di satu sisi, tetapi di sisi lain sebagian besar terus mendukung karena manfaat yang diberikan rokok secara ekonomi, sosial dan budaya. Industri bekerjasama dengan masyarakat baik kelompok yang mendukung maupun menolak melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam berbagai bentuk kegiatan ekonomi, sosial, kemanusiaan, pendidikan, seni. Di satu sisi perusahaan melakukan fungsi dan tanggung jawab sosial untuk membantu masyarakat, sekaligus mengokohkan posisi pabrik dan industri di tengah masyarakat. Penggunaan aval/ jengkok dan tornette sebagai bahan tembakau setelan, merupakan bentuk sinergi antara pabrik besar (golongan I) dengan pabrik golongan II dan III, sekaligus bentuk persaingan yang menggambarkan pertentangan di antara pabrik dalam berbagai skala karena kepentingan pasar. Penyediaan jasa membuat saos bagi pabrik yang membutuhkan adalah aplikasi hak-hak property yang tidak sejalan dengan pendapat Cheung, (1970,1974) ; North dan Thomas, (1973); Alchian (1950) dan Demsetz, 1983; North, (1973). Kerja sama di antara para pabrik untuk mengembangkan varian rokok merupakan bentuk insentif dari kelembagaan baru yang informal dan fleksibel tetapi dapat melemahkan pembaharuan (inovasi) dan hubungan pribadi para enterpreuners. Tetapi dalam waktu yang bersamaan kondisi ini dapat menguatkan hubungan dalam rantai bahan baku, produksi dan pemasarannya. Modal Sosial Sebagai Dasar Sinergi Modal sosial terdiri dari bounding, bridging dan linking (Putnam, 1993; Fukuyama, 1999). Pada industri rokok, bounding 199

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal terjadi pada proses dan sistem pengadaan bahan baku, produksi dan pemasaran yang terintegrasi secara horizontal. Sedangkan rantai industri rokok dengan industri terkait, terintegrasi secara vertikal. Proses, sistem produksi dan pemasaran merupakan arena (field) (Boerdieu, 1982) bagi pelaku usaha/industri untuk bertarung dalam rangka memenangkan persaingan. Pada rokok, proses dan sistem mengikuti produksi dan pasar yang ditetapkan oleh pabrik atau industri. Semakin pasar dapat dibentuk semakin stabil, dan sebaliknya, jika pabrik dan industri tidak dapat menciptakan pasar maka permintaan menjadi sangat dinamis dengan ketidak pastian tinggi. Dalam kondisi yang demikian maka proses dan sistem menjadi sangat fleksibel. Rantai produksi dan pasar tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi tetapi juga non ekonomi. Kebiasaan masyarakat untuk mengintegrasikan diri kepada rantai suatu pabrik tertentu akan lebih menjamin kepastian pendapatan, keuntungan atau keberlanjutan usaha. Tetapi pada saat yang lain, rantai yang tidak terintegrasi dengan kuat hanya kepada salah satu pabrik memungkinkan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Misalnya ketika tembakau yang dihasilkan cocok dengan rokok yang akan diproduksi pabrik lain, dan dengan demikian pemasok dapat memperoleh harga yang lebih baik. Tembakau merupakan komoditas yang bersifat fancy product, harga ditentukan kualitas sedangkan kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang dapat bersifat khusus terkait jenis rokok yang akan diproduksi. Jenis rokok tertentu menggunakan jenis tembakau tertentu dalam komposisi tertentu. Informasi tentang kualitas tembakau yang diperlukan harus dapat diakses oleh organisasi yang ada dalam rantai pengadaan bahan baku (pengepul) yang juga memiliki akses kepada penguasa gudang tembakau, dan sampai kepada petani sebagai pemilik tembakau. Informasi diakses oleh aktor yang memiliki ikatan untuk mencapai keuntungan yang sama. 200

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Produksi rokok dengan kelembagaan yang sangat informal dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Mobilitas bahan baku, tenaga kerja dan faktor produksi lain dalam kelembagaan yang informal hanya mengandalkan kepentingan yang sama yang dibangun dan terlembaga dalam bentuk trust, oleh pabrik dan para aktor di dalamnya. Demikian juga untuk pemasaran, sekalipun dalam skala kecil (golongan III), pabrik memiliki jaringan agen yang bertugas sebagai informan pasar sekaligus agen pemasaran. Pabrik besar (golongan I dan II) agen dapat berdiri sendiri sebagai perusahaan dalam rantai atau perusahaan yang memiliki spesialisasi sebagai pemasar. Nilai dan kepentingan yang sama berkembang dengan memanfaatkan interaksi sosial secara horizontal (bounding) maupun vertikal (linking). Sehingga sepanjang rantai produksi dan pasar diikat oleh suatu kepercayaan (trust) dan perasaan saling memahami kondisi yang ada, maka sangat jarang terjadi kemarahan karena kesepakatan yang saling diingkari atau kejadian one prestasi di antara aktor dalam rantai. Rantai pemasok bahan baku dan pengadaan produksi serta pemasaran bekerjasama dalam rangka menghasilkan rokok sebagai produk yang menguntungkan semua pihak, atau menanggung resiko karena perubahan permintaan pasar atau kondisi lain yang tidak dapat dikendalikan. Kerjasama didasari oleh sinergi karena mempertimbangkan, mengembangkan dan memanfaatkan modal sosial masyarakat sebagai pendukung industri rokok. Konflik dan Pihak yang Dikorbankan Konflik merupakan dampak kontroversi yang berkepanjangan. Kontroversi para pihak yang terlibat dalam persaingan, tekanan masyarakat yang menolak dan mendukung keberadaan industri rokok, serta kebijakan negara. Kebijakan negara terhadap industri rokok bertentangan satu dengan lainnya. Di satu sisi kepentingan 201

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal pengendalian rokok, dan di sisi lainnya adalah peningkatan pendapatan cukai. Terjadinya konflik di antara para stakeholder pada akhirnya mengorbankan pihak-pihak yang memiliki daya tawar paling lemah, dan pabrik yang tidak memiliki akses kepada penguasa (layer 2). Keberadaan industri di layer 2 (dua) bersifat informal, keberadaannya semata-mata karena bertahan hidup (survive); sejarah usaha keluarga yang telah berlangsung turun-memurun sehingga harus dipertahankan serta sebagai bagian dari budaya (barang image atau makna ). Berbagai hal tersebut di atas digerakan oleh suatu kekuatan kapitalis sebagai desainernya. Kekuatan kapitalis bekerjasama dengan negara untuk mewujudkan tujuan dan kepentingan masing-masing. Kapitalis juga bermain dalam proses dan sistem yang terbangun sebagai rantai. Kapitalis dalam kelembagaan rokok yang informal dapat berbentuk motif yang mendasari sikap para aktor yang mencari menang sendiri, untuk kepentingan sendiri dengan mendistribusikan segala sesuatu yang mendatangkan keuntungan dengan tidak adil, hirarchis dan eksploitatif. Konflik yang terjadi merupakan konsekuensi dari adanya kontroversi dan perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan dapat dicapai dengan bersinergi tetapi pada suatu saat sinergi tidak akan menguntungkan secara optimal bagi semua stake holder. Oleh karena itu agar keuntungan maksimal, harus ada yang dikorbankan yaitu mereka yang memiliki bargaining paling lemah dan tidak memiliki informasi yang lengkap serta tidak mendapatkan akses terhadap sumber daya yang dipertentangkan. Kondisi tersebut membuktikan adanya peran kapitalis yang bekerja dalam kelembagaan rokok yang fleksibel dan informal, karena berbasis jaringan. Tekanan yang dihadapi industri mendorong maraknya rokok illegal. Hal ini terjadi karena persaingan yang ketat, menyebabkan kelembagaan pada rokok harus berubah. Dari kelembagaan yang formal, tersentral dan kaku menjadi kelembagaan yang informal, 202

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya fleksibel yang memungkinkan pabrik dan industri bekerja secara efisien. Di sisi lain, kebijakan yang dibuat menggunakan paradigma lama, yaitu industri sebagai lembaga yang formal, kaku dan tersentral. Dalam aplikasinya konsep yang berbeda menyebabkan kebijakan tidak relevan dan saling berbenturan satu dengan lainnya. Konsep dan realitas tidak pernah bertemu. Segala sesuatu yang tidak sama dengan pemerintah (karena konsep yang digunakan tidak sama), menyebabkan munculnya stigma rokok illegal. Desentralisasi untuk Memenangkan Persaingan Industri rokok tumbuh sebagai klaster alamiah. Klaster bekerja sebagai rantai nilai (value chain) untuk mencapai nilai tambah (value added) (Porter, 2002). Lima aspek penting sebagai kekuatan kompetitif yang saling bersaing untuk memperebutkan pasar baru atau mempertahankan pasar yang telah dikuasai sebelumnya. Masing masing aspek memiliki daya tawar terhadap industri rokok. Pada saat yang sama pabrik dalam industri saling bersaing. Aspek-aspek sebagai kekuatan kompetitif dalam persaingan industri tersebut adalah para pemain baru (pabrik) yang terus muncul, konsumen, pemasok (supplier); produk pengganti (substitusi) rokok dan daya tawar pabrik yang menjadi bagian penting dalam persaingan dalam industri (Porter, 2002). Kelima aspek kekuatan kompetitif tersebut didalam industri rokok saling berinteraksi, bekerjasama dan terintegrasi secara vertikal atau horizontal dalam proses dan sistem produksi serta pemasaran. Secara bersamaan kekuatan kompetitif berinteraksi menentukan posisi persaingan pabrik. Kekuatan daya tawar kelima aspek ditentukan oleh biaya beralih dan atau hambatan masuk yang ditetapkan oleh pabrik di dalam industri. Lima kekuatan kompetitif (Porter, 2002) bekerja sebagai suatu sistem dalam rantai produksi dan pemasaran. Penyedia bahan baku rokok (tembakau dan cengkih)merupakan bagian rantai produksi yang penting bagi pabrik dalam industri. Daya tawar supplier lemah terhadap pabrik dalam industri. Pabrik besar merespon daya tawar 203

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal supplier bahan baku dengan suatu ikatan sebagai mitra dan menyebabkan supplier menjadi sangat tergantung. Pabrik memiliki hambatan terhadap pemasok, berupa kapasitas produksi yang disebabkan dinamika pasar. Pemasok bahan baku tidak hanya satu untuk satu pabrik tetapi lebih banyak pemasok untuk pabrik yang terbatas. Keterbatasan pabrik untuk menggunakan tembakau disebabkan oleh jenis tembakau tertentu digunakan untuk rokok tertentu, atau tidak semua tembakau cocok sebagai bahan semua rokok. Keterbatasan juga disebabkan karena tidak semua pabrik menggunakan tembakau dan cengkih asli. Kekuatan pemain baru dalam industri harus dapat mengatasi kekuatan pemain lama. Ketika pemain baru dapat membawa produk dengan image baru kemungkinan akan mendapatkan pasar, yang berasal dari konsumen yang beralih dari produk lama. Product image, merupakan salah satu respon terhadap entry barrier yang diciptakan oleh pabrik bagi para pemain baru. Daya tawar pemain baru lainnya adalah varian rasa dan harga. Bagi pasar yang terpengaruh issue kesehatan yang dikampanyekan oleh masyarakat anti rokok, maka rokok sehat adalah alasan untuk beralih. Tetapi bagi pasar yang tidak terpengaruh, apapun mereknya, asal memenuhi selera dan harganya murah akan mendapat respon positif dari pasar. Pabrik juga menghadapi produk pengganti, baik untuk jenis rokok putih maupun rokok kretek. Rokok putih dan rokok kretek khususnya akan menghadapi produk pengganti berupa rokok tingwe yang belakangan menjadi trend dikalangan orang muda, karena dalam proses nglinting dewe memiliki kepuasan tersendiri. Rokok tingwe menjadi suatu symbol budaya baru di kalangan orang muda, dari budaya orang tua yang telah berlangsung turun menurun. Produk pengganti dapat berupa pengganti rokok yang ditawarkan oleh pabrik yang tidak mendukung rokok. Permen dan obat untuk mengatasi kecanduan rokok yang diproduksi oleh pabrik global. 204

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Demikian pula rokok sehat yang memiliki standar tar dan nikotin tertentu sebagai rokok sehat. Industri rokok global dan perusahaan industri farmasi memanfaatkan situasi dan kondisi dilematis yang dihadapi oleh industri rokok nasional untuk memperjuangkan kepentingan mereka, dengan berlindung dibalik issue kesehatan. Pada saat memperjuangkan kepentingan kesehatan maka pabrik produk barang pengganti saling berhadapan dengan pabrik rokok. Konsep kesehatan dipahami dengan cara berbeda. Kesehatan yang menggunakan argument adiktif dalam arti luas dan adiktif dalam arti sempit. Rokok, merupakan produk sosial dan budaya yang bermanfaat bagi kesehatan, misalnya berbagai tradisi pengobatan yang dilakukan masyarakat secara turun menurun menggunakan bahan dasar rokok yaitu tembakau. Rokok kretek ditemukan dan berkembang sebagai obat bagi penemunya Haji Jamhari yang berasal dari Kudus. Perubahan kelembagaan disebabkan oleh perubahan di dalam daya tawar yang relatif terhadap peraturan. Perubahan-perubahan timbul karena mengutamakan perubahan perubahan yang terus menerus dari harga-harga relatif (North, 1984 : 260). Perubahan harga relatif digerakkan oleh perubahan demografis, perubahan informasi dan teknologi. Dinamika perubahan kelembagaan dalam teori North berakar dari interaksi yang berlangsung terus menerus antara lembaga-lembaga dan organisasi dalam konteks bersaing ketika sumber-sumber semakin langka. Pabrik yang berhasil membentuk product knowledge akan berhasil membuat image bagi konsumen dan menjadi hambatan konsumen untuk beralih. Kemampuan pabrik untuk mempertahankan konsumen dapat menyebabkan stabilitas permintaan. Sebaliknya, ketika pabrik tidak berhasil membentuk product knowledge maka permintaan pasar tidak dapat dikendalikan, dan bersifat sangat dinamis. Rokok, adalah produk simbolik, sehingga tidak hanya menjual selera dan rasa tetapi juga makna dan image kepada para penyukanya. Pengusaha pada berbagai skala pabrik bersaing sesuai 205

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal dengan kapasitas dan golongannya secara bebas, karena rokok mengacu pada pasar bebas. Perubahan permintaan pasar menyebabkan perubahan produksi. Perubahan produksi akan menentukan sistem dan organisasinya. Perubahan sistem dan organisasi mempengaruhi nilai yang disepakati oleh pelaku dalam rantai produksi dan pasarnya. Perubahan produksi karena persaingan yang dinamis harus disertai dengan strategi yang fleksibel. Misalnya kerja sama produksi dengan pabrik lain, melakukan spesialisasi hanya pada produksi saja dan menyerahkan proses distribusi pada perusahaan lain, atau melakukan sub-kontrak produksi dengan pabrik skala mikro/ kecil dan menengah. Sehingga kelembagaan pada industri rokok berubah dari pabrik konvensional menjadi pabrik yang modern, berbasis jaringan.terjadi sinergi pabrik secara horizontal maupun vertikal. Industri bekerja berbasis jaringan (network enterprise) (Castells, 2000). Perusahaan yang berbasis jaringan berdampak pada kelembagaan yang menjadi fleksibel. Perusahaan yang fleksibel sebagai bentuk yang tepat dalam merespon kondisi persaingan dalam industri rokok yang semakin ketat. Jaringan yang terbangun melibatkan pabrik sebagai rantai produksi dan pemasaran secara horizontal (bounding), maupun industri lain yang secara bersama terkait dengan industri rokok, misalnya pabrik kertas, pita cukai (bridging). Jaringan diantara para aktor dalam rantai diikat oleh trust, yang berkembang karena kepentingan yang sama (Fukuyama, 1999; Putnam, 1993). Penggunaan bahan baku rokok sampah, lebih pada bentuk persaingan yang terselubung karena pabrik pengguna tembakau dapat melakukan penggembosan terhadap pabrik yang memiliki rokok aslinya (yang menghasilkan limbah) karena rasanya sama, walaupun merek nya dibuat berbeda dan harganya lebih murah. Penggembosan, adalah bagian dari strategi persaingan yang dilakukan oleh pabrik 206

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya rokok kecil (golongan I dan II) terhadap pabrik golongan I dengan cara mendaur ulang limbah menjadi rokok baru. Rokok Industri Pendukung Industri yang Tidak Mendukung Gambar 32 Persaingan Industri Rokok Pada Layer 2, Kapitalistik Penggunaan tembakau setelan tidak menyebabkan adanya stigma rokok illegal, selama tetap menggunakan pita cukai sesuai peraturan. Penggunaan tembakau setelan adalah bentuk inovasi untuk menciptakan efisiensi dan memaksimalkan keuntungan. Tembakau setelan merupakan hasil pemikiran yang rasional-ekonomis untuk merespon persaingan dan menyesuaikan (coping) dengan kondisi yang terjadi. Rokok illegal bukan pada bahan baku tetapi pada motivasi dan praktek pemalsuan rokok, atau penggunaan pita cukai yang tidak sesuai peraturan. Perbedaan konsep terjadi dalam persaingan, kepentingan global berhadapan dengan kepentingan nasional; kepentingan pabrik berhadapan dengan kepentingan pabrik lainya dalam berbagai golongan. Persaingan semakin ketat ketika terjadi restrukturisasi kelembagaan ekonomi global. Dampak restrukturisasi terjadi sampai pada skala pabrik. Sejalan dengan Furubotn dan Richter (1993); Harris, et al (1995), restrukturisasi menyebabkan perubahan institusi dan kelembagaan. Pada industri rokok hal tersebut juga terjadi, ketika pada era global dan persaingan global terjadi restrukturisasi yang berdampak sampai kepada skala pabrik. Oleh karena itu pada skala pabrik dituntut untuk selalu melakukan adaptasi (coping) dengan 207

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal bekerja dalam kondisi efisien dan harga yang bersaing. Pada saat yang sama berkembang issue rokok yang merugikan kesehatan, dan harus diakomodasi. Sehingga cara produksi dan kelembagaan pada skala pabrik berubah. Pabrik harus menciptakan efisiensi untuk keberlanjutan dan di sisi lain menjaga tekanan masyarakat nasional dan global terkait issue kesehatan. Sinergi yang terjadi adalah bagaimana menciptakan kinerja yang efisien dan keuntungan yang maksimal, sharing keuntungan, keputusan produksi dan menjaga issue global tentang kesehatan terekspresikan dalam penetapan golongan pabrik dan semua konsekuensinya termasuk hak-hak yang ditetapkan. Sekalipun dalam implementasinya tidak adil antara golongan I,II dan III. Ada kekuatan (sistem) yang melembaga dan bergerak dalam area kelembagaan informal. Dalam hal ini New Institusional Economic (NIE) dimengerti bukan dalam suatu bentuknya yang formal tetapi dalam konteks informal lebih kuat. NIE, termasuk nilai-nilai yang berkembang, dianut dan disepakati serta terlekat (embedded) di dalam diri para aktor (Granovetter,1985) yang terekspresikan melalui interaksi para aktor di dalam field (Boerdieu, 1982), yaitu rantai produksi dan rantai pemasaran. Dampak persaingan yang ketat menyebabkan industri mengubah proses dan sistem yang terpusat, kaku dan formal menjadi berbagi peran (sharing), atau menyerahkan bagian pekerjaan/kegiatan kepada pihak lain. Desentralisasi, dalam bentuk sub-kontrak, spesialisasi, maklon menyerahkan produksi, pengadaan bahan baku, dan pemasaran. Desentralisasi dianggap paling tepat karena memungkinkan pabrik dan industri bekerja dengan efisien. Keuntungan yang diperoleh bukan hanya optimum tetapi maksimal sekalipun harus melakukan sharing profit dengan perusahaan lain. Keuntungan yang diperoleh semakin besar bukan hanya dapat menutupi biaya produksi yang dinamis, tetapi juga memungkinkan pabrik dan industri melakukan berbagai inovasi. Inovasi produk dilakukan untuk mendesain pasar. Pasar sangat dinamis karena sifat produk di satu sisi dan karakteristik konsumen di 208

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya sisi lain. Konsumen sangat mudah beralih karena rokok sebagai barang preferen. Tetapi konsumen dapat sangat loyal karena rokok adalah produk image. Ketika pabrik dan industri mampu menciptakan image bagi konsumennya maka pabrik dapat mengendalikan konsumen sedemikian rupa dan permintaan pasar terus dapat menjamin keberlanjutan pabrik. Demikian juga ketika pabrik dan industri mampu melakukan inovasi produk, menciptakan diversifikasi produk dan variannya sesuai selera dan tuntutan masyarakat, maka akan selalu tercipta pasar baru dan konsumen baru. Pabrik dengan industri pendukung bekerjasama untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya. Pada saat yang bersamaan pabrik dalam skala dan pabrik yang berbeda skala bersaing untuk memperebutkan konsumen. Dampak inovasi yang dilakukan dalam kerjasama pabrik dengan industri pendukung menghasilkan semakin banyak merek dan varian (rasa) rokok, sekaligus image yang tercipta semakin bervariasi mengikuti gaya hidup masyarakat. Persaingan di antara pabrik dalam industri semakin ketat. Dalam kondisi seperti ini pabrik yang memiliki kapasitas dan daya tawar paling lemah akan menjadi korban. Industri rokok bukan hanya industri yang tampak di permukaan, sebagai industri yang formal. Industri rokok sebagai jaringan yang terdiri dari layer-layer dimana terdapat layer yang tidak tampak di permukaan dan bersifat informal, tidak terintegrasi, fleksibel, yang melembaga sedemikian rupa karena diikat oleh trust. Munculnya trust karena nilai dan norma yang sama, disepakati untuk mencapai tujuan bersama. Pada saat yang sama saling bersaing untuk mancapai tujuan masing-masing. 209

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Industri Formal Bhn Baku I ------------------------------------------------------------------ Industri II Informal -------------------------------------------------------------------- Industri Yang tidak terlihat Pemasar Industri Produksi RT Cukai III Gambar 33 Industri Rokok, sebagai network enterprise Kapitalis global sebagai desainer, tidak selalu terkait sebagai pemilik usaha. Sebagai industri jaringan tidak ada lagi kepemilian pribadi terhadap suatu pabrik. Industri yang bekerja berbasis jaringan, terintegrasi kuat secara horizontal dan vertikal dengan industri sejenis maupun industri terkait (bersifat informal). Tujuan utamanya adalah mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu harus bekerja efisien. Agar dapat bekerja secara efisien, maka pabrik dan industri harus melakukan inovasi, baik produk maupun pasar. Sehingga kerja sama antara pabrik rokok dan industri pendukung untuk mencapai kepentingan masing-masing dapat tercapai. Kapitalis tidak identik dengan pemilik perusahaan. Burawoy (1979), mengintegrasikan pendapat konsep Marxis dalam industri. Dalam kelembagaan yang informal dan fleksibel, pemilik perusahaan (owner) jarang ditampilkan sebagai pemegang otoritas. Desentralisasi yang terjadi memungkinkan pabrik terpecah sebagai anak rantai yang terorganisir secara terpisah dan mandiri. Dalam kondisi seperti ini tidak efisien untuk melibatkan pemilik. Pemilik semakin kecil wilayah fisiknya, tetapi kekuatan kapitalis dapat menguasai dan memiliki otoritas untuk mengendalikan seluruh rantai. Kapitalisme dalam bentuk murni menghendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak dibenarkan adanya 210

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya pengaturan ekonomi oleh pemerintah kecuali dalam hal-hal yang tidak diatur sendiri oleh individu (Ma arif, 2006: 100). Sehingga pemerintah dengan intervensinya tidak boleh mengganggu kemampuan dan hasil inovasi pabrik. Konsumen adalah bagian terpenting dari persaingan industri rokok. Konsumen tidak hanya tumbuh secara alami tetapi pabrik harus dapat menciptakan pasarnya. Sehingga konsumen adalah pasar yang didesain oleh pabrik agar memiliki loyalitas, tumbuh konsumen baru dan pada akhirnya secara berkelanjutan dapat menciptakan permintaan yang efektif terhadap produk rokok. Sebagai produk image, pabrik dan konsumen bekerjasama untuk mencapai kepentingan masing-masing. Konsumen dipuaskan karena image yang diciptakan bagi mereka, dan pabrik mendapatkan jaminan keberlanjutannya. Pada saat yang bersamaan, konsumen yang terpengaruh issue kesehatan hanya akan memilih rokok sehat. Sehingga terjadi konflik antara konsumen dan pabrik karena issue kesehatan dan rokok sehat. Tetapi pabrik akan terus menciptakan varians (rasa) rokok bagi penyukanya sebagai barang preferens. Pasar akan selalu dimanjakan dengan hasil inovasi yang melahirkan rokok baru dengan mengikuti karakteristik, budaya dan selera konsumennya. Bahkan konsumen dapat menjadi raw models yang diciptakan oleh pabrik untuk mencapai kepentingan konsumen yang mendukung rokok. Sejalan dengan pendapat (Simons, 1957) tentang pilihan rasional, bahwa perubahan kelembagaan melihat organisasi-organisasi sebagai pelaku rasional dalam mengejar keuntungan yang berasal dari perubahan harga relatif. Masyarakat dan Kontroversi Rokok Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok karena dampak asapnya yang merugikan kesehatan, diaplikasikan pada peraturan tentang iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya merokok pada bungkusnya, serta kawasan bebas rokok. Kondisi ini 211

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal berdampak secara langsung terhadap pabrik besar, tetapi tidak secara langsung dirasakan oleh pabrik kecil. Pabrik besar memproduksi rokok untuk masyarakat yang memiliki pendapatan menengah dan tinggi dengan pemahaman terhadap kampanye anti rokok lebih baik. Pabrik kecil, memproduksi rokok dengan konsumen yang lebih banyak di daerah pedesaan yang terpencil, kurang memahami dan merespon kampanye anti rokok, karena memiliki ikatan kuat terhadap rokok sebagai bagian dari kehidupan sosial dan budayanya. Masyarakat konsumen pada segmen tersebut kurang terpengaruh pada ada atau ketiadaan iklan, batasan tar dan nikotin, peringatan bahaya merokok serta peraturan tentang kawasan bebas merokok. Bagi mereka rokok semakin mantap, apabila kadar tar dan nikotinnya semakin tinggi. Hal ini bertentangan dengan peraturan pemerintah dengan standarisasi tar dan nikotin rendah. Perbedaan persepsi terhadap keberadaan rokok, yang merugikan kesehatan dengan manfaat ekonomi, sosial dan budaya yang dirasakan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat sebagai bagian dari rantai produksi dan bisnis rokok terus akan berlanjut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Newstorm dan Davis (1977), bahwa konflik yang dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan dan perbedaan persepsi akan mendorong munculnya kontroversi yang terus menerus. Faktanya, pertentangan yang terjadi dalam masyarakat tidak akan mencapai titik temu, selama masih ada masyarakat yang mendukung keberadaan rokok dengan berbagai alasannya sendiri yng berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang menolak keberadaan rokok. Masyarakat yang menolak dan mendukung rokok tidak dapat dipisahkan, karena mereka senantiasa berhubungan satu dengan lainnya sebagai sistem dalam komunitas masyarakat. Pada suatu saat mereka akan saling berhubungan dalam berkehidupan dan pada saat yang bersamaan memiliki kepentingan yang berbeda terhadap rokok. Sehingga konflik tidak dapat dihindari. Hal ini sejalan dengan pendapat Gibson, et al (1997:437) dan Robbin (1996), bahwa adanya interelasi yang melibatkan kelompok masyarakat yang memiliki 212

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya tujuan atau kepentingan berbeda tidak dapat menghindari adanya konflik. Menurut pandangan konvensional, konflik harus dihindari karena merugikan masyarakat yang terlibat dalam konflik. Tetapi pandangan modern, konflik yang berkembang menjadi kontroversi dapat mendorong munculnya dampak baik terhadap industri, dan masyarakat karena dapat meningkatkan kinerja organisasi (Stoner dan Freeman,1989). Industri rokok akan semakin terdorong untuk melakukan berbagai inovasi produk dan pasar untuk menjawab keberatan yang menyebabkan adanya penolakan terhadap rokok. Kontroversi, mendorong adanya peluang berbagai kajian dan temuan yang mendukung pendapat dan pandangan masing-masing kelompok. Selama terjadi kontroversi terhadap rokok karena dampak buruknya bagi kesehatan, maka telah ditemukan metode balur tembakau untuk kesehatan menggunakan teknologi nano. Namun juga semakin banyak temuan untuk mendukung pendapat bahwa rokok merugikan, baik secara ekonomi, sosial, budaya. Temuan tersebut akan semakin memperkuat fakta, baik yang merugikan atau menguntungkan masyarakat. Di sisi lain konflik dan kontroversi terhadap keberadaan rokok tidak akan segera usai. Pengelolaan konflik oleh pemerintah dengan mengakomodasi keberatan melalui peraturan yang ada tidak akan mudah untuk menghasilkan kolaborasi. Karena masing-masing kelompok yang memiliki pandangan berbeda tidak dapat melakukan komunikasi dan negosiasi dengan baik. Jun Qura, (2007) dan Sobirin, (2010) mengusulkan pilihan-pilihan di antara pengabaian, mendorong kolaborasi diantara masyarakat yang berkonflik karena dampaknya lebih ringan dibanding jika tidak berhasil mengelola dengan baik akan terjadi konfrontasi dalam berbagai bentuk, mulai saling menyerang dengan opini masing-masing sampai kepada tindak kekerasan dan ancaman antara kelompok yang satu dengan lainnya. Realitas yang terjadi dalam masyarakat antara yang pro dan menolak rokok tidak benar-benar melakukan ancaman terhadap 213

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal industri rokok, tetapi secara individu yang anti rokok kepada individu lainnya yang pro rokok. Secara sistem, penolakan terhadap rokok tidak akan berhasil karena industri mendapat dukungan dari kelompok masyarakat pro rokok. Sebagai dampak adanya konfrontasi, pada akhirnya pemerintah akan melakukan ancaman, antara lain dengan memberikan stigma terhadap rokok yang melanggar peraturan sebagai rokok illegal. Fatwa haram terhadap rokok, tidak efektif dipatuhi oleh masyarakat karena masyarakat memiliki keyakinan yang berbeda dengan dasar yang digunakan untuk mengharamkan rokok. Pada akhirnya fatwa haram diabaikan oleh kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berbeda. Rokok tidak haram tetapi makruh. Pembatasan rokok melalui kawasan bebas rokok hanya efektif dalam interaksi masyarakat secara individu, karena peraturan daerah yang telah dibuat di berbagai daerah tidak disertai sanksi bagi para pelanggarnya. Penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok bukan semata-mata didorong kepentingan masyarakat tetapi oleh kepentingan lain yang memanfaatkan kesempatan pada situasi konflik tersebut. Kepentingan lain tersebut adalah industri tembakau global yang berkepentingan memasarkan produk rokok putih yang diklaim sebagai rokok yang lebih sehat dibanding rokok kretek. Sehingga tekanan masyarakat memberi peluang persaingan antara industri rokok nasional dan industri rokok global untuk kepentingan masing masing. Argumentasi masyarakat yang menolak keberadaan rokok, karena rokok bukan hanya merugikan para perokok aktif tetapi juga para perokok pasif. Para perokok adalah orang sakit yang perlu diobati atau diberikan produk lain yang dapat menghilangkan kecanduan mereka terhadap rokok. Sehingga industri farmasi global yang memproduksi pengganti rokok dan obat kecanduan rokok berkepentingan terhadap konsumen rokok di Indonesia yang sangat 214

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya besar jumlahnya dan masih potensial dengan memanfaatkan peluang yang muncul akibat konflik yang terjadi. Nilai-nilai global digunakan untuk semakin menekan industri tembakau yang hanya mengijinkan rokok tidak beraroma, yaitu rokok putih. Nilai tersebut bertentangan dengan budaya lokal masyarakat Indonesia sejak turun temurun memanfaatkan tembakau dan produknya sebagai obat. Dalam perkembangannya nilai-nilai lokal tidak hanya berkembang pada bagaimana rokok yang mengandung cengkih bermanfaat untuk obat sakit ashma, tetapi dengan teknologi nano paparan asap rokok yang menjadi issue kesehatan menjadi obat yang berguna untuk pemuliaan sel dalam tubuh manusia. Nilai lokal berhadapan dengan nilai global. Argumentasi yang digunakan oleh masyarakat yang menolak keberadaan rokok adalah zat adiktif yang ada dalam tembakau-rokok dan merugikan kesehatan. Issue kesehatan yang bersumber dari zat adiktif, yang ada pada tembakau dan produk-produknya. Padahal nikotin yang dianggap sebagai zat adiktif bukan hanya berasal dari tembakau saja. Sehingga menyebabkan masyarakat terbagi menjadi dua, masyarakat yang menolak dan masyarakat yang mendukung rokok. Terhadap industri rokok, tekanan masyarakat yang menolak dan mendukung dapat saling bekerjasama dan sekaligus terjadi konflik karena kepentingan masing-masing. Masyarakat yang mendukung bukan hanya berkepentingan terhadap rokok dari sisi ekonomi, sosial dan budaya tetapi merespon issue kesehatan dari perspektif yang berbeda. Bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan sosial dan budaya bahkan aspek spiritual masyarakat dalam arti luas. Kepentingan masyarakat yang menolak adalah bahwa udara harus bersih dan bebas dari asap rokok, oleh karenanya rokok perlu dibatasi dengan berbagai peraturan yang menyangkut kesehatan, distribusinya melalui pembatasan iklan dan peringatan bahaya merokok, kawasan (daerah) bebas rokok, serta pembatasan tar dan nikotin. Industri merespon semua peraturan yang ditetapkan sebagai wujud kerjasama, dengan terus memproduksi rokok yang dianggap sehat agar pabrik terus dapat beroperasi. Pada saat yang bersamaan 215

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal masing-masing saling berkonflik, karena issue kesehatan yang diperjuangkan menimbulkan dilema dan masing-masing melakukan upaya pembuktian atas argumentasi yang diajukan. Kematian bukan hanya karena rokok, agar bisa merokok dengan nikmat orang harus sehat. Kalau tidak sehat rokok akan terasa pahit ketika diisap. Rokok seperti halnya obat, jika dikonsumsi tidak dalam takaran yang pas akan menjadi racun dalam tubuh, tetapi ketika dikonsumsi dalam takaran yang pas akan menyembuhkan. Penolakan masyarakat terhadap rokok menjadi suatu gerakan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non Government Organization (NGO) pada tingkat nasional maupun global. Penolakan menimbulkan konflik dengan gerakan yang sama tetapi mendukung keberadaan rokok. Fatwa haram terhadap rokok oleh Majelis Ulama Indonesia; Bloomberg Initiative yang mendukung kampanye anti tembakau-rokok; berhadapan dengan Masyarakat Bangga Produksi Indonesia (MBPI); Komunitas Balur Tembakau dll. Pada saat yang sama, masing-masing bekerjasama dan menyepakati bahwa yang haram terhadap rokok adalah anak-anak dan perempuan hamil. Nilai nilai lokal yang terkait dengan rokok terus dikembangkan untuk merespon nilai nilai global yang digunakan untuk menekan industri rokok. Pada tataran praktis, selalu ada kontroversi karena perbedaan konsep seperti yang dikemukakan oleh Newstorm dan Davis (1977). Gibson, et al (1997:437), tentang tuduhan adiktif secara sempit dengan segala konsekuensinya dan pemahaman adiktif secara luas. Kontroversi ini akan terus terjadi karena kedua kelompok terus saling berinterelasi dalam kehidupan (Robbin, 1996). 216

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Negara dan Industri, Kompleksitas Kepentingan Jutting (2003), menjelaskan bagaimana pemerintah sebagai representasi negara berkepentingan dalam pembangunan dengan mengembangkan kelembagaan yang ada untuk tujuan pembangunan secara komprehensif. Kepentingan negara untuk membatasi rokok, karena rokok merupakan barang kena cukai. Kebijakan terkait cukai digunakan untuk membatasi produk, distribusi dan konsumsi rokok. Untuk memudahkan pengawasan maka negara bernegosiasi dengan industri, dan membagi pabrik dalam industri dalam golongan yang berdasarkan pada produksi maksimal yang diijinkan. Sekalipun dalam aplikasinya tidak adil, karena untuk golongan I, II dan III berbeda. Kebijakan adalah perwujudan apa yang akan dan tidak dilakukan oleh pemerintah (Dye,2002). Pemerintah berkepentingan terhadap rokok karena rokok merupakan barang kena cukai (BKC). Oleh karenanya pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan produk, peredaran dan konsumsinya. Kenaikan dan perubahan tarif cukai berhasil mengurangi jumlah pabrik, khususnya yang tidak mampu bersaing karena beban pita cukai yang semakin berat. Pabrik yang bangkrut kebanyakan berskala kecil (golongan III). Tetapi berkurangnya pabrik tidak secara signifikan mengurangi jumlah produksi, distribusi dan konsumsi rokok. Pengusaha pabrik yang bangkrut sulit untuk beralih usaha. Kepentingan pabrik untuk kembali beroperasi karena tuntutan hidup; bahwa rokok merupakan satu-satunya keahlian yang dimiliki; pabrik menanggung banyak orang yang terlibat dalam rantai produksi, dan bisnisnya. Masing-masing dengan tanggungannya, yang terus berusaha bertahan hidup dan rentan terhadap kondisi kemiskinan. Fleksibilitas sebagai usaha mikro / rumahan memungkinkan mereka beroperasi lagi walaupun tidak dalam legalitas sebagai pabrik rokok sesuai peraturan. Aplikasi kebijakan saling berbenturan, membingungkan pelaku usaha/industri rokok yang seringkali justru diabaikan oleh pelaku usaha/industri. Disisi lain, pengabaian terhadap berbagai peraturan mendorong munculnya stigma rokok illegal. 217

Sintesa: Kelembagaan Industri Rokok yang Semakin Fleksibel dan Informal Pada saat yang bersamaan pabrik baru terus tumbuh, bukan hanya pabrik golongan III, tetapi juga pabrik golongan I yang membeli pabrik golongan II dan III; serta pabrik golongan I dan II yang melakukan ekspansi dengan mengembangkan pabrik atau mendirikan pabrik baru. Investasi rokok asing di Indonesia dapat dilihat dari beroperasinya pabrik rokok asing, maupun alih kepemilikan industri rokok nasional oleh industri global. Kepentingan negara untuk membatasi rokok karena sebagai barang kena cukai dalam aplikasinya bertentangan dengan kepentingan pemerintah terhadap rokok sebagai sumber pendapatan, berupa pajak (cukai). Kebijakan kenaikan cukai ditujukan untuk mencapai target pendapatan yang ditetapkan. Target penerimaan cukai ditetapkan semakin meningkat dari waktu ke waktu dan selalu dapat terlampaui. Fungsi cukai sebagai pajak rokok bertentangan dengan maksud untuk membatasi dan mengendalikan rokok. Kebijakan publik berkaitan tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan aktif (action) dan pasif (inaction) yang dilakukan pemerintah (Heidenheimer et al, 1990:3, dalam Parson, 2006). Hal tersebut didukung oleh Dye (2002:1), yang menitik beratkan kebijakan publik pada apa yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Pembatasan yang semakin ketat dalam realitasnya justru mendorong tumbuhnya pabrik rokok dalam jumlah dan skalanya. Munculnya pabrik baru, alih kepemilikan dari pabrik yang hampir mati oleh pabrik rokok, ekspansi, bertambahnya investasi asing dan operasi pabrik asing di Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan perlindungan kesehatan masyarakat sebagai akibat dari paparan asap rokok, dan zat adiktif yang ada di dalamnya. Oleh karena itu pabrik rokok harus dikurangi menjadi hanya 3-5 pabrik saja, produknya dibatasi hanya 260 milyar batang pada tahun 2020. Target ini ditetapkan untuk mendukung kebijakan Indonesia sehat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah membiarkan rokok untuk terus hidup karena kepentingannya terkait issue kemiskinan dan pengangguran. 218

Stigma Illegal Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya Tetapi kebijakan ditetapkan untuk menjadikan industri rokok di Indonesia berskala besar semua dengan mematikan industri rokok kecil dengan kebijakan persyaratan lokasi pabrik, minimal 200 m². Dalam kondisi pabrik golongan tiga banyak yang mati, produksi rokok telah mencapai lebih dari 240 milyar batang pada tahun 2010. Sifat kebijakan yang ambigu mengakibatkan kebijakan yang sering berubah, diskriminatif, tumpang tindih, membingungkan pengusaha. Kemungkinan respon pelaku usaha yang salah dapat terjadi mengingat pengusaha rokok memiliki kapasitas dan kepentingan yang beragam. Kepentingan pemerintah terhadap pengendalian rokok dan pendapatan mendorong implementasi kebijakan yang saling berbenturan. Kondisi tersebut menyebabkan pengusaha memberikan respon yang salah, tidak merespon atau mengabaikan ketentuan karena pengusaha juga memiliki kepentingan sendiri yang bertentangan dengan pemerintah. Pada akhirnya apa yang dilakukan pengusaha untuk mencapai tujuan dan kepentingannya bertentangan (tidak sejalan) dengan apa yang ditetapkan pemerintah, karena pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini bertentangan dengan pendapat Dewey (1927, dalam Parson, 2006:5-10), bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang menekankan pada publik dan problem-problemnya. Issue kesehatan yang dikembangkan secara global menekan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah merespon dengan kebijakan yang ditujukan semakin membatasi industri rokok. Standarisasi produk yang ditetapkan oleh global diadopsi untuk menetapkan standarisasi rokok nasional. Kepentingan nasional dikorbankan untuk kepentingan global. Terjadi konflik antara industri rokok dan pemerintah. Puncaknya adalah lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan. yang memuat peraturan tentang persyaratan iklan yang menggunakan media baliho dalam posisi melintang, peringatan bahaya merokok dengan gambar, standarisasi rasa dan aroma, termasuk tidak diperbolehkan menggunakan cengkih, standar tembakau sebagai bahan baku industri 219