BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi

1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubaha pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Soedjarwo (1975) dalam Natadiwirja et al(1976) menyatakan kegiatan pemanenan kayu bertujuan memanfaatkan sumberdaya alam bagi kesejahteraan manusia berdasarkan prinsip kelestarian. Kegiatan pemanenan merupakan kegiatan yang paling rawan terhadap kerusakan lingkungan, sehingga perlu dipelajari ilmu-ilmu yang mampu mengurangi dampak dari kegiatan pemanenan hutan. Tahapan kegiatan pemanena kayu khususnya di hutan hujan tropika meliputi tahapan perencanaan, pembukaan wilayah hutan (PWH), penebangan, penyaradan, pengangkutan dan penimbunan akhir (Suparto, 1979). Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, inspeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi antar pusat kegiatan. Pembukaan wilayah hutan diwujudkan dengan penyediaan jaringan angkutan berupa jalan hutan yang berfungsi untuk mengangkut kayu / hasil hutan ke tempat pengumpulan hasil hutan (TPn / TPK) atau ke tempat pengolahan hasil hutan, barak kerja yang digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat untuk melakukan kegiatan administrasi dari para pekerja, tempat penimbunan kayu, dan lain lain. Penebangan adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan. Kegiatan penebangan pohon meliputi pekerjaan penetuan arah rebah, pelaksanaan penebangan, pembagian batang, penyaradan, pengupasan, dan pengangkutan kayu bulat dari Tempat Pengumpulan (TPn) ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Maksud dari kegiatan penebangan adalah melaksanakan pemanfaatan kayu secara optimal dari blok tebangan yang telah disahkan atas pohon pohon yang berdiameter lebih besar dari batas diameter

2 yang telah ditetapkan, dan meminimalkan kerusakan terhadap tegakan tinggal. Tujuan dari kegiatan penebangan adalah untuk mendapatkan hasil keuntungan perusahaan, berupa kayu dengan jumlah yang cukup dan mutu yang memenuhi persyaratan. Penyaradan adalah kegiatan memindahkan atau menyarad kayu dari lokasi pohon rebah akibat penebangan ke Tempat Pengumpulan kayu (TPn) dengan menggunakan alat sarad. Kegiatan penyaradan dimulai dengan kegiatan membuat jalan sarad, mengikatkan sling pada kayu dan menyaradnya hingga ke TPn. Pada hutan tanah kering, penyaradan dilakukan dengan menggunakan bulldozer namun dalam kondisi tertentu dapat menggunakan Yarder setelah mendapatkan persetujuan penggunaan dari Departemen Kehutanan c.q Direktorat Bina Produksi Kehutanan. Pengangkutan adalah kegiatan memindahkan kayu dari Tempat Pengumpulan (TPn) menuju Tempat Penimbunan Kayu (TPK) yang dilakukan dengan menggunakan Logging Truck melalui jalan angkutan. 2.2 Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) TPTI adalah suatu sistem Silvikultur yang mengatur cara penebangan dan permudaan hutan. Landasan hukum dari sistem silvikultur TPTI adalah Surat Keputusan Direktur Jendral Kehutanan no.35/kpts/dd/1/1972 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan, dan Pedoman Pengawasannya. Tujuannya adalah terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan alam tak seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya. Ini ditandai dengan wujud tegakan yang mengandung junlah pohon, tiang, pancang dan semai atau permudaan jenis niagawi dengan mutu dan produktivitas tinggi, didampingi oleh sejumlah jenis pohon lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaragaman hayati yang diinginkan. Usaha untuk mewujudkan tegakan optimal dan lestari tersebut harus dapat dilakukan secara praktis, ekonomis dan memudahkan pemantauan penilaian pelaksanaanya (Departemen Kehutanan, 1990). Departemen Kehutanan (1990) menjelaskan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai kelesatarian hutan dengan sistem Tebang Pilih

3 Tanam Indonesia (TPTI) adalah kelangsungan produksi, penyelamatan tanah dan air, perlindungan alam dan teknik silvikultur yang sesuai dengan kondisi lingkungan, keadaan lapangan, komposisi dan silvikultur hutan, sifat tumbuh jenis-jenis pohon serta pertimbangan pengusahaan hutan yang menguntungkan. Tahapan yang ada pada kegiatan sistem TPTI adalah: - ITSP (Inventarisasi Tegakan Sebelum Pemanenan) - PWH (Pembukaan Wilayah Hutan) - Penebangan - Perapihan - ITT (Inventarisasi Tegakan Tinggal) - Pembebasan Tahap Pertama - Pengadaan Bibit - Pengayaan/rehabilitasi - Pemeliharaan Tanaman - Pembebasan Kedua dan Ketiga - Penjarangan Keberhasilan pelaksanaan sistem TPTI di suatu unit pengelolaan harus dapat dikenali scara objektif. Untuk keperluan itu kriteria dan indikator yang gayut dengan keberhasilan itu hendaknya ditetapkan, yang meliputi: 1. Keteraturan Pelaksanaan TPTI, ditandai dengan indikator-indikator: a. Tersedianya register petak kerja yang terisi secara teratur sesuai dengan jenis dan volume kegiatan dalam TPTI serta hasil kegiatannya. b. Register petak pengamatan pertumbuhan (petak ukur pengamatan) tersedia dan terisi secara teratur, dengan sistem penyimpanan dan pemrosesan yang jelas. c. Tersedianya catatan keuangan per petak kerja yang teratur, berisi jenis kegiatan, biaya satuan dan tanggal transaksinya. 2. Keadaaan fisik tegakan yang ditandai dengan: a. Adanya jaringan jalan dan elemen PWH lain yang selalu terpelihara di seluruh bagian areal kerja. b. Batas petak kerja masih dapat dikenali dilapangan.

4 c. Tidak banyak liana yang mengganggu pohon binaan. d. Petak pengamatan permanen terpelihara dan terbebas dari gangguan e. Struktur tegakan sehat, ditunjukan oleh perimbangan permudaan, pohon binaan dan pohon masak teabang yang berimbang, sesuai dengan umur lepas tebangnya. f. Pohon binaan masih dapat dikenali melalui tanda-tanda yang jelas, dengan tajuk yang bebas desakan dari pohon non binaan. g. Masyarakat sekitar hutan terserap oleh pernyediaan kesempatan kerja pada kegiatan-kegiatan TPTI. h. Tidak ada areal kerja kosong permudaan/tegakan niagawi. 2.3 Keterbukaan Areal Hutan Menurut Purwodidodo (1999), luas areal yang terbuka dapat terjadi karena penebangan yang berlebihan dan perencanaan jalan sarad yang kurang baik. Luas areal yang terbuka cenderung meningkat dengan meningkatnya intensitas penyaradan yang dilakukan (Thaib, 1986). Menurut Thaib (1986) ada 3 macam wilayah hutan yang memiliki potensi terjadinya luas areal yang terbuka, yaitu kawasan pada daerah tebang bayang, daerah yang dilalui jalan sarad dan tempat pengumpulan kayu (TPK). Selanjutnya Thaib (1986), menunjukan dari hasil penelitiannya luas keterbukaan tanah akibat pemanenan kayu dengan sistem bulldozer dipengaruhi antara lain oleh jumlah pohon yang ditebang per satuan luas, kemiringan lapangan dan faktor manajemennya. Yanuar (1992) menyatakan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh pohon-pohon yang ditebang bervariasi sewaktu rebah ke tanah, tergantung besarnya tajuk, kedudukan pohon, arah rebah dan kerapatan tegakan. Luas areal yang terbuka ini sendiri disebabkan terutama oleh kegiatan penebangan dan penyaradan. Luas areal yang terbuka akibat penebangan merupakan luasan daerah yang terbuka akibat penebangan pohon berikut rebahnya vegetasi lain akibat tertimpa pohon yang tumbang. Luas luas areal yang terbuka akibat penebangan diukur dengan cara menjumlahkan areal yang terbuka akibat penebengan pohon dalam luasan 1 Ha, berdasarkan penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat aktivitas

5 penebangan. Luas areal yang terbuka akibat penyaradan adalah luasan lahan yang terbuka akibat jejak bulldozer atau bekas lintasan batang kayu yang disarad. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan penyaradan dapat diukur dengan menjumlahkaan luasan lahan yang terbukan akibat jejak bulldozer atau bekas lintasan batang kayu yang disarad. Pengukuran dilakukan dengan menghitung luasan permukaan tersebut dengan mengalikan panjang dan lebarnya. Muhdi (2001) menyatakan bahwa faktor lereng mempunyai peranan penting pada pergeseran kayu saat dilakukan penyaradan berlangusng. Pada lapangan atau jalan sarad yang miring, bulldozer menggunakan pisaunya untuk memperoleh jalan sarad yang lebih landai ataupun untuk mendorong kayu yang disarad. Kerapatan tegakan yang menyusun areal sangat mempengaruhi besarnya kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan hutan. Sularso (1996) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi luas areal yang terbuka akibat pemanenan kayu yaitu kerapatan tegakan, kemiringan lereng, intensitas tebangan, serta teknik pemanenan kayu. 2.4 Kerusakan Tegakan Tinggal Keberhasilan sistem silvikultur TPTI sangat tergantung dari jumlah dan kualitas tegakan yang ditinggalkan. Tegakan tinggal adalah tegakan pada areal hutan yang sudah dilakukan penebangan untuk dipelihara sampai saat penebangan berikutnya. Pohon inti adalah pohon jenis komersil berdiameter minimal 20 cm yang akan membentuk tegakan utama dan akan ditebang pada rotasi tebang berikutnya. Sebagai pengganti pohon inti adalah pohon dari jenis komersial lain yang ditunjuk sebagai pohon inti dari jenis niagawi lain bila pohon inti jenis komersil berjumlah kurang dari 25 pohon per hektar (Departemen Kehutanan 1993). Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada bagian tegakan yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu itu. Kerusakan-kerusakan itu antara lain berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri yang bagian batang, banir atau tajuknya rusak dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi dengan normal (Sastrodimedjo dan Radja

6 1976). Selain itu menurut Thaib (1986), salah satu bentuk kerusakan tegakan tinggal adalah keterbukaan areal. Tegakan tinggal adalah tegakan yang telah ditabang pilih, yang menjadi modal pengusahaan berikutnya, berisi pohon pohon binaan dan pohon pendamping (Departemen Kehutanan, 1990). Pohonpohon binaan adalah pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih, berupa pohon-pohon komersial,yang muda dan sehat, sedangkan pohon-pohon pendamping adalah pohon penyusun tegakan selain pohon binaan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan alam tropika dapat dipengaruhi oleh teknik pemanenan kayu yang digunakan. Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan tegakan tinggal ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Kriteria kerusakan tegakan tinggal yang digunakan ialah berdasarkan sistem TPTI, dimana pohon inti digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut (Departemen Kehutanan 1993): a. Tajuk rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan patah. b. Luka batang mencapai bagian kayu yang berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m. c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak. Minimal tegakan tinggal yang harus tersedia menurut TPTI adalah minimal berjumlah 2000 plot ukur/ha yang 40% harus berisi semai atau 1000 plot, minimal berjumlah 400 plot/ha dengan 60% harus berisi pancang atau 240 plot, minimal berjumlah 100 plot dengan 75% berisi tiang atau 75 plot dan 25 plot berisikan 100% pohon inti. Thaib (1985) menjelaskan bahwa faktor yang berperan dalam persentase penurunan jumlah pohon per hektar antara lain jumlah pohon yang ditebang per hektar, kondisi dan situasi lapangan dan faktor manajemen. Natadiwirja, et al (1976), menunjukkan bahwa besarnya kerusakan tegakan tinggal yang berdiameter 20 cm keatas rata-rata sebesar 23 % yang terdiri dari kerusakan banir 0,2 %, kerusakan kulit 0,1 %, kerusakan tajuk 3,2 % dan patah atau tumbang sebesar 19,6 %. Menurut Yanuar (1992) kerusakan tegakan tinggal tidak terjadi

7 pada semua kelas diameter. Kerusakan terbesar timbul dalam tahap penebangan kayu. Tipe kerusakan pohon terberat yang juga mengurangi jumlah pohon dari dalam tegakan adalah pohon patah dan roboh. 2.5 Topografi Lapangan Pada umumnyta suatu areal hutan memiliki topografi yang berbeda, mulai dari datar, landai sampai dengan curam. Oleh karena itu dalam bidang kehutanan dikenal dengan sisatu sistem klasifikasi kemiringan lerengan lapangan yang berlaku umum dan tidak tergantung dari metode/alat yang digunakan dalam pemanenan kayu. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980 tentang kriteria dan tata cara Penetapan hutan Lindung, lerang lapangan diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Tabel kelas lereng lapangan Kelas lereng Kemiringan lereng (%) Keterangan Datar Landai Agak curam Curam 5 45 Sangat curam Kemiringan lapang tersebut dapat diketahui dengan melihat peta topografi dari areal yang ingin diamati atau bisa juga dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan alat ukur lereng misalnya klinometer. Besarnya kemiringan ditentukan oleh jarak horizontal dan vertikal dari 2 titik yang akan dicari kemiringannya. Untuk kemiringan bernilai 100% adalah lereng yang mempunyai sudut 45 o.