BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

kekuasaan. Menurutnya, tatanan geopolitik merupakan produk dari suatu gagasan politik yang disebutnya sebagai geopolitical code.

Ciri Utama Disiplin Geografi (1) : Perspektif Spasial. Minggu ke-2 Pengantar Geografi Oleh : Hafid Setiadi

BAB III METODE PENELITIAN

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

BAB V. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian di bab-bab sebelumnya. menunjukkan terjawabnya rumusan masalah tersebut.

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB V PENUTUP. dapat terlepas dari modal yang dimilikinya, semakin besar modal yang dimiliki oleh

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

CIRI UTAMA DISIPLIN GEOGRAFI (2): PENDEKATAN KEILMUAN. Kuliah Pengantar Geografi Minggu ke-3 Oleh : Hafid Setiadi

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

VIII KESIMPULAN DAN SARAN

Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke dan Dampaknya pada Pertumbuhan Kota

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. suatu persamaan-persamaan dan berbeda dari bangsa-bangsa lainnya. Menurut Hayes

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB VI PENUTUP. Adanya penyelewengan terhadap pelaksanaan khittah Tarbiyah yang lebih

III. METODE PENELITIAN

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

EcoReality. Oleh: I Wayan Setem, S.Sn, M.Sn

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini adalah deksriptif. Penelitian deskriptif merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

PENDEKATAN LAPANG Strategi Penelitian

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-ku. 1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 I d e n t i f i k a s i P e r u b a h a n R u m a h T r a d i s i o n a l D e s a K u r a u, K e c. K o b a

BAB III METODE PENELITIAN. Muchammad Nazir dalam bukunya Metode Penelitian menyatakan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. masyarakat yang berada di kawasan non-perbatasan di Indonesia. Masyarakat

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Konservasi Alam dalam Proses Menjadi

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENGANTAR. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di antara

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I PENDAHULUAN. merupakan makanan pokok umum bagi masyarakat di Indonesia.

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB III METODE PENELITIAN

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF : KONTRUKTIVIS DAN PARADIGMA KRITIS. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

Analisis Sosio-Ekologi dan Sosio-Budaya Burung Berkicau di Dua Kota di Indonesia: Teladan dari Surabaya dan Yogyakarta 1

METODE PENDEKATAN GEOGRAFI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB V KESIMPULAN. Adaptasi dalam Jêmblungan berdampak pada perubahan. garap pertunjukannya sebagai media hiburan. Adalah ngringkês

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

Penutup BAB Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa

BAB VI PENUTUP. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan kota kecil di Joglosemar

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kota Labuhan Deli berada di pesisir Sumatera Timur dimana letaknya

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu paradigma arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa

Dr.Ir. Edi Purwanto, MT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

geografi Kelas X PENGETAHUAN DASAR GEOGRAFI I KTSP & K-13 A. PENGERTIAN GEOGRAFI a. Eratosthenes b. Ptolomeus

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB I PENDAHULUAN. analisis unsur intrinsiknya, yaitu unsur-unsur yang membangun karya sastra,

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

SUMMARY STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. orang-orang yang terdapat dalam instansi tersebut. Oleh karena itu

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB VI KESIMPULAN. masyarakat hidup bersama biasanya akan terjadi relasi yang tidak seimbang. Hal

3 METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Paradigma Penelitian

Transkripsi:

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan bagaimana suatu rezim memaknai serta memperlakuan lingkungan alam di bawah suatu tradisi kekuasaan tertentu. Pada periode abad ke-15 hingga ke- 16, rezim kekuasaan Islam bertradisi maritim-sawah berbasis lingkungan pantai yang menekankan pada perdagangan maritim tetap mengusung konsep suci dan sempurna yang dilandasi oleh pemahaman akan adanya gunung suci. Konsep tersebut memungkinkan terbentuknya politik teritorial yang dicirikan oleh dominasi kekuasaan raja dalam suatu tatanan hirarkis berpola jaringan. Perubahan tradisi kekuasaan Islam dari tradisi maritim-sawah ke tradisi sawah telah memasukkan dataran subur sebagai elemen lingkungan alam pembentuk kekuasaan yang merubah tatanan hirarkis dari pola jaringan ke pola konsentrik. Memasuki abad ke-17 hingga ke-19, rezim kekuasaan Barat menerapkan konsep pusat yang berorientasi pada keuntungan ekonomi dengan menempatkan lingkungan alam sebagai faktor produksi. Perubahan tradisi kekuasaan Barat dari merkantilisme ke liberalismekapitalisme merubah politik teritorial dari pengendalian simpul perdagangan menjadi pengendalian teritori. 2. Di bawah rezim kekuasaan Islam bertradisi maritim-sawah, praktek penguatan pinggiran dan likuidasi politik berimplikasi pada pergantian identitas beberapa kota pelabuhan menjadi kota dakwah serta menghilangnya identitas politik beberapa kota pedalaman di lembah-lembah subur penghasil beras. Di masa rezim kekuasaan Islam bertradisi sawah, gejala likuidasi politik dan netralisasi pinggiran mendorong kemunculan kota pedalaman sebagai titik pancar kekuasaan raja. Sejalan dengan tergantikannya beras oleh rempah-rempah sebagai komoditi perdagangan, tradisi merkantilisme rezim 396

kekuasaan Barat memunculkan kembali peran penting kota-kota pelabuhan baik sebagai pusat distribusi maupun pusat diplomasi perdagangan. Upaya penguasaan faktor produksi oleh rezim kekuasaaan Barat melalui sistem birokrasi kolonial, kapitalisasi perkebunan, dan pembangunan jalan raya memunculkan kota-kota multi fungsi yang saling terhubung; bahkan pada tempat-tempat yang secara primordial dipandang beridentitas geopolitik negatif. 8.2. Implikasi Keilmuan Terdapat dua kelemahan dalam peneliian ini yang saling terkait. Kelemahan pertama menyangkut ketersediaan data dan informasi. Pilihan untuk menggunakan studi literatur menyebabkan penelitian ini berhadapan dengan berbagai macam konteks yang melatari kemunculan data atau informasi; tergantung pada perspekif dan kepentingan penulismya. Selain itu, literatur yang beragam juga tidak selalu menyediakan data dan informasi yang setara tentang beberapa hal yang dipandang relevan untuk ditemukan keterkaitannya baik dari segi kelengkapan maupun kedalaman. Sementara itu kelemahan kedua berkenaan dengan penerapan hermeneutika pada cakupan wilayah yang sangat luas dan rentang waktu historis yang terbilang lama. Hal ini berbeda dengan penelitian-penelitian berbasis geografi kritis yang pada umumnya membahas aktivitas keseharian pada skala ruang mikro. Kedua kelemahan tersebut berakibat pada timbulnya kesan akan adanya generalisasi yang terlalu berani pada beberapa bagian. Walaupun begitu, pada akhirnya penelitian ini tetap dapat memenuhi tujuan penerapan hermeneutika dalam disiplin geografi yaitu memberikan penafsiran spasial terhadap jejak dan hasil tindakan manusia menurut konteks tertentu guna mendapatkan suatu pemahaman baru. Tujuan tersebut diperoleh melalui penerapan prinsip-prinsip hermeneutika Paul Ricouer yang memungkinkan terbukanya penafsiran terhadap kota sebagai jejak dari suatu kekuasaan. Merujuk pada pemahaman bahwa tindakan manusia adalah sebuah teks, maka sesuai dengan prinsip hermeneutika proses penafisran tersebut juga mencakup penafsiran 397

terhadap aktor. Jika kemudian dikaitkan dengan prinsip dalam ilmu geografi, khususnya paradigma geografi kritis, eksistensi dan identitas aktor sebagai pelaku tindakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan yang melingkupinya, baik lingkungan alam maupun sosial budaya. Sesuai dengan basis kultural yang melingkupinya, suatu rezim dapat memaknai lingkungan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kekuasaannya. Pemaknaan tersebut mengisyaratkan bahwa suatu rezim kekuasaan memiliki keterikatan dan ketergantungan pada suatu lingkungan alam tertentu. Berbagai kenampakan lingkungan fisik yang menonjol diyakini memiliki kontribusi penting dalam membentuk tradisi kekuasaan yang salah satunya dimunculkan dalam wujud kode geopolitik. Dengan kata lain, tradisi kekuasaan merupakan produk dari keunikan dialektika manusia-lingkungan pada tempattenpat yang berbeda. Perpaduan antara kondisi fisik dan kultural sebagai kerangka utama penelitian ini dengan demikian telah menyediakan suatu pendekatan alternatif yang dapat mengakomodir sifat kontinum permukaan bumi dibandingkan pendekatan dikotomis pesisir-pedalaman. Atas dasar itu, maka Gambar 8.1 menawarkan suatu kerangka kerja hermeneutik dalam disiplin geografi guna menelusuri keterkaitan antara aktor kekuasaan, tindakan politik, dan pertumbuhan kota. Kerangka kerja tersebut menempatkan unsur-unsur lingkungan alam seperti sungai, gunung, pantai, lembah, dan dataran bukan semata-mata menekankan pada wujud fisiknya, melainkan juga dalam peran dan makna simboliknya. Seperti telah terungkap dalam hasil penelitian ini, penempatan seperti itu telah memberikan penafsiran baru terhadap unsur alam sebagai faktor pembentuk kehidupan, khususnya yang terkait dengan tradisi kekuasaan. Dalam hal ini makna simbolik ini merupakan representasi dari adanya gagasan yang khas tentang kekuasaan yang diusung oleh suatu rezim. Penafsiran akan adanya makna simbolik ini hanya dimungkinkan dengan melibatkan sistem nilai (value system) yang berperan sebagai basis kultural suatu rezim kekuasaan. 398

Penekanan proses hermeneutik Gambar 8.1. Implikasi metodologis keterkaitan antara praktek spatial kekuasaan dan pertumbuhan kota Gejala-gejala yang dapat memperlihatkan peran penting makna simbolik yang terkandung dalam unsur-unsur lingkungan alam tergambar pada konsep dan perilaku pusat sebagai suatu entitas spasial. Melalui pendalaman terhadap konsep pusat, penelitian dapat menafsirkan keunikan gagasan ruang yang melandasi politik teritorial suatu rezim kekuasaan dan bagaimana gagasan tersebut berimplikasi pada kemunculan dan keruntuhan kota-kota. Dalam hal ini, gagasan ruang tersebut yang dalam penelitian ini disebut sebagai kode geopolitik sesungguhnya adalah suatu materi yang memiliki kecenderungan kuat untuk bergerak bebas mengatasi hambatan ruang baik yang dibentuk oleh kondisi fisik alamiah maupun kultural. Pendalaman tersebut merupakan elaborasi terhadap penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat memahami pertumbuhan kota sebagai produk dari aliran gagasan politik yang bergerak bebas dari satu tempat ke tempat lain. 399

Secara keseluruhan, Gambar 8.1 menyediakan suatu kerangka pemikiran hermeneutik dalam disiplin geografi yang memungkinkan dilakukannya penelusuran dan penafsiran terhadap imajinasi ruang oleh suatu rezim kekuasaan dan bagaimana imajinasi tersebut mengalami perubahan baik yang disebabkan oleh perkembangan situasi eksternal seperti munculnya entitas kekuasaan baru, perkembangan ekonomi, intervensi teknologi atau pun suntikan suatu ideologi baru yang dapat memodifikasi kode geopolitik ke dalam bentuk yang baru sehingga mendorong terjadinya perumusan ulang terhadap ruang kekuasaan. Konsep, pemaknaan, serta perilaku pusat pun akan berubah. Demikian pula halnya dengan pola dominansi dan identitas kekuasaan yang diusung oleh pusat. Pusat baru ini membangun simbol-simbol kekuasaan sesuai dengan kepentingannya dalam wujud kota. Sebagai simbol kekuasaan, kota pun menjadi tanda bagi hadirnya suatu rezim kekuasaan di wilayah tertentu beserta segenap jaringannnya. Melalui kota-kota, suatu rezim kekuasan dapat melakukan penguasaan, pengendalian, serta pengelolaan teritorial demi mengembangkan basis spasial geopolitiknya. Gambar 8.1 juga memperlihatkan proses hermeneutik terhadap praktek kekuasaan yang merupakan wujud operasional dari modus produksi ruang yang dilandasi oleh suatu kode geopolitik tertentu. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa setiap kode geopolitik mengandung modus produksi ruang yang khas sebagaimana tercermin dari konsep dan perilaku pusat, pola dominasi, dan pembentukan identitas ruang kekuasaan. Pergantian rezim kekuasaan yang diikuti oleh perubahan kode geopolitik dengan demikian akan merubah modus produksi ruang kekuasaan. Pola-pola representasi kekuasaan melalui berbagai simbol demi memuluskan klaim-klaim teritorial juga mengalami perubahan. Pada tahapan ini setiap rezim kekuasaan baru berpeluang untuk membentuk suatu pusat yang dilakukan secara simultan dengan kepentingannya untuk menciptakan basis geopolitik yang baru pula. Berdasarkan pertimbangan terhadap pola dominasi pusat, kerangka di atas juga menawarkan suatu pendekatan baru dalam melihat kemunculan dan keruntuhan kota-kota bukan dalam kedudukannya sebagai pusat besar, 400

melainkan sebagai entitas-entitas di pinggiran. Hal ini menandakan terjadinya suata dielaktika pusat-pinggiran yang mempertanyakan sejauh mana tesis tentang eksistensi pusat sebagai suatu entitas yang dominan, aktif, dan menentukan dapat terus dipertahankan dalam menjelaskan petumbuhan kota. Melalui pemahaman terhadap perilaku dan hubungan antar pusat terutama yang berlangsung sebelum masa kekuasaan Barat, tampak adanya gejala anti-tesis yang memperlihatkan adanya pusat yang seakan-akan aktif namun sesungguhnya memiliki ketergantungan yang terbilang tinggi pada entitas lain yang justru berada di pinggiran. Sifat aktif dan menentukan dari pusat dimaksud sesungguhnya bersifat semu. Dengan demikian, pendekatan geopolitik krtitis yang digunakan dalam penelitian dan melibatkan aspek identitas, ideologi, serta praktek kekuasaan dapat menjadi alternatif baru bagi kajian pertumbuhan kota-kota menengah secara regional yang selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan neo-klasik, seperti yang ditawarkan oleh John Friedmann melalui Teori Pusat-Pinggiran. Selain kerangka metodologis di atas, melalui penelaahan mendalam terhadap konsep pusat, penelitian ini bukan saja berhasil mengetengahkan wacana baru mengenai urgensi dan eksistensi pusat dalam pengelolaan teritori, tetapi juga dapat memodifikasi struktur ruang konsentris-hirarkis kekuasaan Jawa yang pernah ditawarkan oleh Profesor Selo Sumardjan pada tahun 1981. Dengan memasukkan masjid sebagai pusat dan kemudian menelaah bentuk-bentuk relasinya dengan istana di bawah tradisi sawah, penelitian ini berhasil menawarkan suatu struktur ruang konsentris-hirakis baru yang memperlihatkan adanya relasi-relasi kekuasaan di pinggiran dan bagaimana relasi-relasi pinggiran tersebut terkoneksi dengan istana di pusat kekuasaan. Dalam konteks penelitian, struktur ruang baru dimaksud terbentuk pada masa kekuasaan Kesultanan Mataram ketika terjadi pemutlakkan kedudukan istana sebagai pusat besar yang dominan. Perbandingan antara kedua struktrur ruang konsentris tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.2 berikut ini. 401

Struktur ruang hirarkis-konsentris dalam tradisi kekuasaan Jawa versi Selo Sumardjan (1981) Struktur ruang hirarkis-konsentris dalam tradisi kekuasaan Jawa pada masa Kesultanan Mataram (2014) Gambar 8.2 Perbandingan model empiris struktur ruang hirarkis-konsentris Hasil penelitian ini juga menawarkan pandangan yang berbeda dengan yang disampaikan oleh Bouchari dan Dupagne (2003) dalam kaitannya dengan alasanalasan menghilangnya kedudukan masjid sebagai pusat. Dengan merujuk kembali pada Gambar 5.3, Bouchari dan Dupagne percaya bahwa kemunculan pusat-pusat ekonomi baru adalah penyebab utama menghilangnya kedudukan masjid sebagai pusat. Dengan kata lain, daya tarik ekonomi dari suatu pusat akan mengalahkan daya tarik religius dari masjid. Namun demikian gejala tersebut tampaknya tidak berlaku di Pulau Jawa terutama dalam konteks penelitian ini. Meredupnya kedudukan masjid sebagai pusat di Pulau Jawa justru terjadi bersamaan dengan meredupnya peran pelabuhan sebagai pusat ekonomi. Begitu juga sebaliknya. Meningkatnya kedudukan masjid sebagai pusat berjalan seiring dengan meningkatnya peran pelabuhan. Dalam kasus Pulau Jawa, faktor utama yang menyebabkan meredupnya kedudukan masjid sebagai pusat adalah munculnya kekuasaan bersifat absolut dan hegemonik yang secara sekaligus mengendalikan aspek-aspek politik, ekonomi, religius, dan kultural di tengah kehidupan masyarakat. 402