HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA SUTARSONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA SUTARSONO"

Transkripsi

1 HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA SUTARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Sutarsono H

4

5 ABSTRACT SUTARSONO. A Nexus between Governance, Infrastructure and Economic Growth in Indonesia. Under supervision of BAMBANG JUANDA and NOER AZAM ACHSANI. Good governance has an important role to promote economy growth. The study relationship between governance with economic growth using aggregate data in Indonesia did not find a significant relationship. Therefore, the purpose of this study was to explore the influence of governance on economic growth, both direct effects and indirect effects through infrastructure provision. By employing two stages least square method on the data 245 districts/cities in 2010, the results of this study indicate that governance affects economic growth through the provision of road infrastructure and the electricity infrastructure. A discussion of public policy and the firmness of the regional head on anti-corruption measures improving road infrastructure, while the duration of roadworks negatively affect the provision of road infrastructure. Facilitation efforts by the local government will increase the supply of electricity infrastructure. Governance affects economic growth directly through government policy that does not increase costs for businesses. Keywords: governance, infrastructure, economic growth, two stages least square

6

7 RINGKASAN SUTARSONO. Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan NOER AZAM ACHSANI. Pada tahun 2001, Indonesia melakukan desentralisasi secara luas meliputi desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang lebih besar dalam proses pembangunan. Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Untuk itu, tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting dalam pengelolaan perekonomian daerah. Menurut Bardhan dan Mookherjee (2006), desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola perekonomian daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. De (2010) mengungkapkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung, yaitu melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan investasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini mempunyai dua tujuan. Pertama, memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan daerah dan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Kedua, menganalisis hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah, penyediaan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota di 19 provinsi tahun 2010, sesuai dengan cakupan studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh KPPOD. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintah pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 65 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian menggunakan pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang digambarkan dengan pertumbuhan pendapatan per kapita.

8 Metode analisis deskriptif eksploratif dengan bantuan tabel, grafik, uji beda rata-rata, dan analisis spasial digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama. Sedangkan tujuan kedua dijawab secara deskriptif dengan korelasi pearson dan metode ekonometrika two stages least square (2SLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas institusi daerah dan penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata, baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara disagregat mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Tata kelola pemerintahan daerah diindikasikan berpengaruh tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Hal ini menjawab mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan hubungan yang signifikan. Penyediaan infrastruktur jalan dipengaruhi oleh tata kelola pemerintahan daerah melalui adanya diskusi kebijakan publik, lama perbaikan jalan, dan ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi, ketegasan kepala daerah terhadap tindak pemberantasan korupsi akan meningkatkan efektifitas belanja infrastruktur jalan. Penyediaan infrastruktur listrik dipengaruhi tata kelola pemerintahan melalui pemberian fasilitas pendukung bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Perpres No.56 Tahun 2011 yang merupakan pembaruan Perpres No.76 Tahun Adapun penyediaan infrastruktur air bersih lebih dipengaruhi oleh tata kelola perusahaan. Adapun tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan pemerintah daerah yang tidak menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha. Untuk itu, Pemerintah pusat perlu mendorong pelaksanaan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan daerah terutama untuk pemerintah daerah kabupaten dan luar Jawa, sehingga kualitas pemerintah daerah tidak timpang. Penguatan kualitas institusi lokal di wilayah tertinggal diperlukan mengingat tata kelola merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan ekonomi daerah, dimana banyak daerah di kabupaten dan luar Jawa yang sebenarnya mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah tetapi belum dikelola dengan baik karena kurangnya kapasitas pemda. Untuk pembangunan infrastruktur harus ada keberpihakan (political will). Pemerintah daerah harus menambah belanja publik guna meningkatkan penyediaan infrastruktur dan mendorong pertumbuhan. Pemerintah pusat dapat mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur, misalnya dengan instrumen DAK atau pemberian insentif dalam hal alokasi dana perimbangan bagi daerah yang mengalokasikan belanja infrastruktur tertentu. Selain itu, pemerintah daerah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tidak membuat kebijakan yang menyebabkan peningkatan biaya bagi pelaku usaha, seperti penghapusan Perda-perda yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Kata kunci: tata kelola pemerintahan, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, two stages least square

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10

11 HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA SUTARSONO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec

13 Judul Tesis : Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Nama : Sutarsono NRP : H Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr. Tanggal Ujian: 3 September 2012 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata ala atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Topik penelitian yang penulis pilih adalah Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen yang telah mengajar penulis, dan rekan-rekan yang senantiasa membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang besar kepada kedua orangtua dan saudara penulis yang selalu mendorong penulis untuk terus maju dan tidak hentihentinya mendo akan penulis. Istri penulis, Mardiana, serta kedua buah hati penulis, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani, merupakan semangat terbesar bagi penulis untuk terus maju dan berkembang. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis, sedangkan kebenaran yang ada merupakan karunia Allah SWT. Dia jualah yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Besar harapan penulis hasil penelitian ini dapat menjadi kontribusi penulis, baik untuk dunia pendidikan maupun pengambilan kebijakan penyediaan infrastruktur di Indonesia. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Bogor, September 2012 Sutarsono

16

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 7 September 1981 dari pasangan Subadi dan Sari. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menikah dengan Mardiana dan telah dikaruniai seorang putri dan seorang putra, Aisyah Halilah Nibras dan Muhammad Ihsan Albani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Girikulon, Kabupaten Magelang pada tahun Pendidikan lanjutan tingkat pertama penulis tamatkan pada tahun 1996 di SMPN 2 Secang, Kabupaten Magelang. Kemudian pada tahun 1999, penulis lulus dari SMUN 1 Magelang. Selanjutnya penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, dan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST) pada tahun Setelah tamat dari STIS, penulis menjalani ikatan dinas di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kepulaun Riau, Provinsi Riau. Kemudian seiring dengan pemekaran wilayah, sejak tahun 2005 menjadi bernama BPS Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada akhir tahun 2008 penulis dipindahtugaskan ke Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Republik Indonesia. Pada tahun 2010 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui program beasiswa BPS. Sebelum menjalani program pascasarjana (S2) penulis mengikuti program alih jenis dari Diploma IV ke Strata 1 (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada tahun yang sama.

18

19 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...xiii DAFTAR TABEL...xv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN...xix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian...7 II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teoritis Tata Kelola Pemerintahan Infrastruktur Pertumbuhan Ekonomi Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pertumbuhan Ekonomi Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Penyediaan Infrastruktur Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian...23 III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Regresi Berganda Spesifikasi Model Penelitian Definisi Variabel Operasional Prosedur Analisis...35 IV. GAMBARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH DAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia Akses Lahan dan Kepastian Hukum Perizinan Usaha Interaksi Pemerintah Daerah dengan Pelaku Usaha Program Pengembangan Usaha Swasta Kapasitas dan Integritas Kepala Daerah Keamanan dan Penyelesaian Konflik Biaya Transaksi...55 xiii

20 4.1.8 Kebijakan Infrastruktur Kualitas Peraturan Daerah Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Infrastruktur Jalan Infrastruktur Air Bersih Infrastruktur Listrik...71 V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAERAH, PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Pengaruh Tata Kelola Pemerintahan dan Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia...91 VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan Saran Penelitian Lanjutan...98 DAFTAR PUSTAKA...99 xiv

21 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data dasar dan sumber data yang digunakan Perbandingan variabel-variabel akses lahan menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel perizinan usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel program pengembangan usaha swasta menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel keamanan dan penyelesaian konflik menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel biaya transaksi menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan variabel-variabel kapasitas dan integritas kepala daerah menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan akses jalan kabupaten/kota kualitas mantap menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan akses air bersih kabupaten/kota menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Perbandingan akses listrik kabupaten/kota menurut wilayah administrasi dan geografisnya tahun Nilai korelasi infrastruktur jalan dengan variabel interaksi Pemda dengan pelaku usaha tahun Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel integritas dan kapasitas kepala daerah tahun Korelasi infrastruktur dengan variabel-variabel kebijakan infrastruktur tahun Korelasi infrastruktur dengan indikator tata kelola tahun Korelasi akses lahan dan kepastian hukum dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi perizinan usaha dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi interaksi pemerintah daerah-pelaku usaha dengan pendapatan per kapita tahun xv

22 20 Korelasi program pengembangan usaha swasta dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi kapasitas dan integritas kepala daerah dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi keamanan dan penyelesaian konflik dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi biaya transaksi dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi kebijakan infrastruktur dengan pendapatan per kapita tahun Korelasi indeks tata kelola dengan pendapatan per kapita tahun Hasil estimasi model infrastruktur Hasil estimasi model pertumbuhan (gpdrbkap) xvi

23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode Determinan pendapatan Diagram alur kerangka pemikiran Perkembangan infrastruktur jalan menurut tingkat kewenangannya di Indonesia periode Perkembangan panjang jalan dan jumlah kendaraan bermotor periode Perkembangan tingkat mobilitas periode Perkembangan panjang jalan kabupaten/kota menurut kualitasnya periode Peta aksesibilitas jalan menurut kabupaten/kota tahun Persentase rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak Perkembangan rumah tangga yang mempunyai akses air minum layak Perkembangan volume air bersih yang disalurkan PDAM periode Peta aksesibilitas air bersih menurut kabupaten/kota tahun Perkembangan rasio elektrifikasi listrik PLN periode Perkembangan jumlah pelanggan PLN dan jumlah rumah tangga periode Perkembangan energi listrik terjual dan pelangga PT. PLN periode Perkembangan energi listrik terjual menurut jenis pelanggan PT. PLN periode Peta aksesibilitas listrik menurut kabupaten/kota tahun Perkembangan alokasi belanja APBD Kabupaten/Kota periode Hubungan tata kelola pemerintahan, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi...95 xvii

24 xviii

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Estimasi Model Infrastruktur Jalan dengan Program STATA SE Hasil Estimasi Model Infrastruktur Air Bersih dengan Program STATA SE Hasil Estimasi Model Infrastruktur Listrik dengan Program STATA SE Nilai korelasi Pearson infrastruktur Hasil Estimasi Metode 2SLS dengan Program SPSS Ringkasan penelitian terdahulu xix

26 xx Halaman ini sengaja dikosongkan

27 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonomi tetapi juga diukur dari tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan meratanya pembagian hasil pembangunan ekonomi. Semakin tinggi rata-rata pendapatan penduduk yang diimbangi dengan semakin meratanya distribusi pendapatan antar berbagai kelompok penduduk menunjukkan semakin tingginya kemajuan suatu bangsa. Seiring dengan pelaksanaan desentralisasi atau yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam proses pembangunan. Indonesia memasuki era baru dengan diterapkannya sistem desentralisasi sejak tahun 2001, yang meliputi desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi politik diwujudkan dengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Desentralisasi fiskal diwujudkan dalam bentuk pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk mencari sumber pendapatan dan menentukan alokasi pengeluarannya sendiri, walaupun dalam pelaksanaanya masih menitikberatkan pada desentralisasi dari sisi pengeluaran. Adapun desentralisasi administrasi diwujudkan dengan diberikannya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur urusan tata pemerintahannya sendiri. Desentralisasi di Indonesia bergulir seiring dengan gerakan reformasi pada tahun 1998 yang menuntut turunnya pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 33 tahun. Setelah krisis ekonomi 1997, muncul gerakan masa yang menuntut demokratisasi sebagai bentuk ketidakpuasan sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru. Pada saat yang bersamaan timbul ancaman disintegrasi dari daerah-daerah yang kaya sumber daya alam menuntut pembagian kekuasaan dan pembagian kekayaan yang lebih besar. Untuk mengatasi permasalahan diatas, akhirnya diterapkan desentralisasi secara luas.

28 2 Desentralisasi sendiri diyakini sebagai cara untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Hayek (1948), Tiebout (1956), dan Oates (1999) berpendapat bahwa desentralisasi akan mendorong penyediaan pelayanan publik melalui teori efisiensi alokasi, persaingan, dan preferensi. Oates (1999) berpendapat bahwa pemerintah daerah adalah yang lebih dekat dan langsung berhadapan dengan rakyat, memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi secara ekonomi. Aspirasi rakyat akan mudah dan cepat terekam, dan kemudian akan diterjemahkan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk memenuhi aspirasi rakyat tersebut. Salah satu diantara urusan yang didesentralisasikan adalah penyediaan pelayanan publik, termasuk didalamnya penyediaan infrastruktur, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun Menurut Undang- Undang No.38 tahun 2007, penyediaan infrastruktur merupakan salah satu urusan wajib yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Infrastruktur mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Berbagai studi empiris telah membuktikan bahwa infrastruktur mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (Setboonsarng 2005, Kwon 2001), serta pengurangan ketimpangan antar wilayah (D emurger 2001, De dan Gosh 2005). Hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilaksanakan oleh Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga menunjukkan bahwa infrastruktur merupakan faktor penting bagi pengusaha untuk berinvestasi, dari sembilan sub-indeks tata kelola, kualitas infrastruktur mempunyai bobot paling besar, yaitu 36 persen pada tahun 2007 dan 38 persen pada tahun Percepatan penyediaan infrastruktur tidak hanya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pada gilirannya akan menekan tingkat kemiskinan, tetapi pada skala makro, penyediaan infrastruktur juga diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Peningkatan peringkat investasi pada akhir tahun 2011 akan mendorong arus modal masuk, sehingga diperlukan suatu perangkat, salah satunya infrastruktur, untuk menstimulasi modal masuk tersebut menjadi investasi jangka panjang. Hal ini akan mengurangi

29 3 terjadinya resiko bubble yang dapat memicu krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun Setelah 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, penyediaan infrastruktur di Indonesia ternyata belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Hal ini tercermin dari laporan The Global Competitiveness Report tahun (The World Economic Forum 2010), dari 139 negara yang dikaji, Indonesia menempati peringkat 90 untuk aspek infrastruktur secara keseluruhan, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing berada pada peringkat 27 dan 46. Dalam hal kualitas jalan, peringkat Indonesia adalah 84, jauh lebih rendah daripada Malaysia (21) dan Thailand (36). Demikian juga halnya dengan kualitas listrik, Indonesia ditempatkan di peringkat 97, sementara Malaysia peringkat 40 dan Thailand peringkat 42. Hasil studi TKED 2011 juga menunjukkan bahwa dari lima jenis infrastruktur yang dikaji, hanya infrastruktur telepon dan listrik keduanya bukan merupakan kewenangan Pemda yang dinilai relatif baik oleh pelaku usaha, masing-masing hanya dinilai buruk oleh sekitar 22 persen dan 34 persen pelaku usaha. Sedangkan infastruktur jalan, air bersih dan lampu penerangan jalan yang menjadi tanggung jawab Pemda masih dipandang buruk oleh lebih dari 40 persen pelaku usaha. Selain itu, selama empat tahun terakhir penyediaan infrastruktur di kabupaten/kota yang meliputi jalan, air bersih, dan listrik justru menunjukkan sebaran yang semakin lebar. Interquartile range (IQR) yang merupakan ukuran penyebaran data selama periode menunjukkan trend peningkatan (Gambar 1). IQR jalan meningkat dari 0,4800 pada tahun 2008 menjadi 0,4927 pada tahun Sedangkan IQR air bersih dan listrik masing-masing meningkat dari 29,7904 pada 2007 menjadi 39,4408 pada 2010 untuk air bersih dan dari 236,683 menjadi 367,347 untuk listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa desentralisasi telah meningkatkan ketimpangan penyediaan infrastruktur antar kabupaten/kota di Indonesia. Indikasi diatas didukung oleh pendapat Bardhan dan Mookherjee (2006) yang menyatakan bahwa desentralisasi justru akan merugikan masyarakat apabila akuntabilitas pemerintah lokal rendah, karena desentralisasi hanya akan dinikmati oleh kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka pengelolaan perekonomian,

30 4 sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi tata kelola pemerintahan daerah menjadi penting. North (1990) dan Bardhan (2002) menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting dalam perekonomian secara umum AksesJalan(Km/Km2) IQR: 0,4920 IQR: 0,4800 IQR: 0,4831 IQR: 0, (a) Jalan AksesAirBersih(m3/rumahtangga) IQR: 29,7904 IQR: 29,7818 IQR: 38,4874 IQR: 39,4408 IQR: 236,683 IQR: 237,070 IQR: 252,448 IQR: 367, (c) Air bersih (b) Listrik Sumber: BPS, diolah AksesListrik(Kwh/penduduk) Gambar 1 Boxplot infrastruktur kabupaten/kota periode Namun, hasil penelitian McCulloch dan Malesky (2010) mengenai dampak tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia tidak menemukan hubungan yang signifikan antara tata kelola pemerintahan daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini diduga karena hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi bersifat kompleks. Selain itu, karena analisis dilakukan dengan data agregat sementara terdapat 61 variabel, sehingga arah hubungan tata kelola dengan pertumbuhan ekonomi bisa berbeda antara data agregat dengan data disagregat. Hal ini dikarenakan arah hubungan setiap variabel penyusun indeks bisa mempunyai arah hubungan

31 5 dengan pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda, sehingga pengagregatan berupa indeks justru akan menghilangkan hubungan tersebut. Kompleksitas hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi juga dikemukan oleh De (2010) yang menyatakan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung tata kelola dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui jalur infrastruktur, perdagangan, dan atau investasi. 1.2 Perumusan Masalah Ada beberapa alasan mengapa studi mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia menarik untuk dikaji. Pertama, desentralisasi di Indonesia dilaksanakan secara big bang tanpa ada penyiapan tata kelola pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang didesentralisasikan. Padahal tata kelola pemerintahan mempunyai peran penting sebagai supporting system bagi pengelolaan perekonomian daerah. Kedua, studi empiris mengenai tata kelola pemerintahan di Indonesia masih sedikit. Studi tentang tata kelola di Indonesia kebanyakan bersifat teoritis dan politis. Sehingga belum diketahui secara empiris bagaimana peran tata kelola pemerintahan terhadap proses pembangunan di Indonesia. Hal ini karena terkendala ketersediaan data. Sejak tahun 2007 KPPOD telah melaksanakan studi TKED yang memotret tata kelola pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007 KPPOD melakukan studi TKED di 15 provinsi, sedangkan tahun 2008 studi hanya dilakukan di Provinsi Aceh. Pada tahun 2010 KKPOD melakukan studi yang sama di 19 provinsi dengan tiga provinsi yang sama dengan studi tahun 2007, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sehingga data mengenai tata kelola pemerintahan secara nasional sekarang ini sudah tersedia. Ketiga, hasil kajian sebelumnya oleh McCulloch dan Malesky (2010) dengan data agregat tidak ditemukan pengaruh langsung tata kelola terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini memberi kesan bahwa tata kelola pemerintahan daerah tidak penting sehingga peningkatan kualitas institusi melalui reformasi

32 6 birokrasi tidak perlu dilakukan, sebagaimana menjadi salah satu implikasi kebijakan penelitian tersebut untuk mengurangi fokus pada kapasitas pemerintah daerah. Untuk itu, perlu dieksplorasi dan dikaji lebih mendalam berdasarkan data disagregat, yaitu variabel-variabel tata kelola pemerintahannya, bagaimana sebenarnya pengaruh tata kelola pemerintahan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, apakah tata kelola pemerintahan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, atau berpengaruh tetapi secara tidak langsung, dalam hal ini melalui jalur infrastruktur. Dengan uraian di atas maka dalam penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran tata kelola pemerintahan daerah dan infrastruktur di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan tata kelola pemerintahan daerah dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran mengenai tata kelola pemerintahan dan infrastruktur di Indonesia. 2. Menganalisis hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan gambaran mengenai hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi, baik hubungan secara langsung maupun melalui penyediaan infrastruktur di Indonesia. Pembahasan tata kelola pemerintahan secara disagregat, baik jenis infrastruktur maupun variabel tata kelola pemerintahan daerah, diharapkan akan dapat lebih memperjelas implikasi kebijakan yang dapat diambil peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi serta pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan untuk

33 7 mendorong penyediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya, khususnya terkait dengan masalah pada penelitian ini. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Cakupan penelitian ini adalah 245 kabupaten/kota tahun 2010 di 19 provinsi, sesuai dengan cakupan studi TKED yang dilaksanakan oleh KPPOD. Daftar provinsi cakupan penelitian adalah Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Khusus untuk gambaran penyediaan infrastruktur, analisis dilakukan terhadap seluruh kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010, yang mencakup 497 kabupaten/kota. Tata kelola pemerintahan dalam penelitian ini hanya mencakup tata kelola pemerintahan daerah kabupaten/kota, tidak mencakup tata kelola pemerintahan pusat dan provinsi. Tata kelola pemerintahan daerah dinilai berdasarkan persepsi pelaku usaha terhadap tata kelola pemerintah daerah hasil studi KPPOD yang meliputi sembilan aspek dengan 61 variabel penyusun. Infrastruktur dalam penelitian hanya mencakup infrastruktur ekonomi dasar yang ada di semua kabupaten/kota, yaitu: jalan, air bersih, dan listrik. Hal ini mengacu pada penggolongan infrastruktur menurut Bank Dunia. Infrastruktur ekonomi dasar lain seperti telekomunikasi, dan sanitasi tidak dicakup karena ketidaktersediaan data di tingkat kabupaten/kota.

34 8 Halaman ini sengaja dikosongkan

35 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Tata Kelola Pemerintahan Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksiinteraksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata kelola menjadi konsep yang berbeda dan lebih sederhana, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan peraturan (Djankov et al. 2002). Busse et al. (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan (governance) sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai salah satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran kualitas desentralisasi birokrasi. Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata kelola pemerintahan yang baik, antara lain: 1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan kebijakannya, kebijakan dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan secara benar dan akurat. 2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan, adanya pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui pemenuhan hak akan akses untuk memperoleh kehidupan yang layak. 3. Predictability, yaitu: adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum, aturan, dan kebijakan secara adil dan konsisten. 4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah dipahami masyarakat guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan dan adanya kejelasan hukum, aturan, dan kebijakan. World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2) stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi.

36 10 Sedangkan KPPOD mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia dari aspek tata kelola ekonomi. KPPOD (2007) menggunakan sembilan indikator untuk mengukur tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia melalui survei terhadap pelaku usaha. Kesembilan aspek tersebut antara lain: (1) Akses lahan dan kepastian hukum, (2) Infrastruktur, (3) Perizinan usaha, (4) Kualitas peraturan daerah, (5) Biaya transaksi, (6) Kapasitas dan integritas bupati/walikota, (7) Interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, (8) Program pengembangan usaha swasta, (9) Keamanan dan penyelesaian konflik Infrastruktur Grigg (2000) mendefinisikan infrastruktur sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan, instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun kegunaan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Akatsuka dan Yoshida (1999) menambahkan bahwa infrastruktur fasilitas dan jasa biasanya disediakan secara gratis atau dengan harga yang terjangkau dan terkontrol. Ada enam kategori besar infrastruktur menurut Grigg (2000), yaitu: kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan), kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara), kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air), kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat), kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar, dan kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas). World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi: public utilities (listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya); 2. Infrastruktur sosial, meliputi: pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi; 3. Infrastruktur administrasi, meliputi: penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

37 11 Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2005 tentang Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur, menjelaskan beberapa jenis infrastruktur yang penyediaannya diatur oleh pemerintah, yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur telematika, infrastruktur ketenagalistrikan, dan infrastruktur pengangkutan minyak dan gas bumi. Penggolongan infrastruktur tersebut dapat dikategorikan sebagai infrastruktur dasar, karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sehingga penyediaannya perlu diatur oleh pemerintah. Infrastruktur Jalan Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam usaha pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh pusat kegiatan, baik kegiatan ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik maupun pertahanan keamanan dihubungkan oleh jaringan jalan. Dalam kerangka tersebut jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan saperti pemerataan hasil-hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, jalan juga berperan dalam pengembangan industri, pendistribusian faktor produksi, barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi pendapatan. Berdasarkan statusnya jalan dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota dan jalan desa. Berdasarkan kewenangannya, jalan nasional termasuk jalan tol yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sementara jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa merupakan kewenangan pemerintah daerah. Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi, infrastruktur jalan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD). Infrastruktur Air Bersih Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan. Keterbatasan air bersih merupakan suatu tantangan bagi manusia. Seiring dengan pertumbuhan pembangunan di segala bidang, antara lain: permukiman, kegiatan industri, kegiatan perdagangan dan lain-lain, kebutuhan akan air untuk berbagai sektor diperkirakan akan meningkat,

38 12 oleh karena itu pengadaan sarana pemenuhan kebutuhan air seperti halnya kebutuhan air bersih akan sangat diperlukan. Akses terhadap air bersih merupakan salah satu fondasi inti dari masyarakat yang sehat, sejahtera dan damai. Sistem air bersih yang baik akan menghasilkan manfaat ekonomi, dan vital bagi kesehatan manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1987 tentang desentralisasi tanggung jawab pemerintah pusat disebutkan bahwa tanggung jawab untuk menyediakan suplai air bersih adalah pada pemerintah daerah. Sebagai perwujudannya, penyediaan sebagian besar kebutuhan air bersih di Indonesia dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang terdapat di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia. PDAM merupakan perusahaan daerah sebagai sarana penyedia air bersih yang diawasi dan dimonitor oleh aparat eksekutif maupun legislatif daerah. PDAM sebagai perusahaan daerah diberi tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengelola sistem penyediaan air bersih serta melayani semua kelompok konsumen dengan harga yang terjangkau. PDAM bertanggung jawab pada operasional sehari-hari, perencanaan aktivitas, persiapan dan implementasi proyek, serta bernegosiasi dengan pihak swasta untuk mengembangkan layanan kepada masyarakat. Infrastruktur Listrik Energi listrik diketahui sebagai energi yang paling mudah dipergunakan, efisien, untuk berbagai keperluan, industri, proses produksi, perkantoran, pendidikan, perumahan dan kegiatan kegiatan lain yang berhubungan dengan keperluan hajat hidup manusia. Listrik merupakan salah satu input yang menunjang peningkatan output barang dan jasa, disamping input barang dan jasa lainnya. Infrastruktur kelistrikan terkait dengan upaya modernisasi bangsa dan penyediaannya merupakan salah satu aspek terpenting untuk meningkatkan produktifitas sektor produksi. Di Indonesia, usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun sejak tahun 2009, ada usaha memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat untuk membuka jenis usaha pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan tenaga listrik. Selain itu ada pendelegasian kewenangan

39 13 kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam hal pemberian ijin usaha dan penetapan tarif listrik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan pendapatan per kapita, yang diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan (Tambunan 2006). Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi penduduk bertambah. Pada tingkat regional seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu daerah kabupaten/kota diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan agar dapat diagregasikan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan peningkatan PDB riil pada periode tertentu. Pada tingkat rumah tangga ataupun individu pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari peningkatan pendapatan rumah tangga atau pendapatan perkapita. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi dapat didekati dengan pengukuran peningkatan PDB atau peningkatan pendapatan perkapita. Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan Harrod-Domar, model perubahan struktural, model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Model pertumbuhan Harrod-Domar menekankan perlunya tabungan untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh peningkatan pendapatan nasional. Teori perubahan struktural menekankan pada mekanisme transformasi ekonomi negara terbelakang dengan kegiatan ekonomi yang bersifat pertanian subsisten menuju negara modern yang berbasis industri manufaktur dan jasa. Proses transformasi ini disebabkan adanya surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang pindah ke sektor industri secara terus menerus.

40 14 Teori pertumbuhan neoklasik dikenal dengan model pertumbuhan Solow karena pertama kali dikemukan oleh Robert Solow. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi terjadi tidak saja dipengaruhi oleh peningkatan modal (melalui tabungan dan investasi) tetapi juga dipengaruhi oleh peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan) dan peningkatan teknologi, dengan asumsi diminishing return to scale bila input tenaga kerja dan modal digunakan secara parsial dan constant return to scale bila digunakan secara bersama-sama, serta perekonomian berada pada keseimbangan jangka panjang (full employment). Model pertumbuhan endogen memasukkan pengaruh teknologi, investasi modal fisik dan sumber daya manusia sebagai variabel endogen. Model pertumbuhan endogen mengeluarkan asumsi diminishing return to scale atas investasi modal dari model, dan memberikan peluang terjadinya increasing return to scale dalam produksi agregat dan peran eksternalitas dalam menentukan tingkat pengembalian investasi modal. Investasi sektor publik dan swasta dalam sumber daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas sehingga terjadi increasing return to scale dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Tingkat pertumbuhan tetap konstan dan berbeda antar negara tergantung tingkat tabungan nasional dan tingkat teknologinya. Tingkat pendapatan perkapita di negara-negara miskin akan modal cenderung tidak dapat menyamai tingkat pendapatan perkapita di negara kaya, meskipun tingkat pertumbuhan tabungan dan tingkat pertumbuhan penduduknya serupa. Aspek yang menarik dari model pertumbuhan endogen adalah mampu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian atas investasi yang tinggi yang ditawarkan negara berkembang (rasio modal-tenaga kerja rendah) akan berkurang dengan cepat karena rendahnya tingkat investasi sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R&D). Model ini dikembangkan lagi oleh Romer dengan menambahkan asumsi cadangan modal dalam keseluruhan perekonomian dan adanya eksternalitas positif dari ilmu pengetahuan sebagai barang publik, secara positif mempengaruhi

41 15 output pada tingkat industri, sehingga terdapat kemungkinan increasing return to scale pada tingkat perekonomian secara keseluruhan Hubungan Tata Kelola Pemerintahan, Penyediaan Infrastuktur, dan Pendapatan Per Kapita De (2010) mengembangkan kerangka teori hubungan tata kelola pemerintahan dengan infrastruktur, yang merupakan modifikasi dari kerangka determinan pendapatan Rodrik et al. (2002) dan Busse et al. (2007). Pola hubungan ini dikembangkan dari pemikiran bahwa tata kelola pemerintahan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui perdagangan, investasi, infrastruktur, dan geografis. Gambar 2 memperlihatkan bahwa tata kelola pemerintahan mempunyai pengaruh secara langsung terhadap tingkat pendapatan melalui pengurangan terhadap biaya transaksi. De (2010) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara bagaimana kualitas institusi memengaruhi pendapatan. Pertama, mengurangi asimetris informasi melalui pemberian informasi oleh institusi mengenai keadaan, barang, dan pelaku di pasar secara simetris. Kedua, mengurangi resiko, yaitu institusi yang baik akan menjamin hak intelektual (property rights). Dan ketiga, adanya pembatasan terhadap kepentingan kelompok tertentu melalui akuntabilitas. Tingkat Pendapatan Produktivitas pertanian Daya tarik pasar Keunggulan komparative, skala ekonomi, teknologi Infrastruktur Pengetahuan, sumber daya, preferensi Informasi asimetris, risk premium, kekuatan politik dan kepentingan kelompok Jarak ke pasar Integrasi Institusi/Tata Kelola Keterbukaan, kompetisi, less rent Geografis Endowments, resource curse Sumber: De (2010) Gambar 2 Determinan pendapatan

42 16 Pengaruh tidak langsung tata kelola pemerintahan melalui jalur infrastruktur adalah bahwa dengan tata kelola pemerintahan yang baik, maka akan ada keberpihakan (political will) dalam pemanfaatan pengetahuan dan sumber daya untuk mendorong peningkatan infrastruktur. Selain itu tata kelola pemerintahan yang baik akan meningkatkan kualitas infrastruktur karena tidak banyak kebocoran alokasi sumber daya yang disebabkan oleh para pencari rente. Sehingga dengan infrastruktur yang baik maka akan meningkatkan keunggulan komparative, meningkatkan efisiensi sehingga tercapai skala ekonomi, dan infrastruktur sebagai representasi dari kemajuan teknologi. Litvack et al. (1998) berpendapat bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang jarak geografis yang paling minimum, karena: 1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya; 2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; 3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Namun, Vazques dan McNab (1997) mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat menghambat pencapaian tujuan desentralisasi, seperti: birokrasi yang dikuasai oleh elit lokal, meningkatnya praktek korupsi di pemerintahan lokal, dan terbatasnya kapasitas birokrasi lokal. Ketiga hambatan tersebut mencerminkan bahwa birokrasi atau tata kelola pemerintahan mempunyai peranan penting dalam pencapaian desentralisasi secara umum. Hal ini juga dikemukakan oleh Gerittsen (2009), bahwa booming infrastruktur antara tahun akan menghasilkan pemenang dan pecundang. Pecundang akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada dengan mengorupsi belanja infrastruktur dan kurangnya kapasitas. Sedangkan pemenang akan menciptakan mesin pertumbuhan baru bagi generasi selanjutnya melalui energi terbarukan, dan daya saing global dibidang kesehatan dan pendidikan. Terdapat sejumlah kebijakan nasional dan daerah yang berkaitan erat dengan kualitas jalan diantaranya adalah peraturan mengenai pengadaan barang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa melalui peningkatan kesejahteraan rumah tangga atau penduduk. Kemajuan suatu bangsa tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Tata Kelola Pemerintahan Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksiinteraksi antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi menunjukkan proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah. Pengukuran pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat pada besaran Pendapatan Domestik

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tenaga kerja merupakan faktor yang sangat krusial bagi pembangunan ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering menjadi prioritas dalam

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun 1 1 PENDAHULUAN Daya saing merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dalam persaingan pasar bebas. Perkembangan daya saing nasional di tingkat internasional juga tidak terlepas dari perkembangan daya saing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang cukup berpotensi untuk menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah namun dengan kualitas yang masih tergolong rendah. Hal ini tentu dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H14051312 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbagai teori pembangunan ekonomi, mulai dari teori ekonomi klasik (Adam Smith, Robert Malthus dan David Ricardo) sampai dengan teori ekonomi modern (W.W. Rostow dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus berupaya untuk mensejahterakan rakyatnya. Salah satu hal yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. menerus berupaya untuk mensejahterakan rakyatnya. Salah satu hal yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang berkembang, sehingga terus menerus berupaya untuk mensejahterakan rakyatnya. Salah satu hal yang dapat dilakukan negara guna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, infrastruktur ditempatkan pada prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. modal manusia merupakan salah satu faktor penting untuk mencapai pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modal manusia memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka peran modal manusia merupakan

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu ukuran penting dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosial Ekonomi Karakteristik sosial ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas proporsi ibu lulus wajib belajar (wajar) 9 tahun, pengeluaran rumah tangga

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H

ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H ANALISIS PENGARUH INFRASTRUKTUR EKONOMI DAN SOSIAL TERHADAP PRODUKTIVITAS EKONOMI DI INDONESIA OLEH KRISMANTI TRI WAHYUNI H14094021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. adanya penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang

Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU. I. Latar Belakang Boks 1 PELUANG DAN HAMBATAN INVESTASI DI PROPINSI RIAU I. Latar Belakang Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 telah membawa perubahan yang cukup berarti bagi kondisi ekonomi di Propinsi Riau. Penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA V. HUBUNGAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN, INFRASTRUKTUR DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA 5.1 Hubungan Tata Kelola Pemerintahan dengan Penyediaan Infrastruktur di Indonesia Hubungan antara tata kelola pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bandung, 11 November 2010 1 Infrastruktur

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN

STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN STRATEGI ALOKASI BELANJA PUBLIK UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT CARDIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tingkat kabupaten/kota tahun 2010, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA

ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA ANALISIS NILAI TAMBAH, EFISIENSI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI KECIL DAN KERAJINAN RUMAH TANGGA (IKKR) DI INDONESIA OLEH DIAH ANANTA DEWI H14084022 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS

RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS REPUBLIK INDONESIA RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2016 TEMA : MEMPERCEPAT PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERKUAT FONDASI PEMBANGUNAN YANG BERKUALITAS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN

Lebih terperinci

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia

Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Tata Kelola Ekonomi Daerah & Kesejahteraan Masyarakat di Indonesia Oleh: Rahmasari Istiandari Dalam era desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, setiap Pemda diberikan kewenangan dan peran aktif membangun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Otonomi daerah dan desentralisasi memiliki kaitan erat dengan pemekaran wilayah. Kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara bersamaan perubahan-perubahan makroekonomi maupun perekonomian secara sektoral dan regional, serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama dari pembangunan ekonomi nasional adalah mencapai masyarakat yang sejahtera. Oleh karena itu, pemerintah di berbagai negara berusaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat menggambarkan bahwa adanya peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indikator untuk melihat pembangunan adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR Oleh DIYAH RATNA SARI H14102075 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas penentu kelangsungan perekonomian suatu negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai sektor dan kegiatan ekonomi di Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 13 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Pembangunan Ekonomi Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sedangkan tujuan yang paling penting dari suatu pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama negara berkembang. Pembangunan ekonomi dicapai diantar anya dengan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci