PENGARUH VARIASI JUMLAH DAN JENIS BULKING AGENT PADA PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI *

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH LAJU AERASI DAN PENAMBAHAN INOKULAN PADA PENGOMPOSAN LIMBAH SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI *

PENGARUH AERASI INTERMITTENT DAN JENIS BAHAN TERHADAP DEGRADASI BAHAN ORGANIK PADA PROSES PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK DENGAN KOMPOSTER MINI

Kinerja Pengkomposan Limbah Ternak Sapi Perah Dengan Variasi Bulking Agent Dan Tinggi Tumpukan Dengan Aerasi Pasif

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

KEMAMPUAN KOTORAN SAPI DAN EM4 UNTUK MENDEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DAN NILAI EKONOMIS DALAM PENGOMPOSAN

TINJAUAN PUSTAKA II.

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU KOMPOS (SAMPAH ORGANIK PASAR, AMPAS TAHU, DAN RUMEN SAPI) TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOMPOS

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

PEMBEKALAN KKN -PENGOLAHAN LIMBAH PIAT UGM- Bidang Energi dan Pengelolaan Limbah Pusat Inovasi Agroteknologi UGM 2017

PEMBUATAN KOMPOS SECARA AEROB DENGAN BULKING AGENT SEKAM PADI

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI AKTIVATOR DALAM PROSES PENGOMPOSAN SEKAM PADI (Oryza sativa)

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI JENIS STARTER PADA PROSES PENGOMPOSAN ECENG GONDOK Eichhornia Crassipes (MART.) SOLMS.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TEKNIK PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK. Oleh : Zumrodi, S.Si, MIL

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN KOMPOS DENGAN MENGGUNAKAN LIMBAH PADAT ORGANIK (SAMPAH SAYURAN DAN AMPAS TEBU)

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

MAKALAH PENDAMPING : PARALEL A PENGEMBANGAN PROSES DEGRADASI SAMPAH ORGANIK UNTUK PRODUKSI BIOGAS DAN PUPUK

PENGOMPOSAN SEKAM PADI MENGGUNAKAN SLURRY DARI FERMENTASI LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT

II. TINJAUAN PUSTAKA. media tanamnya. Budidaya tanaman dengan hidroponik memiliki banyak

PENGARUH UKURAN BAHAN TERHADAP KOMPOS PADA PEMANFAATAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos (Green House ) Fakultas

Uji Pembentukan Biogas dari Sampah Pasar Dengan Penambahan Kotoran Ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN SAMPAH ELI ROHAETI

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

EFEKTIVITAS PENGKOMPOSAN SAMPAH KOTA DENGAN MENGGUNAKAN KOMPOSTER SKALA RUMAH TANGGA

POTENSI PEMANFAATAN LIMBAH ORGANIK DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN KOMPOS DAN BIOGAS

JENIS DAN DOSIS AKTIVATOR PADA PEMBUATAN KOMPOS BERBAHAN BAKU MAKROALGA

PENGARUH PENAMBAHAN SERPIHAN KAYU TERHADAP KUALITAS KOMPOS SAMPAH ORGANIK SEJENIS DALAM KOMPOSTER RUMAH TANGGA

JURNAL INTEGRASI PROSES. Website:

3. METODE PENELITIAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

BAB I PENDAHULUAN. limbah, mulai dari limbah industri makanan hingga industri furnitur yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Green House

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

III. METODE PENELITIAN

Uji Mikrobiologis Kompos Organik dari Sampah Organik dengan Penambahan Limbah Tomat dan EM-4 SKRIPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA

PROSIDING SNTK TOPI 2013 ISSN Pekanbaru, 27 November 2013

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karakteristik Pembakaran Briket Arang Tongkol Jagung

OPTIMASI PEMATANGAN KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN CAMPURAN LINDI DAN BIOAKTIVATOR STARDEC

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung dikategorikan sebagai kota yang sedang berkembang,

Bab II Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Penampungan Sampah Sementara (TPS) untuk selanjutnya dibuang ke. yang muncul berkepanjangan antara pemerintah daerah dan masyarakat

TATA CARA PENELITIAN

Pengaruh Nisbah C/N pada Campuran Feses Sapi Perah... Prima Adi Yoga

HASIL DAN PEMBAHASAN

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN

MEMBUAT PUPUK ORGANIK PADAT

Penambahan Bulking Agent untuk Meningkatkan Kualitas Kompos Sampah Sayur dengan Variasi Metode Pengomposan

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

Transkripsi:

TOPIK D PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 PENGARUH VARIASI JUMLAH DAN JENIS BULKING AGENT PADA PENGOMPOSAN LIMBAH ORGANIK SAYURAN DENGAN KOMPOSTER MINI * Joko Nugroho, W.K., Nur Sigit Bintoro,dan Tri Nurkayanti Jurusan Teknik Pertanian, FTP UGM Telp/fax: 0274-563542, email: jknugroho@ugm.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh variasi jumlah bulking agent berupa pupuk kandang sebanyak 20%, 30%, 40%, 50% dari total campuran, variasi jenis bulking agent berupa serut kayu, jerami, sabut kelapa, sekam padi, dan ampas tebu, serta variasi penambahan inokulan terhadap pengomposan limbah organik berupa sayuran mentah, dengan menggunakan komposter berkapasitas 80 liter yang memiliki pengaduk mekanik. Kadar air awal campuran berkisar 50-65% dengan aerasi aktif sebesar 0,8 L/menit.Kg berat kering, dengan lama pengomposan 240 jam untuk setiap variasi. Hasil penelitian menunjukkan pengomposan dengan bulking pupuk kandang sebanyak 40%, maupun pengomposan dengan bulking agent jerami mampu mencapai suhu maksimum tertinggi diantara variasi lainnya, sedangkan penambahan inokulan tidak meningkatkan pencapaian suhu maksimum akan tetapi meningkatkan laju degradasi bahan organik selama pengomposan. Kata kunci: komposter mini, pupuk kandang, bulking agent, limbah sayuran PENDAHULUAN Masyarakat kita umumnya terbiasa membuang limbahnya dengan menggunakan jasa pengangkut sampah di lingkungan perumahan dan menimbunnya di tempat pembuangan akhir (TPA), membuang sampah ke sungai, atau membakarnya. Padahal metode penanganan sampah secara konvensional ini berdampak buruk bagi lingkungan, terlebih cara pembakaran yang justru menimbulkan efek global warming. Penimbunan di TPA banyak menimbulkan masalah kesehatan maupun sosial bagi pemukiman di sekitarnya, serta sulit untuk mencari tempat baru untuk pembuangan apabila TPA tersebut sudah penuh. Padahal sekitar 70-80% dari limbah rumah tangga merupakan bahan organik dengan kadar air berkisar 80-90% yang sangat baik untuk dijadikan kompos (Anonim, 2010). Proses pengomposan merupakan proses pengolahan sampah secara biologi dengan memanfaatkan kemampuan mikrooganisme dalam proses penguraiannya, dan materi yang dihasilkan adalah kompos (Harold, 1965). Pengkomposan yang baik ialah dengan penambahan oksigen yang cukup sehingga proses yang berlangsung berupa fermentasi oksidasi. Faktor yang dibutuhkan selama proses pengomposan adalah: bahan kompos sebagai substrat, amandemen (tambahan bahan organik), dan bahan balokan sebagai media untuk membuat pori (Haug, 1980). Sedangkan yang mempengaruhi kesuksesan proses pengomposan antara lain adalah suhu, ketersediaan oksigen dan pembalikan, ph, ukuran bahan yang diomposkan, kadar air dan udara tumpukan kompos, perbandingan C/N (rasio karbon/nitrogen) serta karakter bahan yang dikomposkan (Harold, 1965). Bulking agent adalah bahan tambahan yang menyebabkan tumpukan material menjadi terlihat lebih besar/ mengembang (bulk). Robert Rynk (1992) menyebutkan bahwa bulking agent adalah bahan tambahan yang ditambahkan dengan cara menggiling atau mencampurkan dengan material kompos, sehingga membentuk struktur, porositas, dan tekstur yang mempengaruhi proses pengomposan karena keterkaitannya dengan aerasi. Fungsi bulking agent adalah menyediakan struktur pendukung bagi tumpukan bahan, menyediakan pori udara diantara partikel, meningkatkan ukuran ruang pori, dan memudahkan pergerakan udara melewati campuran bahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk pengaruh variasi jumlah bulking agent berupa pupuk kandang sebanyak 20%, 30%, 40%, 50% dari total campuran, variasi jenis bulking agent berupa serut kayu, * Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perteta 2010 di 606

PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 TOPIK D jerami, sabut kelapa, sekam padi, dan ampas tebu, serta variasi penambahan inokulan terhadap pengomposan limbah organik METODOLOGI PENELITIAN Bahan utama yang dikomposkan adalah limbah sayuran mentah yang diperoleh setiap 24 jam dari industri boga skala kecil, berupa kupasan wortel, sisa sawi, daun kacang panjang, bayam, kol, selada, tomat, mentimun, dan kecambah yang memiliki kadar air awal 78-92%. Bahan tambahan yang dicampurkan ke bahan utama adalah kompos matang dari kotoran sapi, yang berfungsi sebagai sumber mikrobia awal sekaligus bulking agent, bekatul sebagai sumber protein, dan serut kayu/ jerami/ sabut kelapa/ sekam padi/ ampas tebu sebagai bulking agent utama. Pengomposan menggunakan komposter dengan volume 80 liter berbahan dasar plat besi dan dilapisi styrofoam dengan ketebalan 5 mm pada setiap sisi komposter sebagai penahan panas. Sebuah pengaduk mekanik dipasang secara horisontal, yang digerakkan secara manual dengan engkol dari sisi luar komposter. Aerasi dilakukan secara aktif melalui pompa udara berkapasitas 0,8 L/menit.Kg berat kering yang dihubungkan dengan pipa fleksibel berdiameter 3 mm dari bawah komposter. Bahan awal sayuran dilakukan pengecilan bahan secara manual hingga ukuran 1-5 cm, kemudian mencampurkan semua bahan tambahan sesuai perhitungan untuk memperoleh kadar air awal 50-65%. Selanjutnya kadar air dan berat diukur pada awal dan akhir. Nilau ph, suhu, dan kenampakan diamati setiap 24 jam selama 240 jam pengomposan. Sedangkan variasi penambahan inokulan dengan merk S, hanya untuk pengomposan dengan bulking agent sekam padi. Nilai ph diukur dengan menggunakan digital water analizer (1gr/10ml) (R. Kulcu, 2003) untuk sampel yang sebelumnya didiamkan selama 60 menit (Nengwu, 2005). Suhu diukur dengan termometer digital. Kadar air diukur dengan metode pengovenan bahan pada suhu 105 C selama 24 jam, dan koefisien degradasi diketahui dari pengukuran kadar abu dengan pengabuan pada suhu 600 C selama 3 jam (Miyatake, 2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu kompos Fase suhu pengomposan terdiri atas 3 bagian, yakni fase mesofilik (<40 o C), fase termofilik (40-70 o C), dan fase pendinginan (menurun dari puncak hingga mencapai suhu ruang) (Haug, 1993). Perubahan suhu kompos untuk variasi jumlah bulking pupuk kandang, jenis bulking agent, maupun pengaruh penambahan inokulan dapat dilihat pada Gambar 1. Suhu maksimum yang diperoleh pada pengomposan dengan bulking agent berupa pupuk kandang 20%; 30%; 40% dan 50% berurutan adalah 61,1; 61,6; 66,2; dan 65,6 o C. Sedangkan suhu maksimum pada pengomposan dengan bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu berturut-turut adalah 66,2; 67,1; 60,7; 54,3; dan 65,1 o C. Pada pengomposan dengan penambahan inokulan maupun tanpa penambahan inokulan, suhu puncaknya sama yakni 54,3 o C. Suhu pengkomposan dengan tambahan inokulan cenderung lebih tinggi di awal, sejajar, kemudian menjadi sedikit lebih rendah di jam ke 96-192 jam pengomposan dibanding tanpa inokulan. Hal ini diduga karena inokulan merk S mengandung banyak mikroba mesofilik, sehingga bahan yang mudah terdegradasi akan lebih mudah habis pada tahap awal pengkomposan. Hal ini didukung dengan nilai koefisien degradasi dengan penambahan inokulan sedikit lebih tinggi dibanding tanpa inokulan. 607

TOPIK D PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 Gambar 1. Perbandingan suhu terhadap waktu variasi pengomposan: (A) jumlah bulking agent berupa pupuk kandang 20; 30; 40; 50%, (B) jenis bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu, (C) bulking agent sekam tanpa inokulan; sekam dengan inokulan. Kenaikan suhu bahan kompos merupakan hasil dari respirasi mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik sehingga menghasilkan energi dalam bentuk panas, karbon dioksida, dan air. Suhu maksimum dapat dianggap sebagai interpretasi proses dekomposisi dari satu bahan tertentu atau dekomposisi gabungan sejumlah bahan. Suhu maksimum merupakan indikator dari tingkat aktifitas biologi dalam bahan kompos, dimana umumnya terjadi pada fase termofilik. Struktur bulking agent mempengaruhi kemampuan aerasi dalam tumpukan. Udara bebas yang mengandung 21% oksigen yang dibutuhkan selama respirasi, harus disebarkan secara merata di setiap bagian bahan untuk memastikan ketersediaan oksigen bagi metabolisme mikroba yang mendekomposisi bahan. Nilai ph Nilai ph merupakan salah satu indikator dari proses komposting. Pada awalnya ph akan turun yang menunjukkan proses degradasi bahan organik menjadi asam organik. Seiring proses dekomposisi bahan, asam organik di konversi menjadi metana dan CO 2 sehingga ph tumpukan menjadi basa sebagai hasil dari degradasi protein. Gambar 2 menunjukkan perubahan ph pada bahan kompos. 608

PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 TOPIK D Gambar 2. Perbandingan ph terhadap waktu variasi pengomposan: (A) jumlah bulking agent berupa pupuk kandang 20; 30; 40; 50%, (B) jenis bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu, (C) bulking agent sekam tanpa inokulan; sekam dengan inokulan. Nilai ph pada bahan kompos non inokulan setelah jame ke 6 lebih tinggi dibanding tanpa inokulan. Hal ini menggambarkan mikroba terus memecah bahan organik menjadi asam organik kemudian menjadi amonia yang meningkatkan nilai ph secara siginifikan. Hal ini diduga karena dominansi mikroba mesofilik di awal pengomposan (terbukti pencapaian suhu awal dengan inokulan > suhu awal tanpa inokulan) yang menjadikan starter ph yang tinggi pada tahap awal pengomposan. Penurunan ph setelah melalui fase puncak merupakan fenomena pematangan dari bahan kompos. Dalam penelitian ini, waktu pengkomposan dibatasi untuk 240 jam pertama sehingga kompos belum dikatakan siap digunakan, namun periode awal dari pengkomposan sudah terlewati. Sehingga proses pengkomposan ini tinggal menunggu pematangan saja. Dalam penelitian ini, penambahan limbah sayur sebanyak 250 g setiap 24jam selama 240 jam diasumsikan sesuai dengan kenyataan di lapangan, dimana limbah organik diproduksi setiap hari baik skala industri maupun skala rumah tangga. 609

TOPIK D PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 Kadar air Bahan utama dalam pengomposan ini adalah limbah sayuran, yang memiliki kadar air 80-90% (wb). Untuk memperoleh kadar air awal campuran bahan 50-65%, dilakukan kalkulasi bulking agent dan bahan tambahan lainnya. Kadar air tersebut dipilih karena merupakan kondisi yang optimum untuk perkembangan mikrobia. Keseimbangan antara ruang pori dan jumlah air memungkinkan mikrobia berkembang dengan baik dalam mendegradasi bahan organik. Perubahan kadar air kompos dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan kadar air akhir terhadap kadar air awal pada variasi pengomposan: (A) jumlah bulking agent berupa pupuk kandang 20; 30; 40; 50%, (B) jenis bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu, (C) bulking agent sekam tanpa inokulan; dan sekam dengan inokulan Jumlah BA %) BA Inokulan 20 31,2 Serut kayu -10,8 Inokulan 2,1 30 5,5 Jerami 4,0 40-10,8 Sabut kelapa -15,6 50 16,1 Sekam 2,1 Ampas tahu 11,8 Kadar air bernilai positif menunjukkan terjadi kenaikan kadar air pada akhir pengomposan, dan begitu pula sebaliknya. Selama penelitian ini, kadar air relatif aman untuk pertumbuhan mikroba. Kadar air yang terlalu rendah akan menyebabkan lambatnya pertumbuhan mikroba, sedangkan kadar air yang terlalu tinggi menghambat sirkulasi oksigen ke dalam pori tumpukan sehingga mencegah pertambahan populasi dan metabolisme mikroba aerob, yang pada akhirnya memicu fermentasi anaerob yang menimbulkan bau (dari akumulasi metana), lindi, dan belatung. Perubahan berat dan koefisien degradasi bahan organik Perubahan berat total yang menurun merupakan indikator kehilangan massa bahan organik sebagai hasil respirasi. Perubahan berat dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai negatif mengindikasikan penurunan berat, dan sebaliknya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terjadi pengurangan berat yang bervariasi pada berbagai perlakuan. Pengurangan berat ini disebabkan massa air yang terbawa oleh udara yang dialirkan ke dalam tumpukan, maupun hasil respirasi mikroba yang menghasilkan panas dan uap air sehingga kedua faktor ini menyebabkan berat totalnya menjadi berkurang. Pada Tabel 3 terjadi penyimpangan koefisien degradasi bahan organik pada variasi pengomposan bulking pupuk kandang 50% yang bernilai negatif, dengan kata lain terjadi peningkatan kadar abu dari bahan awal ke bahan akhir. Hal ini menyimpang dari teori maupun fakta yang berkaitan dengan variasi 50% ini. Suhu dan ph tidak berbeda nyata dengan variasi lainnya, sedangkan kadar air meningkat dan berat menurun selama proses pengomposan. Maka seharusnya koefisien degradasi bernilai positif, penyimpangan ini diduga akibat pengambilan sample yang didominasi lignin sehingga kadar abu justru meningkat dari kadar abu awal. Tabel 2. Perubahan berat akhir terhadap berat awal pada variasi pengomposan: (A) jumlah bulking agent berupa pupuk kandang 20; 30; 40; 50%, (B) jenis bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu, (C) bulking agent sekam tanpa inokulan; dan sekam dengan inokulan Jumlah BA %) BA Inokulan 20 42,2 Serut kayu 29,5 Inokulan 2,1 30 27,8 Jerami 24,0 40 29,5 Sabut kelapa 24,2 50 47,5 Sekam 21,4 Ampas tahu 19,6 610

PROSIDING Seminar Nasional Perteta 2010 TOPIK D Tabel 3. Perubahan degradasi pada variasi pengomposan: (A) jumlah bulking agent berupa pupuk kandang 20; 30; 40; 50%, (B) jenis bulking agent berupa serut kayu; jerami; sabut kelapa; sekam padi; ampas tebu, (C) bulking agent sekam tanpa inokulan; dan sekam dengan inokulan Jumlah BA %) Degrasi BO BA Degrasi BO Inokulan 20 5,5 Serut kayu 4,2 Inokulan 38,5 30 6,8 Jerami 36,0 40 4,2 Sabut kelapa 78,6 50 1,2 Sekam 36,4 Ampas tahu 66,6 Degrasi BO Perubahan berat dan koefisien degradasi bahan organik dipengaruhi oleh karakteristik bahan yang dikomposkan, baik bulking agent maupun kehomogenan campuran sayuran yang dikomposkan. Meskipun suhu puncak variasi pupuk kandang 40% lebih tinggi, ternyata koefisien degradasinya lebih rendah di banding pupuk kandang 30%, meskipun suhu puncak bulking jerami lebih tinggi, ternyata koefisien degradasinya lebih rendah dibanding sabut kelapa, dan meskipun suhu secara umum lebih tinggi pada pengomposan tanpa inokulan, ternyata koefisien degradasinya lebih rendah dibanding pengomposan dengan penambahan inokulan. Diduga degradasi bahan lebih ditentukan oleh aktifitas mikroba mesofilik (aktif pada suhu <40 o C) yang justru letal jika suhu terlampau tinggi, ini yang menyebabkan pencapaian suhu puncak tidak sebanding dengan koefisien degradasinya. KESIMPULAN Jumlah, jenis, dan karakteristik bulking agent mempengaruhi suhu, ph, perubahan berat, kadar air, serta koefisien degradasi pengomposan. Suhu puncak tertinggi untuk tiap variasi dicapai oleh pengomposan dengan jumlah bulking pupuk kandang 40%, jenis bulking agent jerami, dan tanpa penambahan inokulan. Pengurangan berat tertinggi dicapai oleh pengomposan dengan jumlah bulking pupuk kandang 50%, jenis bulking agent serut kayu, dan tanpa penambahan inokulan. Koefisien degradasi tertinggi dicapai oleh pengomposan dengan jumlah bulking pupuk kandang 30%, jenis bulking agent sabut kelapa, dan sekam dengan penambahan inokulan. Diduga degradasi bahan lebih ditentukan oleh aktifitas mikroba mesofilik. DAFTAR PUSTKA Anonim, 2010. Media Suara Komunitas Bandar Lampung. http://www.suarakomunitas.net diakses 14 September 2009. Harold, G.B. 1965. Composting. World Health Organization. Geneva. Haug, R.T. 1980. Compost Engineering. Principle dan Practice. USA. Haug, R.T., 1993. The Practical Handbook of Compost Engineering. Lewis Publisher, Boca Raton, FL Miyatake, Fumihito dan Iwabuchi, Kzunori, 2006. Effect of compost temperature on oxygen uptake rate specific growth rate and enzymatic activity of microorganisms in dairy cattle manure.bioresour. Technol. 97, 961-965. Nengwu Zhu, 2005. Effect of low initial C/N ratio on aerobic composting of swine manure with rice straw. Bioresource Technology 98, pp 9-13 Rynk, Robert. 1992. On Farm Composting Handbook. Natural Resources, Agriculture, and Engineering Service (NRAES). Ithaca, New York. pp 8-44. 611