DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I : Laporan Keuangan Bank CIMB Niaga Tahun 2006, 2007 Dan 2008... 83 Lampiran II : Catatan Atas Laporan Keuangan Konsolidasian Bank CIMB Niaga Tahun 2006, 2007 dan 2008... 93 Lampiran III : Laporan Keuangan Bank CIMB Niaga Tahun 2009, 2010 dan 2011... 98 Lampiran IV : Catatan Laporan Keuangan Konsolidasian Bank CIMB NiagaTahun 2009, 2010, dan 2011... 108 Lampiran V : Laporan Keuangan Bank Lippo Tahun 2006 dan 2007... 111 Lampiran VI : Data Return Saham Bank Lippo... 125 Lampiran VII : Data Return Saham Bank Niaga... 127 xv
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Jumlah bank umum di Indonesia pada Oktober 1988 tercatat 111 bank. Jumlah ini terus bertambah setelah dikeluarkannya paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88), menjadi 240 bank pada tahun 1994-1995. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun 1996 meningkat menjadi 9.310 BPR, dari 8.041 BPR pada tahun 1988. Kemudian pada tahun 1997, karena adanya krisis moneter, Pemerintah dan Bank Indonesia mencoba untuk menanggulangi krisis tersebut dengan melakukan rekapitalisasi perbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan mengambilalih kepemilikan 7 bank lainnya. Tabel I.1 Perkembangan Jumlah Bank (1998-2011) Jumlah 1998 2000 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Bank 208 151 141 133 131 130 130 124 121 122 120 Umum* Kantor 7.661 7.113 7.001 7.835 8.236 9.110 9.680 10.868 12.837 13.837 14.797 Sumber : Statistik Perbankan Indonesia berbagai tahun, Bank Indonesia (diolah) *) termasuk bank persero, bank umum swasta nasional devisa, dan bank asing Pemerintah melakukan tindakan untuk membekukan kegiatan operasi perbankan khususnya bank swasta disebabkan pinjaman luar negeri yang diperoleh membengkak lebih dari tiga kali lipat akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar naik secara drastis dan penyaluran kredit diberikan kepada industri terkait yang memiliki hubungan kepemilikan dengan bank tersebut yang berakhir dengan macet, sedangkan untuk bank pemerintah (BUMN) dilakukan restrukturisasi 1
dengan cara penggabungan (merger) dan rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi pemerintah untuk menambah modal bank (Samosir, 2003). Menurut Lyroudi (2006) dalam Kusumaningsih (2010), strategi eksternal dengan merger dan akuisisi lebih cepat menunjukkan peningkatan dibanding strategi internal. Hal ini dianggap sesuai dengan tuntutan persaingan yang mengharuskan perusahaan untuk menghasilkan peningkatan dengan cepat. Perusahaan melakukan merger sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan juga sebagai cara bertahan dalam kompetisi. Hitt (2002) menambahkan alasan perusahaan lebih memilih merger dan akuisisi karena dengan strategi tersebut, tujuan perusahaan akan cepat tercapai dibandingkan jika perusahaan memulai usahanya dari awal. Nilai perusahaan juga akan meningkat setelah melakukan merger dan akuisisi dibanding jika perusahaan dijual secara terpisah. Manfaat lain dari merger dan akuisisi adalah adanya peningkatan kemampuan manajerial, transfer teknologi dan efisiensi biaya. Sedangkan untuk mengukur kinerja perusahaan, Helfert (2000) mengemukakan bahwa yang berkepentingan dalam mengukur kinerja perusahaan adalah investor, manajemen, pemerintah dan masyarakat luas. Kinerja bank dapat diketahui dari tingkat kesehatan bank. Tingkat kesehatan bank yang diukur dari beberapa aspek, yaitu: capital, assets, management, earnings, dan liquidity, atau disebut dengan CAMEL yang menggunakan rasio keuangan, dimaksudkan sebagai tolak ukur bagi pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. Di Indonesia, dampak krisis perbankan yang terjadi tidak hanya mengakibatkan rasio keuangan perbankan menjadi memburuk, namun juga 2
berdampak terhadap perubahan struktur kepemilikan bank dari sebelumnya milik swasta / publik menjadi milik negara / pemerintah karena adanya program rekapitalisasi ke sejumlah bank (bank rekap) melalui penyertaan modal pemerintah dan meningkatnya jumlah lembar saham bank-bank publik dari semula paling besar kurang lima miliar lembar saham sebelum rekapitalisasi, kemudian membengkak hingga menjadi ratusan miliar lembar saham. Pembengkakan jumlah lembar saham pasca rekapitalisasi tersebut secara otomatis membuat nilai buku per lembar saham turun drastis dan harga saham perbankan juga menyesuaikan diri mengalami penurunan dari level sekitar Rp 1.000 menjadi relatif rendah hingga di bawah Rp 50 per lembar saham sebagai akibat terjadinya ketimpangan (gap) yang sangat lebar antara harga saham maupun jumlah lembar sahamnya. Untuk saham bank yang memiliki harga relatif rendah jelas mengalami kesulitan untuk bergerak naik maupun turun kendati bank tersebut telah mengalami peningkatan kinerja secara substansial, sebaliknya bank yang memiliki harga saham tinggi telah terbaca oleh investor sudah amat tinggi, meskipun sebenarnya dari aspek valuasi (valuation) masih cukup bagus (Susiyanto, 2004) dalam (Hamzah, 2006). Krisis yang terjadi di industri perbankan ini membuat pemerintah khawatir dengan bank-bank yang masih beroperasi, khususnya bank swasta. Karena jika salah satu dari bank yang ada mengalami kasus yang mengharuskannya dilikuidasi, maka akan berdampak pada bank-bank lain. Untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing yang memerlukan struktur 3
perbankan yang kuat pula. Salah satu yang dapat dicapai untuk menciptakan struktur perbankan yang kuat adalah melalui penataan struktur kepemilikan bank yaitu salah satunya kebijakan Kepemilikan Tunggal (Single Presence Policy) pada Perbankan Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 14/24/PBI/2012. Single Presence Policy yaitu kebijakan yang mengharuskan pemilik mayoritas bank memiliki kepemilikan tunggal pada bank-bank yang beroperasi di Indonesia. Implikasinya, tidak boleh ada pemegang saham yang sama memiliki beberapa bank di Indonesia (Puspitawati, 2010). Sedangkan tujuan dari penerapan kebijakan ini adalah melahirkan bank-bank yang kuat, kokoh dan besar yang diharapkan dapat bersaing di tingkat internasional juga tidak ada monopoli di dalamnya serta menekan penguasaan asing pada perbankan Indonesia (Bank Indonesia, 2010). Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/2006 tentang Kepemilikan Tunggal pada perbankan nasional, Bank Indonesia (BI) pada pertengahan 2006 memberikan tiga opsi bagi para pemegang saham pengendali (mayoritas) yang memiliki lebih dari satu bank, yaitu: 1) Mengurangi kepemilikan di bank lain sehingga hanya menjadi satu pemegang saham pengendali (mayoritas) pada satu bank. 2) Melakukan merger atau konsolidasi dari bank-bank yang dimiliki saham mayoritasnya. 3) Membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (bank holding company) di Indonesia. 4
Sebagai bukti ketaatan terhadap peraturan yang berlaku, tanggal 1 November 2008 menjadi hari efektif pertama setelah merger bagi PT. Bank Niaga Tbk. (selanjutnya Bank Niaga) dan PT. Bank Lippo Tbk. (selanjutnya Bank Lippo) yang telah bergabung menjadi PT. Bank CIMB Niaga Tbk. (selanjutnya Bank CIMB Niaga), merger ini sudah disetujui oleh Bank Indonesia pada tanggal 15 Oktober 2008. Penggabungan kedua bank tersebut merupakan opsi terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang diambil oleh pemegang saham dalam rangka mematuhi kebijakan BI khususnya mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal atau Single Presence Policy (SPP). Hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2008, pemegang saham kedua bank menyetujui rencana penggabungan atau merger (Merger Report CIMB Niaga, 2009). Beberapa bulan sebelum merger dilaksanakan tepatnya pada tanggal 28 Mei 2008, nama Bank Niaga berubah menjadi Bank CIMB Niaga sesuai dengan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. Bergabungnya Bank Lippo ke dalam Bank CIMB Niaga merupakan sebuah lompatan besar di sektor perbankan Asia Tenggara. Penggabungan ini juga menjadikan Bank CIMB Niaga sebagai bank terbesar ke-5 sari sisi aset, pendanaan, kredit dan luasnya jaringan cabang. Perubahan-perubahan yang terjadi setelah melakukan merger dan akuisisi biasanya akan tampak pada kinerja perusahaan dan penampilan finansialnya. Pasca merger dan akuisisi, kondisi dan posisi keuangan perusahaan mengalami perubahan. Hal ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Untuk menilai bagaimana keberhasilan merger 5
dan akuisisi yang dilakukan, dapat dilihat dari kinerja perusahaan setelah melakukan merger dan akuisisi terutama kinerja keuangan baik bagi perusahaan pengakuisisi maupun perusahaan diakuisisi. Dasar logika dari pengukuran berdasarkan akuntansi adalah bahwa jika skala bertambah besar ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari gabungan aktivitas-aktivitas yang simultan, maka laba perusahaan juga semakin meningkat. Sehingga kinerja perusahaan pasca merger dan akuisisi seharusnya semakin baik dibandingkan dengan sebelum merger dan akuisisi (Wangi, 2010). Berdasarkan penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus pada pengaruh merger dan akuisisi dengan membandingkan kinerja keuangan, nilai perusahaan yang diukur dengan harga saham dan jumlah saham yang diperdagangkan juga abnormal return untuk melihat reaksi pasar sebelum dan sesudah merger. Kinerja keuangan diukur dengan menggunakan rasio CAMEL. Oleh karena itu peneliti mengambil judul Kinerja Keuangan dan Kinerja Pasar PT. Bank CIMB NiagaTbk. : Analisis Sebelum dan Sesudah Merger. I.2 Rumusan Masalah Penelitian Keputusan merger dan akuisisi juga diambil oleh perusahaan-perusahaan perbankan di Indonesia. Dari 101 bank yang merger dan akuisisi, 71 bank dilikuidasi dan hanya 30 bank yang masih beroperasi itupun tidak berlangsung lama. Sebab, mereka hanya mampu bertahan hingga tahun 1998. Sebanyak 18 bank dibekukan dan dilikuidasi. Selebihnya 12 bank, masih beroperasi hingga tahun 2001 (InfoBank 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno (1998) 6
dalam Kusmargiani (2006) diketahui bahwa dari 57 kasus merger dan akuisisi selama tahun 1990-1997, 10 kasus diantaranya merupakan merger dan akuisisi perusahaan perbankan. Payamta dan Nursholihah (2001) dalam penelitiannya yang diukur dengan rasio CAMEL, tidak terdapat perbedaan tingkat kinerja bank sebelum dan sesudah merger. Bank CIMB Niaga yang sebelumnya adalah Bank Niaga dan Bank Lippo melakukan merger demi memenuhi kebijakan Bank Indonesia mengenai kepemilikan tunggal di Indonesia, dimana pemegang saham mayoritas memilih jalan merger demi kepentingan seluruh stakeholder. Sehingga dapat diajukan rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana perkembangan kinerja Bank CIMB Niaga setelah merger. Apakah terdapat peningkatan kemakmuran yang diperoleh mantan pemegang saham bank legacy dan adakah reaksi pasar terhadap informasi merger tersebut. I.3 Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui perkembangan kinerja Bank CIMB Niaga. Sebelum dan sesudah melakukan proses merger selama kurang lebih 5 tahun. Dalam penelitian ini digunakan data dua tahun sebelum merger atau tahun 2006 dan 2007 dan dua tahun sesudah merger atau tahun 2009 dan 2010. Dengan harapan dapat dilihat perkembangan atas keberhasilan merger Bank CIMB Niaga ini. 2) Untuk menilai keberhasilan merger yang dilihat dari peningkatan nilai ekuitas yang dinikmati oleh para pemegang saham. 7