Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Bab I : Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bijih besi, hal tersebut dikarenakan daerah Solok Selatan memiliki kondisi geologi

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN I.1.

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN SUMBA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Batuan sedimen merupakan salah satu aspek penting dalam melihat sejarah

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Bab I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN 50 KOTA DAN SIJUNJUNG, PROVINSI SUMATERA BARAT

EVALUASI SUMBER DAYA DAN CADANGAN BAHAN GALIAN UNTUK PERTAMBANGAN SEKALA KECIL, DAERAH KABUPATEN BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sudah memproduksi timah sejak abad ke 18 (van Leeuwen, 1994) dan

BAB. I PENDAHULUAN. Judul penelitian Studi Karakteristik Mineralogi dan Geomagnetik Endapan

BAB V PENGOLAHAN DATA

PROVINSI SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. curam, hanya beberapa tempat yang berupa dataran. Secara umum daerah Pacitan

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Tugas Akhir Bab I - Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB V SINTESIS GEOLOGI

BAB II GEOLOGI REGIONAL

3. HASIL PENYELIDIKAN

Ciri Litologi

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Perumusan Masalah

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

HALAMAN PENGESAHAN...

EKSPLORASI UMUM MINERAL LOGAM MULIA DAN LOGAM DASAR DI DAERAH PERBATASAN MALAYSIA-KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

INVENTARISASI DAN PENYELIDIKAN BAHAN GALIAN NON LOGAM DI KABUPATEN RAJA AMPAT PROVINSI IRIAN JAYA BARAT

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK

BAB IV ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI

PROVINSI MALUKU UTARA

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono,

3. HASIL PENYELIDIKAN

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

BAB II GEOLOGI REGIONAL

POTENSI ENDAPAN EMAS SEKUNDER DAERAH MALINAU, KALIMANTAN TIMUR

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

BAB I PENDAHULUAN. digemari masyarakat. Hal ini dikarenakan emas selain digunakan sebagai

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Sumberboto dan Sekitarnya, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Foto III.14 Terobosan andesit memotong satuan batuan piroklastik (foto diambil di Sungai Ringinputih menghadap ke baratdaya)

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

Gambar 2.8. Model tiga dimensi (3D) stratigrafi daerah penelitian (pandangan menghadap arah barat laut).

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Gambar 1. Lokasi kesampaian daerah penyelidikan di Daerah Obi.

INTERPRETASI MODEL ANOMALI MAGNETIK BAWAH PERMUKAAN DI AREA PERTAMBANGAN EMAS RAKYAT DESA CIHONJE, KECAMATAN GUMELAR, KABUPATEN BANYUMAS

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Emas merupakan salah satu logam yang memiliki nilai yang tinggi ( precious metal). Tingginya nilai jual emas adalah karena logam ini bersifat langka dan tidak banyak jumlahnya. Nilai seni dari emas seperti keindahan warna dan kilapnya yang tidak berubah karena pengaruh air dan udara, membuat logam ini semakin banyak dicari pasar. Disamping itu, emas juga bermanfaat dalam peralatan elektronika dan dalam bidang kesehatan. Dengan keterbatasan jumlah dan permintaan pasar yang sangat tinggi membuat harga emas semakin tinggi dari hari ke hari. Seperti yang kita ketahui, harga jual emas sekitar tahun 1980 adalah sekitar Rp.20.000/gram, dan kini harga jual emas sudah mencapai 1.317,8 $/oz atau sekitar Rp.530.000/gram (Harga per April 2014, berdasarkan PT. ANTAM). Melihat hal tersebut, maka semakin banyak investasi terhadap logam mulia ini dimasa kini dan masa mendatang. Permintaan akan logam mulia tersebut harus diimbangi dengan produksinya. Proses produksi emas yang utama adalah proses eksplorasi dan eksploitasi logam mulia tersebut. Peran ahli geologi sangat dibutuhkan dalam kedua proses tersebut, terutama dalam eksplorasi. Salah satu tujuan eksplorasi emas adalah untuk mencari sumber penghasil emas. Salah satu sumber penghasil emas adalah endapan hidrotermal. Endapan ini dapat memiliki cadangan dalam jumlah besar sehingga merupakan target utama dalam pencarian emas. Emas yang terkandung dalam endapan hidrotermal ini dijumpai dalam native gold maupun dalam bentuk elektrum. Salah satu jenis endapan hidrotermal penghasil emas adalah endapan epitermal. Sekitar 13% (12,3 ton) emas di dunia berasal dari endapan epitermal (Hedenquist dan Arribas, 1999). Kebanyakan endapan epitermal umumnya memiliki kadar emas dari 1 hingga 3.5 gram/ton (Corbett, 2001). Endapan epitermal di Lihir (Papua New Guinea) menghasilkan emas dengan kadar 100 g/t (Corbett, 2002). Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 1

Garwin (2005) menjelaskan tentang produksi emas di Indonesia dan Filipina yang bersumber dari endapan epitermal mencapai 20,4% dengan rincian endapan epitermal sulfidasi rendah sebesar 16%, endapan epitermal sulfidasi tinggi sebesar 1,8%, dan endapan epitermal sulfidasi menengah sebesar 2,6% (Gambar 1.1). Hal ini membuktikan bahwa endapan emas epitermal di Indonesia cukup menjanjikan sebagai target eksplorasi. Gambar 1.1. Kontribusii berbagai macam tipe endapan hidrotermal terhadap produksi emas di Indonesia dan Filipina (Garwin, 2005) Keterdapatan endapan epitermal di Indonesia tidak lepas dari keberadaan Indonesia yang terletak di zona ring of fire sehingga terbentuk deretan gunungapi yang membentang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Proses vulkanisme ini merupakan sebuah pertanda adanya proses magmatisme. Sebagian besar proses magmatisme menghasilkan larutan hidrotermal yang membawa mineral bijih/logam. Larutan hidrotermal dapat mencapai atau mendekati permukaan melalui jalur-jalur rekahan baik kekar maupun sesar, sama halnya dengan proses vulkanisme. Maka dari itu endapan epitermal adalah tipe endapan yang berasosiasi dengann vulkanisme. Kondisi geologi Indonesia yang sedemikian rupa berakibat banyaknya ditemukan endapan emas tipe epitermal. Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 2

Daerah Cihonje-Paningkaban merupakan salah satu lokasi penghasil emas di Indonesia yang terletak pada busur gunungapi, tepatnya berada di Zona Pegunungan Serayu Utara, Pulau Jawa. Penemuan lokasi ini berdasarkan adanya pemberitaan mengenai pertambangan emas rakyat skala kecil di daerah tersebut. Berdasarkan survei tinjau lapangan, endapan emas di daerah ini berkaitan dengan proses hidrotermal. Kehadiran urat sebagai pembawa mineralisasi mengindikasikan bahwa tipe endapan emas yang mungkin berkembang di daerah ini adalah endapan epitermal. Sejauh ini belum ada penjelasan yang mendetail mengenai tipe endapan di daerah ini. Untuk mempelajari endapan emas ini secara lebih detail, maka perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai keterkaitan kondisi geologi dengan proses pembentukan endapan emas didaerah penelitian, karakteristik fluida hidrotermal, serta karakteristik mineralisasi dan geokimia bijih. Sehingga dari penelitian tersebut dapat dihasilkan penjelasan yang komprehensif mengenai endapan emas tersebut. I.2. Rumusan Masalah Alasan dilakukan penelitian dapat didasarkan atas beberapa masalah, diantaranya: 1. Belum adanya penelitian yang mendetail mengenai keterkaitan kondisi geologi dengan proses pembentukan endapan emas didaerah penelitian. 2. Belum adanya penelitian yang mendalam mengenai karakteristik fluida hidrotermal dan alterasi hidrotermal di daerah penelitian. 3. Belum adanya penelitian mengenai karakteristik dan paragenesa mineral bijih di daerah penelitan. 4. Belum adanya penjelasan mendetail mengenai model genetik dan proses pembentukan endapan emas di daerah penelitian. Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 3

I.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk: 1. Mengetahui kondisi geologi dan kontrolnya terhadap persebaran zona alterasi hidrotermal dan mineralisasi bijih di daerah penelitian. 2. Mengetahui karakteristik alterasi hidrotermal, mineralisasi bijih dan paragenesanya pada endapan emas di daerah penelitian, baik karakteristik mineralogi dan geokimia. 3. Mengetahui karakteristik fluida hidrotermal di daerah penelitian. 4. Menentukan tipe dan proses pembentukan serta membangun model genetik pada endapan emas di daerah penelitian. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Pengetahuan tentang kondisi geologi, alterasi dan mineralisasi bijih di daerah penelitian. 2. Dihasilkannya peta geologi dan peta alterasi daerah penelitian. 3. Tersedianya data hasil analisa berupa data mineralogi dan geokimia pada daerah penelitian. 4. Pemahaman tentang alterasi, mineralisasi, serta interpretasi model genetik daerah penelitian, dimana dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk eksplorasi yang lebih lanjut. I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi penelitian berada pada area tambang rakyat Paningkaban-Cihonje dan sekitarnya yang secara administratif berada pada Desa Paningkaban, Desa Cihonje dan Desa Gancang, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Daerah penelitian ini terletak pada koordinat UTM 9179000-9181500 dan 278000-281000 dengan luasan daerah 2,5 km x 3 km. Untuk mencapai daerah penelitian dapat dilakukan dengan perjalanan darat dari Yogyakarta menuju Purwokerto menggunakan bus yang memakan waktu tempuh Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 4

kurang lebih 5 jam. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kendaraan yang lebih kecil (mobil atau motor) menuju camp di Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar yang memakan waktu kurang lebih 1 jam. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.2. Gambar 1.2. Peta lokasi daerah penelitian I.6. Batasan Penelitian Secara umum penelitan dibatasi dengan 2 batasan, yaitu batasan lokasi dan batasan pembahasan. I.6.1. Batasan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di batasi di daerah tambang emas rakyat Paningkabandan 278000- Cihonje dan sekitarnya, dengan koordinat UTM 9179000-9181500 281000 yang secara administratif berada pada Desa Paningkaban, Desa Cihonje dan Desa Gancang, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 5

I.6.2. Batasan Pembahasan Pembahasan penelitian ini dibatasi pada aspek: 1. Kondisi geologi dan kontrolnya terhadap persebaran zona alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian berdasarkan data pemetaan. 2. Karakterisasi fluida hidrotermal, alterasi, paragenesa mineral bijih dan geokimia bijih. 3. Interpretasi model genetik endapan yang dibangun berdasarkan data penelitian di lapangan, data analisis laboratorium dan data sekunder. I.7. Peneliti Terdahulu 1. Djuri, dkk (1996) serta Kastowo (1975) Secara umum geologi regional daerah penelitian masuk dalam 2 lembar peta geologi, yaitu lembar Purwokerto-Tegal dan Majenang. Djuri, dkk. (1996) dalam peta geologi regional lembar Purwokerto-Tegal menerangkan stratigrafi regional daerah penelitian. Kastowo (1975) juga menerangkan stratigrafi dari sebagian daerah penelitian yang mana masuk dalam peta geologi regional daerah Majenang. 2. Prihatmoko (2002) Prihatmoko (2002) menerangkan pada beberapa lokasi di sekitar daerah Majenang ditemukan adanya mineralisasi tipe kuarsa-karbonat-logamdasar yang dijumpai pada batuan berumur Miosen Tengah-Atas yaitu pada Formasi Halang. Penemuan awal pada tahun 1996 dimana banyak penambang emas alluvial (placer). 3. Hutamadi, dkk (2006) Hutamadi, dkk (2006) menjelaskan mengenai potensi sumber daya dan cadangan bahan tambang di Kabupaten Banyumas. Salah satu potensi bahan tambang ialah emas yang terdapat di Desa Gancang, Karang Alang, dan Cihonje. Penambangan dilakukan dengan melakukan pendulangan emas seperti pada Kali Arus, Desa Gancang, dan membuat sumur pada daerah Desa Cihonje. Struktur geologi yang berkembang di daerah ini umumnya berupa sesar naik, sesar normal dan sesar geser dengan arah umum baratlaut - tenggara sampai timurlaut baratdaya dan perlipatan berupa sinklin-antiklin dengan arah relatif barat-timur. Proses mineralisasi Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 6

di daerah sekitar Kampung Cihonje dan Sungai Larangan terdapat mineralisasi berupa urat kuarsa-karbonat disertai butiran-butiran halus logam sulfida (pirit, galena, kalkopirit, dan lain-lain) tersebar yang terjadi pada satuan batupasir (Formasi Halang), ketebalan urat kuarsa berkisar antara 1-1,5 m dengan arah jurus/kemiringan N70 E/30-40. Mineralisasi berupa urat-urat kuarsa yang mengandung logam sulfida di Karang Alang juga ditemukan. Diduga mineralisasi ini mengikuti bidang patahan. Alterasi yang dominan muncul adalah argilik. Urat kuarsa dilokasi ini umumnya berupa lensa-lensa mengandung pirit tersebar yang sebagian telah mengalami oksidasi, tebal urat antara 20-25 cm dengan arah jurus/kemiringan N95 E/50. Daerah yang dianggap prospek bahan galian emas dijumpai di perbukitan Karang Alang, seluas 1,0 x 0,5 km 2. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan daerah ini tersusun oleh batuan tufa, breksi dan diorit. 4. Ansori, dkk (2009) Ansori, dkk (2009) melakukan penelitian mengenai alterasi dan mineralisasi daerah pertambangan rakyat Cihonje melalui analisis mineralogi dan geokimia. Berdasarkan data XRD, alterasi dan mineralisasi di daerah Cihonje cukup intensif, hal ini diindikasikan oleh kehadiran mineral kuarsa, gipsum, ortoklas, nakrit, pirit yang ke arah atas semakin berkembang mineral muskovit, kalsit, halloysit, dan dolomit. Tipe alterasi yang berkembang berupa silisifikasi dan argilik. Terbentuknya mineral gipsum dan mineral lempung tertentu mengindikasikan telah terjadi penurunan ph dan suhu hingga mencapai 100 o 200 o C yang dapat disebabkan oleh pengaruh air meteorik yang lebih dominan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem mineralisasi di daerah Cihonje adalah epitermal sulfidasi rendah yang terbentuk pada kedalaman dangkal. Zona alterasi yang terbentuk silisifikasi-argilik. Hasil perhitungan nilai ishikawa alteration index dan pengeplotan nilai ishikawa alteration index dan CCPI pada alteration plot box menunjukkan derajat alterasi meningkat pada kedalaman besar. 5. Aziz (2012, tidak dipublikasikan) Aziz (2012) dala m laporan riset institusionalnya menyatakan daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Serayu Selatan bagian barat yang Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 7

penyebarannya memanjang dari Majenang sampai Pegunungan Manoreh di daerah Kulon Progo (Van Bemmelen, 1949), Litologi penyusun dae rah penelitian berupa batuan sedimen klastika halus (batulempung dan batupasir), klastika kasar (breksi) dan batuan sedimen karbonat (batugamping), maupun batuan terobosan andesit. Kenampakan masing-masing litologi pada daerah penelitian telah menunjukkan adanya intensitas alterasi dari rendah hingga intensitas kuat, yang ditunjukkan dengan kehadiran kumpulan mineral sekunder yang berupa klorit, kuarsa, dan kelompok mineral lempung. Mineralisasi sulfida yang dijumpai di daerah penelitian antara lain pirit, kalkopirit dengan beberapa diantaranya memiliki urat-urat halus kuarsa kalsitik. Pembentukan endapan mineral emas di daerah penelitian ini diinterpretasikan dikontrol oleh struktur geologi yang berarah tenggara-baratlaut yang kemungkinan menghasilkan zona-zona bukaan sehingga memungkinkan larutan hidrotermal bergerak ke arah atas dan bereaksi dengan batuan yang dilaluinya. 6. Wahyono (2013, tidak dipublikasikan) Wahyono (2013) didalam presentasi mengenai pertambangan emas rakyat di daerah Banyumas, menerangkan bahwa salah satu pertambangan emas rakyat yang terbesar di Banyumas berada di daerah Desa Cihonje dan Paningkaban, Kecamatan Gumelar. Dari data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Banyumas, menyebutkan bahwa dari tahun 2008-2012 kegiatan pertambangan di Cihonje dan Paningkaban menghasilkan 125 sumur dengan jumlah pekerja tambang menacapai 5545 orang. Hal ini membuktikan bahwa daerah tersebut memiliki prospek yang cukup baik untuk pertambangan emas rakyat. Sulfidasi Rendah di Daerah Cihonje-Paningkaban, Kec. Gumelar, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah 8