BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

III. METODOLOGI PENELITIAN


KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

Sejarah Pengelolaan Tanaman IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontoha

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

HASIL ANALISA VEGETASI (DAMPAK KEGIATAN OPERASIONAL TERHADAP TEGAKAN HUTAN)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

Struktur Dan Komposisi Tegakan Sebelum Dan Sesudah Pemanenan Kayu Di Hutan Alam. Muhdi

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

Baharinawati W.Hastanti 2

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

PERKEMBANGAN TEGAKAN SETELAH PENEBANGAN DI AREAL IUPHHK-HA PT. BARITO PUTERA, KALIMANTAN TENGAH

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

KOMPOSISI JENIS SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM TROPIKA SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU

IV. METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

Penelitian dilakukan di areal HPH PT. Kiani. penelitian selama dua bulan yaitu bulan Oktober - November 1994.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEANEKARAGAMAN VEGETASI DI HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

E ROUP PUROBli\1 .IURUSAN TEKNOLOGI BASIL HUTAN E C\KULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR. Oleh :

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRACT PENDAHULUAN. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. Vlll No. 2 : (2002) Arti kel (Article) Trop. For. Manage. J. V111 (2) : (2002)

INVENTARISASI HUTAN (PASCA KEBAKARAN) PADA KAWASAN HUTAN PENDIDIKAN / SEBAGIAN HUTAN WISATA BUKIT SOEHARTO, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

IV. METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

Studi Potensi dan Penyebaran Tengkawang (Shorea spp.) di Areal IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Tarakan, Kalimantan Timur

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan pada Areal Bekas Tebangan di PT Salaki Summa Sejahtera, Provinsi Sumatera Barat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

MONITORING LINGKUNGAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. dalam kawasan wisata alam Trinsing yang secara administratif termasuk ke dalam

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA

Potensi Jenis Dipterocarpaceae di Hutan Produksi Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPOSISI DAN STRUKTUR TEGAKAN PADA AREAL BEKAS TEBANGAN TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (TPTII)

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

Amiril Saridan dan M. Fajri

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

TINJAUAN PUSTAKA. rekreasi alam, yang mempunyai fungsi sebagai: Kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan.

BAB IV METODE PENELITIAN

II. METODOLOGI. A. Metode survei

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

METODOLOGI PENELlTlAN

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

III. METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI SUSI SUSANTI

Transkripsi:

28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas atau tegakan yang telah terganggu. Dengan mengetahui komposisi jenis tersebut, maka dapat diketahui juga perkembangan tegakan yang telah berlangsung pada komunitas yang terganggu tersebut. Apabila komposisi jenis pada tegakan tersebut sudah mendekati kondisi awal, dalam hal ini mendekati kondisi pada hutan primer, maka dapat dikatakan bahwa kondisi tegakan tersebut telah pulih. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak GG-39 pada areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah, pada kondisi hutan primer dan bekas tebangan/logged over area (LOA) setelah 2 (dua) tahun dengan teknik silvikultur TPTII yang diukur pada 3 (tiga) kelas kelerengan yang berbeda, maka diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda untuk tiap tingkatan permudaannya. Hasil dari analisis vegetasi untuk komposisi jenis yang terdapat di petak GG-39 dapat dilihat di tabel 8. Tabel 8 Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan Kondisi Hutan Kelerengan Jumlah Jenis Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 25 38 36 47 Sedang (15-25 %) 36 38 43 51 Curam (> 25 %) 38 36 35 47 Rata-rata 33 37 38 48 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 16 21 39 48 Sedang (15-25 %) 22 27 41 44 Curam (> 25 %) 24 27 37 52 Rata-rata 21 25 39 48 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif).

29 Berdasarkan tabel 8, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tiap tingkatan permudaan berbeda. Jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon, baik itu di hutan primer maupun di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Pada hutan primer, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 38 jenis per hektar, kemudian kelas kelerengan sedang yaitu sekitar 36 jenis per hektar dan kelas kelerengan datar yaitu sekitar 25 jenis per hektar. Berbeda dengan jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pohon. Untuk tingkat pohon, jumlah jenis terbesar dapat ditemukan pada kelerengan sedang yaitu sekitar 51 jenis per hektar, kemudian pada kelerengan datar dan curam terdapat jumlah jenis yang sama yaitu sekitar 47 jenis per hektar. Pada tingkat pohon, jumlah jenis yang ditemukan jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat permudaan lainnya. Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII ternyata menyebabkan terjadinya perubahan dalam komposisi jenis. Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa pada LOA TPTII 2 tahun terjadi penurunan jumlah jenis untuk tingkat semai dan pancang pada semua kelas kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terjadi pada tingkat pancang di kelerengan datar, yaitu sekitar 17 jenis. Hal ini dapat terjadi karena ketika proses suksesi berlangsung, terjadi persaingan tumbuh diantara jenis-jenis yang toleran dan intoleran. Sehingga jenis yang lambat tumbuh akan ternaungi dan tertekan. Kondisi berbeda ditemukan pada tingkatan tiang dan pohon. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi peningkatan jumlah jenis pada kelerengan datar dan curam. Jika diperhatikan jumlah jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir mendekati pada kondisi hutan primer. Namun kondisi LOA TPTII 2 (dua) tahun belum dapat dikatakan sudah kembali seperti pada kondisi hutan primer, karena proses suksesi masih terus berlangsung sehingga. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai jumlah jenis yang masih fluktuatif pada tiap tingkatan permudaannya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan baik di hutan primer maupun LOA TPTII setelah 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa komposisi jenis yang ditemukan di areal penelitian sangat bervariasi pada semua tingkat pertumbuhan. Komposisi jenis yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih banyak karena dianggap pada hutan primer tersebut telah terjadi kestabilan

30 sehingga jenis-jenis yang ada merupakan jenis-jenis yang telah beradaptasi dan merupakan jenis puncak dalam proses suksesi. Terjadinya perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan LOA TPTII disebabkan karena terjadinya pemungutan hasil hutan melalui kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis pada LOA TPTII tersebut. Perubahan komposisi jenis yang sedang terjadi di LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan karena proses suksesi yang sedang berlangsung. Kecenderungan jumlah jenis yang menurun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu. 5.1.2. Kerapatan dan Frekuensi Kelompok Jenis Kerapatan merupakan banyaknya individu tumbuhan yang dinyatakan per satuan luas. Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa suatu jenis dengan nilai kerapatan yang tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Sedangkan frekuensi dapat dipakai sebagai parameter yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan. Nilai frekuensi yang diperoleh dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi serta menunjukkan jumlah unit contoh yang mengandung jenis tertentu (Fachrul 2008). Pada tabel 9 berikut dapat dilihat komposisi permudaan jenis dilihat dari nilai kerapatan (N/Ha) dan frekuensi yang terdapat pada plot pengamatan di masing-masing kelerengan. Dari tabel tersebut terlihat adanya penurunan nilai kerapatan dan frekuensi apabila dibandingkan antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Tabel 9 Komposisi permudaan jenis komersial ditebang pada plot pengamatan dilihat dari kerapatan (N/Ha) serta frekuensi Kondisi Semai Pancang Tiang Pohon Kelerengan Hutan K F K F K F K F 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Datar (0-15 %) 10.467 0,79 1.712 0,73 192 0,77 120 0,69 Primer Sedang (15-25 %) 22.200 0,80 2.043 0,83 313 0,80 132 0,74 Curam (> 25 %) 12.967 0,78 2.693 0,83 249 0,79 114 0,65 Rata-rata 15.211 0,79 2.708 0,80 243 0,79 174 0,69

31 Tabel 9 (lanjutan) 1 LOA TPTII 2 Tahun Rata-rata 9.467 0,87 1.063 0,71 171 0,82 69 0,81 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif); K (Kerapatan); F (Frekuensi). Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah permudaan jenis komersial jika dibandingkan antara hutan primer dengann LOA TPTII 2 (dua) tahun, baik dari nilai kerapatan maupun nilai frekuensinya. Jika dilihat dari nilai rata-ratanya, pada tingkat semai terjadi penurunan kerapatan sekitar 9.133 ind/ha. Sedangkan masing-mas ing adalah 72 ind/ha dan 127 ind/ha. memiliki kerapatan yang lebih kecil dibandingkan pada hutan primer. Penurunan nilai kerapatan yang signifikan ditemukan hampir pada setiap kelerengan. Hal ini dapat disebabkan karenaa proses suksesi yang masih berlangsung pada areal bekas tebangan tersebut. Suksesi sekunder yang belum stabil atau mencapai klimaksnya mengakibatk kan kerapatan yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun ini belum memiliki nilai yang mendekati kondisi hutan primer. Gambar berikut ini adalah histogram yang membandingkan kerapatan padaa hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun. 2 Datar (0-15 %) 6.700 0,94 3 Sedang (15-25 %) 13.367 0,81 1.072 0,67 Curam (> 25 %) 8.333 0,87 1.328 0,79 4 5 6 789 0,69 7 8 189 0,80 191 0,84 132 0,84 Pada tingkat pancang penurunan kerapatan yang terjadi sekitar 1.645 ind/ha. pada tingkat tiang dan pohon penurunan kerapatan yang terjadi Kerapatan Jenis Komersial Ditebang 9 10 68 0,84 68 0,81 72 0,79 Permudaan jenis komersial di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada umumnya Kerapatan (N/Ha) 25000 20000 15000 10000 5000 0 0-15 % 15-25 % > 25 % 0-15 % 15-25 % > 25 % Semai Pancang Tiang Pohon Primer LOA TPTII 2 Tahun Kondisi Hutan Gambar 2 Kerapatan jenis komersial ditebang yang ditemukan pengamatan. pada plot

32 Berbeda dengan kerapatan, nilai frekuensi antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun justru mengalami peningkatan pada beberapa kelerengan dan tingkat permudaan. Padaa hutan primer kisaran nilai frekuensi untuk semua tingkat permudaan berkisar antara 0,65-0,83 atau 65%-83%. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun nilai frekuensinya berkisar antara 0,67-0,94 atau 67%-94% %. Jika diamati dari nilai rata-ratanya, terjadi peningkatan nilai frekuensi untuk tingkat semai, tiang dan pohon padaa LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan kondisi hutan primer. Namun terjadi penurunann nilai frekuensi pada tingkat pancang. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola penyebaran jenis pada LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan hutan primer. Peningkatan nilai frekuensi mendekati nilai 100% menandakan bahwa pola penyebaran jenis dalam plot pengamatan hampir tersebar merata. Sedangkan nilai frekuensi yang rendah menunjukkan bahwa penyebaran jenis dalam plot pengamatan n tidak merata. Hal ini dapat disebabkan karena adaptasi dengan lingkungan tempat tumbuhnya kurang. Histogram berikut menunjukkan pola penyebaran (frekuensi) jenis komersial ditebang pada hutan primer dengann LOA TPTII 2 (dua) tahun yang ditunjukkan dalam gambar 3. Pola Penyebaran Jenis Komersial Ditebang Frekuensi (%) 1,00 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 0-15 % 15-25 % > 25 % 0-15 % 15-25 % > 25 % Semai Pancang Tiang Pohon Primer LOA TPTII 2 Tahun Kondisi Hutan Gambar 3 Frekuensi jenis komersial ditebang pada plot pengamatan. Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawan (2000) mengemukakan bahwa suatu permudaan dianggap cukup jika terdapat paling sedikit 1000 batang/ /ha dengan

33 nilai penyebarannya 40% untuk tingkat semai, 240 batang/ha dengan penyebaran 60% untuk tingkat pancang, 75 batang/ha dengan penyebaran 75% untuk tingkat tiang, dan 25 batang/ha dengan penyebaran 25% untuk tingkat pohon. Berdasarkan uraian tersebut, nilai kerapatan dan frekuensi pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih dianggap memenuhi kriteria yang dikemukakan oleh Wyatt-Smith. Hal ini berarti pada areal pengamatan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun masih memiliki permudaan yang cukup dan tersebar merata. Soerianegara dan Indrawan (1998) juga menegaskan bahwa jenis-jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki jumlah dan penyebaran yang luas. Tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominansinya. Jenis-jenis yang dominan tersebut memiliki nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi. Kerapatan jenis yang tinggi menunjukkan bahwa jenis ini memiliki jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di lapangan dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan tingginya frekuensi relatif suatu jenis menunjukkan bahwa jenis tersebut tersebar merata hampir di seluruh petak pengamatan. 5.1.3. Dominansi Jenis Dominansi suatu jenis dapat digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan suatu jenis dalam suatu komunitas atau tegakan. Dominansi dari jenis-jenis yang ada pada suatu tegakan dapat dilihat dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP) yang dimiliki jenis-jenis tersebut. Dapat dikatakan bahwa jenis yang memiliki INP tertinggi merupakan jenis paling dominan dalam tegakan tersebut. Di dalam masyarakat hutan, sebagai akibat adanya persaingan, jenis-jenis tertentu lebih berkuasa (dominan) daripada jenis lainnya. Pohon-pohon tinggi dari stratum (lapisan) teratas mengalahkan atau menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan, 1998). Pada tabel 10 dan 11 berikut disajikan daftar 5 jenis dominan yang ditemukan pada plot pengamatan yang memiliki INP tertinggi.

34 Tabel 10 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada hutan primer Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%) Primer Datar Sterculia gilva 24,14 Eugenia sp. 33,15 Eugenia sp. 48,23 Shorea leprosula 40,52 (0-15 %) Shorea beccariana 20,36 Litsea firma 24,41 Dialium sp. 34,12 Eugenia sp. 30,59 Shorea quadrinervis 19,20 Myristica iners 17,18 Litsea firma 19,90 Litsea firma 29,64 Eugenia sp. 19,05 Sterculia gilva 16,36 Myristica iners 17,88 Dialium sp. 22,31 Litsea firma 14,65 Vatica rassak 12,68 Sterculia gilva 17,40 Shorea beccariana 19,66 Sedang Shorea dasyphylla 29,94 Sterculia gilva 20,24 Eugenia sp. 35,64 Shorea leprosula 34,87 (15-25 %) Canarium denticulatum 23,87 Myristica iners 19,59 Dialium sp. 23,02 Shorea beccariana 30,23 Shorea beccariana 21,70 Vatica rassak 18,41 Sterculia gilva 21,02 Eugenia sp. 25,75 Sterculia gilva 17,85 Diospyros malam 15,45 Litsea firma 20,50 Dialium sp. 15,85 Litsea firma 13,64 Litsea firma 13,01 Pithecellobium sp. 16,14 Pithecellobium sp. 15,24 Curam Shorea beccariana 24,47 Litsea firma 25,20 Litsea firma 29,43 Shorea leprosula 24,52 (> 25 %) Shorea leprosula 23,38 Eugenia sp. 20,14 Eugenia sp. 24,95 Eugenia sp. 22,44 Eugenia sp. 17,38 Myristica iners 15,34 Pithecellobium sp. 20,42 Dialium sp. 20,41 Litsea firma 15,58 Sterculia gilva 14,91 Dialium sp. 18,57 Shorea beccariana 18,80 Shorea dasyphylla 15,45 Shorea beccariana 13,50 Nephelium sp. 18,40 Pithecellobium sp. 16,88

35 Tabel 11 Daftar lima jenis dengan Indeks Nilai Penting (INP) terbesar tiap tingkat permudaan pada LOA TPTII 2 tahun Kondisi hutan Kelerengan Jenis-Jenis Dominan Semai INP (%) Pancang INP (%) Tiang INP (%) Pohon INP (%) LOA TPTII Datar Litsea firma 47,03 Macaranga conifera 63,43 Litsea firma 63,19 Eugenia sp. 50,77 2 Tahun (0-15 %) Eugenia sp. 44,86 Litsea firma 45,44 Eugenia sp. 39,47 Litsea firma 39,34 Shorea leprosula 35,33 Shorea leprosula 18,42 Vatica rassak 26,26 Shorea beccariana 16,67 Dipterocarpus sp. 21,07 Eugenia sp. 10,96 Pithecellobium sp. 14,33 Shorea leprosula 16,58 Shorea beccariana 17,60 Shorea beccariana 10,29 Nephelium sp. 11,36 Vatica rassak 16,16 Sedang Eugenia sp. 34,91 Macaranga conifera 54,58 Litsea firma 49,40 Shorea beccariana 40,37 (15-25 %) Shorea dasyphylla 32,09 Litsea firma 43,04 Eugenia sp. 40,37 Eugenia sp. 36,76 Litsea firma 30,44 Shorea leprosula 22,53 Myristica iners 22,26 Litsea firma 24,44 Dipterocarpus sp. 21,06 Shorea beccariana 19,68 Sterculia gilva 20,27 Shorea leprosula 19,77 Shorea quadrinervis 15,86 Sterculia gilva 4,93 Pithecellobium sp. 17,43 Pithecellobium sp. 15,25 Curam Litsea firma 51,98 Litsea firma 42,04 Litsea firma 39,89 Eugenia sp. 40,28 (> 25 %) Eugenia sp. 34,52 Eugenia sp. 28,44 Eugenia sp. 35,59 Litsea firma 35,93 Shorea quadrinervis 22,84 Shorea leprosula 26,22 Vatica rassak 27,72 Eusideroxylon zwageri. 22,85 Shorea beccariana 13,43 Macaranga conifera 24,75 Shorea leprosula 26,09 Pithecellobium sp. 15,98 Myristica iners 11,43 Myristica iners 14,14 Myristica iners 1793 Durio sp. 14,90

36 Dari tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa jenis-jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae. Sedangkan jenis lainnya yang termasuk ke dalam famili non Dipterocarpaceae yang banyak mendominasi adalah jenis jambu-jambu (Eugenia sp.), banitan (Sterculia gilva), medang (Litsea firma), kayu arang (Diospyros malam), girik (Pithecellobium sp.), dan lampung/garung (Macaranga conifera). Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 10 dan 11 dapat dilihat lima jenis yang mendominasi pada tiap tingkatan permudaan untuk masing-masing kondisi hutan dan kelerengan sangat bervariasi dilihat berdasarkan INP. Pada hutan primer, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai pada kelerengan datar adalah banitan (Sterculia gilva) yaitu sebesar 24,14%. Untuk tingkat pancang dan tiang adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) sebesar 33,15% dan 48,23%. Sedangkan untuk tingkat pohon adalah jenis lempung (Shorea leprosula) sebesar 40,52%. Pada kelerengan sedang, jenis yang memiliki INP terbesar untuk tingkat semai adalah meranti bukit (Shorea dasyphylla) sebesar 29,94%. Tingkat pancang didominasi oleh banitan (Sterculia gilva) dengan INP sebesar 20,24%. Untuk tingkat tiang dan pohon jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dan lempung (Shorea leprosula) dengan INP masing-masing sebesar 35,64% dan 34,87%. Sedangkan pada kelerengan curam, jenis-jenis yang mendominasi untuk tingkat semai, pancang, tiang dan pohon adalah tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 24,47%, medang (Litsea firma) sebesar 25,20% dan 29,43%, serta (Shorea leprosula) sebesar 24,52%. Adanya kegiatan penebangan dan penjaluran sebelumnya ternyata menyebabkan terjadinya perubahan jenis-jenis dominan pada areal penelitian. Berdasarkan tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan yang nyata terhadap jenis-jenis yang mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun. Jenis yang banyak mendominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun baik di kelerengan datar, sedang maupun curam adalah medang (Litsea firma). Berbeda dengan jenis yang banyak ditemukan pada hutan primer, yaitu jenis lempung (Shorea leprosula). Pada kelerengan datar di LOA TPTII 2 (dua) tahun, jenis medang (Litsea firma) banyak mendominasi untuk vegetasi tingkat semai dan tiang dengan INP

37 masing-masing sebesar 47,03% dan 63,19%. Sedangkan tingkat pancang banyak didominasi oleh jenis lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 63,43%. Pada tingkat pohon, jenis yang memiliki nilai INP tertinggi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) dengan INP sebsesar 50,77%. Pada kelerengan sedang, jenis yang mendominasi adalah jambu-jambu (Eugenia sp.) untuk tingkat semai dengan INP sebesar 34,91%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh lampung/garung (Macaranga conifera) dengan INP sebesar 54,58. Tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis medang (Litsea firma) sebesar 49,40% dan tengkawang rambut (Shorea beccariana) sebesar 40,37%. Sedangkan pada kelerengan curam hanya jenis medang (Litsea firma) yang mendominasi pada tingkat semai, pancang, dan tiang dengan INP masingmasing 51,98%, 42,04%, dan 39,89%, serta jambu-jambu (Eugenia sp.) pada tingkat pohon dengan INP sebesar 40,28%. Berdasarkan tabel 10 dan 11 juga dapat dilihat bahwa terdapat beberapa jenis yang terdapat di hutan primer masih ditemukan juga di LOA TPTII 2 (dua) tahun meskipun telah terjadi kegiatan penebangan dan penjaluran pada dua tahun sebelumnya. Jenis-jenis tersebut tetap ada dalam plot pengamatan meskipun tingkat dominasi dari jenis tersebut mengalami penurunan. Seperti yang terjadi pada jenis lempung (Shorea leprosula) pada tingkat pohon di kelerengan datar dan sedang. Jenis ini mengalami penurunan nilai INP karena jenis ini termasuk ke dalam jenis komersial ditebang (KD). Sehingga kemungkinan besar ketika kegiatan penebangan berlangsung banyak dari jenis ini yang ditebang. Namun terdapat juga beberapa jenis yang ternyata lebih mendominasi di LOA TPTII 2 (dua) tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran berlangsung, jika dibandingkan dengan hutan primer. Jenis-jenis tersebut diantaranya adalah jambujambu (Euginia sp.) dan medang (Litsea firma). Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa untuk kondisi hutan setelah kegiatan penebangan, jenis yang mendominasi pada setiap kelerengan untuk semua tingkatan permudaan mengalami perubahan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kegiatan penebangan yang mengakibatkan adanya jenis-jenis tertentu yang rusak, hilang, bahkan mati. Namun pada beberapa jenis justru terlihat lebih banyak mendominasi setelah kegiatan penebangan dilakukan. Hal ini

38 menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut memiliki kesesuaian terhadap tempat tumbuh yang lebih baik dibandingkan jenis lainnya. Tabel 12 berikut ini juga menunjukkan dominansi jenis yang terdapat di plot penelitian berdasarkan INP yang dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar yaitu jenis Komersial Ditebang, jenis Komersial Tidak Ditebang, dan Jenis Lain. Tabel 12 Indeks Nilai Penting (INP) berdasarkan kelompok jenis pada plot pengamatan Kondisi Hutan Kelerengan Kelompok Tingkatan Vegetasi Jenis Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) KD 156,55 146,29 232,25 214,59 KTD 16,94 50,24 56,99 53,67 JL 26,51 3,47 10,76 31,74 Sedang (15-25 %) KD 167,59 167,33 239,48 216,87 KTD 6,27 18,71 49,50 40,72 JL 26,13 13,97 11,02 42,41 Curam (> 25 %) KD 154,90 163,37 235,72 185,44 KTD 13,96 17,43 47,04 56,75 JL 31,13 19,20 17,23 57,80 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) KD 179,81 118,58 246,09 239.28 KTD 1,30 70,17 37,25 26.03 JL 18,89 11,25 16,65 34.70 Sedang (15-25 %) KD 172,18 118,47 253,30 224.15 KTD 11,23 61,84 43,12 22.12 JL 16,59 19,68 3,57 53.73 Curam (> 25 %) KD 174,06 155,65 249,49 229.02 KTD 10,35 38,59 38,86 32.19 JL 15,58 5,77 11,66 38.79 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif); KD (Komersial Ditebang); KTD (Komersial Tidak ditebang); JL (Jenis Lain). Berdasarkan tabel 12 dapat diketahui bahwa jenis-jenis dari kelompok komersial ditebang paling mendominasi hampir di setiap kelerengan dan tingkatan permudaan. Hal ini ditunjukkan dengan INP untuk vegetasi tingkat semai dan pancang yang nilainya > 150%. Hal yang sama juga dapat dilihat pada vegetasi tingkat tiang dan pohon dimana INP yang dimiliki kelompok jenis ini memiliki nilai > 200% di semua kelas kelerengan. Menurut Budiansyah (2006), peranan suatu jenis dalam komunitas dapat dilihat dari dari besarnya Indeks Nilai Penting (INP), dimana jenis yang

39 mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tersebut mempunyai tingkatt kesesuaian terhadap lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. 5.1.4. Struktur Tegakan Struktur tegakan hutan disebabkan oleh sebaran pohon dalam suatu tegakan baik secara vertikal maupun horizontal. Davis dan Jhonson (1987) menyatakan bahwa stuktur tegakan vertikal didefinisikan sebagai sebaran individu pohon pada berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horizontal adalah banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya. Gambar 4 dan 5 berikut merupakan histogram struktur tegakan horizontal yang menunjukkann hubungan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas diameter yang terdapat di hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Jumlah Pohon (N/Ha) 100 80 60 40 20 0 Strukturr Tegakan (N/Ha) pada Hutan Primer 86 78 81 484952 Datar (0-15 %) 13 11 11 1210 10 15 23 20 Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) 20-29 30-39 40-49 50-600 >60 Kelas Diameter (cm) Gambar 4 Struktur tegakan pada kondisi hutan primer.

40 Jumlah Pohon (N/Ha) Struktur Tegakan (N/Ha) pada LOA TPTII 2 Tahun 50 43 46 38 40 30 25 22 19 20 13 9 9 10 4 4 4 6 8 4 0 20-29 30-39 40-49 50-600 >60 Kelas Diameter (cm) Datar (0-15 %) Sedang (15-25 %) Curam (> 25 %) Gambar 5 Struktur tegakan pada kondisi hutan bekas tebangan (LOA) dengan teknik silvikultur TPTII setelah 2 (dua) tahun. Berdasarkan histogram yang ditunjukkan pada gambar 4 dan 5, dapat dilihat bahwa perbandingan jumlah pohon per hektar antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun jauh berbeda. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan sebelumnya sudah pasti akan mengakibatkan penurunan kerapatan hampir pada semua kelas diameter di berbagai kelerengan. Namun menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawann (2000) jumlah pohon per hektar yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong cukup karena jumlahnya > 25 batang/hektar pada masing-masing kelerengannya. Begitu juga menurut Kepmenhut No. 200/Kpts-II/1994 tanggal 26 April 1994 tentang kriteria hutan produksi alam tidak produktif. Dalam Kepmenhut tersebut, hutan produksi alam yang tidak produktif adalah areal hutan produksi dengan salah satu kriteria teknis, yaitu (1) pohon inti yang berdiameterr minimum 20 cm kurang dari 25 batang/ha, (2) pohon induk kurang dari 10 batang/ha. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah pohon dengan diameter 20 cm up yang terdapat pada LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah lebih dari 25 batang/ha. Sehingga dapat dikatakan areal penelitian ini masih tergolong hutan alam produksi yang masih produktif. Struktur tegakan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun menunjukkan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar, sehingga kurva yang dihasilkan menyerupai J terbalik. Secara umum, struktur tegakan pada plot pengamatan menunjukkan karakteristik

41 yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal meskipun terjadi penurunan jumlah pohon antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun akibat kegiatan penebangan. 5.2. Indeks Dominansi Nilai indeks dominansi dapat digunakan untuk menentukan dominansi jenis dalam suatu komunitas. Nilai indeks dominansi yang rendah menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada banyak jenis, sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukkan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis. Nilai indeks dominansi tertinggi adalah 1 (satu), yang menunjukkan bahwa komunitas tersebut dikuasai oleh satu jenis atau terpusat pada satu jenis (Indrawan, 2000). Berdasarkan analisis vegetasi yang telah dilakukan, diperoleh nilai indeks dominansi yang dapat dilihat pada tabel 14 berikut. Tabel 13 Nilai Indeks Dominansi (C) pada kondisi hutan primer, LOA TPTII 1 (satu) tahun, dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkatan pertumbuhan Kondisi Hutan Kelerengan (%) Tingkatan Vegetasi Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,08 0,08 0,06 0,06 Sedang (15-25 %) 0,12 0,06 0,05 0,05 Curam (> 25 %) 0,09 0,07 0,05 0,05 LOA TPTII 2 Tahun Datar (0-15 %) 0,16 0,24 0,09 0,07 Sedang (15-25 %) 0,16 0,19 0,07 0,05 Curam (> 25 %) 0,13 0,12 0,06 0,06 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Menurut Kasraji (1996) nilai indeks dominansi semakin mendekati nilai 1 (satu) berarti dominansi pada komunitas tersebut relatif dipusatkan pada sedikit atau satu jenis saja, sementara jika nilai dominansi semakin mendekati nol, maka dominansi pada komunitas tersebut tersebar merata pada semua jenis. Jika nilai dominansi suatu komunitas lebih tinggi terhadap nilai dominansi pada kondisi hutan primer, maka dominansi cenderung dipusatkan pada sedikit jenis. Sedangkan jika nilai dominansi suatu komunitas lebih rendah terhadap nilai

42 dominansi pada hutan primer, maka nilai dominansi jenis relatif tersebar pada beberapa jenis. Dari tabel 13 dapat terlihat kecenderungan peningkatan nilai dominasi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun jika dibandingkan dengan nilai dominasi pada hutan primer. Peningkatan nilai ini terjadi hampir di tiap tingkatan permudaan pada berbagai kelas kelerengan. Pada tingkat semai kenaikan nilai dominasi terjadi berkisar antara 0,04-0,08. Kemudian di tingkat pancang kenaikan indeks dominansinya berkisar antara 0,05-0,16. Pada tingkat tiang terjadi juga kenaikan nilai dominasi yang berkisar antara 0,01-0,03. Sedangkan pada tingkat pohon kenaikan yang terjadi tidak terlalu besar hanya sekitar 0,01. Hasil penelitian yang terdapat pada tabel 13 juga menunjukkan bahwa indeks dominansi tertinggi pada hutan primer dapat ditemukan pada tingkat semai di kelerengan sedang dengan nilai indeks sebesar 0,12. Sedangkan nilai indeks dominansi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun mengalami peningkatan dengan nilai indeks tertinggi sebesar 0,24 yang ditemukan pada tingkat pancang di kelerengan datar. Berdasarkan uraian tersebut, dari ketiga kondisi hutan yang diteliti nilai indeks dominansi yang ditemukan hampir semuanya rendah. Nilai indeks dominansi yang ditemukan hanya berkisar antara 0,05-0,24 dan tidak ada yang mendekati nilai 1 (satu). Hal ini menunjukkan bahwa jenis yang mendominasi baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terpusat pada satu jenis melainkan pada beberapa jenis. 5.3. Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman jenis merupakan parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari pengaruh faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas dan untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas (Fachrul, 2008). Keanekaragaman jenis tersusun atas dua buah komponen. Komponen pertama adalah jumlah jenis dalam suatu komunitas, yang mana para ekologis menyebutnya species richness (kekayaan jenis) dan komponen yang kedua adalah species evenness (kemerataan jenis). Penentuan besarnya tingkat keanekaragaman

43 jenis dilakukan dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Indeks tersebut membandingkan antar kondisi hutan yang diamati, sehingga nantinya dapat dijadikan salah satu variabel yang diperhitungkan dalam menentukan status perkembangan suksesi yang sedang berlangsung (Kent & Cooker, 1992) Dalam menentukan tingkat keanekaragaman yang terdapat di areal pengamatan digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ). Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) merupakan parameter untuk membandingkan dua komunitas, terutama untuk mengetahui keberlangsungan suksesi atau kestabilan dalam suatu komunitas hutan. Besarnya nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) yang terdapat di plot pengamatan dapat dilihat pada tabel 14. Tabel 14 Indeks Keanekaragaman Jenis (H ) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H') Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 2,78 2,94 3,10 3,17 Sedang (15-25 %) 2,61 3,06 3,27 3,37 Curam (> 25 %) 2,85 2,97 3,23 3,35 LOA 2 tahun Datar (0-15 %) 2,11 2,24 3,03 3,21 Sedang (15-25 %) 2,45 2,41 3,12 3,25 Curam (> 25 %) 2,46 2,59 3,13 3,35 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Berdasarkan tabel 14, nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) yang terdapat pada hutan primer berkisar antara 2,61-3,37. Indeks keanekaragaman terkecil terdapat pada tingkat semai sedangkan indeks tertinggi terdapat pada tingkat pohon. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun indeks keanekaragaman jenisnya mengalami penurunan dengan nilai berkisar antara 2,11-3,35. Menurut Magurran (1988) besaran H dengan nilai < 1,5 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong rendah. Sedangkan jika nilai H = 1,5-3,5 maka tingkat keanekaragamannya tergolong sedang. Apabila besaran H memiliki nilai > 3,5, maka tingkat keanekaragamannya dianggap tinggi. Berdasarkan kriteria tersebut, keanekaragaman jenis yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong sedang. Kegiatan

44 pemanenan yang dilaksanakan dua tahun sebelumnya ternyata mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Namun, penurunan tingkat keanekaragaman jenis yang terjadi tidak terlalu besar. Karena setelah dua tahun, tingkat keanekaragaman yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak berbeda jauh nilainya dengan hutan primer dan indeks keanekaragaman jenis (H ) tersebut menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman di LOA TPTII 2 (dua) tahun masih tergolong sedang. Keanekaragaman jenis yang tinggi memang menjadi karakteristik umum sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh hutan hujan tropika selain lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim dan siklus hara tertutup (Mulyana et al. 2005). Soerianegara (1996) mengemukakan bahwa sering dinyatakan tentang menurunnya indeks keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini belum ada ukuran mengenai tinggi rendahnya indeks keanekaragaman jenis di suatu daerah. Untuk Indonesia, dari perhitungan untuk berbagai tipe hutan, dapat dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis 3,5 ke atas dapat dikatakan tinggi. 5.4. Indeks Kekayaan Jenis Salah satu parameter yang dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman suatu komunitas adalah kekayaan jenis. Dalam penelitian ini untuk menentukan tingkat kekayaan jenis pada areal pengamatan digunakan Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ). Marpaung (2009) menyebutkan bahwa Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ) adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas dan besarnya indeks kekayaan ini dipengaruhi oleh banyaknya spesies dan jumlah individu dari vegetasi yang ada pada areal tersebut. Besarnya nilai R 1 yang terdapat di hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat dilihat pada tabel 15 berikut. Tabel 15 Indeks Kekayaan Margallef (R 1 ) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kekayaan Jenis (R 1 ) Semai Pancang Tiang Pohon 1 2 3 4 5 6 Primer Datar (0-15 %) 4,00 6,08 6,69 7,40 Sedang (15-25 %) 5,27 6,05 7,41 7,95 Curam (> 25 %) 5,94 5,43 6,23 7,34

45 Tabel 15 (lanjutan) 1 2 3 4 5 6 LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 2,75 3,51 7,39 8,58 Sedang (15-25 %) 3,45 4,36 7,80 7,79 Curam (> 25 %) 4,06 4,50 7,55 9,11 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Magurran (1988) menyatakan bahwa nilai R 1 < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Sedangkan nilai R 1 = 3,5-5,0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Apabila diperoleh nilai R 1 > 5,0 maka kekayaan jenis dalam komunitas tersebut tergolong tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam tabel 16, dapat diketahui bahwa nilai indeks kekayaan Margallef (R 1 ) pada kondisi hutan primer secara umum memiliki nilai diatas 5,00, kecuali pada vegetasi tingkat semai di kelerengan datar dimana nilainya adalah 4,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kekayaan jenis yang terdapat di hutan primer tergolong tinggi (lihat tabel 8). Hutan primer dianggap memiliki keadaan yang stabil atau klimaks, sehingga diasumsikan memiliki tingkat kekayaan jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang terdapat di hutan primer untuk tiap tingkatan vegetasi pada berbagai kelerengan berkisar antara 25-47 jenis. Keadaan yang berbeda ditunjukkan di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dari tabel 15 dapat terlihat bahwa pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi penurunan nilai indeks kekayaan Margallef (R1) untuk tingkat semai dan pancang di berbagai kelerengan. Nilainya hanya berkisar 2,75-4,50, sehingga tingkat kekayaan jenisnya tergolong kedalam kriteria rendah-sedang. Namun pada tingkat tiang dan pohon justru terjadi peningkatan nilai R 1 jika dibandingkan pada hutan primer. Indeks kekayaan Margallef yang ditunjukkan hampir semuanya memiliki nilai diatas 5,00 baik untuk tingkat tiang maupun pohon di berbagai kelerengan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kekayaan Margallef (R 1 ) untuk tingkat tiang dan pohon di LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi. 5.5. Indeks Kemerataan Jenis Kemerataan jenis merupakan parameter lainnya yang juga mempengaruhi tingkat keanekaragaman jenis suatu komunitas. Nilainya dapat diperoleh dengan

46 menghitung indeks kemerataan (E). Indeks kemerataan adalah indeks yang menunjukkan tingkat penyebaran jenis pada suatu areal pengamatan. Apabila nilai indeks semakin besar maka dapat dikatakan bahwa komposisi jenis semakin merata (tidak didominasi oleh satu jenis saja). Menurut Magurran (1988), besaran nilai E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis rendah. Apabila nilai E berkisar antara 0,3 sampai dengan 0,6 maka kemerataan jenis tergolong sedang. Sedangkan jika nilai E > 0,6 maka kemerataan jenis dalam komunitas tersebut dapat dikatakan tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat dilihat besarnya nilai indeks kemerataan (E) yang terdapat di plot pengamatan pada tabel 16. Tabel 16 Indeks Kemerataan Jenis (E) pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun berdasarkan tingkat permudaannya Kondisi Hutan Kelerengan Indeks Kemerataan Jenis (E) Semai Pancang Tiang Pohon Primer Datar (0-15 %) 0,86 0,81 0,87 0,82 Sedang (15-25 %) 0,73 0,84 0,87 0,86 Curam (> 25 %) 0,78 0,83 0,91 0,87 LOA TPTII 2 tahun Datar (0-15 %) 0,76 0,74 0,83 0,83 Sedang (15-25 %) 0,79 0,73 0,84 0,86 Curam (> 25 %) 0,77 0,79 0,87 0,85 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Dari tabel 16 dapat terlihat bahwa indeks kemerataan jenis (E) baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai diatas 0,60. Indeks kemerataan tertinggi pada hutan primer terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,91. Begitu juga pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, nilai indeks kemerataan untuk tingkat pohon pada kelerengan sedang mengalami penurunan nilai menjadi 0,86. Sedangkan indeks kemerataan tertinggi di LOA TPTII 2 (dua) tahun terdapat pada tingkat vegetasi tiang di kelerengan curam dengan nilai sebesar 0,87. Meskipun terjadi penurunan nilai pada LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun perubahannya tidak terlalu besar karena selisih nilainya hanya berkisar 0,01-0,10. Berdasarkan uraian data tersebut, dapat diketahui bahwa tingkat kemerataan jenis baik di hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun tergolong tinggi. Karena baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun rata-rata

47 memiliki nilai indeks kemerataan diatas 0,60 hampir di semua kelerengan dan tingkat vegetasi. Tingginya nilai indeks kemerataan jenis ini mengindikasikan bahwa komposisi jenis pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun tersebar merata. Artinya, pada kedua kondisi hutan ini tidak hanya di dominasi oleh satu jenis, namun tersebar pada banyak jenis. 5.6. Kesamaan Komunitas Untuk mengetahui tingkat kesamaan suatu komunitas dapat dicari dengan menghitung nilai Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity). Indeks Kesamaan Komunitas digunakan untuk mengetahui kesamaan relatif komposisi jenis dari dua tegakan yang dibandingkan pada masing-masing tingkat pertumbuhan. Komunitas yang dibandingkan pada penelitian ini adalah hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Dua komunitas ini dibandingkan berdasarkan tingkat vegetasi pada tiap kelerengannya. Besarnya nilai indeks kesamaan dapat dilihat pada tabel 17 berikut. Tabel 17 Indeks Kesamaan Komunitas (IS) antara hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Tingkat Pertumbuhan Pohon Komunitas Hutan Kelerengan Semai Pancang Tiang Pohon Datar (0 % - 15 %) 42,09 41,80 60,00 62,75 Primer vs LOA TPTII 2 Sedang (15 % - 25 %) 51,97 30,24 51,01 62,58 tahun Curam (> 25 %) 47,48 51,55 58,66 59,69 Keterangan: LOA (Logged Over Area)/hutan bekas tebangan; TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai kesamaan komunitas pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun memiliki nilai yang bervariasi pada tiap tingkatan vegetasi dan kelerengannya. Nilai indeks kesamaan (IS) tertinggi pada tingkat semai adalah 51,97%. Sedangkan pada tingkat pancang nilai IS tertinggi adalah 51,55%. Untuk tingkat tiang nilai IS tertinggi adalah 60,00%. Pada tingkat pohon nilai IS tertinggi adalah 62,75%. Nilai Indeks Kesamaan (IS) berkisar antara 0-100%. Nilai 0% menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antar jenis yang terdapat pada kedua komunitas yang dibandingkan. Sedangkan nilai 100% menunjukkan bahwa dua komunitas yang dibandingkan adalah sama. Kusmana dan Istomo (2005) menyatakan bahwa nilai

48 IS dikatakan berbeda sama sekali apabila nilainya 0% dan umumnya dua komunitas dianggap relatif sama apabila mempunyai IS 75%. Namun menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) dua komunitas dianggap sama apabila nilai ISnya mendekati 100%. Berdasarkan uraian tersebut dan jika melihat data yang terdapat dalam tabel 17 dapat terlihat bahwa nilai IS yang ditunjukkan hampir semuanya jauh dari 100% bahkan kurang dari 75%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi pada masing-masing komunitas yang dibandingkan tidak sama. Karena pada beberapa tingkatan vegetasi ditemukan perbedaan baik komposisi jenis maupun jumlah individu antara ketiga komunitas tersebut. Selain itu, rendahnya nilai IS yang dihasilkan dapat disebabkan karena berubahnya komposisi dan struktur tegakan akibat pemungutan hasil kayu dan kerusakan tegakan tinggal yang terjadi setelah kegiatan pemanenan. Oleh karena itu, daopat dikatakan bahwa kondisi di LOA TPTII 2 (dua) tahun belum sepenuhnya kembali ke kondisi seperti pada hutan primer. 5.7. Pertumbuhan Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam 5.7.1. Persentase Hidup Tanaman Shorea leprosula Miq. pada Jalur Tanam Dalam teknik silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m 2 (Indrawan, 2008). Dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran terhadap jalur tanam yang berukuran panjang 100 m, dimana dalam satu jalur tersebut terdapat 40 tanaman. Sehingga dalam 1 (satu) hektar plot pengamatan terdapat 5 (lima) jalur tanam dengan total tanaman 200 buah. Pengambilan data persentase hidup tanaman pada jalur tanam dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan dalam tiap kelerengannya. Jenis yang di tanam dalam jalur penelitian ini adalah Shorea leprosula Miq.

49 Data tanaman yang diambil dalam penelitian ini adalah data tanaman dengan umur tanam 2 (dua) tahun. Persentase hidup tanaman S. leprosula pada jalur tanam ditunjukkan pada tabel 18 berikut. Tabel 18 Persentase hidup tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Kelerengan Ulangan Total Hidup Total Mati Total Tanam % Hidup Datar (0-15%) 1 153 30 183 83,61 2 108 33 141 76,60 3 153 40 193 79,27 Rata-rata 138 34 172 80,08 Sedang (15-25%) 1 146 43 189 77,25 2 141 48 189 74,60 3 92 26 118 77,97 Rata-rata 126 39 165 76,41 Curam (> 25%) 1 138 32 170 81,18 2 113 41 154 73,38 3 163 30 193 84,46 Rata-rata 138 34 172 80,08 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif). Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa jumlah total tanaman yang ditanam pada jalur tanam TPTII berbeda-beda. Jumlah tanaman yang terdapat dalam jalur plot pengamatan tersebut kurang dari jumlah seharusnya yaitu 200 tanaman tiap kelerengan. Jumlah total seluruh tanaman yang ditanam dalam jalur pengamatan adalah 1.530 tanaman. Jumlah ini masih kurang dari jumlah tanaman yang seharusnya ditanam. Hal ini disebabkan karena kondisi umum yang terdapat di plot pengamatan. Sehingga terdapat beberapa titik yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penanaman. Titik-titik tersebut adalah rawa dan tumpukan ranting yang cukup dalam, mengingat areal penelitian ini merupakan areal bekas tebangan. Persentase hidup dari tanaman S. leprosula dalam jalur tanam pada tahun kedua cukup baik. Hal ini ditunjukkan dari nilai persentase hidup yang terdapat dalam tabel 18 dimana nilainya di atas 50%. Persentase hidup tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada jalur pengamatan di kelerengan datar dan curam, dimana nilai persentase hidup rata-ratanya masing-masing adalah 80,08%.

50 Sedangkan pada kelerengan sedang persentase hidup rata-rata tanaman S. leprosula hanya 76,41%. Berdasarkan data yang tersaji dalam tabel 18 dapat diketahui bahwa tingkat mortalitas pada tanaman S. leprosula yang terdapat pada jalur tanam sekitar 21%. Nilai ini dapat dikatakan cenderung sedang karena dari total 1.530 tanaman yang ditanam terdapat 323 tanaman yang mati. Hal ini dapat disebabkan karena persaingan unsur hara yang terjadi antara tanaman yang terdapat di jalur tanam dengan tanaman lain berada di luar jalur tanam tersebut. Selain itu, penyebab cukup besarnya jumlah tanaman yang mati pada jalur tanam ini adalah karena tanaman kurang mendapatkan cahaya matahari. Mengingat bahwa pada lokasi penelitian belum adanya atau belum dilaksanakannya kegiatan pemeliharaan, maka intensitas cahaya matahari yang masuk juga berkurang. Hal ini menyebabkan tanaman kurang memperoleh cahaya matahari mati untuk proses fotosintesis dan respirasi sehingga pada akhirnya tanaman tersebut mati. Gambar 6 Kondisi jalur tanam pada pengukuran tahun kedua Banyak spesies memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya, walaupun dengan bertambahnya umur naungan dapat dikurangi secara bertahap. Pengaturan naungan sangat penting untuk menghasilkan tanaman-tanaman berkualitas. Naungan berhubungan erat dengan temperatur dan evaporasi. Oleh karena adanya

51 naungan, evaporasi dari tanaman dapat dikurangi (Suhardi 1995 dalam Putri 2009). 5.7.2. Perbandingan Rata-Rata Diameter dan Tinggi Shorea leprosula Miq. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter. Disamping karena mudah pelaksanaanya, juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup tinggi. Oleh karena itu, pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (Pamoengkas 2006). Pengambilan data pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman S. leprosula yang dilakukan di jalur tanam TPTII menunjukkan hasil yang ditunjukkan pada tabel 19. Tabel 19 Perbandingan rata-rata diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula Miq. pada jalur tanam TPTII dengan umur tanaman 2 (dua) tahun Kelerengan Ulangan Total Hidup Rata-rata Diameter (cm) Rata-rata Tinggi (cm) 1 153 1,53 275,19 Datar (0-15%) 2 108 1,54 225,24 3 153 2,12 325,20 1 146 1,31 214,62 Sedang (15-25%) 2 141 1,82 238,99 3 92 1,82 274,69 1 138 1,34 248,27 Curam (> 25%) 2 113 1,79 255,10 3 163 2,03 302,55 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Dari tabel 19 dapat diketahui rata-rata diameter tanaman S. leprosula tertinggi terdapat pada kelerengan datar dengan diameter sebesar 2,12 cm. Sedangkan rata-rata diameter terendah terdapat pada kelerengan sedang, yaitu sebesar 1,31 cm. Hal yang sama juga dapat dilihat pada rataan tinggi tanaman S. leprosula yang terdapat dalam jalur tanam. Rata-rata tinggi tanaman tertinggi juga terdapat pada jalur tanam dengan kelerengan datar dengan tinggi tanaman 275,19 cm. Sedangkan rata-rata tinggi tanaman yang paling rendah terdapat dalam jalur tanam dengan kelerengan sedang dengan tinggi rata-rata 214,62 cm.

52 Tanaman akan menunjukkan pertumbuhan yang baik apabila tanaman tersebut mampu beradaptasi dengan sempurna di tempat tumbuhnya. Fluktuasi pertumbuhan diameter dan tinggi yang terjadi diduga akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung, salah satunya tingkat kesuburan tanah yang kurang. Selain itu disebabkan oleh keterbukaan tajuk akibat adanya perlakuan pemeliharaan lanjutan, yaitu pembebasan tajuk dalam jalur tanam hingga lebar jalur tanam menjadi lebih lebar dari sebelumnya sampai batas maksimal 10 m (Pamoengkas 2006). 5.8. Analisis Tanah 5.8.1. Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan sifat yang bertanggung jawab atas peredaran udara serta ketersediaan air dan zat terlarut melalui tanah. Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar, retensi air, drainase, aerasi, dan nutrisi tanaman sehingga pengaruhnya sangat besar terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman hutan. Hasil analisis sifat fisik tanah yang dilakukan di plot penelitian dapat dilihat pada tabel 20 berikut. Tabel 20 Hasil pengukuran sifat fisik tanah pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun Air Kondisi Kedalaman Bobot isi Permeabilitas Lokasi Kelerengan Hutan Tanah (g/cm 3 Tersedia ) (cm/jam) (%) Primer - 0-20 cm - 0,93 10,41 2,74 Datar (0-15 %) 1,28 12,34 1,78 0-10 cm Sedang (15-25 %) 1,11 13,17 2,14 Jalur Curam (> 25 %) 1,21 6,13 1,35 Tanam Datar (0-15 %) 0,89 15,52 5,81 LOA TPTII 2 Tahun Bawah Tegakan 10-20 cm 0-10 cm 10-20 cm Sedang (15-25 %) 0,89 15,65 7,16 Curam (> 25 %) 1,02 12,05 6,27 Datar (0-15 %) 1,27 9,56 1,89 Sedang (15-25 %) 1,28 7,50 1,89 Curam (> 25 %) 1,08 11,82 4,43 Datar (0-15 %) 0,84 14,49 10,40 Sedang (15-25 %) 1,01 14,98 3,11 Curam (> 25 %) 0,98 14,68 9,21 Keterangan: TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif)

53 Dari tabel 20 tersebut dapat diketahui sifat fisik tanah yang terdapat pada hutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun. Lebih spesifik lagi, pada LOA TPTII 2 (dua) tahun pengamatan sifat fisik tanah dilakukan di jalur tanam dan di bawah tegakan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm. Jika mengacu pada hasil analisis sifat fisik tanah dalam tabel 20 dapat dilihat bahwa nilai yang terdapat di hutan primer tidak jauh berbeda dengan nilai yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun untuk masing-masing parameter. Bobot isi (bulkdensity) dapat menjadi suatu petunjuk tidak langsung kepadatan tanah, udara, air, dan penerobosan akar tumbuhan ke dalam tubuh tanah. Keadaan tanah yang padat dapat mengganggu pertumbuhan tanaman karena akar-akarnya tidak berkembang dengan baik (Baver et al. 1987 dalam Poerwowidodo 2004). Pengukuran nilai bobot isi yang terdapat pada hutan primer adalah 0,93 g/cm 3. Sedangkan nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun berkisar antara 0,84-1,28 g/cm 3. Nilai bobot isi yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 10-20 cm cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan kedalaman 0-10 cm, baik itu pada jalur tanam maupun dibawah tegakan. Hal ini diduga akibat adanya aktivitas alat berat pada saat kegiatan penebangan dua tahun sebelumnya. Masuknya alat berat ke dalam plot penelitian dapat menyebabkan pemadatan tanah, sehingga menyebabkan kenaikan nilai bobot isi pada tanah lapisan atas (0-10 cm). Menurut Hardjowigeno (2003) bobot isi merupakan petunjuk kepadatan tanah. Pada umumnya bobot isi tanah di daerah tropis berkisar dari 1,1-1,6 g/cm 3. Dari hasil penelitian ini, bobot isi tanah pada plot penelitian bisa dikatakan cukup rendah dan masih berada dalam selang kategori normal karena nilai yang diperoleh berada diantara kriteria tersebut. Meskipun terjadi kenaikan nilai bobot isi dari kondisi hutan primer ke LOA TPTII 2 (dua) tahun, namun kenaikan nilai bobot isi pada LOA TPTII 2 (dua) tahun tidak terlalu besar. Makin padat suatu tanah makin tinggi bobot isi tanah yang berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Begitu pula sebaliknya, tanah dengan bobot isi rendah akan menyebabkan akar tanaman lebih mudah berkembang. Selain bobot isi, sifat fisik tanah lainnya yang diamati adalah air tersedia dan permeabilitas. Air tersedia merupakan air yang terdapat antara kapasitas

54 lapang dan koefisien layu (Soepardi, 1983). Sedangkan permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk mentransfer air atau udara, serta biasanya diukur dengan istilah jumlah air yang mengalir melalui tanah dalam waktu yang tertentu dan ditetapkan sebagai inchi/jam (Hakim 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa air tersedia yang terdapat di plot penelitian pada kondisi hutan primer adalah 10,41%. Sedangkan pada LOA TPTII 2 (dua) tahun air tersedia pada kedalaman 0-10 cm berkisar antara 6,13%-13,17% dan pada kedalaman 10-20 cm berkisar antara 12,05%-15,65%. Jika mengacu pada tabel 20, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan nilai kadar air tersedia di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Nilai air tersedia terbesar terdapat di jalur tanam pada kedalaman 10-20 cm. Hal ini diduga karena akar tanaman yang terdapat di jalur tanam dianggap sudah mampu menyimpan air secara optimal sehingga menyebabkan nilai air tersedia pada jalur tanam lebih tinggi. Begitu juga dengan nilai permeabilitas tanah. Jika diamati, nilai permeabilitas yang terdapat pada tabel 20 sangat bervariasi. Nilai permeabilitas tanah pada hutan primer adalah 2,74 cm/jam. Sedangkan nilai permeabilitas tanah di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 10-20 cm cenderung lebih besar dibandingkan pada kedalaman 0-10 cm, baik yang terdapat di jalur tanam maupun dibawah tegakan. Pada kedalaman 0-10 cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 1,35-4,43 cm/jam. Sedangkan pada kedalaman 10-20 cm nilai permeabilitasnya berkisar antara 3,11-10,40 cm/jam. Menurut Hardjowigeno (2003) permeabilitas tanah dikatakan sangat cepat apabila nilainya > 25,0 cm/jam, cepat apabila nilainya 12,5-25,0 cm/jam, agak cepat apabila nilainya 6,5-12,5 cm/jam, sedang apabila nilainya 2,0-6,5 cm/jam, agak lambat apabila nilainya 0,5-2,0 cm/jam, lambat apabila nilainya 0,1-0,5 cm/jam, dan dikatakan sangat lambat jika nilainya <0,1 cm/jam. Berdasarkan pernyataan tersebut, nilai permeabilitas yang terdapat di plot pengamatan pada hutan primer cenderung sedang. Di LOA TPTII 2 (dua) tahun pada kedalaman 0-10 cm, baik di jalur tanam maupun di bawah tegakan, permeabilitas tanahnya dapat dikatakan agak lambat-sedang. Sedangkan pada kedalaman 10-20 cm nilai permeabilitasnya cenderung sedang-agak cepat. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah pada kedalaman 0-10 cm di lokasi penelitian untuk meloloskan