7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan 2.2 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

PERANCANGAN PROGRAM. 6.5 Visi, Misi dan Tujuan Pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Barat

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

6 PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KEWILAYAHAN. 6.1 Urgensi Sektor Basis Bagi Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Kabupaten Belitung

TOTAL BIAYA. 1. Keuntungan bersih R/C 2, PP 1, ROI 0, BEP

PRODUKSI PERIKANAN 1. Produksi Perikanan Tangkap No. Kecamatan Produksi (Ton) Ket. Jumlah 12,154.14

5 HASIL PENELITIAN. Tahun. Gambar 8. Perkembangan jumlah alat tangkap purse seine di kota Sibolga tahun

BERITA NEGARA. No.955, 2011 KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Juknis. DAK. Tahun 2012 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

BAB I PENDAHULUAN. perikanan skala kecil. Menurut Hermawan (2005) cit. Rahmi,dkk (2013), hanya

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

EVALUASI USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU. Oleh. T Ersti Yulika Sari ABSTRAK

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMBAHASAN 5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

Produktivitas dan Kelayakan Usaha Bagan Perahu di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara

BAB III DESKRIPSI AREA

III. METODE PENELITIAN

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Kriteria Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 2.2 Fungsi dan Peranan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Dana Alokasi Khusus. Tahun Penggunaan Petunjuk Teknis.

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Provinsi Jambi memiliki sumberdaya perikanan yang beragam dengan jumlah

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

SELEKSI UNIT PENANGKAPAN IKAN DI KABUPATEN MAJENE PROPINSI SULAWESI BARAT Selection of Fishing Unit in Majene Regency, West Celebes

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan Nusantara 2.2 Kegiatan Operasional di Pelabuhan Perikanan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari daerah perairan yang mengandung

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI KABUPATEN BANYUASIN PROVINSI SUMATERA SELATAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Telah menjadi kesepakatan nasional dalam pembangunan ekonomi di daerah baik tingkat

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sumber Daya Lestari Perikanan Gillnet

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7 SOLUSI KEBIJAKAN YANG DITERAPKAN PEMERINTAH TERKAIT SISTEM BAGI HASIL NELAYAN DAN PELELANGAN

METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 3.4 Metode Pengumpulan Data

C E =... 8 FPI =... 9 P

STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN JARING BOBO DI OHOI SATHEAN KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA. Jacomina Tahapary, Erwin Tanjaya

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Perikanan Tangkap

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Pelabuhan Perikanan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkumpulnya nelayan dan pedagang-pedagang ikan atau pembeli ikan dalam rangka

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PENDAHULUAN PRESENTASI TUGAS AKHIR 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

URUSAN KELAUTAN DAN PERIKANAN YANG MERUPAKAN KEWENANGAN DAERAH PROVINSI Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

6. KINERJA OPERASIONAL PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

10. Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan daerah.

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

Transkripsi:

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap. Ketiga alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan. Sehingga didapat alat tangkap pilihan yang terbaik untuk perikanan pelagis. 7.1.1 Analisis aspek biologi Berdasarkan analisis aspek biologi (Tabel 16) dengan kriteria penilaian lama waktu musim penangkapan ikan pelagis, maka dapat dilihat bahwa jaring insang hanyut, rawai hanyut dan bagan tancap memiliki musim pelagis optimum yang hampir sama lamanya. Pada unit penangkapan ikan kembung, tembang dan tongkol rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap memiliki musim penangkapan yang hampir sama sepanjang tahun. Oleh karena itu operasional dari ketiga alat tangkap ini melakukan penangkapan pada saat hasil tangkapan maksimal agar keuntungan yang didapat juga maksimal. Berdasarkan komposisi target spesies dan ukuran hasil tangkapan yang dilihat dari ukuran panjang tubuh ikan pelagis, maka rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Hal ini karena alat tangkap rawai hanyut menggunakan umpan yang mengakibatkan ikan pelagis lebih tertarik. Hal ini lebih diperkuat oleh pendapat Sadhori (1985) mengatakan umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam usaha penangkapan baik masalah jenis umpan, sifat umpan maupun cara ikan memakan umpan. Berdasarkan ukuran hasil tangkapan target spesies yang didapat dari hasil wawancara, ukuran dominan yang ditangkap dari ketiga alat tangkap yaitu ikan kembung berukuran 20-24 cm, ikan tembang 13-19 cm dan ikan tongkol 15-22 cm. Menurut Rosa dan Laevastu (1959) ukuran panjang ikan tembang dewasa di perairan India antara 8-18 cm, di perairan Philipina antara 7-14 cm, dan di perairan Indo Pasifik 11-12 cm serta Selat Madura, panjang ikan tembang yang tertangkap berkisar antara 14-20,5 cm dengan ukuran

95 panjang pertama matang gonad 16,3 cm (betina) dan 15,5 cm (jantan), kembung ukuran panjang matang gonad sekitar 22 24 cm dan tongkol ukuran panjang matang gonadnya sekitar 28 30 cm (Yusfiandayani 2004). Secara umum ikan pelagis yang ditangkap telah mengalami dewasa kelamin dan mampu bereproduksi dan pada ukuran tersebut berada pada tingkat kedewasaan secara seksual sehingga memberikan peluang bagi ikan pelagis untuk bereproduksi terlebih dahulu sebelum ditangkap. Secara keseluruhan hasil dari penilaian aspek biologi yang kemudian distandarisasi dengan fungsi nilai, maka diperoleh hasil bahwa alat tangkap rawai hanyut lebih baik dibandingkan jaring hanyut dan bagan tancap. 7.1.2 Analisis aspek teknis Berdasarkan analisis aspek teknis (Tabel 17), rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Setelah dilakukan standarisasi kepada ketiga alat tangkap ini rawai hanyut menempati prioritas pertama untuk kategori produksi per tahun, produksi per trip dan produksi per tenaga kerja. Jika dilihat pada aspek biologi maka dari ukuran hasil tangkapan dan komposisi ikan pelagis yang tertangkap terlihat bahwa rawai hanyut memiliki ukuran panjang ikan dan komposisi ikan pelagis yang lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Hal ini menurut hasil wawancara dengan nelayan rawai hanyut dikarenakan daerah penangkapan pelagis yang jauh dari daerah biasa jaring insang hanyut dan bagan tancap beroperasi atau daerah padat tangkap. Operasi rawai hanyut dilakukan selama 3 hari dengan setting sebanyak 6 9 kali, dibandingkan dengan jaring insang hanyut yang hanya melakukan penangkapan pada daerah dekat pantai dengan setting 1 kali dalam 1 trip. Penggunaan umpan pada rawai hanyut yang menyebabkan ikan pelagis tertarik untuk memakan umpan pada pancing rawai dan produksi per tahun dari rawai hanyut lebih besar dari jaring insang hanyut dan bagan tancap sebesar 48000 kg per tahunnya sehingga rawai hanyut lebih unggul dari jaring insang hanyut dan bagan tancap dan beroperasi pada saat musim puncak yaitu selama 9 bulan.

96 7.1.3 Analisis aspek sosial Berdasarkan aspek sosial (Tabel 18), semua alat memiliki sistem bagi hasil yang sama, yaitu untuk nelayan pemilik kapal 50 % dan untuk nelayan ABK 50 % dari total pendapatan setelah dikurangi dengan total biaya produksi. Pada umumnya juru mudi dari alat tangkap rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap ini memiliki kapal sendiri, jadi secara langsung hasil dari 50 % diperoleh oleh juru mudinya. Walaupun rawai hanyut lebih banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang hanyut dan bagan tancap, tetapi penghasilan rawai hanyut yang tinggi mampu melebihi penghasilan jaring insang hanyut dan bagan tancap. Seperti yang sudah dibahas pada aspek biologi dan teknis, ternyata rawai hanyut memiliki jumlah produksi yang melebihi dari jaring insang hanyut dan bagan tancap, sehingga pendapatan rawai hanyut mampu melebihi pendapatan dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Sementara itu tingkat penguasaan teknologi dari hasil wawancara didapat nilai yang berimbang atau hampir sama antara rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap karena nelayan sudah beberapa tahun menggunakan alat tangkap dan tidak ada kesulitan yang berarti. Perawatan pada alat tangkap jaring insang hanyut dan bagan tancap cukup sulit sehingga dengan adanya rawai hanyut ini mendorong nelayan untuk beralih ke rawai hanyut. Jadi berdasarkan hasil dari standarisasi aspek sosial didapat bahwa rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. 7.1.4 Analisis aspek ekonomi Berdasarkan analisis aspek ekonomi (Tabel 19), maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Seperti yang telah dianalisis pada beberapa aspek sebelumnya bahwa produksi rawai hanyut yang lebih besar dari jaring insang hanyut dan bagan tancap menyebabkan penerimaan rawai hanyut juga lebih besar daripada penerimaan jaring insang hanyut dan bagan tancap.

97 7.1.5 Analisis aspek keramahan lingkungan Berdasarkan aspek analisis keramahan lingkungan (Tabel 20), maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut memiliki tingkat keramahan lingkungan yang lebih tinggi daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Menurut Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa rawai hanyut pada umumnya dioperasikan pada perairan yang dangkal untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis (seperti tongkol, cakalang, layang, selar, dan baby tuna). Alat tangkap pancing ini termasuk kategori ramah lingkungan karena walaupun dioperasikan dikolom perairan, namun tidak merusak habitat ikan, karena dimensinya hanya mempengaruhi atau mencakup areal yang kecil dan alat tangkap ini juga sangat selektif terhadap jenis dan ukuran ikan, sehingga tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi ikan. Najamudin (2006) yang menyatakan alat tangkap bagan termasuk alat tangkap yang tidak selektif dimana menangkap banyak jenis ikan dengan ukuran mulai dari kecil sampai besar. Menurut pendapat Samuel (2003) mengatakan bahwa alat tangkap jaring tergolong alat tangkap yang produktif, tetapi tidak ramah terhadap keseimbangan populasi ikan yang ditangkap. Alat tangkap rawai tergolong dalam kategori tidak ramah terhadap keseimbangan populasi ikan. Namun dari sisi lain, alat tangkap ini tidak menangkap biomassa ikan dalam jumlah besar sehingga tidak ada kekhawatiran alat tersebut merusak keseimbangan populasi ikan yang ditangkap. 7.1.6 Analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan Dilihat dari masing-masing aspek rawai hanyut menempati urutan pertama (Tabel 21). Hal ini dikarenakan rawai hanyut secara aspek biologi lebih baik dari segi komposisi target spesies dan juga ukuran hasil tangkapan utama. Berdasarkan aspek teknis produksi dari rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap. Sedangkan berdasarkan aspek sosial pendapatan nelayan rawai hanyut dan kemungkinan kepemilikannya lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap dan menurut aspek ekonomi berdasarkan kriteria efisiensi usaha penerimaan rawai hanyut lebih baik daripada jaring insang hanyut dan bagan tancap serta yang terakhir,

98 menurut aspek keramahan lingkungan berdasarkan kriteria penilaian rawai hanyut lebih ramah lingkungan daripada bagan tancap dan jaring insang hanyut. 7.2 Tinjauan Aspek Finansial Hasil analisis aspek biologi, teknis, sosial, ekonomi dan keramahan lingkungan, ketiga alat tangkap yaitu rawai hanyut, jaring insang hanyut dan bagan tancap, mendapatkan hasil bahwa rawai hanyut lebih baik dari jaring insang hanyut dan bagan tancap. Setelah didapat alat tangkap yang terpilih adalah rawai hanyut tidak serta merta nelayan Sungsang mengganti teknologi penangkapan jaring insang hanyut dan bagan tancap menjadi teknologi penangkapan rawai hanyut. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi nelayan bahwa teknologi penangkapan rawai hanyut merupakan teknologi yang efektif, efisien dan berkelanjutan untuk perikanan pelagis. Diharapkan pula pembuat Kebijakan dapat membantu pengoptimalan usaha perikanan pelagis di Sungsang. Setelah dianalisis menggunakan metode skoring kemudian dianalisis kelayakannya sebagai syarat pengembangan suatu usaha. Oleh karena itu dilakukan analisis finansial untuk menilai kelayakan dari alat tangkap yang terpilih yaitu rawai hanyut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial, maka dapat dilihat bahwa rawai hanyut dikatakan layak untuk dikembangkan karena semua syarat dalam NPV, IRR, BEP, Net B/C, dan ROI sebagai kriteria kelayakan suatu usaha dapat dipenuhi. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dan penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 8.607 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.164,5 pada unit penangkapan rawai hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan

99 dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,9985 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,95 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan rawai hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 72,15 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 55.923.365 dari 55.855.075 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (68.290,79), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 55.923.365. Net B/C sebesar 1,22 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan rawai hanyut. Nilai IRR menjadi 14,95 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan rawai hanyut tersebut berkurang sebesar 33,05 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 14,15 % pada rawai hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 14,15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.607,5 pada unit penangkapan rawai hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan rawai hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,69 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan rawai hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 14,15 %.

100 Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dan penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 7.050 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 4.230 pada unit penangkapan jaring insang hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,80 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan jaring insang hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 41 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 46.654.674 dari 46.437.216 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (217.458), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 46.654.674. Net B/C sebesar 0,99 dari biaya yang dikeluarkan oleh nelayan jaring insang hanyut. Nilai IRR menjadi 14,80 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan rawai hanyut tersebut berkurang sebesar 32,2 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 15 % pada jaring insang hanyut. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 15 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi

101 Rp 6.800 pada unit penangkapan jaring insang hanyut menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan jaring insang hanyut di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,80 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan jaring insang hanyut tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 15 %. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dan penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga solar dan minyak tanah maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 % dari harga solar Rp. 5.000 menjadi Rp 9.650 dan minyak tanah Rp. 3.000 menjadi Rp. 5.790 pada unit penangkapan bagan tancap menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,995 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,83 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bagan tancap tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat kenaikan harga solar dan minyak tanah sebesar 93 %. Hasil perbandingan sebelum dan sesudah perubahan harga solar dan minyak tanah menyebabkan nilai NPV, Net B/C dan IRR ikut berubah. Perubahan nilai NPV sebesar Rp. 214.825.734 dari 214.477.312 setelah mengalami kenaikan solar dan minyak tanah menjadi Rp (348.422), menunjukkan bahwa net benefit yang akan diperoleh pada akhir tahun proyek yang dihitung pada akhir tahun proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini mengalami penurunan sebesar Rp. 214.825.734. Net B/C sebesar 2,95 dari

102 biaya yang dikeluarkan oleh nelayan bagan tancap. Nilai IRR menjadi 14,83 % menyebabkan keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan bagan tancap tersebut berkurang sebesar 68,04 % dari investasi yang ditanamkan nelayan setelah terjadinya kenaikan harga solar dan minyak tanah. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas diperoleh nilai untuk penurunan harga ikan sebesar 18,5 % pada bagan tancap. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan harga ikan, maka kriteria investasi akan mengalami perubahan. Perhitungan analisis sensitivitas terhadap penurunan harga ikan sebesar 18,5 % dari harga ikan Rp. 8.000 menjadi Rp 6.520 pada unit penangkapan bagan tancap menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah negatif. Hal ini menunjukkan usaha penangkapan bagan tancap di Kabupaten Banyuasin tidak layak untuk dilakukan dan dikembangkan. Net B/C yang dihasilkan dalam analisis kurang dari 1, yaitu 0,99 berarti usaha ini tidak memberikan manfaat bersih, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang dihasilkan 14,96 % berarti usaha ini mengalami kerugian. Berdasarkan dari hasil perhitungan tersebut, maka usaha penangkapan bagan tancap tidak layak untuk dikembangkan apabila terdapat penurunan harga ikan sebesar 14,96 %. 7.3 Optimasi Alokasi Armada Penangkapan Ikan Pelagis Untuk mencapai hasil yang optimal baik dari aspek biologi maupun ekonomi maka dilakukan optimasi untuk menentukan alokasi alat tangkap yang optimum digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan pelagis di Sungsang. Tujuan dari alokasi unit penangkapan ikan ini untuk mengatur komposisi masing-masing alat tangkap yang layak untuk dikembangkan di Sungsang. Alokasi jumlah unit penangkapan rawai hanyut yang optimum di Sungsang adalah sebanyak 51 unit. Jumlah tersebut mengalami penambahan sebanyak 31 unit dari jumlah yang ada sekarang yaitu sebanyak 20 unit. Hal ini juga menununjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah unit penangkapan. Sedangkan jumlah alat tangkap jaring insang hanyut yang ada di Kabupaten Sungsang adalah 90 unit maka dilakukan pembatasan sebesar 45 unit dan alat tangkap bagan tancap yang ada dewasa ini sebesar 110 unit dialokasikan menjadi 55 unit hal ini dilakukan untuk mentransfer teknologi secara bertahap

103 alat penangkapan ikan dari alat yang ada ke alat penangkapan ikan yang baik. Selain penambahan jumlah armada, yang seharusnya dilakukan adalah dengan memperluas jangkauan kapal dan memperbaiki struktur usaha melalui peningkatan sumberdaya manusia (SDM) serta dengan jumlah nelayan atau tenaga kerja yang terlalu banyak harus dilakukan reposisi atau beralih profesi seperti budidaya laut, pengolahan ikan dikarenakan jumlah nelayan yang banyak sedangkan areal penangkapan yang kecil dan sumberdaya ikan yang hampir habis (overfishing). Memang dalam usaha yang baru ini akan dibutuhkan selain modal investasi dan kerja adalah keterampilan nelayan. Untuk mengatasi kebutuhan modal, nelayan dapat memperoleh dari hasil penjualan kapal dan alat tangkapnya. Agar mereka lebih kuat dalam permodalan, mereka dapat berkelompok membentuk kelompok usaha bersama. Sebagai konsekuensi kebijakan tersebut, pemerintah juga perlu memberikan kredit usaha kepada nelayan. 7.4 Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Hasil SWOT (Tabel 37) dapat dipergunakan sebagai arahan dan kebijakan dari program pengembangan perikanan sebagai teknologi baru dalam usaha perikanan pelagis. Urutan kebijakan berdasarkan hasil SWOT sebagai berikut : 1. Optimalisasi usaha perikanan pelagis. Meningkatnya kebutuhan dan harga pasar yang tiap tahun terus meningkat merupakan salah satu alasan nelayan untuk terus mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis yang ada di Kabupaten Banyuasin khususnya oleh nelayan Sungsang. Menurut hasil survei perikanan di kawasan pesisir Kabupaten Banyuasin estimasi potensi perikanan laut di wilayah ini bisa mencapai 102.300 ton/tahun dengan jumlah ikan pelagis 60.000 ton/tahun, ikan demersal 35.300 ton/tahun, untuk meningkatkan produksi perikanan pelagis di Sungsang maka teknologi pilihan rawai hanyut perlu dikembangkan agar kedepannya nelayan Sungsang jauh lebih baik dalam hal penguasaan teknologi maupun tingkat kesejahteraan ekonomi nelayan. Pengoptimalan perikanan yang dimaksud adalah peningkatan produksi secara rasional dengan memperhatikan sumberdaya pelagis yang ada. Pemanfaatan sumberdaya

104 ikan yang belum optimal di wilayah ini salah satunya disebabkan karena skala usaha yang dikembangkan masih terbatas untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Pemikiran untuk mengembangkan skala usaha dan melakukan bisnis dalam arti luas, belum banyak dipikirkan nelayan. Oleh karena itu diperlukan adanya pendampingan oleh pemerintah, LSM, swasta dan perguruan tinggi, baik dalam bentuk bantuan ataupun dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Prinsip dari pengoptimalan dengan memperhatikan sumberdaya adalah tetap memperhatikan pengelolaan sumberdaya perikanan karena keterpaduan dalam pengelolaan bukan hanya dapat melindungi keberadaan sumberdayanya saja tetapi juga dapat menjamin kelangsungan usaha masyarakat nelayan akhirnya menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan. Mencegah terjadinya penurunan stok dan meningkatkan usaha-usaha dalam perbaikan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengendalikan jumlah dan kemampuan armada yang beroperasi di wilayah perairan yang bersangkutan, karena peningkatan jumlah armada rawai hanyut yang tidak terkendali dapat secara cepat menurunkan catch per unit effort (CPUE), yang dapat berdampak lanjut pada penurunan pendapatan nelayan, analisis ini didukung oleh hasil penelitian di perairan Australia oleh Lynch dan Garvey (2005). Untuk mempertahankan stok ikan dan hasil tangkapan juga diperlukan pembenahan perundangan dan regulasi di samping penerapan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian yang benar (Priyono dan Sumiono 1997). Murdiyanto (2004) menyebutkan bahwa dalam perikanan tangkap, tindakan pengelolaan (action) sebagai mekanisme untuk mengatur, mengendalikan dan mempertahankan kondisi sumberdaya ikan berupa biomass dan produktivitas agar tetap pada level yang diinginkan adalah dengan mengatur berapa banyak ikan yang harus ditangkap, ukuran berapa atau umur berapa sebaiknya ikan ditangkap dan kapan harus melakukan penangkapan. Pemanfaatan rawai hanyut dalam operasi penangkapan sumberdaya ikan pelagis akan sangat menentukan keberlanjutan pembangunan kelautan di sub sektor perikanan tangkap.

105 2. Pengembangan usaha perikanan pelagis di jalur 2. Pengembangan perikanan pelagis di jalur 2 diharapkan nelayan dapat memanfaatkan jalur 2 (6-12 mil) karena keadaan di jalur 1 (3-6 mil) yang padat tangkap. Karena sumberdaya ikan di jalur 1 sudah mengalami degradasi maka disarankan melakukan pengembangan ikan pelagis di jalur 2 yang belum dimanfaatkan secara optimal dengan cara memberikan bantuan modal untuk peningkatan skala usaha. Berdasarkan model pengelolaan in-shore dan off-shore, alokasi potensi biomassa optimal pada perairan pantai (in-shore) adalah 180 ton/tahun sedangkan pada perairan lepas pantai (off-shore) sebesar 771 ton/tahun. Sehingga memungkinkan untuk dikembangkan di jalur 2. Penggunaan trawl sering dipakai oleh nelayan yang berasal dari daerah Jambi dan Pulau Karimun yang sering beroperasi di daerah ini. Pemakaian alat tangkap trawl ini sangat meresahkan para nelayan lokal karena menurunkan produksi ikan nelayan. Jaring trawl ini dioperasikan dengan menggunakan kapal besar dan sering beroperasi sampai ke pinggir pantai bahkan ke muara sungai, akibatnya nelayan lokal yang menggunakan jenis kapal dan perahu yang berukuran kecil dan menangkap ikan di bagian pantai dan muara-muara sungai menjadi terganggu. Oleh karena itu Pemerintah harus melakukan pengaturan, pengendalian, dan penerbitan perijinan di bidang perikanan sesuai dengan UU No. 31/2004 tentang perikanan dan peraturan ketentuan lainnya yang berlaku. Sebagaimana disebutkan oleh Kusumastanto (2002) bahwa pada era reformasi seperti saat ini dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pengamanan perairan laut Indonesia melalui pendekatan hukum yang kuat, yaitu pengaturan penggunaan alat tangkap pukat harimau, meningkatkan kemampuan pengawasan dengan sanksi yang keras, mengatur penangkapan ikan sesuai dengan karakteristik dan kelestarian sumberdayanya (daerah operasi penangkapan, musim, ukuran kapal) dan manfaatnya harus untuk rakyat kecil dan masyarakat lokal. 3. Peningkatan manajemen usaha perikanan pelagis. Peningkatan usaha ini mencakup proses pra-proses-pasca penangkapan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuasin terus mengupayakan meningkatkan

106 kualitas sumberdaya nelayan dengan berbagai program antara lain : bimbingan teknologi pengawetan/pengolahan ikan, bantuan kredit modal usaha untuk pengolahan hasil perikanan, bantuan sarana dan prasarana penunjang kegiatan penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan melakukan promosi hasil produksi pengolahan ikan. Karena nelayan sebagai pelaku langsung perikanan di lapangan perlu dikembangkan kemampuan dan keterampilannya, baik dari segi kewirausahaan maupun teknis penangkapan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia di wilayah pesisir Kabupaten Banyuasin dikarenakan beberapa hal, diantaranya tingkat pendidikan yang rendah, penguasaan IPTEK yang rendah, rendahnya kemampuan manajerial serta keterbatasan teknologi yang digunakan. Kemampuan SDM nelayan yang rendah baik keterampilan, penguasaan teknologi, pola pikir dan lainlain menyebabkan hampir statisnya kegiatan penangkapan yang mereka lakukan. Hasil tangkapan tetap dan cenderung menurun akibat kerusakan lingkungan karena daerah tangkapan yang ada di wilayah ini terus menjadi lahan tangkapan bagi semua orang. Keinginan untuk maju dan berkembang banyak dimiliki, akan tetapi pola pikir dan kemampuan serta pengetahuan mereka belum mampu mencari solusi yang terbaik. Pembinaan pengamanan mutu hasil tangkapan tidak hanya ditentukan oleh satu mata rantai produksi, namun dari kegiatan penangkapan, penampungan hingga pemasaran berpotensi untuk menurunkan kualitas hasil tangkapan. Sejalan dengan perkembangan IPTEK dan pertumbuhan ekonomi, tuntutan konsumen terhadap produk perikanan semakin meningkat. Masalah yang dihadapi oleh nelayan pelagis adalah kurangnya kesadaran bahwa mengolah hasil tangkapan dengan baik adalah hal yang sangat penting untuk meningkatkan nilai jual dari hasil tangkapan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan nelayan, pengumpul dan pengolah/ perusahaan perikanan oleh pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuasin dan stakeholder yang terkait. Mekanismenya dapat dilakukan dengan membuat standard kualitas produk serta merancang program-program pembinaan mutu kepada nelayan maupun pengumpul sebagai mitra usaha.

107 Pengembangan usaha perikanan di jalur 2 membutuhkan modal untuk peningkatan kekuatan mesin kapal dan operasional yang tinggi dan masalah ketergantungan pada tengkulak merupakan masalah serius yang selama ini dihadapi oleh para nelayan di Sungsang. Adanya ketergantungan tersebut mengakibatkan pendapatan para nelayan tidak maksimal, karena mereka diharuskan menjual hasil tangkapannya kepada pedagang ikan dengan harga yang ditentukan sepihak. Ketergantungan ini terjadi bukan karena keinginan para nelayan, tetapi akibat keterbatasan modal untuk pengadaan peralatan tangkap maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang memaksa mereka harus meminjam kepada para tengkulak. Kondisi ini akan terus berlanjut dan akan menjadi lingkaran setan yang akan terusmenerus menelikung para nelayan pada situasi yang tidak berdaya sampai ada alternatif lain yang bisa membantu mereka untuk memberikan pinjaman modal untuk pengadaan alat tangkap dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka ketika musim paceklik. 4. Peningkatan skala usaha armada penangkapan ikan pelagis. Besarnya jumlah armada di jalur 1 (3-6 mil) dan rendahnya kekuatan mesin kapal untuk memanfaatkan jalur 2 (6-12 mil), maka diharapkan dengan mengembangkan armada penangkapan di jalur 2 (6-12 mil) dapat dimanfaatkan. Rawai hanyut merupakan jenis alat tangkap yang statis tetapi fishing ground yang jauh memerlukan peningkatan skala usaha armada penangkapan. Peningkatan skala usaha armada penangkapan disini adalah meningkatkan kekuatan mesin yaitu minimal 30 PK dengan ukuran kapal 30 GT karena selama ini nelayan rawai hanyut masih menggunakan armada dengan kekuatan mesin 24 PK dengan ukuran kapal < 10GT. Peningkatan skala usaha armada diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan produksi yang ada sekarang. Dengan menambah skala armada maka perlu diperhatikan pula perizinan kapal karena kapal diatas 30 GT harus memiliki Surat Izin Berlayar dari pusat. Pengembangan kegiatan perikanan tangkap harus diarahkan pada peningkatan kapasitas armada dan teknologi penangkapan untuk dapat mencapai fishing ground yang lebih jauh dalam rangka mengurangi tekanan stok di perairan fishing ground

108 yang ada sekarang, untuk itu perlu didukung penyediaan sarana dan prasarana tangkap serta peningkatan teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan (Nikijuluw et al. 2003). Bantuan upaya peningkatan skala armada terus diupayakan baik dari pusat maupun dari provinsi. Seperti program Direktorat Kapal dan Alat Penangkapan Ikan yaitu program optimalisasi perikanan tangkap adalah dengan memberikan bantuan kapal dengan ukuran > 15 GT dan juga alat tangkap. Demikian juga dari Provinsi Sumatera Selatan memiliki program optimalisasi usaha perikanan tangkap yang juga memberikan bantuan berupa armada penangkapan dan alat tangkap. Oleh karena itu peran aktif dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuasin untuk mendapatkan bantuan diatas harus terus ditingkatkan. 5. Pembenahan fasilitas sarana dan prasarana perikanan. Perkembangan aktivitas penangkapan ikan telah menyebabkan makin banyaknya usaha perikanan. Armada yang digunakan oleh nelayan pada umumnya berupa kapal motor dan perahu. Sebagian besar dari armada ini terdapat di Kecamatan Banyuasin II yaitu mencapai 90,9 % dari armada yang ada dan 86,4 % dari armada yang ada berupa perahu. Dari kondisi ini sangat jelas bahwa armada yang ada di wilayah ini masih sangat kurang dan harus ditingkatkan lagi. Disamping keterbatasan armada, di wilayah pesisir Kabupaten Banyuasin ini belum ada galangan kapal, pasar ikan atau TPI yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya. Pengembangan sarana dan prasarana perikanan diarahkan untuk melengkapi dan meningkatkan fasilitas dasar, fungsional dan pengadaan fasilitas penunjang. Pengembangan sarana dan prasarana perikanan dilakukan secara komprehensif dan bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten dan sesuai dengan skala kebutuhan masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana akan sangat membantu percepatan perkembangan wilayah Kabupaten Banyuasin. Pemerintah berjanji untuk memenuhi fasilitas-fasilitas yang menunjang kelancaran usaha perikanan melalui proyek pengembangan yang dilaksanakan tahun 2006 dengan sumber dana yang digunakan berasal dari Anggaran

109 pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah dana yang turun untuk proyek pengembangan tersebut adalah sebesar Rp. 2.744.228.438 atau 84,8 %. Kegiatan pengembangan PPI Sungsang dilakukan pada areal seluas 4 ha dan ditambah areal pendukung kegiatan perikanan tangkap yang ada. Rencana pengembangan PPI di Sungsang dengan melengkapi fasilitasfasilitas guna menunjang kelancaran usaha perikanan, industri perikanan dan kegiatan atau usaha lain yang berkaitan dengan perikanan. Fasilitas tersebut dibagi dua yaitu fasilitas dasar yang merupakan fasilitas pokok yang harus ada dan berfungsi untuk melindungi pelabuhan dari gangguan alam. Fasilitas dasar ini meliputi : dermaga bongkar, dermaga muat, dermaga tambat, areal daratan pangkalan pendaratan, jaringan jalan, jaringan drainase induk dan sekunder. Fasilitas fungsional yang berfungsi memberikan pelayanan dan manfaat langsung yang diperlukan untuk kegiatan operasional suatu PPI, fasilitas fungsional ini terdiri dari : fasilitas produksi yaitu tempat pelelangan ikan beserta fasilitas penunjangnya seperti kantor, ruang penimbangan, gudang dan tempat perbekalan dan toilet umum, fasilitas perbekalan terdiri dari : pabrik es (rencana jangka panjang), tangki BBM, instalasi air bersih, gudang untuk penyimpanan es dan kios KUD dan fasilitas pemeliharaan/perbaikan (rencana jangka panjang) terdiri dari : gudang peralatan, bengkel, pelataran perbaikan mesin dan alat tangkap dan dok/galangan kapal. Sampai saat ini fasilitas-fasilitas jangka pendek baru sebagian kecil terealisasi dan fasilitas jangka panjang belum terealisasi pengadaannya. Guna menunjang pengembangan usaha perikanan pelagis, fasilitas yang paling penting untuk segera direalisasikan penggunaannya adalah kios BBM, air bersih dan derma bongkar muat.