BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 10. Hasil Negatif Alkaloid Sargassum crassifolium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Pembuatan Ekstrak Daun Nangka. (a) (b) (c)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE

Lampiran 1. Pengambilan Sampel Daun Rhizophora mucronata Lamk. dari Kawasan Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta Utara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan

Gambar 2. Grafik Pertumbuhan benih ikan Tagih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Myrmecodia pendens Merr. & Perry) terhadap bakteri Lactobacillus

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstraksi terhadap 3 jenis sampel daun pidada menghasilkan ekstrak

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

Lampiran 1. Pembuatan Media Natrium Agar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh daya antibakteri

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

III METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Laju Pertumbuhan Spesifik Benih Ikan Mas (SGR)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei Juni Lokasi penelitian di

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kecepatan Kematian. nyata terhadap kecepatan kematian (lampiran 2a). Kecepatan kematian Larva

Pengaruh Pemberian Viterna Plus dengan Dosis Berbeda pada Pakan terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Lele Sangkuriang di Balai Benih Ikan Kota Gorontalo

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

III. METODE PENELITIAN. Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

I. PENDAHULUAN. Bidang perikanan memegang peranan penting dalam penyediaan protein

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan Patin Siam

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peubah* Konsumsi Ekstrak Daun Konsumsi Saponin

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan penyebab yang banyak menimbulkan kesakitan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yan memiliki rasa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HasildanPembahasan

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2011

I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Gambar 9a-d. Gejala Klinis Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia)

BAB V PEMBAHASAN. aktivitas antimikroba ekstrak daun panamar gantung terhadap pertumbuhan

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Aktivitas antimikroba pada ekstrak sambiloto terhadap pertumbuhan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

HASIL DAN PEMBAHASAN. ternak. Darah terdiri dari dua komponen berupa plasma darah dan bagian padat yang

I. PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5)

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB V PEMBAHASAN. A. Pengaruh Ekstrak Daun Meniran (Phyllanthus niruri, L.) Terhadap. Pertumbuhan Staphylococcus aureus.

PENGARUH KUALITAS AIR TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA (Oreochromis sp.) DI KOLAM BETON DAN TERPAL

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2012, di Balai

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan

BAB 1 PENDAHULUAN. iskemik jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Variabel Hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya dengan berbagai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan 4.1.1 Kultur Bakteri Vibrio harveyi Isolat bakteri Vibrio harveyi murni diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara (BBPBAP Jepara) diperbanyak menggunakan media padat menggunakan media TSA (Tryptic Soy Agar). Hal ini sesuai menurut pernyataan Edigius (1987) bahwa bakteri Vibrio dapat tumbuh di medium TGY (Tryptone Glucise Yeast), medium BHI (Broth Heart Infusion), TSA (Tryptic Soy Agar) dan NA (Nutrient Agar). Bakteri Vibrio harveyi yang digunakan adalah bakteri yang memiliki umur 24 jam setelah kultur dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Frazier dan Westhoff (1981) bahwa faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba adalah umur dan asal usul isolat bakteri. Perbanyakan isolat murni Vibrio harveyi bisa dilakukan dengan menginokulasi isolat tersebut ke dalam petridisk berisi medium agar dengan metode gores. Hasil kultur dengan metode gores berada pada agar di petridisk sebanyak 3 buah (Gambar 6). Perlakuan yang dilakukan untuk memperoleh memperoleh kepadatan bakteri 1,1 x 10 9 cfu diperoleh dari 3 petridisk yang kemudian diinkubasi pada suhu 32 o C.untuk kultur tersebut. Gambar 6. Hasil Kultur Vibrio harveyi Menggunakan Media (agar) Padat 1

2 Pertumbuhan koloni bakteri harus dipertahankan dan untuk ini diperlukan stabilitas suhu dalam kisaran 32 o C seperti yang telah diperoleh dari hasil kultur biakan bakteri Holt and Krieg (1984) bahwa Vibrio harveyi mampu tumbuh optimal pada suhu 30 o 32 o C. Bakteri Vibrio harveyi memiliki kemampuan luminescent dimana menurut Rheinheimer (1991) sebagian besar bakteri luminescent terjadi proses metabolisme pada konsentrasi garam 0 4 %. Penggunaan air laut dalam pembuatan media kultur dilakukan berdasarkan lingkungan optimum bakteri Vibrio harveyi dapat tumbuh dengan optimum. BBPBAP Jepara (2013) berpendapat bahwa bakteri Vibrio harveyi ini akan mengalami kehilangan kemampuannya untuk menghasilkan luminescent apabila stadia umur nya melebihi 24 jam setelah kultur serta cahaya yang dihasilkan akan meredup apabila sudah berpindah media (dari media kultur ke media air). 4.1.2 Uji Zona Bening (in vitro) Tujuan uji zona bening adalah untuk mengetahui efektifitas antibakteri yang terkandung dalam ekstrak daun nimba terhadap bakteri Vibrio harveyi. Keberadaan senyawa antibakteri dapat diketahui dari zona bening yang dihasilkan di sekitar kertas cakram yang telah diberikan ekstrak daun nimba.

3 Gambar 7. Prosedur Uji Zona Hambat atau Bening Hasil zona bening yang terbentuk dari perlakuan konsentrasi ekstrak daun nimba 0, 10, 100, 1.000, 10.000, dan 100.000 ppm menghasilkan hasil zona hambat terbesar pada konsentrasi 10 ppm dan 100.000 ppm masing-masing sebesar 11,32 mm dan 12,70 mm (Lampiran 2). Hasil ini juga lebih mempertegas pendapat Nursal et al. (1998) bahwa dengan konsentrasi ekstrak yang semakin tinggi maka kemampuan antibakterial juga semakin besar. Dari hasil uji fitokimia yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa pada ekstrak daun nimba terdapat senyawa flavonoid dan saponin. Hasil positif uji flavonoid dibuktikan dengan adanya dua lapisan pada saat akhir penambahan reagen yaitu terbentuk dua lapisan cairan yang berwarna bening dan kuning. Uji positif saponin dibuktikan oleh adanya busa yang stabil dan tidak langsung hilang pada saat perendaman dalam penangas air. Menurut Robinson (1995) adanya busa yang terbentuk dari hasil uji saponin dikarenakan pembentukan senyawa adisi yang tidak larut dalam air disebabkan pemberian sumber kolesterol.

4 Zona hambat tersebut membuktikan bahwa dalam ekstrak daun nimba terkandung antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri Vibrio harveyi. Antimikroba pada ekstrak daun nimba terdapat flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai antibakteri. Menurut Naim (2004) senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma sel sehingga tidak berlangsungnya transport senyawa dan ion kedalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhannya dan akhirnya bakteri akan mati. Tanin yang merupakan senyawa fenol yang memiliki kemampuan berikatan dengan atom H dari protein sehingga protein terdenaturasi dan mengakibatkan terganggunya proses metabolisme serta pertumbuhan sel bakteri sehingga menyebabkan sel mati. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Katzung 1989 (dalam Sipahutar 2000) bahwa ada beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni penghambatan sintesis dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan sintesis protein dan penghambatan sintesis asam nukleat. Gambar 8. Hasil Zona Bening Ekstrak Daun Nimba pada konsentrasi 10 ppm. Terbentuknya zona hambat bebas bakteri di sekitar kertas cakram, membuktikan adanya daya kerja antimikrobial (Lay 1994). Uji antibakteri ini juga dilakukan oleh Effendi dan Suhardi (1998) melalui antibaktreial mangrove Rhizophora aapiculata, Avicenia alba, Brugulera gymnorrhiza, dan Nypa fructicans terhadap Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus.

5 Ada beberapa mekanisme kerja senyawa antimikroba yakni : penghambatan sintesis dinding sel, perubahan transpor aktif melalui membran sel, penghambatan sintesis protein yaitu penghambatan penerjemahan dan transkripsi material genetik, dan penghambatan sintesis asam nukleat. Membran sel yang tersusun dari protein dan lipid rentan terhadap zat kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Kerusakan membran sel menyebabkan tidak berlangsungnya transport senyawa dan ion ke dalam sel bakteri sehingga bakteri mengalami kekurangan nutrisi yang diperlukan bagi pertumbuhannya dan mati (Katzung 1989 dalam Sipahutar 2000). 4.1.3 Hasil Uji LC 50 Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah Uji LC50 dilakukan untuk mengetahui sejauh mana ekstrak daun nimba menyebabkan 50 % kematian pada hewan uji, yakni udang galah (Tabel 1). Berikut hasil uji LC 50-48 jam ekstrak daun nimba terhadap udang galah : Tabel 1. Hasil Uji LC 50-48 jam Konsentrasi Mortalitas Pada Jam Ke- Total Total 1 0 6 2 18 24 30 36 42 48 Mortalitas Hewan Uji 10 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 50 ppm 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 100 ppm 0 0 0 0 0 2 1 1 0 4 20 300 ppm 0 0 0 2 3 3 3 2 3 16 20

6 Pada konsentrasi 10 dan 50 ppm tidak terdapat kematian udang galah akibat ekstrak yang ada di perairan. Hal ini menunjukan bahwa udang galah masih dapat mentoleransi kandungan zat toksik yang terkadung dalam ekstrak daun nimba pada konsentrasi 10 dan 50 ppm. Selain itu, pada pemberian konsentrasi 10 dan 50 ppm ke dalam media hidup udang galah tidak memberikan pengaruh terhadap perubahan warna air, ph, DO serta tidak berpengaruh terhadap tingkat nafsu makan. Pada pemberian konsentrasi 100 ppm ke dalam air, mortalitas mulai terjadi pada saat 30 jam perendaman. Hal tersebut diduga zat toksik yang ada pada daun nimba mulai menyebabkan kondisi air pada media hidup berubah. Perubahan yang terjadi karena kandungan saponin yang mengalami pengaerasian yang cukup lama dan karena aerasi yang cukup besar. Najib (2009) mengatakan bahwa saponin umumnya berasa pahit dan dapat membentuk buih saat dikocok dengan air. Selain itu juga dalam konsentrasi tertentu saponin bersifat beracun untuk beberapa hewan. Kandungan saponin yang terdapat dalam air ditandakan oleh adanya busa yang terdapat di permukaan air. Selain terdapat kandungan saponin, juga terjadi perubahan warna air menjadi kuning kehijauan, tapi tidak merubah ph dan DO. Kematian yang terjadi pada pemberian konsentrasi 100 ppm ini tidak menyebabkan kematian masal. Toksisitas dari saponin dapat merendahkan tegangan permukaan dengan hidrolisis lengkap akan dihasilkan sapogenin (Kim 1989). Kematian yang terjadi hingga waktu 48 jam perendamaan hanya mengakibatkan kematian sebanyak 20% dari total hewan uji. Pada konsentrasi 300 ppm terjadi kematian sebanyak 80% dari total hewan uji, yakni sebanyak 16 ekor udang mati dari 20 ekor udang yang diuji. Hal tersebut dikarenakan jumlah zat toksik yang ada di perairan sudah melebihi batas aman bagi udang sehingga udang tidak mampu mentoleransi zat toksik yang ada di perairan sehingga menyebabkan udang tersebut mati.

7 Berdasarkan hasil uji toksik yang telah dilakukan, didapat hasil bahwa konsentrasi 100 ppm masih dapat ditoleransi oleh udang yakni mampu bertahan dan bersisa 80% dari total hewan uji dan pada konsentrasi 300 ppm udang hanya mampu bertahan dan bersisa 20% dari total hewan uji. Kenyataan ini membuktikan bahwa konsentrasi yang dapat membunuh hewan uji sebanyak 50% (Lc- 50 ) berada diantara 100 ppm hingga 300 ppm. Untuk mendapatkan presisi yang lebih tepat digunakan software Epa Probit (Tabel 2) Tabel 2. Analisis Epa Probit Ekstrak Daun Nimba Terhadap Udang Galah Exposure 95% Confidence Limits Point Conc. Lower Upper LC/EC 1.00 45.275 8.48 77.24 LC/EC 5.00 67.559 20.379 103.573 LC/EC 10.00 83.629 32.066 122.836 LC/EC 15.00 96.584 43.089 139.273 LC/EC 50.00 177.537 120.377 295.547 LC/EC 85.00 326.34 217.355 970.372 LC/EC 90.00 376.895 243.009 1322.37 5 LC/EC 95.00 466.548 284.475 2108.04 LC/EC 99.00 696.176 376.831 5128.11 9 Data diatas menunjukan hasil LC50 sebesar 177,537 ppm, yang artinya bahwa ekstrak daun nimba dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dari total udang galah yang di uji yaitu pada konsetrasi 177 ppm. 4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup

8 4.2.1 Rata-rata Kelangsungan hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu hidup hingga waktu yang ditentukan dalam suatu percobaan atau penelitian. Menurut Mudjiman (1998), tingkat kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur dan genetika yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan tempat hidup yang meliputi sifat fisika dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas. Pengaruh inokulasi bakteri Vibrio harveyi 10 5 cfu/ml pada media pemeliharaan terhadap tingkat kelangsungan hidup larva udang galah yang telah diberikan pakan komersil yang dicampur dengan ekstrak daun nimba dengan konsentrasi yang berbeda yakni 30 ppm, 60 ppm, 90 ppm, 120 ppm dan kontrol telah memberikan hasil uji statistik pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup antara kontrol dengan perlakuan. Hasil dari uji statistik menunjukan bahwa pemberian ekstrak dengan konsentrasi 90 ppm dan 120 ppm menghasilkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (Tabel 3). Tabel 3. Rata-rata Kelangsungan Hidup Benih Udang Galah Setelah Diinfeksi Vibrio harveyi pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Nimba. Perlakua Perlakuan Rata-rata Kelangsungan Hidup n (mg/kg pakan) (%) A Kontrol (0 mg) 25.55 a B 30 mg/kg 41.11 b C 60 mg/kg 57.78 c D 90 mg/kg 65.56 c E 120 mg/kg 61.11 c

9 Perlakuan A (kontrol) adalah perlakuan untuk udang galah yang tidak diberikan ekstrak daun nimba memberikan angka kelangsungan hidup terendah sebesar 25,55%. Kwang (1996) dalam Salfira (1998) menyebutkan bahwa sistem kekebalan tubuh udang masih sederhana, dimana udang tidak mempunyai sistem pertahanan yang berperan dalam mekanisme tubuh yang berfungsi sebagai anti bakteri yang masuk atau menyerang udang dari dalam. Pakan udang yang tidak diberi ekstrak menyebabkan udang lebih mudah terinfeksi bakteri Vibrio harveyi dibandingkan dengan udang yang diberi pakan dengan campuran ekstrak daun nimba. Pada perlakuan B yakni pada pemberian ekstrak daun nimba dengan dosis 30 mg/kg pakan didapatkan hasil kelangsungan hidup sebesar 41,11%. Persentase tersebut berbeda lebih tinggi dari angka kelangsungan hidup pada perlakuan A tanpa pemberian ekstrak ke dalam pakan. Lee dan Soderhall (2002) menyatakan bahwa udang mempunyai sistem ketahanan alami yang cepat dan efisien sebagai pelindung dari mikroorganisme penyerang dimana jumlah dan tingkat respon terhadap patogen yang masuk masih terbatas. Lebih lanjut lagi pemberian pakan dengan campuran ekstrak sebanyak 30 mg/kg pakan mulai memberikan ketahanan terhadap udang galah dari serangan bakteri Vibrio harveyi dilihat dari menurunnya tingkat kematian pada udang yang diberikan ekstrak dengan yang tidak diberi ekstrak pada pakan yang diberikan. Pada perlakuan C persentase kelangsungan hidup mengalami peningkatan sebanding dengan peningkatan ekstrak yang di berikan yakni pada konsentrasi pemberian 60 mg/kg ekstrak daun nimba. Terdapat perbedaan persentase tingkat kelangsungan hidup antara perlakuan A dan perlakuan C sehingga bisa dikatakan bahwa perlakuan C memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan A. Persentase pada perlakuan C sebesar 57,78% menunjukan bahwa konsentrasi ekstrak yang lebih banyak diberikan daripada perlakuan B memberikan kelangsungan hidup terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi lebih tinggi.

10 Perlakuan D dan E memberikan kelangsungan hidup rata-rata masing-masing sebesar 65,56% dan 61,11% dimana perlakuan D tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan E. Hal ini diduga pada konsentrasi 90 dan 120 mg, ekstrak daun nimba telah mampu membunuh Vibrio harveyi dengan cara merusak dinding sel Vibrio harveyi. Perlakuan D memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga karena konsentrasi ekstrak daun nimba yang semakin tinggi maka kandungan antibakteri dari ekstrak pun akan semakin tinggi pula. Namun, pada kisaran konsentrasi antara 90 hingga 120 ppm terjadi penurunan angka tingkat kelangsungan hidup. Hal tersebut diduga karena pakan tidak seluruhnya dimakan oleh udang dan terbukti dari sisa pakan yang mengendap pada toples perlakuan konsentrasi E yang lebih banyak daripada perlakuan lainnya. Terlebih lagi karena konsentrasi yang tinggi menyebabkan toleransi udang galah dalam menyerap kandungan zat aktif yang terdapat dalam pakan terbatas, sehingga pada konsentrasi yang lebih besar dari 90 ppm menyebabkan menurunnya tingkat kelangsungan hidup. Sebagaimana dikatakan oleh Lorenzon et al. (1999) bahwa udang memiliki ketahanan yang terbatas dan ketahanan udang dapat dilihat berdasarkan respon yang dihasilkan akibat adanya gangguan dari luar yang bisa berupa perubahan kualitas air. Pemberian ekstrak sebesar 90 mg/kg pakan mampu meningkatkan kelangsungan hidup udang yang terinfeksi Vibrio harveyi, namun belum mampu memberikan kelangsungan hidup yang maksimal. Diduga, untuk menghambat Vibrio harveyi yang menyerang udang diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tepat karena terdapat hubungan langsung antara ekstrak dengan bakteri, karena pemberian ekstrak yang dengan cara penyemprotan memiliki fungsi ganda. Sebagian ekstrak menyerap ke dalam pakan yang nantinya dimakan oleh udang sehingga menambah tingkat ketahanan udang dari dalam tubuh. Sedangkan sebagian lagi ekstrak yang tidak menyerap secara sempurna lepas dan larut dalam air sehingga asumsinya dapat menghambat perkembangan dan penginfeksian Vibrio harveyi pada udang yang sehat. (Gambar 9)

11 Gambar 9. Udang yang mati bukan karena Vibrio harveyi 4.2.2 Kelangsungan Hidup pada Masa Kohabitasi Kematian udang galah mulai dari proses kohabitasi dengan udang yang telah di infeksikan dengan Vibrio harveyi mulai mengalami kematian sejak hari pertama. Udang yang mati bertambah setiap harinya (Tabel 4). Pengamatan angka kelangsungan hidup dilakukan selama 3 hari. Tabel 4. Mortalitas Udang Galah Selama Masa Kohabitasi Perlakuan Mortalitas Total Mortalitas 24 Jam 48 jam 72 jam (ekor) A1 11 6 5 22 A2 13 4 9 22 A3 18 1 4 23 B1 15 2 2 19 B2 11 2 2 15 B3 17 0 1 18 C1 9 2 1 12 C2 12 1 1 14 C3 10 1 1 12 D1 9 0 1 10 D2 6 1 3 10 D3 7 2 2 11 E1 5 2 4 11 E2 2 4 4 10 E3 10 2 2 14

12 Menurut Rukyani (1992) penyakit yang diakibatkan Vibrio harveyi bersifat sangat akut dan ganas karena dapat mematikan populasi benih udang yang terserang dalam waktu 1 sampai 3 hari sejak awal dampak. Pengamatan penginfeksian udang galah dilakukan selama 3 hari dan selama 5 hari setelah masa pemeliharaan tidak didapatkan angka mortalitas yang disebabkan oleh Vibrio harveyi yang masih tersisa. Pada perlakuan A terdapat kematian yang tinggi setelah kohabitasi selama 24jam berlangsung. Kematian tertinggi diduga pada udang yang telah di infeksikan terlebih dahulu dan juga sebagian lagi merupakan kematian dari udang hasil perlakuan pemberian pakan. Udang yang telah dikohabitasi sebelumnya selama 48 jam di tempat terpisah mampu menginfeksi udang yang ada di wadah perlakuan A sehingga udang banyak mengalami kematian pada waktu 24 jam dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Setelah kohabitasi selama 48 jam di toples perlakuan, masih terdapat kematian yang cukup banyak dari sisa udang yang masih hidup sebelumnya. Kematian yang tertinggi terdapat pada perlakuan A1 yakni sebanyak 8 ekor udang. Hal tersebut diduga pada waktu 48 jam tersebut, bakteri Vibrio harveyi sudah mulai menyerang udang galah sehingga sudah dapat menyebabkan kematian karena tidak ada penanganan atau pengobatan di perlakuan A (Gambar 10). Kematian setelah kohabitasi selama 72 jam masih terjadi dengan jumlah yang banyak dilihat dari sisa udang yang masih tersisa di hari sebelumnya. Gambar 10. Udang yang mati karena Vibrio harveyi

13 Pada perlakuan 30 ppm terdapat kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan A. Pada waktu kohabitasi 24 jam pertama terjadi kematian yang cukup tinggi dari setiap perlakuan pemberian ekstrak dalam pakan sebanyak 30 mg/kg ini. Kematian diduga berasal dari udang yang ditambahkan ke wadah-wadah perlakuan B, penyebab kematian itu sendiri diduga karena udang yang terinfeksi sudah mengalami penurunan tingkat nafsu makan apabila dilihat dari lambung udang yang terlihat transparan. Setelah 48 jam kohabitasi kematian udang mengalami penurunan bila dibandingkan dengan pada saat kohabitasi selama 24 jam. Hal tersebut diduga karena ekstrak daun nimba yang ada di dalam tubuh udang sudah mampu mengatasi infeksi bakteri Vibrio harveyi sehingga udang masih dapat bertahan hidup walaupun terdapat bakteri di media hidupnya. Pada kohabitasi jam ke- 72 hanya terdapat 1 3 ekor udang saja yang mati, hal tersebut diduga ekstrak yang ada di dalam tubuh udang dan di media hidup udang sudah mampu mengurangi keberadaan bakteri Vibrio harveyi sehingga udang sudah mampu hidup dan beregenerasi kembali. Kematian yang terjadi pada waktu kohabitasi selama 24 jam di perlakuan 60 ppm masih terjadi paling tinggi 12 ekor pada perlakuan C2. Pada perlakuan ini ekstrak yang dimakan oleh udang sudah mampu menghambat infeksi bakteri walaupun masih belum maksimal, bahkan udang yang telah terinfeksi sebelumnya tidak langsung mati pada saat di kohabitasikan ke dalam toples perlakuan. Hal tersebut diduga bahwa sebagian ekstrak yang terlarut dalam air memiliki peran sebagai zat antibakteri sehingga udang yang telah terjangkit sebelumnya bisa bertahan hidup. Pada masa kohabitasi 48 jam dan 72 jam kematian udang hanya maksimal 2 ekor setiap harinya. Hal tersebut diduga konsentrasi ekstrak yang terkandung di dalam pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut sudah mampu menghambat pertumbuhan Vibrio harveyi namun belum mampu menghilangkan keberadaan bakteri tersebut sepenuhnya. Terbukti bahwa masih adanya udang yang

14 mati diduga karena serangan bakteri Vibrio harveyi masih terjadi dan masih terdapat di media pemeliharaan. Pada perlakuan 90 ppm dan 120 ppm terdapat jumlah kematian yang paling sedikit dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada masa kohabitasi selama 24 jam pertama, udang yang terinfeksi bakteri Vibrio harveyi tidak mengalami kematian seluruhnya. Hal tersebut terbukti apabila dilihat dari jumlah udang yang telah terinfeksi sebanyak 15 ekor yang dimasukan ke dalam toples perlakuan D dan E tidak semuanya mati. Konsentrasi sebanyak 90 dan 120 ppm terserap sebagian ke dalam pakan dan sebagian ekstrak yang terlarut dalam air menyebabkan zat anti bakteri spesifik terhadap Vibrio harvey sehingga udang yang terinfeksi sebelumnya diduga pulih dan terobati oleh ekstrak yang ada di air. Sikka (2009) menyebutkan bahwa kandungan azadirachtin memiliki efek terhadap bakteri menghasilkan stimulan spesifik berupa reseptor kimia (chemoreseptor) pada bagian mulut (mouth part) yang bekerja bersama-samadengan reseptor kimia yang mengganggu persepsi rangsangan untuk makan (phagostimulant). Lebih lanjut efek imunostimulan tersebut dapat menghentikan proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut mati. Udang galah yang mati karena serangan bakteri Vibrio harveyi tidak dimakan oleh udang lainnya (Gambar 9). Udang yang mati karena bakteri akan mengendap di dasar wadah hingga berubah warna menjadi putih susu dan kemudian kemerahan (Gambar 10). Berbeda dengan udang yang mati bukan karena bakteri akan memiliki warna yang lebih gelap dan kusam dibandingkan dengan udang yang hidup. Udang yang hidup akan terlihat transparan. Sebagian ekstrak dapat terlarut dalam air karena terdapat sisa pakan yang cukup banyak pada formulasi pakan 90 dan 120 ppm. Ekstrak yang terlarut dalam air ini justru menjadi obat bagi udang yang sudah terinfeksi bakteri. Akan tetapi pada masa kohabitasi 72 jam terdapat peningkatan jumlah kematian dari masa kohabitasi 48 jam. Hal tersebut diduga bahwa semakin banyak ekstrak yang terdapat di air dan semakin lama waktu kohabitasi atau waktu perlakuan akan menyebabkan kandungan zat aktif ekstrak daun nimba yaitu saponin menjadi terakumulasi di dalam air,

15 sehingga saponin dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan toksisitas pada udang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lukistyowati (2011) bahwa saponin merupakan golongan senyawa glikosida yang dapat menimbulkan busa bila dikocok dalam air dan dapat menyebabkan hemolisis eritrosit dan dapat bersifat racun pada hewan akuatik/ikan. Saponin masuk ke dalam peredaran darah melalui insang, ketika mengambil oksigen dari air, saponin masuk ke dalam tubuh dan mengikat hemoglobin sehingga menyebabkan ikan kekurangan darah dan dapat menyebabkan kematian (Gambar 11). Gambar 11. Udang yang mati karena Vibrio harveyi dan mati bukan karena bakteri 4.3 Pengamatan Abnormalitas 4.3.1 Reaksi Terhadap Pakan Perubahan kebiasaan udang galah dengan lingkungan baru ataupun dengan penggantian/penambahan bahan lain ke dalam pakan sedikit banyak akan merubah kebiasaan udang. Udang akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan nya yang baru dan juga akan beradaptasi dengan sumber makanan yang tersedia di lingkungannya yang baru tersebut. Menurut Effendi (2006), kelangsungan hidup sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan (Tabel 5). Berikut adalah tabel respon udang galah terhadap pakan dilihat dari respon pada saat pemberian pakan.

16 Tabel 5. Skoring Respon Udang Galah Terhadap Pakan yang Diberikan Ket : Perlakuan Respon Terhadap Pakan (hari ke-) 1 2 3 A1 (0 mg/kg) +++ +++ +++ A2 +++ +++ +++ A3 +++ +++ +++ B1 (30 mg/kg) +++ +++ +++ B2 +++ +++ +++ B3 +++ +++ +++ C1 (60 mg/kg) ++ ++ ++ C2 ++ ++ ++ C3 ++ ++ ++ D1 (90 mg/kg) ++ ++ ++ D2 ++ ++ ++ D3 ++ ++ ++ E1 (120 mg/kg) + + + E2 + + + E3 + + + +++ = Sangat responsif, udang langsung mendekati pakan. ++ = Responsif, udang mendekati pakan beberapa saat setelah diberikan. + = Kurang responsif, udang tidak langsung mendekati pakan. Pada perlakuan tanpa pemberian ekstrak dan pemberian konsentrasi 30 mg/kg ke dalam pakan, respon udang sangat responsif pada saat pakan diberikan. Pakan yang diberikan pada pukul 08.00, 14.00, dan pukul 20.00. Udang paling responsif pada interval pemberian pakan terjauh yakni pada saat pemberian pakan pukul 08.00.

17 Pada dosis pemberian 30 mg/kg pakan tidak memberikan pengaruh terlalu besar terhadap rasa sehingga udang masih menyukai dan memakan pakan. Respon udang galah terhadap pakan dipengaruhi oleh kadar tanin yang terkandung dalam daun nimba. Senyawa tanin menyebabkan rasa pahit dan sepat pada pakan yang diberi ekstrak. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Beihl (1984) bahwa terdapat kelompok senyawa kimia yang tidak mudah menguap sebagai penyebab rasa pahit dan sepat diantaranya theibromin, kafein dan tannin. Perlakuan 60 dan 90 mg/kg ekstrak ke dalam pakan memberikan hasil respon udang menjadi berkurang terhadap pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan tidak langsung dimakan oleh udang, tetapi pakan baru dimakan beberapa saat setelah pemberian pakan. Hal tersebut diduga bahwa pemberian dengan dosis 60 dan 90 ini dinilai sudah berpengaruh terhadap rasa ataupun aroma khas dari pakan yang diberikan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Makkar (1993) dalam Sujarnoko bahwa terdapat kandungan tanin yang menimbulkan perubahan terhadap rasa bahan campuran pakan sehingga mengurangi napsu makan udang. Kenyataan ini ditunjukan dari respon udang yang lambat terhadap pakan akibat menurunnya napsu makan udang. Terjadi penurunan respon udang terhadap pakan pada konsentrasi 120 mg/kg pakan. Selama 1 hingga 2 jam setelah pemberian pakan, udang masih belum bergerak ataupun terlihat sedang makan. Akan tetapi hepatopankreas udang tetap berwarna cokelat pada saat pemberian pakan yang berikutnya. Warna cokelat tersebut sesuai dengan warna pakan yang di berikan, artinya walaupun pakan tidak langsung dimakan udang tersebut tetap memakan pakan yang diberikan. 4.3.2 Perubahan Fisik dan Pergerakan

18 Pemberian atau penginfeksian bakteri Vibrio harveyi terhadap udang galah memberikan beberapa perubahan yang terlihat. Diantaranya dari perut atau temboloknya berwarna transparan karena nafsu makan udang tersebut menjadi berkurang. Udang yang terlihat tidak makan akan terus berada di dasar dan respon terhadap reaksi kaget pun tidak sereaktif udang yang sehat atau tidak terjangkit bakteri. Pada malam hari hanya sedikit pergerakan mencari makan. Udang tetap berdiam di tempatnya walaupun sudah diganggu. Terdapat beberapa pergerakan yang tidak biasa dari beberapa udang yang terinfeksi bakteri. Diantaranya udang yang berenang berputar, tidak dapat berenang lurus ke depan. Beberapa udang yang berenang berputar terlihat ada luka di bagian pangkal ekor sehingga udang tidak dapat menstabilkan diri pada saat berenang. Sehingga beberapa udang yang terserang tidak dapat mencari makan di kolom badan air dan hanya bisa memperoleh makanan yang tersedia di dasar akuarium. Udang yang diambil dari akuarium stok untuk di infeksikan bakteri Vibrio harveyi mengalami kematian total pada hari ke-4 setelah bakteri dimasukan. Pusat Penelitian Budidaya Udang di Probolinggo (dalam Agus 2003) mengatakan bahwa udang yang terserang bakteri pathogen disertai kematian massal maupun parsial, selalu ditemukan bakteri Vibrio harveyi dengan kepadatan 10 5 sel/ml. Sesuai pernyataan tersebut bakteri yang dimasukan dalam 10 liter air yang berisi udang adalah sebanyak 100ml dengan kepadatan 1,03 x 10 9 menyebabkan kematian masal. 4.4 Kualitas Air 4.4.1 Suhu Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkungannya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan dan

19 kelangsungan hidup ikan (Effendi 2004). Selama penelitian dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air yaitu salah satunya suhu. Suhu selama penelitian berkisar antara 29-31 0 C masih berada dalam tingkat kelayakan untuk pemeliharaan udang galah. Kisaran suhu tersebut masih optimum bagi udang karena pada kisaran suhu tersebut metabolisme udang dapat berlangsung dengan baik. Udang galah dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 28-33 0 C. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan berada pada kisaran 29-30 0 C. 4.4.2 ph Faktor kualitas air lain yang mempengaruhi adalah derajat keasaman (ph) air. Nilai ph selama penelitian berkisar antara 7,00-7,90. Nilai kisaran ph tersebut masih layak bagi pertumbuhan udang galah. New MB (1985) menyatakan ph optimum bagi udang galah berkisar 7,0-8,5. Kordi (2001) dalam Aliatunnisa (2008), menyatakan bahwa perairan dengan ph rendah dapat mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya di ikuti dengan tingkat mortalitas tinggi. 4.4.3 Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 4,56-5,91 mg/l. Kandungan oksigen tersebut layak untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang galah. Menurut New MB (2002) kandungan oksigen terlarut yang optimal untuk udang galah berkisar 3-7 mg/liter, dan menimbulkan stress jika di bawah 2 mg/liter. Menurut Mulyanto (1992) dalam Pertiwi (2011), jika kandungan oksigen terlalu rendah, maka berakibat turunnya nafsu makan, dan jika nilainya sangat rendah dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan konsumsi pakan dan pertumbuhan terhenti. 4.4.4 Amonia

20 Kandungan amonia dalam media hidup udang galah selama penelitian berkisar antara 0 0,25 ppm. Kadar amonia pada minggu pertama penelitian adalah 0 ppm. Terjadi peningkatan kadar amonia pada minggu ke-2 menjadi 0,25 ppm pada seluruh media hidup udang galah. Namun, pada minggu ke-3 tidak terjadi peningkatan kadar amonia dalam air. Peningkatan kadar amonia terjadi karena tidak adanya pergantian air secara total pada saat penyiponan. Penyiponan hanya menggantikan sekitar 10% dari seluruh total air yang ada. Sehingga terjadi akumulasi amonia di dalam media hidup udang pada saat penelitian. Menurut New MB (2002) menyatakan bahwa kandungan amonia yang optimal bagi budidaya udang galah adalah < 0.3 ppm.