ICASEPS WORKING PAPER No. 74

dokumen-dokumen yang mirip
VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

REKONSTRUKSI UU SISTEM BAGI HASIL PERIKANAN PRO NELAYAN KECIL

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

6 USAHA PENANGKAPAN PAYANG DI DESA BANDENGAN

ANALISA BIAYA DAN KEUNTUNGAN USAHA PENANGKAPAN IKAN SKALA KECIL DI LANGKAT, SUMATERA UTARA

ICASEPS WORKING PAPER No. 72

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pengembangan perikanan tangkap di Desa Majakerta, Indramayu, Jawa Barat

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengambilan Sampel 3.5 Jenis Data yang Dikumpulkan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

DISTRIBUSI DAN MARGIN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus Affinis) DI TPI UJUNGBATU JEPARA

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

ANALISIS USAHA PURSE SEINE DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA SIBOLGA KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS PENDAPATAN NELAYAN ALAT TANGKAP MINI PURSE SEINE 9 GT DAN 16 GT DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI (PPP) MORODEMAK, DEMAK

PENDAPATAN NELAYAN YANG MENGGUNAKAN PERAHU MOTOR DAN PERAHU TANPA MOTOR DI DESA PARANGGI, KECAMATAN AMPIBABO, KABUPATEN PARIGI-MOUTONG ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dimanfaatkan secara optimal dapat menjadi penggerak utama (prime mover)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet

DAMPAK PELELANGAN TERHADAP STABILISASI HARGA IKAN PADA TINGKAT PRODUSEN DI PANTAI UTARA JAWA

6 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Malang Jawa

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO 16 TAHUN 1964 TENTANG SISTEM BAGI HASIL PERIKANAN: PRAKTEK SISTEM BAGI HASIL PERIKANAN DI PPI MUARA ANGKE

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Nelayan dan Tengkulak

I. PENDAHULUAN. dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

3 METODOLOGI PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

3 METODOLOGI PENELITIAN

USAHA PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI SADENG, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Small Scale Fisheries Effort At Sadeng, Yogyakarta Province)

8 AKTIVITAS YANG DAPAT DITAWARKAN PPI JAYANTI PADA SUBSEKTOR WISATA BAHARI

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. udang, kakap, baronang, tenggiri, kerang, kepiting, cumi-cumi dan rumput laut yang tersebar

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

BAB I PENDAHULUAN. juta km2 terdiri dari luas daratan 1,9 juta km2, laut teritorial 0,3 juta km2, dan

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai nelayan. Masyarakat nelayan memiliki tradisi yang berbeda. setempat sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.

6 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI EKONOMI

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kecamatan Teluk Betung Selatan

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal

KONDISI PERIKANAN DI KECAMATAN KUALA KAMPAR

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

Transkripsi:

ICASEPS WORKING PAPER No. 74 KERAGAAN USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DI PROVINSI JAWA BARAT KASUS CONTOH DESA PATANAS 2000/2001 (Margagiri dan Ilir) Tjetjep Nurasa Pebruari 2005 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian

KERAGAAN USAHA PENANGKAPAN IKAN LAUT DI PROVINSI JAWA BARAT KASUS CONTOH DESA PATANAS 2000/2001 (Margagiri dan Ilir) Tjetjep Nurasa Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. Ahmad Yani 70, Bogor 16161 ABSTRAK Penelitian berbasis desa pantai di wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai salah satu sentra produksi perikanan. Tujuan utama penelitian adalah: (1) mengetahui keragaan asset penangkapan ikan laut (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan, (3), pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Analisa dilakukan secara diskriptif dan tabulasi silang. Hasil penelitian menunjukan bahwa Perahu yang dimiliki desa margagiri (0,40 23,10 GT) dan desa Ilir (1,4024 GT) dengan mesin pengerak yang mempunyai kekuatan sama yaitu sekitar 520 PK, Alat tangkap dominan yang diusahakan nelayan desa Margagiri yaitu jaring payang (66%) dan nelayan desa Ilir jaring sotong (44,4%). Investasi yang digunakan dalam usaha penangkapan dari kedua desa contoh adalah sama yaitu pengeluaran terbesar adalah untuk pembelian perahu desa Margagiri yaitu sebesar Rp 13.638.000 (71%), desa Ilir sebesar Rp 11.800.000 (64%) dan biaya terkecil yang dikeluarkan dalam investasi ini adalah untuk pembelian alat bantu yang masingmasing adalah untuk desa Margagiri Rp 112.000 dan desa ilir Rp 294.000. Investasi yang ditanamkan dalam usaha penangkapan ternyata nelayan desa Margagiri sebesar (50%) dan desa Ilir (36%) masih mendapatkan pinjaman dari kredit informal. Hasil produksi tangkapan ratarata selama satu tahun tertinggi diperoleh nelayan desa Ilir yaitu sebesar 145.260 kg (112 trip) dengan nilai Rp 279.897.000, dan nelayan desa Margagiri 71.367 kg (210 trip) dengan nilai Rp 98.729.000. Pendapatan yang diterima dari sistem bagi hasil ABK desa Ilir mendapatkan bagian yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang. Sedangkan pendapatan bersih yang diterima pemilik usaha penangkapan diperoleh pemilik usaha penangkapan di desa Ilir yaitu sebesar Rp 70.406.000 dan pemilik usaha di desa Margagiri sebesar Rp 28.198.000. Dalam melakukan penjualan hasil tangkapan terlihat bahwa masih ada nelayan yang menjual tanpa melalui TPI yang ada, seperti nelayan desa Margagiri ada sebesar (87,5%) dan nelayan nelayan desa Ilir (27%) menjual langsung. Dengan demikian keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) khususnya di Margagiri menunjukan belum berperan secara optimal. Oleh karena itu untuk membangun perikanan rakyat diharapkan adanya bantuan permodalan dan pembinaan yang berkesinambungan Kata kunci: desa pantai, Jawa Barat nelayan, perikanan laut PENDAHULUAN Sektor perikanan skala kecil mempunyai ciri yaitu banyaknya jumlah alat tangkap yang dioperasikan pada daerah penangkapan yang sama (Smith I. R. 1982) sehingga persaingan yang cukup ketat, menurut Supanto (1989) pengusahaan perikanan rakyat pada umumnya baru mengkombinasikan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan teknologi yang belum melibatkan modal dalam skala memadai. Berdasarkan pengamatan Fernando (1985) dan Nikijuluw (1987), pengusahaan perikanan rakyat/tradisional dikendalikan oleh kombinasi dari kekuatan ekonomi, sosial kultural dan 1

informasi yang dipegang oleh perantara (Midleman) yang merangkap sebagai pelepas uang. Kondisi tersebut diperkirakan telah mendorong adanya eksploitasi terhadap nelayan melalui kekuatan monopsonistik atau oligopsoni dalam pasar produk perikanan. Demikian pula pada perikanan kecil di banyak daerah di indonesia masih banyak nelayan dalam operasi penangkapan selama dalam satu tahun masih menggunakan hanya satu jenis alat tangkap, begitu juga penggunaan alat bantu seperti, rumpon, lampu belum dilakukan dengan baik. Alat tangkap yang digunakan dari kedua desa contoh seperti bagan tancap, payang, cantrang, rawai biasa, gillnet, trammelnet, jala, menurut Waluyo Subani dan Hr. Barus. (19881989) alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional. Dalam hal menjaga mutu ikan hasil tangkapan umumnya kapal penangkap tidak mempunyai fasilitas dan peralatan yang memadai untuk penanganan ikan segar. Dalam lama operasi penangkapan 17 hari, umumnya nelayan dalam menggunakan es dalam jumlah yang tidak cukup bahkan kadang tidak membawa sama sekali, bahkan seringkali pemberian baru dilakukan setelah ikan didaratkan untuk selanjutnya didistribusikan (Tambunan dan syafurrijal, 1972). Dilain pihak jika mengacu pada Shewan (1980) yang dikutip oleh Murniyati, et al., 1987 yaitu bahwa dengan pengesan, ikanikan tropis mempunyai daya awet yang lebih lama dibandingkan ikan yang sama dari perairan yang dingin. Terhadap harga jual yang sekaligus yang merupakan pendapatan bagi nelayan dengan mutu ikan yang baik akan meningkatkan harga jual ikan dan akan meningkatkan pendapatan nelayan. Desa pantai yang diambil sebagai daerah contoh patanas di provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 adalah desa Margagiri terdapat di kabupaten Serang (Banten) dan desa Ilir di Kabupaten Indramayu. Kedua desa contoh yang diambil tersebut masih mencirikan sebagai desa pantai yang kegiatan ekonomi masyarakatnya banyak bergantung dari hasiltangkapan laut dan umumnya pada perikanan skala kecil. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui Keragaan asset penangkapan ikan laut mencakup perahu, mesin dan alat tangkap yang digunakan, (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan (3), pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Penelitian menggunakan metode survey berstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan untuk data primer ditingkat nelayan Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Laporan Lembaga Penelitian dan Dinas instansi terkait Hasil penelitian diharapkan menjadi masukan dalam upaya pembangunan perikanan skala kecil untuk meningkatkan pendapatan petani/nelayan dan kesempatan kerja. 2

METODE PENELITIAN Penelitian Patanas dan Susenas di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan tahun 2001. Untuk desa contoh adalah Desa Margagiri yang terdapat di Kabupaten Serang (Banten) dan Desa Ilir di Kabupaten Indramayu. Kedua desa contoh tersebut masih mencirikan sebagai desa pantai yang kegiatan ekonomi masyarakat umumnya banyak tergantung dari hasil laut masih terkonsentrasi pada perikanan skala kecil. Tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengetahui Keragaan asset penangkapan ikan laut mencakup perahu, mesin dan alat tangkap yang digunakan (2) mengetahui keragaan usaha penangkapan ikan laut mencakup, pola tangkapan, tenaga kerja dan sistim bagi hasil, (3) pemasaran ikan laut yang dilakukan oleh nelayan. Penelitian menggunakan metode survey berstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan. Data primer dikumpulkan dari 27 orang nelayan pemilik. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari Dinas instansi terkait. Data dianalisa secara deskriptif dengan tabulasi silang tentang biaya, pendapatan dan sistim bagi hasil serta mekanisme pemasaran secara umum pada tingkat produsen (nelayan). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Asset Penangkapan Ikan Laut a. Perahu dan mesin pendorong Penguasaan aset pada kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan sarana yang sangat penting terhadap tingkat pendapatan dan asset tersebut terdiri dari perahu, mesin dan alat tangkap/jaring yang dimiliki atau yang diusahakan nelayan dalam penangkapan ikan di laut. Dilihat kepemilikan asset penangkapan pada nelayan menunjukkan adanya keragaman antar desa contoh, hal tersebut disebabkan oleh kadaan alam, perairan serta adat kebiasaan dari masingmasing desa. Unit asset perahu yang digunakan dalam operasi penangkapan dapat dikemukakan sebagai berikut. Dilihat dari besar bobot dan kapasitas daya angkut perahu dengan ukuran maksimal terlihat bahwa nelayan di kedua yaitu desa margagiri dan desa Ilir dapat dikatakan sama dengan kisaran bobot perahu antara 0,40 24 grose tonase (GT) dan kapasitas daya angkut antara 0,1 10 ton. Perbedaan tersebut tidak menjadikan ukuran target, bahwa perahu yang digunakan ini disesuaikan dengan alat tangkap dan modal usaha yang digunakan nelayan dimasingmasing desa, dimana kebanyakan untuk nelayan desa Margagiri menggunakan alat tangkap payang dengan jumlah ABK sekitar 3

12 orang, nelayan desa Ilir dengan alat tangkap jaring sotong atau jaring tembang yang membawa ABK juga sekitar 12 orang. Sedangkan daya dorong untuk menggerakan perahu ke tempat penangkapan (fishing ground) dan untuk kembali setelah beroperasi biasanya nelayan menggunakan mesin seperti yang tertera di Tabel 1. Tabel 1. Besarnya Daya Dorong Mesin Penggerak Perahu Yang Digunakan Nelayan di Desa Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 20002001 Mesin Penggerak (PK) Desa Margagiri Ilir n (%) N (%) 5 15 16 20 6 6 50 50 4 7 36,4 63,6 Total 12 11 Motor penggerak yang digunakan sebagai alat pendorong perahu yang digunakan nelayan di desa contoh memiliki daya dorong yang sama yaitu antara 520 PK. Namun jika dilihat presentase untuk ukuran daya 515 PK desa Margairi mencapai 50 persen, desa Ilir 36 persen, kondisi tersebut menunjukkan bahwa mesin yang digunakan sebagai alat pendorong perahu untuk ukuran kecil dengan jangkauan tempat penangkapan tidak terlalu jauh, sekitar perairan pantai setempat. Sedangkan untuk mesin dengan daya dorong 1620 PK desa Ilir mencapai 63,64 persen dan desa Margagiri 50 persen, ini menunjukan bahwa perahu yang digunakan pun cukup besar dan jangkauan tempat lokasi penangkapan ikan (fishing ground) cukup jauh dari perairan pantai, dimana lokasi penangkapan ikan yang biasa ditempuh oleh nelayan desa Ilir bisa mencapai Kalimantan, sedangkan nelayan desa Margagiri biasa menangkap sampai perairan Lampung, Jakarta. Alat tangkap. Untuk kepemilikan dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dari masingmasing desa contoh patanas sebagai berikut; Jenis alat tangkap yang diusahakan nelayan desa Margagiri ada 4 jenis, dimana sebagian besar alat tangkap yang digunakan adalah alat jaring payang (66%) dan bagan tancap (19%). untuk desa Ilir ada sekitar 6 jenis dengan alat dengan alat tangkap dominan yaitu jaring sotong (44%), serok (13%) dan jaring arad (11%) sebagaimana tertera pada Tabel 2. 4

Tabel 2. Keragaan Jenis Alat Tangkap di Desa Contoh Patanas, Provinsi Jabar, Tahun 20002001 Jenis Alat Tangkap 1. Gill net 2. Payang 3. Jaring Sotong 4. Bagan Tancap 5. Arad 6. Serok 7. Terumbu 8. Jaring Lempara dan Jaring Sotong 9. Jaring Lempara dan Pintur Desa Margagiri Ilir (%) (%) 8,3 66,7 5,6 44,4 19,4 11,1 13,9 8,3 8,3 Total Tabel 3. Ratarata Nilai Investasi Usaha Perikanan Tangkap di Desa Contoh Patanas Propinsi Jawa Barat, Tahun 20002001. (Rp.0,000) Nama Desa Perlengkapan unit usaha 1. Margagiri 2. Ilir Perahu Mesin Alat tangkap Alat bantu Total 13.638 11.800 2.587 5.480 2.877 915 112 294 19.214 18.489 Nilai investasi yang ditanamkan pada unit usaha penangkapan, ternyata nilai terbesar yang dikeluarkan adalah untuk pembelian perahu. Alokasi investasi yang digunakan untuk pembelian perahu adalah sebesar 71 persen di desa Margagiri dan desa Ilir 64 persen. Adanya perbedaan disebabkan dari ukuran perahu (GT) dan jenis kayu yang digunakan. Nilai terendah yang dikeluarkan dari investasi adalah untuk kelengkapan alat bantu, di desa Marga Giri 0,6 persen dan desa Ilir 1,6 persen, dimana alat bantu biasanya pada perikanan skala kecil umumnya kurang diperhatikan (Tabel 3). b. Sumber Pengadaan Investasi Alat Penangkapan Ikan Laut Dari perhitungan nilai investasi tersebut perlu juga diketahui darimana sumber modal yang dimiliki nelayan. Dapat diketahui bahwa investasi sebagai modal usaha yang dijalankan untuk pembelian asset usaha penangkapan yang ada saat ini masih ada yang berasal dari pinjaman. 5

Tabel 4 Kepemilikan dan Sumber Modal Usaha Perikanan Tangkap Yang di Gunakan Nelayan di Desa Contoh Patanas di Propinsi Jabar, Tahun 20002001 Perahu Mesin Alat Tangkap Desa Sumber n % n % n % 1. Margagiri Modal sendiri 6 50,00 12 17 Kredit Formal Kredit informal 2 16,67 Campuran 4 33,33 Total 12 12 17 2. Ilir Modal sendiri Kredit Formal 7 2 63,64 18,18 18 1 94,74 5,26 14 Kredit informal 1 9,09 Campuran 1 9,09 Total 11 19 14 Pinjaman terbesar dilakukan desa Margagiri yaitu sekitar 50 persen, desa Ilir 36 persen untuk kebutuhan perahu. Pinjaman yang dilakukan pada pemberi kredit informal ternyata cukup tinggi dibandingkan dengan pinjaman pada pemberi kredit formal. Hal ini berarti nelayan masih dihadapkan pada pihak yang menentukan harga jual hasil tangkapannya, dengan itu perlu kiranya peran dari aparat pemerintah dapat menanggulanginya (Tabel 4). Keragaan Usaha Penangkapan a. Pola Tangkapan (musim penangkapan ikan) Produksi hasil tangkapan nelayan dilaut tidak terlepas dari pada keadaan alam, yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Musim puncak, dimana pada saat ini hasil tangkapan nelayan melimpah, kedua musim paceklik dimana keadaan alam yang ditandai angin kencang (musim timuran dan baratan) pada saat ini hasil tangkapan nelayan sedikit bahkan tidak sedikit nelayan tidak mendapatkan hasil bahkan pada saat paceklik nelayan kecil sama sekali tidak pergi melaut. Ketiga yaitu musim sedang/biasa 6

biasa saja, dimana pada saat ini nelayan dalam mendapatkan hasilnya tidak terlalu melimpah. Trip penangkapan atau lama kegiatan dalam operasi penangkapan di laut antara alat yang satu dengan yang lain tidak sama seperti telah disebutkan yaitu tergantung besar kecilnya usaha penangkapan, selain itu keadaan alam dari setiap daerah yang berbeda pula. Nelayan pemilik yang diambil sebagai responden dari tiga daerah contoh patanas yaitu desa Margagiri sebanyak 16 orang, dan desa Ilir 11 orang. Nelayan pemilik tersebut berprofesi selain sebagai juragan darat juga umumnya merangkap sebagai juragan laut/nakhoda. Unit alat tangkap yang digunakan nelayan dari masingmasing daerah tersebut tidak sama, tergantung keadaan alam dan kebiasaan dari alat yang digunakan. Unit alat tangkap yang dominan digunakan masingmasing daerah adalah untuk Margagiri yaitu jaring payang, bagan tancap, gillnet dan jaring sotong, sedangkan di daerah Ilir yaitu alat jaring sotong, jaring arad, jaring tembang dan serok. Jumlah ABK dari setiap unit penangkapan bervariasi tergantung besar/kecilnya dan alat tangkap yang digunakan. Secara umum di desa margagiri menggunakan 12 orang ABK yang biasanya ikut dalam operasi penangkapan alat payang dan ABK yang terlibat pada unit usaha penangkapan di desa Ilir minimum 4 orang dan maksimum 10 orang ABK. Dalam pengoperasian alat tangkap nelayan di desa Ilir telah penggunaan alat lebih dari satu macam dalam satu musim (diversifikasi alat). Kegiatan penangkapan selama satu tahun berdasarkan musim dari masingmasing desa seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Produksi Ratarata Dalam Satu Tahun yang Diperoleh Unit Usaha Penangkapan di Tiga Desa Contoh Patanas Provinsi Jawa Barat. Tahun 2000 2001 Uraian Margagiri Desa Ilir 1. Jumlah trip/th 210 112 2. Hasil/trip (kg) 340,33 1.202 3. Jumlah hasil kotor (kg) 71.367 145.260 Tabel 5 Menunjukkan bahwa hasil tangkapan ratarata selama satu tahun tertinggi diperoleh nelayan desa Ilir yaitu sebesar 145.260 kg (112 trip) dengan nilai Rp 279.897.000, dan nelayan desa Margagiri 71.367 kg (210 trip) dengan nilai Rp 7

98.729.000. Rendahnya pendapatan yang diperoleh nelayan desa Margagiri ini yaitu walaupun mengenai (perahu, mesin) yang diusahakan dalam operasi penangkapan sama akan tetapi alat tangkap yang digunakan yang berbeda yang mana hasil tangkapannya juga berbeda baik dari jenis ikan yang tertangkap maupun harga dari ikan hasil tangkapan. Jalan keluar yang harus ditempuh untuk dapat meningkatkan pendapatan yaitu harus meningkatkan usaha penangkapan dengan beralih ke teknologi yang lebih maju lagi. b. Tenaga Kerja dan Sistem Bagi Hasil Hasil analisa pendapatan usaha perikanan tangkap yang ditampilkan yaitu berdasarkan atas ratarata per unit perahu dengan tanpa nama alat tangkap yang digunakan atau alat yang sama yang digunakan di masingmasing daerah contoh. Ratarata perolehan pendapatan dari unit penangkapan yang diperoleh nelayan dari masingmasing daerah adalah tertinggi diterima oleh nelayan Ilir yaitu dengan total pendapatan sebesar Rp 279.897.504 dengan jumlah trip penangkapan 112 trip, nelayan desa Margagiri sebesar Rp 98.729.265 dengan 210 trip (Tabel 6). Keuntungan usaha penangkapan ikan laut tidak lepas dari besar atau kecilnya unit usaha yang dijalankan disamping itu juga dipengaruhi dari perolehan hasil tangkapan, harga ikan dan besarnya biaya operasional penangkapan (biaya tetap dan biaya tidak tetap) juga dipengaruhi oleh sistem bagi hasil yang ada antara pemilik kapal dan nelayan ABK (anak buah kapal) disamping juga musim penangkapan. Pendapatan atau upah yang diterima ABK dari usaha perikanan tangkap berasal dari sistem bagi hasil dari perolehan hasil tangkapan yang diterima setelah ikan didaratkan (laku dijual), jadi ABK menerima upah dalam bentuk uang. Dari sistem bagi hasil yang berlaku antara usaha alat tangkap yang satu dengan alat tangkap lainnya berbeda, begitu juga antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda pula tergantung dari kebiasan yang berlaku dimasingmasing desanya. Walaupun sistem bagi hasil yang berlaku berbeda tapi seharusnya para pemilik usaha menggunakan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pendapatan yang diterima nelayan penggarap (ABK) dari sistem bagi hasil kelihatannya masih ada yang belum sesuai dengan peraturan yang baku. Kenyataan seperti ini sebenarnya masih banyak dijumpai di daerah nelayan, Bagi nelayan 8

penggarap (ABK) keadaan seperti ini tidak dapat berbuat banyak selain menerima apa adanya, karena perjanjian bagi hasil yang berlaku dan diterima tidak tertulis, antara juragan dan nelayan yang memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan cara bagi hasil yang berlaku saat ini diharapkan instansi yang terkait ikut campur dalam menentukan bagi hasil yang mengena dan menguntungkan kedua belah pihak demi kesinambungan operasi penangkapan dan perlindungan bagi nelayan pandega (ABK). Pemberian upah minimum bagi seorang pandega mulai sekarang dapat dipertimbangkan. Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa pendapatan atau upah nelayan buruh (ABK) dari Sistem bagi hasil dari usaha perikanan tangkap di desa contoh Patanas di Propinsi Jawa Barat yaitu tertinggi di peroleh ABK desa Ilir mendapatkan bagian yang tertinggi yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang. Pendapatan yang diterima ABK dari kedua desa tersebut nampaknya cukup memadai bila dilihat dari segi perundangundangan yang berlaku. Ketentuan UU no 16 tahun 1964 mengatur besarnya bagi hasil antara nelayan penggarap dan pemilik disebutkan:,.minimum 75 persen jika menggunakan layar dan 40 persen dari hasil bersih jika menggunakan perahu motor merupakan bagian nelayan penggarap (ABK). c. Pembiayaan Usaha Penangkapan Ikan Laut Biaya operasional penangkapan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya kapal, jauh dekatnya jelajah kapal menuju lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground), jumlah waktu yang dibutuhkan, serta besar kecilnya penggunaan biaya untuk pengawetan ikan, biaya ransum dan biaya lainnya (biaya administrasi), sedangkan dalam perhitungan biaya yang dikeluarkan dalam usaha perikanan tangkap tidak terlepas dari perhitungan biaya tetap (fixed cost), biaya tidak tetap (variable cost) dan biaya terluang (opportunity cost). Besarnya biaya operasional (biaya tetap dan tidak tetap) antara kapal dengan alat tangkap yang satu dengan kapal alat tangkap lainnya tidak sama. Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan masingmasing desa dalam usaha perikanan tangkap yaitu tertinggi adalah desa Ilir dengan nilai Rp 136.790.000 dan desa Margagiri Rp 39.848.000. d. Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Pada Tabel. 6 menunjukan bahwa kegiatan penangkapan ikan selama satu tahun dari nelayan di dua daerah yang diamati menunjukan bahwa hasil ratarata pendapatan 9

kotor untuk desa Margagiri yaitu sebesar 145.260 kg dengan nilai Rp 98.729.000 dan desa Ilir sebesar 145.260 kg dengan nilai Rp 279.897.000. Sedangkan total biaya operasional yang dikeluarkan selama satu tahun dalam kegiatan penangkapan ikan yaitu untuk desa Margagiri adalah sebesar Rp 39.848.000 dan desa Ilir Rp 136.790.000. Keuntungan usaha penangkapan ikan di Provinsi Jawa Barat khususnya di dua daerah yang diamati disamping dipengaruhi oleh besar kecilnya hasil tangkapan, harga ikan dan besarnya biaya operasional penangkapan maupun biaya tetap dan biaya variabel lainnya juga dipengaruhi oleh sistem bagi hasil yang ada antara pemilik kapal dan nelayan ABK, disamping juga musim. Tabel.6 Ratarata Pendapatan Usaha Perikanan Tangkap Berdasarkan Musim di Desa Contoh Patanas, Propinsi Jabar, Tahun 2000 2001 Uraian I. Desa Margagiri : 1. Jumlah Trip Nilai/trip (Rp) Nilai Kotor (Rp) 2. Biaya oprasional/trip (Rp) Total Biaya Operasional (Rp) Nilai Produksi (1c 2 b) Bagian ABK Bagian Pemilik Biaya Administrasi Pendapatan bersih Pemilik Musim Puncak Sedang Paceklik 48 770.789 36.997.867 197.131 9.462.288 27.535.579 13.217.078*) 14.318.501 107 391.379 41.877.553 186.819 19.989.633 21.887.920 10.506.202*) 11.381.718 55 360.979 19.853.845 189.028 10.396.540 9.457.305 4.539.506*) 4.917.799 Total 1 Tahun 210 98.729.265 39.848.461 58.880.804 28.268.786*) 30.618.018 2.419.063 28.198.956 III. Desa Ilir 1. Jumlah Trip Nilai/trip (Rp) Nilai Kotor (Rp) 2. Biaya oprasional/trip (Rp) Total Biaya Operasional (Rp) Nilai Produksi (1c 2 b) Bagian ABK Bagian Pemilik Biaya Administrasi Pendapatan bersih Pemilik 30 4.566.742 137.022.260 1.315.764 39.472.920 97.529.340 48.764.670*) 48.764.670 54 2.026.986 109.457.244 1.271.010 68.634.540 40.822.704 20.411.352*) 20.411.352 28 1.193.500 33.418.000 1.024.410 28.683.480 4.734.520 2.367.260*) 2.367.260 112 279.897.504 136.790.940 143.106.564 71.543.282*) 71.543.282 1.136.364 70.403.918 Keterangan : *) Jumlah ABK 11 Orang Dari sisi pemilik modal, bagi hasil yang dikeluarkan pada dasarnya merupakan bagian dari upah yang diterima nelayan ABK di satu sisi, dan di sisi lain merupakan biaya variabel yang ditanggung pemilik. Dari Tabel 6 menunjukan bahwa besarnya penerimaan upah nelayan ABK dan pemilik dari kedua daerah berbeda. Pendapatan upah yang 10

diterima nelayan ABK di Margagiri adalah Rp 28.268.000 dan ABK desa Ilir sebsar Rp 71.543.000. Sementara pendapatan bersih pemilik desa Margagiri sebesar Rp 28.198.000 dan pemilik desa Ilir Rp 70.406.000. Rendahnya pendapatan bersih yang diterima baik oleh nelayan ABK maupun pemilik desa Margagiri kemungkinan disebabkan dari trip kegiatan penangkapan yang cukup rendah karena faktor dari alat tangkap yang digunakan yang masih belum cukup memadai dengan kondisi alam setempat dan juga hasil tangkapan ikan yang kurang memiliki nilai ekonomis mengakibatkan pendapatan masih belum memuaskan. Sistem Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Pemasaran hasil produksi adalah mata rantai produksi yang memiliki peranan penting di dalam sub sektor perikanan Hal ini disadari bahwa nelayan menjual hasil tangkapan mereka yang nilai hasil penjualannya digunakan untuk kebutuhan rumahtangganya, memperbaiki peralatan penangkapan dan sebagian di tabung kalau ada kelebihan. Besarnya nilai hasil tangkapan disamping tergantung dari kualitas produksi juga ditentukan oleh lembaga pemasaran yang kepadanya nelayan menjual hasil tangkapannya. Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa dari dua desa contoh patanas ternyata nelayan desa Ilir (73%) menjual hasil tangkapannya di TPI setempat. Sedangkan nelayan desa Margagiri (87,5%) lebih banyak menjual hasil tangkapannya di luar TPI. Hal demikian bisa terjadi kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal seperti; kurang berfungsinya TPI, pelataran sebagai tempatnya memasarkan masih kurang memadai, di TPI belum tersedianya bahan kebutuhan operasional dan peralatan tangkap yang dibutuhkan nelayan atau nelayan sengaja menjual diluar untuk menghindari pungutan retribusi atau ingin mendapatkan uang dengan cepat. Dengan demikian keberadaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) khususnya di Margagiri menunjukan belum berperan secara optimal (Kattenberg, 1978). Tabel 7. Lokasi Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Nelayan di Luar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Contoh Patanas Provinsi Jabar, Tahun 2000 2001 1 2 4 5 Total Desa n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) 1. Margagiri 2. Ilir 8 72,73 2 12,50 10 2 62,50 18,18 4 1 25,00 Keterangan : 1 = Di TPI setempat: 2 = Di TPI luar daerah 3 = Dilokasi pendaratan di luar TPI; 4 = di Laut; 5 = Campuran; 6 = Lainnya 9,09 16 11 11

Dimana TPI yang diharapkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan harga jual nelayan agar nelayan mendapatkan harga yang layak dan pasar tidak oligopsoni. Sedangkan kepada siapa nelayan biasa menjual ikan yang dilakukannya di luar TPI adalah seperti pada Tabel 8, yang menunjukkan bahwa nelayan di desa Margagiri sekitar 62,5 persen menjual kepada pedagang lainnya yaitu pengolah perebusan teri nasi, 25 persen kepada pedagang langganan tanpa ikatan, nelayan desa Ilir 82 persen menjual hasil tangkapannya kepada eksportir langsung. Tabel 8. Pemasaran Ikan Hasil Tangkapan Nelayan) Di Luar TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di Desa Contoh Patanas Propinsi Jabar, Tahun 2000 2001 Desa 1. Margagiri 2. Ilir 1 2 3 4 5 6 Total n % n % n % n % n % n % n % 2 18,2 2 9 12,5 81,9 Keterangan : 1 = Pedagang yang telah memberi modal/pinjaman 2 = Pedagang tanpa ikatan modal 3 = Dijual Langsung ke eksportir 4 = Langganan tanpa ikatan 5 = Lainnya 6 = Campuran 4 25 10 62,5 16 11 Dari Tabel 8, terlihat dari kenyataan yang ada tersebut memberikan gambaran bahwa para nelayan masih banyak ketergantungan kepada pedagang perantara. Rupanya hal ini terjadi karena ketiadaan modal dan biaya operasi nelayan sehingga mereka terpaksa meminjam dari pedagang perantara dengan ikatan khusus. Keadaan ini menguntungkan nelayan yang tinggal jauh dari daerah konsumen. Akan tetapi bila pedagang perantara ini berperan sebagai ijon atau memiliki ikatan tertentu dengan nelayan, hal ini akan merugikan nelayan karena harga ikan biasanya dibawah harga ikan yang berlaku. Dominasi pedagang perantara baik dengan maupun tanpa ikatan berkonotasi bahwa TPI yang diharapkan menguasai pasar produsen masih kalah perannya, dan menunjukan bahwa TPI belum berperan secara optimal (Kattenberg, 1978). Bila asumsi bahwa pedagang perantara benarbenar adalah lintah darat terbukti kebenarannya (Bailey Conner, 1983), maka tingkah laku pasar yang ada kini belum menjamin akan peningkatan nelayan. 12

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Dari kepemilikan unit usaha dan teknologi yang diusahakan usaha perikanan tangkap di desa contoh patanas Provinsi Jawa Barat tahun 2000 2001 masih dalam unit usaha skala kecil. Kenyataan ini mengisyaratkan perkembangan perikanan rakyat sulit diharapkan tanpa adanya bantuan atau kerjasama dari pihak terkait pemerintah maupun pihak swasta baik dari segi permodalan dan pembinaan yang berkesinambungan. 2. Dalam pola/musim penangkapan ikan selain ditentukan dari besar kecilnya usaha penangkapan yang diusahakan, alat tangkap yang digunakan juga keadaan alam dari setiap daerah yang berbeda. Dimana hal ini akan menentukan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan dan pendapatan yang harus diperoleh. Seperti pendapatan yang diterima nelayan yang ada di desa Margagiri lebih rendah dari pendapatan yang diterima nelayan di Ilir. Hal ini walaupun besarnya kapasitas (perahu, mesin) sama akan tetapi alat tangkap yang digunakan berbeda dengan demikian hasil dan jenis ikan tangkapan juga berbeda. Jalan keluar yang harus ditempuh untuk dapat meningkatkan pendapatan yaitu harus meningkatkan usaha penangkapan dengan beralih ke teknologi (alat tangkap) yang lebih maju lagi. 3. Pendapatan atau upah nelayan buruh (ABK) dari sistem bagi hasil dari usaha perikanan tangkap tertinggi di peroleh ABK desa Ilir mendapatkan bagian yang tertinggi yaitu sebesar Rp 10.220.000/orang dan pendapatan ABK desa Margagiri Rp 2.569.000/orang. Bagian atau pendapatan yang diterima ABK sudah memenuhi peraturan sesuai dengan UU. No 16 tahun 1976 tentang sistem bagi hasil, namun perlu ada peningkatan usaha dalam perikanan yang lebih baik lagi dari yang sudah ada sekarang ini. 4. Dalam memasarkan hasil tangkapan nelayan di desa contoh patanas pedagang perantara sebagai lembaga pemasaran ini adalah lembaga yang terbesar peranannya didalam membeli hasil tangkapan nelayan. Bagi pedagang perantara dengan dan tanpa ikatan bila berperan sebagai ijon atau memiliki ikatan tertentu dengan nelayan, hal ini akan merugikan nelayan karena harga ikan biasanya dibawah harga ikan yang berlaku. 5. TPI (Tempat Pelelangan Ikan), dibangun pemerintah adalah salah satu cara untuk meningkatkan harga jual nelayan agar nelayan mendapatkan harga yang layak 13

dan pasar tidak oligopsoni. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa TPI belum berperan secara optimal, jadi peyanan TPI masih perlu ditingkatkan pelayanannya yaitu selain mencatat perahu/kapal yang mendaratkan ikan juga diharapkan menyediakan sarana tempat ikan untuk dijual dengan baik, pengadaan peralatan maupun bahan kebutuhan nelayan untuk melaut. Dari kenyataan ini mengisyaratkan bahwa perkembangan perikanan rakyat sulit diharapkan tanpa adanya bantuan permodalan dan pembinaan yang berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Bailey Conner, (1983). Tinjauan Semula Dua Asumsi terhadap Masalah Pengembangan Perikanan Laut Skala Kecil Di Indonesia. Implikasi Untuk Program Pemerintah dan Penelitian Sosial Ekonomi. Pros. No. 3/SWEP/1983 : 281 287. Fernando. S., 1985 The Marketing System in the SmallScall Fishery of Srilangka; Does the Midddleman Expo in the Fisherman. International Development Recearch Cebtre, 1985, page 185 196. Murniyati, M. Saleh dan P. Sarnianto, 1987. Pengesan Ikan Layang (Decapterus macrosoma Blkr) I. Pengaruh Penundaan Pengesan terhadap daya awet Ikan Layang. Jurnal Penelitian Pasca Panen Perikanan. BPPL Jakarta No. 57 : 112 Nikijuluw. V. P.H. dan Manadiyanto, 1987., Telaah Pelayanan dan Manfaat Koperasi Perikanan bagi nalayan Indonesia, Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, No. 42. Hal : 71 77 Smith I.R. 1982. Small Scale Fisheries of San Migiel Bay. Philippines : The Site Data Collection and methods of Analysis. ICLARM Technical Reports 8. Waluyo Subani dan H.R. Barus, 1988/1989 Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Di Indonesia, Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta, No. 50 Edisi Khusus. Supanto. 1989. Penangkapan tuna segar dengan Armada Semut. Makalah disampaikan pada Lokakarya Perikanan Tuna 5 6 Juni 1989. Tambunan, P.R. dan Syaifrijal, 1972. Pengesan Ikan I. Pengesan Ikan Kakap merah, Yellowfin tuna, tongkol Banyar dan Cakalang. Lembaga Teknologi Perikanan Jakarta. 14