5 PEMBAHASAN 5.1 Penyebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

Gambar 1. Diagram TS

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

Daerah penangkapan ikan pelagis kecil di Selat Sunda yang diamati dalam

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Jumlah Produksi YellowfinTuna

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN PEMBENTUKAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL DI SELAT SUNDA DHENIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN TONGKOL DI TELUK LAMPUNG

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

3. METODOLOGI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERTEMUAN KE-5 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN SIRKULASI MASSA AIR (Bagian 2) ASEP HAMZAH

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

Domu Simbolon. Staf pengajar pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatn Institut Pertanian Bogor

Universitas Sumatera Utara, ( 2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

Analisis Spasial dan Temporal Sebaran Suhu Permukaan Laut di Perairan Sumatera Barat

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

BAB III BAHAN DAN METODE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS POLA SEBARAN DAN PERKEMBANGAN AREA UPWELLING DI BAGIAN SELATAN SELAT MAKASSAR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

PENDUGAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL BERDASARKAN KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN TELUK LAMPUNG EKA SEPTIANA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

OLEH : SEPTIAN ANDI PRASETYO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Tengah dan Selatan. Rata-rata SPL selama penelitian di Zona Utara yang pengaruh massa air laut Flores kecil diperoleh 30,61 0 C, Zona Tengah yang

3. METODOLOGI. Gambar 7 Peta lokasi penelitian.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

KAJIAN HUBUNGAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG

Diterima: 14 Februari 2008; Disetujui: Juli 2008 ABSTRACT

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

2) The Lecturer at Department of Fisheries Resource Utilization Faculty of Fisheries and Marine Resources,University of Riau.

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN POTENSIAL IKAN TUNA MATA BESAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT DI PERAIRAN LHOKSEUMAWE

Transkripsi:

5 PEMBAHASAN 5.1 Penyebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Kondisi Suhu Permukaan Laut (SPL) secara temporal selama bulan Mei-Juli 2009 di perairan Selat Sunda mengalami fluktuasi. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai SPL bulan Mei dengan bulan Juni. Rata-rata nilai SPL bulan Mei lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai SPL bulan Juni. Kondisi SPL pada bulan Mei memperlihatkan kisaran SPL antara 26,86-33,54 C sedangkan kisaran SPL pada bulan Juni antara 29,49-32,61 C. Kondisi SPL pada bulan Mei diawali dengan suhu yang dingin dan terus meningkat pada hingga akhir Mei. Hal ini ditunjukkan dengan penaikan nilai rata-rata 8 harian SPL dari angka 29,85 C pada periode 1-8 Mei, 30,31 C pada periode 9-16 Mei, 30,72 C pada periode 17-24 Mei dan 30,84 C pada periode 25 Mei-1 Juni. SPL dengan suhu rendah pada awal Mei terjadi karena pada periode ini curah hujan masih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada citra SPL periode 1-8 Mei dan 9-16 Mei yang terdapat banyaknya tutupan awan (warna putih). Banyaknya tutupan awan mengakibatkan intensitas matahari yang masuk menjadi berkurang sehingga SPL menjadi lebih dingin. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kondisi meteorologi memiliki pengaruh terhadap suhu permukaan laut. Hal ini telah dikemukakan oleh Laevastu dan Hela (1970), yang menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut (SPL) adalah kondisi meteorologi, arus permukaan, ombak, upwelling, divergensi, konvergensi, dan perubahan bentuk es di daerah kutub. Faktor-faktor meteorologi yang mempunyai peranan dalam hal ini adalah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas matahari. Dengan demikian suhu permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman. Periode awal Mei 2009, perairan Selat Sunda masih dipengaruhi oleh musim barat sehingga SPL relatif rendah. Banyaknya tutupan awan merupakan salah satu karakteristik kondisi cuaca pada musim barat seperti terlihat di sekitar perairan Sumur, Anyer, Merak dan Pulau Sebesi. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa tutupan awan di atas 50% umumnya terjadi pada bulan November hingga Mei. Adanya penutupan awan yang tinggi pada musim barat berkaitan dengan

hembusan angin musim barat yang banyak membawa uap air yang menyebabkan awan menjadi tebal dan menutupi seluruh atmosfer. Namun tutupan awan tidak terjadi selama bulan Mei. Citra periode pertengahan hingga akhir Mei yaitu 17-24 Mei dan 25 Mei-1 Juni, tutupan awan hanya sedikit sehingga SPL pun menjadi lebih hangat karena intensitas matahari yang masuk lebih besar. Dengan ini berarti pengaruh musim barat di perairan Selat Sunda pada pertengahan Mei 2009 mulai melemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wyrtki (1961) yang menjelaskan musim barat terjadi sekitar bulan Desember sampai Februari, dimana umumnya angin bertiup kencang, curah hujan tinggi dan konsentrasi awan yang tebal. Musim pancaroba (peralihan) yang terjadi pada bulan April sampai Mei memiliki pengaruh musim barat yang mulai melemah. Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) secara temporal pada bulan Juni 2009 di perairan Selat Sunda mengalami kestabilan. Nilai rata-rata SPL pada bulan Juni memperlihatkan bahwa SPL perairan Selat Sunda didominasi suhu panas. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai rata-rata 8 harian SPL selama bulan Juni 2009 yaitu 30,62 C periode 2-9 Juni, 30,59 C periode 10-17 Juni, 30,37 C periode 18-25 Juni, dan 30,38 C periode 26 Juni-3 Juli. Faktor yang menyebabkan tingginya nilai SPL tersebut diantaranya karena secara teknis satelit Aqua MODIS melintasi equator pada siang hari mendekati pukul 13.30 waktu lokal. Faktor lainnya yaitu sudah tidak adanya pengaruh musim barat. Bulan ini curah hujan rendah, hal ini dapat dilihat dengan sedikitnya tutupan awan pada citra MODIS SPL perairan Selat Sunda selama bulan Juni. Perubahan nilai SPL yang menjadi hangat pada bulan Juni selain dipengaruhi oleh faktor teknis dan meteorologi, juga dipengaruhi oleh faktor arus. Hal ini dijelaskan oleh Wyrtki (1961) yang menyatakan selama musim transisi dari musim barat ke timur, arus musim yang mengalir sepanjang pantai selatan Pulau Sumatera dan arus khatulistiwa selatan dari lepas pantai Samudera Hindia, membawa massa air yang relatif hangat ke perairan Selat Sunda. Berdasarkan hasil citra satelit MODIS perairan Selat Sunda selama bulan Mei-Juli 2009, dapat dilihat sebaran spasial SPL yang terbagi atas 8 periode. Berdasarkan citra periode 1-8 Mei, ada indikasi ditemukan front yang berada di sekitar teluk Lampung dengan posisi 5,66 LS dan 105,26 BT. Front adalah

daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan dengan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2 C, maka daerah dengan massa air berbeda ini disebut front (Mann dan Lazier, 1996 yang dikutip oleh Adnan, 2008). Citra periode 9-16 Mei, ditemukan SPL yang lebih dingin dengan suhu hingga 26,86 C di sekitar perairan Merak namun diduga itu bukan merupakan front karena letaknya yang berada diantara tutupan awan sehingga rendahnya nilainya SPL kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Citra periode selanjutnya yaitu 17 Mei-3 Juli, sebaran nilai SPL yang ditampilkan bersifat homogen atau merata pada semua daerah. Secara umum, nilai kisaran SPL perairan Selat Sunda selama bulan Juni 2009 yang didapat dari pengolahan citra MODIS tidak jauh berbeda dari hasil penelitian sebelumnya. Supangat (2004) menyatakan pada bulan Juni (musim timur), sebaran temperatur permukaan berkisar antara 29,3-29,7 C. Temperatur yang lebih hangat hampir memenuhi seluruh perairan selat, sedangkan temperatur yang lebih dingin samar-samar mulai terlihat di depan Teluk Semangka. Kedalaman perairan 5-40 m sebaran horizontal temperatur masih identik seperti yang tergambar di permukaan. Kedalaman perairan 60-150 m, sebaran horizontal temperatur yang lebih dingin yang datang dari Samudera Hindia lebih mendominasi seluruh perairan selat. 5.2 Penyebaran Klorofil-a Secara Temporal dan Spasial Konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda pada bulan Juni lebih tinggi dari bulan Mei. Hal ini menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ramansyah (2009) yang menyatakan konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda dengan konsentrasi tinggi terjadi pada bulan Juni sampai Oktober (muson tenggara). Sedangkan konsentrasi klorofil-a Selat Sunda dengan konsentrasi rendah terjadi pada bulan Januari sampai Mei (muson barat laut).

Adanya pengaruh angin muson barat laut dalam penyebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda membuat citra periode 1-8 Mei dan 9-16 Mei sebagian besar tertutup awan. Hal ini mengakibatkan hanya sebagian kecil perairan saja yang dapat diambil nilai klorofilnya sehingga diduga sebagai penyebab rendahnya nilai klorofil-a pada periode ini. Namun Monk et al. (1997) mengkaitkan hal ini dengan keberadaan fenomena upwelling dengan menyatakan laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Berdasarkan pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Perairan Indonesia pada saat ini tidak terjadi upwelling dalam skala besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti yang mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m 3 dan 0,16 mg/m 3 selama musim barat, 0,21 mg/m 3 selama musim timur. Berdasarkan data anomali tinggi permukaan laut bulanan yang diambil pada periode Mei-Juni 2009 (Lampiran 5), topografi permukaan laut peraian Selat Sunda menunjukkan nilai positif yang berarti pada daerah tersebut mengalami downwelling, dimana massa air yang permukaannya yang lebih tinggi akan turun dan terdorong ke bawah. Syamsudin (1998) menyatakan bahwa kondisi oseanografi Selat Sunda kembali normal dan mulai terbentuk upwelling (taikan air) di perairan Barat Sumatra pada bulan Juli s/d Agustus 1998. Berdasarkan data anomali tinggi permukaan laut harian yang diambil dapat diketahui bahwa upwelling terjadi pada perairan Barat Sumatera mulai terjadi pada 11 Juni 2009 (Gambar 19). Hal ini ditunjukkan dengan anomali tinggi permukaan laut pada 10 Juni yang memperlihatkan nilainya yang positif. Dengan ini dapat diketahui bahwa peningkatan tajam nilai rata-rata klorofil-a pada periode 18-25 Juni diakibatkan adanya upwelling yang terjadi pada periode sebelumnya yaitu periode

10-17 Juni. Hal ini membuktikan bahwa konsentrasi klorofil-a di perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh fenomena ini. a) b) Gambar 19 Citra anomali tinggi permukaan laut. a) 10 Juni 2009 b) 11 Juni 2009 Secara umum dilihat dari penampakan seluruh citra klorofil-a yang ada, sebaran klorofil-a mulai muncul setelah pada periode sebelumnya terdapat penutupan awan yang berarti adanya curah hujan yang tinggi. Klorofil-a dengan konsentrasi tinggi terdapat pada sepanjang perairan pantai. Diduga daerah perairan pantai ini mendapatkan nutrien yang berasal dari daratan yang dialirkan melalui sungai setelah hujan. (Nontji, 2007) mengemukakan bahwa fitoplankton yang subur umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau di perairan lepas pantai di mana terjadi air naik (upwelling). Di kedua lokasi itu terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut. Di depan muara sungai banyak zat hara datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut, sedangkan di daerah air naik zat hara yang kaya terangkat dari lapisan lebih dalam ke arah permukaan.

5.3 Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan Bulan Mei 2009, kegiatan penangkapan ikan tongkol dilakukan di daerah sekitar Pulau Rakata dan Sumur. Area DPI yang dihasilkan berada di sepanjang perairan Sumur, Tanjung Lesung, Teluk Labuan, sebelah timur Pulau Rakata, sebelah tenggara Pulau Sebesi, dan Tanjung Tua dengan lokasi pada 05 53-06 43 LS dan 105 27-105 47 BT (Gambar 20). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa pada musim timur (Mei-Juni-Juli 2001), sebaran kapal mini purse seine di Selat Sunda berada pada posisi sebelah timur P.Rakata (06.00-06.20 LS dan 105.40-105.60 BT) sejumlah 21-30 kapal dan sebelah tenggara P.Rakata (06.20-06.40 LS dan 105.40-105.60 ); di Teluk Labuan (06.20-06.40 LS dan 105.60-105.80 BT) sampai 200 unit kapal; Tanjung Lesung (06.40-06.60 LS dan 105.60-105.80 BT) dengan kepadatan kapal 51-90 dan 91-200 unit; perairan Sumur/Sumuran (06.60-06.80 LS dan 105.40-105.60 BT) dengan kepadatan masing-masing sekitar 21-30 dan 91-200 unit kapal; serta Pulau Panaitan (06.40-06.60 LS dan 105.20-105.40 BT) masing-masing di sebelah utara sejumlah 31-50 unit dan sebelah timur dengan kepadatan kapal 51-90 unit (Amri, 2002). Bulan Juni 2009, area DPI yang dihasilkan berbeda dengan bulan sebelumnya. Bulan ini Nelayan payang di PPP Labuan melakukan penangkapan dengan tujuan daerah Ujung Kulon sehingga area DPI berpindah di sepanjang Teluk Labuan, Tanjung Lesung, Sumur, Teluk Paraja, Tanjung Alangalang, Teluk Peucang, Pulau Peucang dan sebelah barat Ujung Kulon dengan lokasi pada 06 18-06 48 LS dan 105 11-105 44 BT (Gambar 21). Hal ini terjadi diduga karena kesuburan perairan di sekitar pantai meningkat setelah berakhirnya musim barat sehingga ikan tongkol berpindah ruaya mengikuti ikan-ikan kecil.

Gambar 20 Peta daerah penangkapan ikan pada Mei 2009. Gambar 21 Peta daerah penangkapan ikan pada Juni 2009.

5.4 Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Tongkol dan Kaitannya dengan Parameter Oseanografi Hasil tangkapan ikan tongkol yang didapatkan oleh nelayan kapal payang di PPP Labuan selama Mei-Juni 2009 di perairan Selat Sunda tergolong rendah. Jumlah hasil tangkapan total yang didapatkan pada bulan Mei sebesar 1.133 kg dengan rata-rata CPUE bulanan 11,20 kg/setting sedangkan pada bulan Juni sebesar 1.856,5 kg dengan rata-rata CPUE bulanan 15,38 kg/setting. Hal ini dapat dilihat dari penelitian sebelumnya, rata-rata CPUE yang didapat oleh kapal payang di PPN Palabuhanratu pada Mei 2007 sebesar 401,55 kg/setting (Girsang, 2008). Perbedaan jumlah kapal sampel yang diambil dan jumlah trip/bulan yang dimasukkan dalam perhitungan kemungkinan menjadi salah satu faktor pembeda hasil yang didapatkan. Namun jika dilihat, perbedaan yang besar dengan pengaruh musim yang sama memberikan kesimpulan bahwa sebaran ikan tongkol selama bulan Mei-Juni 2009 di perairan Selat Sunda tergolong sedikit. Besarnya pengaruh musim barat pada bulan Mei 2009 membuat operasi penangkapan ikan menjadi tidak produktif. Tingginya curah hujan, besarnya ombak dan kencangnya angin mengakibatkan kegiatan operasi penangkapan ikan tidak dapat dilakukan setiap hari. Nababan, 2008 menjelaskan hal tersebut sebagai faktor pembatas yang menjadi tekanan lingkungan bagi ikan-ikan pelagis. Sehingga saat musim angin kencang ikan akan mencari perairan yang lebih tenang untuk menghindari tekanan tersebut. Faktor pembatas lainnya adalah kuatnya arus dan tidak jernihnya perairan yang mempengaruhi keberhasilan operasi penangkapan ikan tongkol. Besarnya arus membuat jaring payang tidak dapat melingkar sempurna sehingga kemungkinan ikan lolos menjadi lebih besar sedangkan perairan yang tidak jernih membuat nelayan sulit dalam melihat ruaya ikan. Hal ini didukung oleh data pola arus permukaan bulanan yang ada (Lampiran 6). Berdasarkan data pola arus permukaan yang digunakan, dapat dilihat bahwa kecepatan arus sebesar 2 m/s pada bulan Mei dan 4 m/s pada bulan Juni. Hasil tangkapan yang didapatkan pada bulan Juni 2009 lebih baik dari bulan Mei. Terbukti dengan hasil tangkapan dan CPUE tertinggi dihasilkan pada bulan ini dengan besar masing-masing 366 kg pada 21 Juni 2009 dan 40 kg/setting pada 13 Juni 2009. Secara umum dapat dilihat adanya peningkatan hasil tangkapan

pada bulan ini, tetapi hasil tangkapan dan CPUE terendah juga dihasilkan pada bulan ini, yaitu pada 6 Juni dengan besar masing-masing 7 kg dan 1,4 kg/setting. Namun demikian, faktor pengaruh musim barat yang semakin berkurang pada bulan ini membuat kegiatan operasi penangkapan ikan menjadi lebih produktif dibandingkan bulan Mei. Selanjutnya kondisi osenografi yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara parameter oseanografi dengan hasil tangkapan ikan tongkol adalah faktor suhu, klorofil-a, dan kedalaman perairan. Ketiga faktor tersebut dilakukan analisis korelasi untuk mengetahui tingkat pengaruhnya terhadap hasil tangkapan ikan tongkol. Hasil yang didapatkan pada faktor suhu permukaan laut (SPL) yaitu bahwa SPL tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Korelasi antara keduanya bersifat lemah dengan ditandai nilai korelasi yang hanya sebesar -0,42. Terjadi hubungan negatif antara keduanya yang berarti penurunan suhu permukaan laut terdapat hasil tangkapan yang meningkat dan sebaliknya peningkatan suhu permukaan laut menyebabkan penurunan hasil tangkapan. Hal ini berarti ikan tongkol lebih menyenangi perairan yang bersuhu dingin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amri (2002) bahwa tongkol tergolong ikan epipelagik dengan kisaran temperatur yang disenangi antara 18,0-29,0 C. Penyebaran ikan tongkol cenderung membentuk kumpulan multispesies menurut ukurannya, misalnya kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp dan Megalopsis cardyla (Carangidae). Faktor yang menyebabkan lemahnya korelasi SPL terhadap hasil tangkapan ikan tongkol, bisa terjadi dikarenakan nilai SPL yang didapatkan merupakan nilai SPL perairan Selat Sunda yang terukur oleh satelit pada satu waktu tertentu saja dan nilai SPL tersebut juga merupakan nilai gabungan (komposit) selama 8 hari. Hubungan yang lemah ini telah didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan tongkol tahun 2006/2007 di perairan Kalimantan Timur bersifat lemah dengan koefisien korelasi 0,43 (Adnan, 2008). Namun dalam penelitian lain, nilai koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,7729 yang berarti hubungan antara suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol adalah erat (Ismajaya, 2006). Dengan ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya SPL dengan kelimpahan dan distribusi

ikan tidak mutlak sebagai suatu hubungan linear, akan tetapi setiap ikan mempunyai batas toleransi atau kondisi optimum terhadap lingkungan yang ditempatinya. SPL perairan Selat Sunda pada Mei-Juni 2009 masih berada pada suhu optimum, sehingga SPL tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi ikan. Hubungan antara faktor klorofil-a terhadap hasil tangkapan ikan tongkol bersifat lemah. Nilai koefisien korelasi sebesar -0,32 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh nyata klorofil-a terhadap hasil tangkapan. Hal ini berarti tidak ada keterkaitan secara langsung antara keduanya. Hal ini dapat terjadi berkaitan rantai makanan yang terjadi di perairan Selat Sunda. Berdasarkan Gambar 22 dapat dilihat bahwa ekosistem Selat Sunda terdiri dari lebih empat trophic level, dengan kelompok Shark (Hiu) berada di level predator teratas. Untuk trophic level rendah ada 10 kelompok fungsional yaitu fitoplankton, lamun, mangrove, terumbu karang, zooplankton, LBS (Living Bottom Structure), udang & kepiting, molluska, cumi-cumi dan detritus dan 2 kelompok untuk intermediate trophic level yaitu pelagis kecil, pelagis sedang, serta 3 kelompok untuk trophic level tinggi yaitu ikan hiu, ikan demersal, dan burung laut. Kelompok fungsional ekosistem Selat Sunda dapat dilihat dalam tabel 11. Tabel 11 Kelompok fungsional ekosistem di Selat Sunda No Kelompok Komponen Kelompok Fungsional 1 Fitoplankton Bacteriastrum; Ceratium; Chaetozeros; Rhizosolenia; Hemiacilus 2 Lamun Enhalus acoroides; Cymodecea rotundata; Syringodium isoetifolium; Thallassia hemprinchii 3 Mangrove Avicennia marina 4 Terumbu karang Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acopora 5 Zooplankton Calamida; Bikopleura; Cycloprida; Lucifer; Chaetognatha 6 LBS Soft coral; Sponge; Zoanthids 7 Pelagis kecil Rastrelliger brachysoma; Anodontostoma chacunda; Selaroides leptolepis; Dussumieria elopsoides; Alectis indicus; Trichiurus haumela; Pelate quadrilineatus; Apogon quadrifasciatus; Leiognathus equulus; Pentaprion Longimanus; Spyraena sp; Thryssa hamiltonii; Stelopherus indicus 8 Pelagis sedang Fistularia petimba; Scomberomorus guttatus; Euthynnus sp

Tabel 11 Lanjutan No Kelompok Komponen Kelompok Fungsional 9 Ikan demersal Trachyrampus bicoarctatus; Areichthys tomentosus; Scatophagus argus; Ephinephelus sexfasciatus; Upeneussulphureus; Psettodeserumei; Nemipterus hexodon; Nemipterus japonicas; Nemipterus nemathoporus; Sufflamenfraenatus; Leiognathuselongates; Secutorruconius; Caranx sp 10 Makrozoobenthos Crassostrea spp; Holothuroidea 11 Udang & Kepiting Portunus spp; Panaeus merguensis; Penaeid post Larvae 12 Kelompok Maretrix spp; Anadara spp Molluska 13 Cumi-cumi Loligo spp 14 Ikan hiu Carcharhinidae 15 Burung laut Haliaetus leucogaster Sumber: Supangat, 2004 Konsentrasi klorofil-a menunjukkan keberadaan fitoplankton. Rantai makanan fitoplankton dimakan oleh trophic level diatasnya. Ikan tongkol (Euthynnus sp) merupakan pemakan ikan teri (Stelopherus indicus) sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya waktu (time lag) yang dibutuhkan untuk memindahkan senyawa organik dari fitoplankton ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Berdasarkan penelitian Fitriah (2008), adanya time lag ditunjukkan dengan hasil tangkapan ikan tongkol dan cakalang di wilayah Selatan Jawa Bagian Barat meningkat pada bulan Juni hingga Oktober. Selang waktu tingginya konsentrasi klorofil-a dengan kenaikan hasil tangkapan yang terjadi berkisar 1-2 bulan. Selang waktu ini merupakan representasi rantai makanan yang ada di ekosistem laut, dimana tongkol dan cakalang merupakan ikan karnivor. Lemahnya hubungan antara klorofil-a dengan hasil tangkapan terjadi karena minimnya data yang digunakan dalam perhitungan. Hal ini disebabkan banyaknya nilai klorofil-a daerah penangkapan ikan yang tidak diketahui karena citra yang tertutup awan. Namun demikian, jika citra sebaran klorofil-a di-overlay dengan posisi penangkapan (segitiga warna merah) seperti di dalam Gambar 22, dapat dilihat bahwa posisi penangkapan berada pada citra klorofil-a yang berkonsentrasi tinggi sehingga hal ini membuktikan adanya keterkaitan antara keberadaan ikan tongkol di Selat Sunda dengan sebaran klorofil-a.

LINTANG SELATAN a) b) LINTANG SELATAN BUJUR TIMUR BUJUR TIMUR LINTANG SELATAN c) d) LINTANG SELATAN BUJUR TIMUR BUJUR TIMUR Gambar 22 Citra overlay klorofil-a dan posisi penangkapan di perairan Selat Sunda pada tanggal 9-16 Mei 2009 (a), 17-24 Mei 2009 (b), 25 Mei- 1 Juni 2009 (c), dan 18-25 Juni 2009 (d).

Sumber: Supangat, 2004 Gambar 23 Trophic level ekosistem di Selat Sunda. Selanjutnya hubungan antara faktor kedalaman perairan terhadap hasil tangkapan ikan tongkol bersifat lemah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,4. Hasil analisis memperlihatkan bahwa semakin dalam kedalaman perairan didapatkan hasil tangkapan yang tinggi, dan sebaliknya semakin rendah kedalaman perairan hasil tangkapan yang didapatkan pun rendah. Namun jika dilihat dari sebaran titik pencar dapat diambil kesimpulan bahwa hasil tangkapan terbanyak didapatkan pada kedalaman rendah yaitu <50 m. Hal ini didukung oleh (Burhanudin, 1984 yang dikutip oleh Paryadi, 1998) yang menyatakan pada umumnya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 20-28 o C. Oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa lemahnya hubungan antara kedalaman perairan dengan hasil tangkapan ikan tongkol dikarenakan kedalaman perairan tidak memiliki hubungan yang linear terhadap hasil tangkapan.