BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Potensi dan Pemanenan Buah Rotan Jernang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Agroindustri Jernang. Mahya Ihsan

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

PEMANENAN DAN PENGOLAHAN BUAH ROTAN JERNANG (Daemonorops draco (Willd.) Blume) DALAM UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SERTA MUTU JERNANG LANA PUSPITASARI

Budidaya Jenis rotan penghasil jernang JENIS: JERNANG

III. MATERI DAN METODE. dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Riau.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. UIN Suska Riau yang terletak di Jl. HR. Soebrantas KM. 15 Panam, Pekanbaru,

Gambar 2 Lokasi penelitian dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas.

SNI Standar Nasional Indonesia. Lada hitam. Badan Standardisasi Nasional ICS

BAB III TATA LAKSANA PELAKSANAAN

Mulai. Dihaluskan bahan. Ditimbang bahan (I kg) Pemanasan alat sesuai dengan suhu yang ditentukan. Dioperasikan alat. Dimasukkan bahan dan dipress

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan)

Lampiran 1 : Deskripsi Varietas Kedelai

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penilitan

III. METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan, Laboratorium Penelitian

TATA LAKSANA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilakukan di daerah Minggir, Sleman, Yogyakarta dan di

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

III.TATA CARA PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Jamur yang terletak di Jalan Garuda Sakti KM. 2 Jalan Perumahan UNRI. Kelurahan Simpang Baru Kecamatan Tampan Pekanbaru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Prosedur Penelitian Persiapan Bahan Baku

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN Jenis dan Waktu Pemangkasan

Dalam proses ekstraksi tepung karaginan, proses yang dilakukan yaitu : tali rafia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperoleh mutu yang lebih

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK

III. TATA CARA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cokelat berasal dari hutan di Amerika Serikat. Jenis tanaman kakao ada berbagai

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

Tapioka T0 T2.5. rata-rata K rata-rata K5

PENDAHULUAN PENGOLAHAN NILAM 1

BAB III METODE PENELITIAN

PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

K O P A L SNI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.

TEKNOLOGI PRODUKSI TSS SEBAGAI ALTERNATIF PENYEDIAAN BENIH BAWANG MERAH

MATERI METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

METODE PENELITIAN. Pengolahan Hasil Perkebunan STIPAP Medan. Waktu penelitian dilakukan pada

PETUNJUK LAPANGAN 3. PANEN DAN PASCAPANEN JAGUNG

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

Mulai. Merancang bentuk alat. Memilih bahan. Diukur bahan yang akan digunakan. Merangkai alat. Pengelasan. Dihaluskan permukaan yang kasar.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. L.) yang diperoleh dari Pasar Sederhana, Kelurahan. Cipaganti, Kecamatan Coblong dan Pasar Ciroyom, Kelurahan Ciroyom,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. pertumbuhan tanaman cabai merah telah dilakukan di kebun percobaan Fakultas. B.

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

Pengolahan Sagu (Metroxylon) sebagai Bahan Baku Pembuatan Es Krim

BATUAN PEMBENTUK PERMUKAAN TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Histogram kerapatan papan.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Gedung Hortikultura Universitas Lampung

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEK PENAMBAHAN BENTONIT TERHADAP SIFAT MEKANIK BRIKET DARI TEMPURUNG KELAPA

FRAKSINASI KOPAL DENGAN BERBAGAI PELARUT ORGANIK

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays) adalah tanaman semusim yang berasal dari Amerika

III. METODOLOGI PE ELITIA

BAB III TINJAUAN DATA, EKSPERIMEN, DAN ANALISA. Pohon kapuk berbunga tiga atau empat kali dalam setahun dengan selang

BAB I PENDAHULUAN. diutamakan. Sedangkan hasil hutan non kayu secara umum kurang begitu

II. DESKRIPSI PROSES

TINJAUAN PUSTAKA. pada masa yang akan datang akan mampu memberikan peran yang nyata dalam

III. MATERI DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN. (treatment) terhadap objek penelitian serta adanya kontrol penelitian.

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar

.:::: Powered By Ludarubma ::::. G A H A R U

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. pisang nangka diperoleh dari Pasar Induk Caringin, Pasar Induk Gedebage, dan

III. MATERI DAN METODE

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2013 di

BAB III BAHAN DAN METODE

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Februari

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni Agustus 2014 di Laboratorium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Morfologi dan Rendemen Tubuh Cangkang Kijing Lokal (Pilsbryoconcha sp.)

III. BAHAN DAN METODE

BAB III STUDI LITERATUR

PENDAHULUAN PENGOLAHAN METE 1

PENCAMPURAN MEDIA DENGAN INSEKTISIDA UNTUK PENCEGAHAN HAMA Xyleborus morstatii Hag. PADA BIBIT ULIN ( Eusideroxylon zwageri T et.

SD kelas 4 - BAHASA INDONESIA BAB 4. BERBAGI PEKERJAAN Latihan Soal 4.2

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Juni 2013 sampai dengan Agustus 2013.

G A H A R U, SNI

III. METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

Studi Etnobotani Jernang (Daemonorops spp.) pada Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Sepintun Kecamatan Pauh Kabupaten Sarolangun Jambi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

25 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Jernang Kabupaten Sarolangun memiliki sumber daya hutan yang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikelola sehingga mewujudkan kehidupan masyarakatnya yang baik secara berkelanjutan. Tercatat di kabupaten tersebut seluas 252.377 ha wilayah atau 40% dari luas total wilayah daerah merupakan kawasan hutan yang terdiri atas: hutan produksi (99.851 ha), hutan produksi terbatas (89.357,87 ha), hutan lindung (54.285 ha), kawasan taman nasional (8.810 ha) dan cagar alam (73.740 ha) (Disbunhut Kab. Sarolangun 2009). Berdasarkan wawancara masyarakat desa, pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam 1 ha terdapat 500 rumpun jernang dengan jarak tanam 4 m x 5 m. Dalam satu rumpun terdapat lima batang, diperoleh 2.500 batang/ha. Menurut masyarakat 60% batang betina, sehingga 1.500 batang siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga dapat menghasilkan 4.500 tandan buah. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang dan dari 4.500 tandan buah dapat menghasilkan jernang sebanyak 90 kg/ha. Panen dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga menghasilkan jernang sebanyak 180 kg/ha/th. Hasil inventarisasi Siswanto dan Wahjono (1996) di hutan Sarolangun- Bangko, dalam 1 ha ditemukan jernang sebanyak tiga rumpun. Namun, pencari jernang menyatakan bahwa dalam 1 ha hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah paling sedikit ditemukan tiga rumpun jernang. Berdasarkan wawancara masyarakat, dalam satu rumpun terdapat lima batang, sehingga terdapat 15 batang/ha. Menurut masyarakat 60% betina sehingga sembilan batang/ha siap berbunga. Dalam satu batang menghasilkan lima sampai enam tandan buah, pada umumnya dalam satu kali panen hanya tiga tandan yang berbuah, sehingga menghasilkan 27 tandan buah/ha. Dari 50 tandan dapat menghasilkan 1 kg jernang sehingga dari 27 tandan menghasilkan 0,54 kg/ha. Panen dilakukan dua kali dalam

26 satu tahun yaitu panen raya dan panen sela sehingga dapat menghasilkan 1,08 kg/ha/th. Menurut masyarakat, pencarian jernang di Kabupaten Sarolangun terdapat di dua tempat yaitu Kecamatan Air Hitam dan Pauh. Potensi jernang di Hutan Alam blok Bukit Bahar Tajau Pecah sebesar 96,51 ton/ha dan di HTR Lamban Sigatal sebesar 130,16 ton/ha. Total potensi jernang di Kabupaten Sarolangun dapat dihitung sebesar 226,66 ton/ha (Tabel 4). Jernang dijual dengan harga Rp 400.000/kg sampai dengan Rp 700.000/kg. Tabel 4 Potensi jernang di Kabupaten Sarolangun Jenis Luas Jernang Potensi No Kecamatan Lokasi hutan (ha) (kg/ha/th) (kg/th) (ton/th) 1. Air Hitam Hutan blok Bukit Hutan 89.357,87 1,08 96.506,50 96,51 Bahar tajau pecah Alam 2. Pauh Lamban Sigatal HTR 723,09 180 130.156,20 130,16 Sumber: Disbunhut (2009)dan Gita Buana (2008) 226.662,70 226,66 Berdasarkan data BPS (2010), produksi jernang semakin menurun. Produksi terakhir pada tahun 1995 tercatat sebanyak 15 ton jernang yang dihasilkan di Provinsi Jambi. Setelah tahun 1995 sampai 2010, produksi jernang tidak tercatat lagi. Produk jernang di Kabupaten Sarolangun sampai tahun 2010 juga tidak tercatat. Menurut Sumarna (2009), secara keseluruhan populasi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) di TN Bukit 12 Jambi relatif semakin menurun, selain karena tidak berlangsungnya sistem regenerasi alami secara optimal, juga lebih disebabkan oleh pola panen produksi buah yang dilakukan masyarakat terkadang dengan cara menebang batang rotan. Menurut masyarakat, mereka menghindari memotong batang rotan walaupun sulit mengambil buah. Pencari jernang menyatakan bahwa tidak ada pemeliharaan rotan di dalam hutan. Apabila dilihat dari kondisi di lapangan tergambar bahwa proses pengambilan buah rotan jernang bersifat hanya mengambil apa yang disediakan alam. 5.2 Tahapan Pemanenan Buah Rotan Jernang yang Dilakukan Masyarakat Daemonorops draco (Willd.) Blume atau yang dikenal dengan nama rotan jernang ditanam disekitar Desa Lamban Sigatal. Para pencari jernang yang berasal

27 dari Desa Lamban Sigatal sudah mulai kesulitan dalam mencari buah rotan jernang, karena rotan jernang yang berada disekitar desa sudah sulit diperoleh. Petani berlomba-lomba mencari buah rotan jernang ke kawasan hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah karena jernang dianggap bernilai jual yang tinggi. Pencarian buah rotan jernang dilakukan secara berkelompok dan mengolahnya langsung di dalam hutan. Petani hanya membawa pulang biji dan serbuk jernang yang diperoleh dari proses penumbukan. Apabila dilihat dari daur dan masa produksi, rotan jernang mulai berbuah pada umur empat tahun. Tandan buah akan keluar dari pangkal ruas bagian atas setelah itu tandan buah akan keluar terdiri dari sejumlah calon buah dalam jumlah yang dipengaruhi oleh umur pohon. Masa proses pembuahan hingga buah dalam satuan tandan akan masak memerlukan waktu antara 11 sampai 13 bulan. Secara umum antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak, potensi resin yang terbentuk sangat optimal. Waktu panen jernang dalam satu tahun adalah dua kali yaitu pada bulan April dan September (Winarni et al. 2005). Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, jernang tumbuh merambat ke atas apabila menemukan pohon inang sedangkan akan merambat ke kanan kiri bila tidak menemukan pohon inang. Pohon inang pada umumnya jenis gaharu, ulin, karet dan sungkai. Teknik pemanenan buah dilakukan dengan memperhatikan kondisi optimal terbentuknya resin pada kulit buah. Tahapan pemanenan buah rotan jernang dijelaskan pada Gambar 4. Ciri buah masak berwarna merah kecokelatan Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon dengan bantuan galah dan alat pengait Buah siap ditumbuk Buah dikumpulkan dalam keranjang dan diangin-anginkan Gambar 4 Tahapan pemanenan buah. Pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan petani masih bersifat memanfaatkan yang disediakan oleh alam. Petani mengambil buah dengan cara memanjat pohon disebelahnya dan menggunakan galah dan alat pengait. Terdapat hukum adat di Desa Lamban Sigatal, apabila terdapat pencari jernang yang memotong batang rotan maka sangsinya adalah dikeluarkan dari desa atau

28 diasingkan sehingga petani menghindari memotong batang rotan walaupun kondisi tidak memungkinkan untuk mengambil buah. Berdasarkan Winarni et al. (2005), pemanenan buah rotan jernang yang dilakukan oleh Suku Kubu adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat rotan jernang dengan bantuan galah untuk dapat menjangkau tandan buah. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua namun belum terlalu masak. 5.2.1 Pemetikan buah rotan jernang Pengumpulan buah didasarkan kepada masaknya buah dengan ciri kemasakan sesuai dengan warna. Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Apabila buah yang dipetik sudah masak maka resin yang terkandung dalam buah rotan jernang telah berkurang karena resin dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk. Buah rotan jernang dipanen dengan cara memanjat pohon terdekatnya. Masyarakat mengambil buah rotan jernang dengan menggunakan galah panjang dan alat pengait yang terbuat dari kayu untuk melilitkan tandan buah. Tandan buah rotan jernang tersebut akan tersangkut pada alat pengait. Kesulitan dalam memanen buah rotan jernang adalah apabila rotan terlalu tinggi maka masyarakat harus memanjat pohon inang dengan kondisi licin dan terhalang oleh duri rotan dan ranting pohon, terkadang buah rotan jernang yang terkait beberapa terlepas dari tandannya karena terlalu kuat menarik tandan buah rotan jernang. Buah rotan jernang dikumpulkan dalam keranjang. Cara mengatasi kesulitan dalam memanjat pohon yaitu saat memanjat pohon inang kaki disarungi dengan karung plastik yang dibuat melingkar (masyarakat Desa Lamban Sigatal menyebutnya semprat ). Petani menghindari memotong batang rotan walaupun sulit memperoleh buah rotan jernang, karena rotan sudah sulit diperoleh disekitar desa. Namun jika terpaksa, batang rotan dipotong untuk memperoleh buah rotan. Mengingat saat ini buah rotan jernang sudah sulit diperoleh, maka masyarakat desa melakukan upaya penanaman rotan di lahan milik melalui pembibitan dari biji.

29 5.2.2 Buah rotan jernang diangin-anginkan Masyarakat yang mengambil buah rotan jernang di hutan blok Bukit Bahar Tajau Pecah pada umumnya langsung mengerjakannya di dalam hutan. Petani membawa peralatan ke dalam hutan alam seperti ambung (keranjang), kayu penyanggah, kayu penumbuk buah dan plastik penampung jernang. Buah yang diambil dikumpulkan kemudian diangin-anginkan semalam. Namun ada pula yang hanya menunggu waktu malam atau subuh untuk menumbuknya. Buah diangin-anginkan dengan tujuan agar lebih mudah dalam memisahkan buah dari tandannya. Buah yang sudah diangin-anginkan akan lebih mudah ditumbuk dan resin tidak lengket di buah. Menurut Kalima (1991), buah rotan jernang yang dipanen disimpan dalam keranjang terlebih dahulu agar kadar air dalam buah berkurang kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama tiga sampai empat hari atau sampai kering dan mengkerut, setelah itu baru dapat ditumbuk agar resin yang keluar lebih banyak. Penjemuran buah rotan jernang yang dilakukan oleh petani hanya sebatas dianginanginkan saja dan tidak melibatkan sinar matahari. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu yang cukup lama dan keadaan cuaca yang tidak menentu untuk menjemur selama tiga sampai empat hari, sedangkan petani menumbuk buah rotan jernang langsung di dalam hutan. 5.3 Jernang yang Dihasilkan dari Cara masyarakat Jernang yang dihasilkan oleh masyarakat melalui cara penumbukan merupakan cara yang sederhana karena tidak memerlukan teknologi. Jernang yang dihasilkan dengan cara masyarakat memiliki tahapan sebagai berikut: Buah dalam keranjang ditumbuk Serbuk jernang Pencetakan ± 1 jam dimasukkan ke dalam plastik Serbuk jernang Campur damar mata kucing/ gondorukem kemudian panaskan Masukkan dalam plastik ± 1 jam akan mengeras Didinginkan Gambar 5 Jernang yang dihasilkan dari cara masyarakat.

30 5.3.1 Penumbukan buah rotan jernang Buah rotan jernang yang kering dapat dengan mudah ditumbuk. Untuk memperoleh jernang yang maksimal, penumbukan tidak dilakukan di area terbuka dan pada saat angin kencang karena serbuk jernang mudah sekali terbawa angin. Penumbukan buah rotan jernang dilakukan agar resin yang menempel pada kulit buah terlepas. Menumbuk buah tidak terlalu kuat agar biji tidak pecah. Lapisan resin pada kulit luar buah akan lepas seluruhnya akibat bertumbukan, sehingga serbuk jernang bercampur dengan kulit buah. Jernang yang mengandung kulit buah terlihat tidak bersih dan dapat menurunkan mutu jernang tersebut. 5.3.2 Pencetakan jernang Berdasarkan wawancara kepada masyarakat, jernang yang dihasilkan masyarakat terbagi menjadi dua tipe yaitu jernang murni dan jernang campuran. Jernang murni artinya jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan, sedangkan jernang campuran artinya jernang dicampur dengan damar. Damar dipilih menjadi bahan campuran karena memiliki daya rekat yang baik. Bahan campuran yang lain pada umumnya ditambahkan secara bersama-sama dengan damar yaitu biji dan daging buah rotan jernang itu sendiri yang sudah dihaluskan. Menurut Suwardi et al. (2003), masyarakat terkadang menambahkan gondorukem di dalam jernang. Serbuk jernang hasil tumbukan mudah sekali menggumpal, sehingga dalam proses pencetakan mudah dilakukan. Serbuk jernang yang murni langsung dimasukkan dalam plastik, dalam waktu ± 1 jam serbuk jernang akan mengeras. Proses pencampuran jernang dengan damar dilakukan dengan dipanaskan di atas tungku. Damar dicampur dengan serbuk jernang yang murni sampai menyatu. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pencampuran tidak menentu, tergantung banyaknya serbuk jernang. Namun, pada umumnya waktu yang diperlukan selama 10 sampai dengan 15 menit. Jernang yang sudah tercampur didinginkan dan dimasukkan ke dalam plastik dan dalam waktu ± 1 jam jernang akan mengeras. Menurut Waluyo (2008), serbuk jernang yang dimasukkan dalam wadah plastik dan dalam waktu ± 30 menit akan menggumpal/mengeras. Cara lain untuk mempercepat penggumpalan dengan mengukus serbuk jernang dalam plastik selama ± 5 menit.

31 Jernang yang sudah mengeras di dalam plastik kemudian dijual. Penjualan dilakukan secara sederhana. Petani menjual jernang ke pedagang pengumpul yang ada di desa dengan harga Rp 400.000/kg. Harga tersebut dipengaruhi oleh mutu jernang. Jernang yang murni akan memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan jernang campuran. Namun, kebanyakan petani menjual hasilnya kepada pedagang pengumpul di kecamatan karena belum terbukanya penjualan keluar kecamatan dan akses untuk ke Jambi cukup jauh sehingga memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya. Gambar 6 menggambarkan tahapan teknik pemanenan buah sampai menghasilkan jernang oleh masyarakat. Pemetikan buah rotan jernang ` Buah rotan jernang yang dianginkan Penumbukan buah rotan jernang Jernang dikemas dalam plastik Pencampuran dengan damar jernang Hasil penumbukan buah rotan jernang Gambar 6 Tahapan pemanenan dan proses menghasilkan jernang secara tradisional (masyarakat). 5.4 Jernang yang Dihasilkan dari Cara Alternatif (Perebusan) Cara perebusan merupakan cara alternatif yang dapat dikerjakan oleh masyarakat. Perebusan merupakan salah satu cara yang tepat guna, dimana tidak

32 memerlukan teknologi yang tinggi dan masyarakat dapat mengerjakannya. Perebusan yang dilakukan bertujuan untuk mencairkan resin yang terdapat di buah rotan jernang. Menurut Suwardi et al. (2003), seluruh bagian buah menghasilkan jernang kecuali biji. Persentase resin yang dihasilkan dari bagian kulit sebesar 50,6% dan daging buah 49,4%. Cara perebusan dilakukan dengan menggunakan seluruh bagian buah kecuali biji. Cara perebusan menghasilkan resin tanpa kulit. Selama proses perebusan, jernang akan naik ke permukaan air rebusan. jernang dikumpulkan dalam cawan petri. Jernang tersebut dikeringkan kemudian dihaluskan dan digunakan dalam analisis sifat fisiko-kimia. 5.4.1 Rendemen jernang dengan cara perebusan Sebelum menghitung rendemen resin yang dihasilkan dari pengolahan buah rotan jernang maka dilakukan pengukuran kadar air buah dahulu. Dalam penelitian ini, rendemen yang dihitung berdasarkan berat buah rotan jernang dalam keadaan Berat Kering Tanur (BKT) karena kadar air buah rotan jernang berbeda-beda. BKT diperoleh dari perhitungan setelah mengetahui kadar air buah rotan jernang yang digunakan untuk penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen jernang yang diekstraksi dari buah rotan jernang dengan cara masyarakat lebih besar dibandingkan dengan cara perebusan (Tabel 5). Rendemen rata-rata cara masyarakat sebesar 7,26%, sedangkan cara perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,27%, 3,24% dan 3,10%. Rendemen jernang cara masyarakat yang dilakukan dalam penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Waluyo (2008) yang mengekstrak jernang dengan cara penumbukan yaitu 7,42%. Tabel 5 Rendemen jernang hasil ekstraksi dengan cara masyarakat dan perebusan Rendemen (%) Ulangan Masyarakat Perebusan 1 jam Perebusan 2 jam Perebusan 3 jam 1 7,95 3,94 2,86 3,14 2 7,47 2,88 3,05 3,07 3 6,36 3,00 3,82 3,09 Rata-rata 7,26 3,27 3,24 3,10 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ekstraksi jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata rendemen jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (34,72) > F tabel (4,76) yang berarti

33 H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata rendemen yang dihasilkan sehingga H 0 ditolak (Tabel 6). Tabel 6 Analisis ragam rendemen jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 37,04 12,35 34,72 *) 4,76 Galat 6 2,13 0,36 Total 11 39,56 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan rendemen yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi rendemennya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan rendemen yang berbeda nyata (Tabel 7). Rendemen jernang cara masyarakat lebih besar dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena jernang dari cara masyarakat mengandung kotoran yang lebih banyak. Hal ini dibuktikan dari kadar kotorannya, dimana kadar kotoran jernang yang diekstrak dengan cara masyarakat adalah 32,16%, sedangkan jernang yang dihasilkan dari cara perebusan adalah 11,57 12,03% (Tabel 13). Menurut Waluyo (2008), ekstraksi jernang cara masyarakat kemungkinan besar bagian kulit buah ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur. Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap rendemen jernang Perlakuan Rata-rata rendemen BKT Masyarakat 7,26 b Perebusan 1 jam 3,27 a Perebusan 2 jam 3,24 a Perebusan 3 jam 3,10 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap rendemen pada taraf α 5%. Lama perebusan 1 jam menghasilkan rendemen yang tidak berbeda nyata dengan perebusan 2 dan 3 jam. Untuk itu, bila mempertimbangkan waktu dan biaya perebusan, maka perebusan yang dipilih adalah perebusan selama 1 jam. Namun, cara perebusan ini menghasilkan rendemen jernang yang lebih rendah dari yang diharapkan. Hal ini diduga karena dalam proses perebusan resin banyak yang menempel di dinding gelas piala dan pembatas yang terbuat dari saringan kawat nyamuk sehingga resin yang diambil tidak optimal walaupun sebagian besar resin naik ke permukaan air rebusan. Untuk itu perlu dikembangkan alat perebusan yang dapat meningkatkan rendemen jernang.

34 5.4.2 Analisis sifat fisiko-kimia jernang 1. Kadar air Kadar air yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 3,64 %, 3,34 % dan 3,48 %, sedangkan cara masyarakat menghasilkan kadar air sebesar 3,48 % (Tabel 8). Tabel 8 Rata-rata kadar air jernang Perlakuan Rata-rata Kadar air Masyarakat 3,48 Perebusan 1 jam 3,64 Perebusan 2 jam 3,34 Perebusan 3 jam 3,48 Hasil analisis ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak mempengaruhi secara nyata kadar air jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (0,27) < F tabel (4,76) yang berarti H 0 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak mempengaruhi secara nyata kadar air jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 9 Analisis ragam kadar air jernang Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 0,13 0,04 0,27tn 4,76 Galat 6 0,99 0,17 Total 11 1,44 Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5% Kadar air yang dihasilkan dari cara masyarakat dan cara perebusan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Waktu perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menunjukkan kecenderungan makin meningkat atau menurun. Namun, secara keseluruhan kadar air yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan kadar air jernang hasil penelitian Waluyo (2008) dengan cara masyarakat yaitu melalui penumbukan buah rotan jernang yaitu sebesar 4,4%. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar air maksimal untuk mutu super adalah 6% (Tabel 2). Kadar air kedua perlakuan termasuk mutu super. Rendahnya Kadar air menunjukkan bahan jernang tersebut dapat disimpan dalam jangka waktu lama. 2. Kadar resin Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar resin jernang

35 yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (317,409) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar resin jernang sehingga H 0 ditolak. Tabel 10 Analisis ragam kadar resin jernang Sumber ragam db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 731,58 243,86 317,41*) 4,76 Galat 6 4,61 0,77 Total 11 736,88 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi kadar resinnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata (Tabel 11). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan kadar resin sebesar 81,83%, 81,21% dan 80,91%, sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar resin sebesar 63,30%. Tabel 11 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar resin jernang Perlakuan Rata-rata Kadar resin Masyarakat 63,30 b Perebusan 1 jam 81,83 a Perebusan 2 jam 81,21 a Perebusan 3 jam 80,91 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar kotoran pada taraf nyata α 5%. Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar resin yang berbeda nyata. Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar resin terbesar sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar resin yang semakin rendah. Hal ini diduga karena lamanya waktu perebusan menyebabkan hancunya partikel padat baik yang terlihat oleh mata maupun tidak ikut naik kepermukaan air rebusan sehingga resin yang terkandung dalam jernang akan lebih sedikit pada waktu 2 dan 3 jam. Cara masyarakat menghasilkan kadar resin yang lebih rendah dibandingkan cara perebusan. Hal ini diduga karena cara masyarakat banyak mengandung pengotor (kulit), sedangkan cara perebusan menghasilkan jernang tanpa kulit. Menurut Waluyo (2008), resin cara masyarakat merupakan hasil pencampuran dengan kulit buah. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar resin cara masyarakat termasuk mutu A dan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam termasuk mutu super.

36 3. Kadar kotoran Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata kadar kotoran jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (532,54) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata kadar kotoran jernang sehingga H 0 ditolak. Tabel 12 Analisis ragam kadar kotoran jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 938,17 312,72 532,54 *) 4,76 Galat 6 3,52 0,59 Total 11 942,55 Keterangan : *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi kadar kotorannya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan kadar kotoran sebesar 11,57%, 11,63% dan 12,03%, sedangan cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran sebesar 32,16%. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar kotoran untuk cara masyarakat termasuk ke dalam mutu A, sedangkan cara perebusan baik 1, 2 dan 3 jam termasuk ke dalam mutu super. Tabel 13 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap kadar kotoran jernang Perlakuan Rata-rata Kadar kotoran Masyarakat 32,16 b Perebusan 1 jam 11,57 a Perebusan 2 jam 11,63 a Perebusan 3 jam 12,03 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap kadar kotoran pada taraf nyata α 5%. Tingginya kadar kotoran yang dihasilkan masyarakat diduga karena cara masyarakat terdapat campuran antara kulit dan jernang, sedangkan cara perebusan menghindari tercampurnya jernang dengan kulit buah. Jernang cara masyarakat merupakan hasil pencampuran dengan kulit buah yaitu ekstraksi yang dilakukan dengan cara menumbuk buah rotan jernang dan kemungkinan besar bagian kulit ikut serta, bahkan bila terlalu kuat menumbuk buah rotan jernang akan pecah sehingga jernang bercampur dengan buah rotan jernang yang hancur (Waluyo 2008).

37 Waktu perebusan tidak menghasilkan kadar kotoran yang berbeda nyata. Namun, terdapat kecenderungan perebusan 1 jam menghasilkan kadar kotoran terendah sedangkan 2 dan 3 jam menghasilkan kadar kotoran yang semakin tinggi. Hal ini diduga karena lama perebusan akan menghancurkan partikel-partikel padat yang bercampur dalam jernang baik berupa debu atau kotoran lainnya baik yang terlihat maupun tidak terlihat oleh mata. Kotoran yang tidak terlihat oleh mata dapat berasal dari buah rotan jernang, air dan alat yang digunakan. Diduga pada saat jernang naik kepermukaan air rebusan, kotoran yang hancur pun ikut naik. Cara perebusan menghasilkan kadar kotoran paling rendah pada waktu 1 jam sehingga waktu yang paling optimum dalam menghasilkan kadar kotoran jernang adalah 1 jam. 4. Kadar abu Kadar abu yang diperoleh pada perlakuan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut sebesar 1,12%, 1,52% dan 1,59%, sedangkan hasil masyarakat sebesar 1,83% (Tabel 14). Tabel 14 Rata-rata kadar abu jernang Perlakuan Rata-rata Kadar abu Masyarakat 1,83 Perebusan 1 jam 1,12 Perebusan 2 jam 1,52 Perebusan 3 jam 1,59 Hasil analisis ragam (Tabel 15) menunjukkan bahwa perbedaan ekstraksi jernang dengan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) tidak mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (3,08) < F tabel (4,76) yang berarti H 0 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan tidak mempengaruhi secara nyata kadar abu jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 15 Analisis ragam kadar abu jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 0,80 0,27 3,08 tn 4,76 Galat 6 0,52 0,86 Total 11 1,32 Keterangan: tn = tidak nyata pada taraf α 5% Meskipun secara statistika, kadar abu jernang yang diekstrak dengan cara masyarakat tidak berbeda nyata dengan cara perebusan, namun kadar abu jernang yang dihasilkan dengan cara masyarakat lebih tinggi. Hal ini diduga karena cara

38 masyarakat terdapat campuran kulit, sedangkan cara perebusan menghindari tercampurnya jernang dengan kulit buah. Menurut Waluyo (2008), Kadar abu berkorelasi positif dengan kadar kotoran, dimana semakin tinggi kadar kotoran maka semakin tinggi pula kadar abunya. Hal ini dapat dilihat dari persentase kadar abu dan kadar kotoran dari cara masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan cara perebusan. Begitu pula dengan lama waktu perebusan, dapat terlihat bahwa perebusan 1 jam menghasilkan kadar abu yang paling rendah. Menurut Waluyo (2008), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka jernang tersebut kurang bersih dalam pengolahannya, yaitu masih mengandung kulit. Kadar abu masyarakat yang dikerjakan dengan cara penumbukan menghasilkan kadar abu sebesar 2,8%. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian maka kadar abu hasil masyarakat yang diteliti lebih rendah (Tabel 15). Berdasarkan standar SNI jernang (2010), kadar abu perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan termasuk ke dalam mutu super. 5. Titik leleh Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan cara masyarakat dan cara perebusan (1, 2 dan 3 jam) mempengaruhi secara nyata titik leleh jernang yang dihasilkan. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan F hit (20,06) > F tabel (4,76) yang berarti H 1 diterima yaitu perlakuan cara masyarakat dan perebusan mempengaruhi secara nyata titik leleh jernang sehingga H 1 ditolak. Tabel 16 Analisis ragam titik leleh jernang Sumber ragam Db KT JK F hitung F (5%) Perlakuan 3 396,25 132,08 20,06 *) 4,76 Galat 6 39,50 6,58 Total 11 452,92 Keterangan: *) = nyata pada taraf α 5% Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa cara masyarakat menghasilkan titik leleh yang berbeda nyata dengan cara perebusan, namun lama waktu perebusan tidak mempengaruhi titik lelehnya, dimana perebusan 1, 2 dan 3 jam tidak menghasilkan titik leleh yang berbeda nyata (Tabel 13). Perebusan 1, 2 dan 3 jam berturut-turut menghasilkan titik leleh sebesar 11,57%, 11,63% dan 12,03%,

39 sedangkan jernang hasil masyarakat sebesar 96 C. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), secara umum kedua perlakuan termasuk ke dalam mutu super. Tabel 17 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap titik leleh jernang Perlakuan Rata-rata titik leleh Masyarakat 96,00 b Perebusan 1 jam 82,00 a Perebusan 2 jam 83,00 a Perebusan 3 jam 83,33 a Keterangan: Huruf a dan a berarti tidak berbeda nyata, sedangkan huruf a dan b berarti berbeda nyata terhadap titik leleh pada taraf nyata α 5%. Cara masyarakat menghasilkan kadar kotoran lebih besar dibandingkan dengan cara perebusan, sehingga titik leleh yang dihasilkan juga lebih besar. Hal ini terjadi karena kulit banyak yang bercampur dengan jernang hasil cara masyarakat. Hasil penelitian Waluyo (2008), titik leleh jernang yang dihasilkan dari proses penumbukkan sebesar 105 C, sedangkan jernang yang dihasilkan dari proses pengguncangan sebesar 80 C. Apabila dilihat dari titik leleh jernang yang dihasilkan dari proses penumbukan hasil penelitian Waluyo (2008) sedikit lebih tinggi dibandingkan hasil peneliti yaitu 96 C. Selain itu, titik leleh jernang berkorelasi positif dengan kadar kotoran. 6. Penentuan warna Penentuan warna ditentukan dengan cara meletakkan serbuk jernang yang telah dilarutkan dengan etanol di atas kertas putih. Secara visual warna jernang tidak ada perbedaan antara hasil cara perebusan dan cara masyarakat, seluruhnya menunjukkan warna merah tua. Kedua perlakuan tidak mempengaruhi pembentukan warna dari jernang tersebut. Berdasarkan SNI jernang (2010), jernang yang berwarna mereah tua termasuk ke dalam mutu super, sehingga jernang dari kedua perlakuan tersebut termasuk mutu super. Merah tua adalah warna yang paling baik, sedangkan warna yang pudar menurunkan mutu jernang. Dengan demikian jernang merupakan bahan yang cocok untuk dijadikan pewarna alami, karena perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan warna yang dihasilkan. Menurut Winarni et al. (2005), jernang dengan mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan memperoleh bubuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna yang terang. Menurut Risna (2006), resin dari Daemonorops draco (Willd.) Blume dikenal sebagai sumber vernis untuk

40 mewarnai biola, selain digunakan untuk pewarna digunakan pula untuk obat seperti obat luka dan bahan campuran cairan antiseptik (obat merah). Dibawah ini merupakan data rekapitulasi pengujian mutu jernang. Tabel 18 Rekapitulasi rata-rata pengujian mutu sifat fisiko-kimia jernang Persyaratan Perebusan No Jenis uji Mutu Mutu Mutu Masyarakat super A B 1 jam 2 jam 3 jam 1 Kadar resin (%) Min 80 Min 60 Min 25 63,30(A) 81,83 (MS) 81,21 (MS) 80,91(MS) 2 Kadar air (%) Maks 6 Maks 8 Maks 10 3,48 (MS) 3,64 (MS) 3,34 (MS) 3,48 (MS) 3 Kadar kotoran (%) Maks.14 Maks 39 Maks 50 32,16 (A) 11,57 (MS) 11,63(MS) 12,03(MS) 4 Kadar abu (%) Maks 4 Maks 8 Maks 20 1,83(MS) 1,12 (MS) 1,52 (MS) 1,59 (MS) 5 Titik leleh ( C) Min 80 Min 80-96,00 (MS) 82,00 (MS) 83,00 (MS) 83,33 (MS) 6 Warna Merah tua Merah muda Merah pudar Merah tua (MS) Merah tua (MS) Merah tua (MS) Merah tua (MS) Sumber: SNI jernang 2010 Pengujian sifat fisiko-kimia jernang bertujuan untuk mengetahui mutu jernang. Berdasarkan standar SNI jernang (2010), dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa dari enam komponen yang diuji empat diantaranya jernang hasil masyarakat termasuk ke dalam mutu super kecuali kadar kotoran dan kadar resin termasuk mutu A. Secara keseluruhan jernang hasil cara perebusan termasuk mutu super yaitu pada kadar resin, kadar kotoran, kadar air, kadar abu, titik leleh dan warna. Apabila dilihat dari Tabel 18, terlihat bahwa waktu optimum yang dihasilkan adalah perebusan 1 jam karena kadar kotoran yang dihasilkan paling sedikit, sedangkan kadar resin dan rendemen (Tabel 5) yang dihasilkan pada waktu 1 jam paling besar dibandingkan 2 dan 3 jam. Pada umumnya dalam dunia perdagangan, karakteristik jernang yang ditekankan dalam penentuan mutu jernang adalah pada kadar kotoran dan kadar resin.