I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA SUTARSONO

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok

Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi

3. KERANGKA PEMIKIRAN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I PENDAHULUAN. Pada era otonomi daerah ini pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kantor, hingga pembelian barang dan jasa untuk kantor pemerintah. Bahkan sektor

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perhatian khusus pada kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

EXECUTIVE SUMMARY PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN,

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan inovasi di bidang finansial yang semakin canggih.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 teia11

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2013

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam proses pembangunan. Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem desentralisasi sejak tahun 2001, yang meliputi desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi politik diwujudkan dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri. Desentralisasi di Indonesia bergulir seiring dengan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut turunnya pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 33 tahun. Setelah krisis ekonomi 1997, muncul gerakan masa yang menuntut demokratisasi sebagai bentuk ketidakpuasan sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru. Pada saat yang bersamaan timbul ancaman disintegrasi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam menuntut pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan yang lebih besar. Untuk mengatasi permasalahan diatas, akhirnya diterapkan desentralisasi secara luas.

2 Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Salah satu diantara urusan yang didesentralisasikan adalah penyediaan pelayanan publik, termasuk didalamnya penyediaan infrastruktur, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Menurut Undang- Undang No.38 tahun 2007, penyediaan infrastruktur merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Infrastruktur mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Berbagai studi empiris telah membuktikan bahwa infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Setboonsarng 2005, Kwon 2001), serta pengurangan ketimpangan antar wilayah (D emurger 2001, De dan Gosh 2005). Hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penting bagi pengusaha untuk berinvestasi, dari sembilan sub-indeks tata kelola, kualitas infrastruktur mempunyai bobot paling besar, yaitu 36 persen pada tahun 2007 dan 38 persen pada tahun 2010. Percepatan penyediaan infrastruktur tidak hanya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pada gilirannya akan menekan tingkat kemiskinan, tetapi pada skala makro, penyediaan infrastruktur juga diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan peringkat investasi pada akhir tahun 2011 akan mendorong arus modal masuk, sehingga diperlukan suatu perangkat, salah satunya infrastruktur, untuk menstimulasi modal masuk tersebut menjadi investasi jangka panjang. Hal ini akan mengurangi

3 terjadinya resiko bubble yang dapat memicu krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Setelah 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, penyediaan infrastruktur di Indonesia ternyata belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin dari laporan The Global Competitiveness Report tahun 2010-2011 (The World Economic Forum 2010), dari 139 negara yang dikaji, Indonesia menempati peringkat 90 untuk aspek infrastruktur secara keseluruhan, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing berada pada peringkat 27 dan 46. Dalam hal kualitas jalan, peringkat Indonesia adalah 84, jauh lebih rendah daripada Malaysia (21) dan Thailand (36). Demikian juga halnya dengan kualitas listrik, Indonesia ditempatkan di peringkat 97, sementara Malaysia peringkat 40 dan Thailand peringkat 42. Hasil studi TKED 2011 juga menunjukkan bahwa dari lima jenis infrastruktur yang dikaji, hanya infrastruktur telepon dan listrik keduanya bukan merupakan kewenangan Pemda yang dinilai relatif baik oleh pelaku usaha, masing-masing hanya dinilai buruk oleh sekitar 22 persen dan 34 persen pelaku usaha. Sedangkan infastruktur jalan, air bersih dan lampu penerangan jalan yang menjadi tanggung jawab Pemda masih dipandang buruk oleh lebih dari 40 persen pelaku usaha. Selain itu, selama empat tahun terakhir penyediaan infrastruktur di kabupaten/kota yang meliputi jalan, air bersih, dan listrik justru menunjukkan sebaran yang semakin lebar. Interquartile range (IQR) yang merupakan ukuran penyebaran data selama periode 2007-2010 menunjukkan trend peningkatan (Gambar 1). IQR jalan meningkat dari 0,4800 pada tahun 2008 menjadi 0,4927 pada tahun 2010. Sedangkan IQR air bersih dan listrik masing-masing meningkat dari 29,7904 pada 2007 menjadi 39,4408 pada 2010 untuk air bersih dan dari 236,683 menjadi 367,347 untuk listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi telah meningkatkan ketimpangan penyediaan infrastruktur antar kabupaten/kota di Indonesia. Indikasi diatas didukung oleh pendapat Bardhan dan Mookherjee (2006) yang menyatakan bahwa desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka pengelolaan perekonomian,

4 sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting. North (1990) dan Bardhan (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting dalam perekonomian secara umum. 12 10 8 AksesJalan(Km/Km2) 6 4 2 0 IQR: 0,4920 IQR: 0,4800 IQR: 0,4831 IQR: 0,4927 2007 2008 2009 2010 (a) Jalan 2500 3500 2000 3000 2500 AksesAirBersih(m3/rumahtangga) 1500 1000 500 0 0 IQR: 29,7904 IQR: 29,7818 IQR: 38,4874 IQR: 39,4408 IQR: 236,683 IQR: 237,070 IQR: 252,448 IQR: 367,347 2007 2008 2009 2010 2007 2008 2009 2010 (c) Air bersih (b) Listrik Sumber: BPS, diolah AksesListrik(Kwh/penduduk) 2000 1500 1000 500 Gambar 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode 2007-2010 Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. Selain itu, karena analisis dilakukan dengan data agregat sementara terdapat 61 variabel, sehingga arah hubungan tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi bisa berbeda antara data agregat dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan arah hubungan setiap variabel penyusun indeks bisa mempunyai arah hubungan

5 dengan pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga pengagregatan berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung tata kelola dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan atau investasi. 1.2 Perumusan Masalah Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia menarik untuk dikaji. Pertama, desentralisasi di Indonesia dilaksanakan secara big bang tanpa ada penyiapan tata kelola pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang didesentralisasikan. Padahal tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting sebagai supporting system bagi pengelolaan perekonomian daerah. Kedua, studi empiris mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih sedikit. Studi tentang tata kelola di Indonesia kebanyakan bersifat teoritis dan politis. Sehingga belum diketahui secara empiris bagaimana peran tata kelola pemerintahan terhadap proses pembangunan di Indonesia. Hal ini karena terkendala ketersediaan data. Sejak tahun 2007 KPPOD telah melaksanakan studi TKED yang memotret tata kelola pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007 KPPOD melakukan studi TKED di 15 provinsi, sedangkan tahun 2008 studi hanya dilakukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2010 KKPOD melakukan studi yang sama di 19 provinsi dengan tiga provinsi yang sama dengan studi tahun 2007, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sehingga data mengenai tata kelola pemerintahan secara nasional sekarang ini sudah tersedia. Ketiga, hasil kajian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2010) dengan data agregat tidak ditemukan pengaruh langsung tata kelola terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberi kesan bahwa tata kelola pemerintahan daerah tidak penting sehingga peningkatan kualitas institusi melalui reformasi

6 birokrasi tidak perlu dilakukan, sebagaimana menjadi salah satu implikasi kebijakan penelitian tersebut untuk mengurangi fokus pada kapasitas pemerintah daerah. Untuk itu, perlu dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam berdasarkan data disagregat, yaitu variabel-variabel tata kelola pemerintahannya, bagaimana sebenarnya pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, apakah tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, atau berpengaruh tetapi secara tidak langsung, dalam hal ini melalui jalur infrastruktur. Dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tata kelola pemerintahan daerah dan infrastruktur di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan tata kelola pemerintahan daerah dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan dan infrastruktur di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran mengenai hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi, baik hubungan secara langsung maupun melalui penyediaan infrastruktur di Indonesia. Pembahasan tata kelola pemerintahan secara disagregat, baik jenis infrastruktur maupun variabel tata kelola pemerintahan daerah, diharapkan akan dapat lebih memperjelas implikasi kebijakan yang dapat diambil peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi serta pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk

7 mendorong penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota tahun 2010 di 19 provinsi, sesuai dengan cakupan studi TKED yang dilaksanakan oleh KPPOD. Daftar provinsi cakupan penelitian adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Khusus untuk gambaran penyediaan infrastruktur, analisis dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010, yang mencakup 497 kabupaten/kota. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintahan pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 61 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Hal ini mengacu pada penggolongan infrastruktur menurut Bank Dunia. Infrastruktur ekonomi dasar lain seperti telekomunikasi, dan sanitasi tidak dicakup karena ketidaktersediaan data di tingkat kabupaten/kota.