V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 72 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis Klassen Typology pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat (Kuadran I), daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran II), daerah yang maju tetapi tertekan (Kuadran III), dan daerah yang relatif tertinggal (Kuadran IV). Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah ( ), daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional. Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju

2 73 pertumbuhan ekonomi nasional, namun PDRB perkapita kedua purovinsi tersebut lebih tinggi dibanding PDB per kapita nasional. Faktor yang menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta, terjadi karena krisis keuangan yang terjadi di tahun Hal tersebut karena struktur ekonomi di DKI Jakarta yang didominasi oleh sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan. Dimana pada periode amatan perputaran uang di DKI Jakarta merupakan yang terbesar di seluruh Indonesia. Sehingga krisis ekonomi pada tahun tersebut membuat DKI Jakarta menjadi daerah yang memiliki laju pertumbuhan sebesar - 17,49, yang merupakan terkecil ke dua setelah Jawa Barat. Selain itu, proses pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan resesi yang serius di DKI Jakarta pada tahun tersebut, salah satunya disebabkan oleh penurunan penanaman modal yang diakibatkan krisis keuangan Hal ini sangat berpengaruh terhadap lambatnya laju pertumbuhan ekonomi dan kemampuan DKI Jakarta untuk menghasilkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Harrod-Domar dimana peranan investasi atau penanaman modal sangatlah penting dalam pertumbuhan ekonomi. 52 Sementara itu 15 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB, dan NTT berada pada klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III). Kondisi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi di 15 provinsi tersebut lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekonomi nasional, sedangkan PDRB per kapita masing-masing provinsi lebih rendah daripada PDB 52 Sadono Sukirno, op cit, h

3 74 per kapita nasional. Sisanya, sebanyak tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Maluku menempati posisi sebagai daerah relatif tertinggal. Kondisi ini menunjukkan tidak ada satupun provinsi, apabila di lihat dari kedua sisi yaitu laju pertumbuhan dan besaran PDRB per kapita, yang lebih tinggi dari nasional. Pertumbuhan Ekonomi Kuadran Kuadra III n III Tipologi Klassen Indonesia Kuadran n IV Kuadran II PDRB per Kapita Kuadran I Keterangan: NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah NTB NTT Maluku Irian Jaya Gambar 5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun Pada periode sebelum otonomi daerah ( ), Jawa Barat dan Jawa Tengah merupakan daerah yang termasuk ke dalam daerah yang relatif tertinggal, hal tersebut dikarenakan laju pertumbuhan kedua provinsi tersebut pada tahun 1998 sangat kecil dan laju pertumbuhan ekonomi di tiga provinsi tersebut merupakan yang terkecil jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Sehingga

4 75 rata-rata laju pertumbuhan di ketiga provinsi tersebut masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di kedua provinsi ini masih dibawah PDB per kapita nasional. Walaupun nilai PDRB di kedua provinsi ini relatif besar akan tetapi karena jumlah penduduk di ketiga provinsi ini juga relatif sangat banyak jika dibanding daerah lain, menyebabkan nilai PDRB per kapita di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih dibawah PDB per kapita nasional. Sedangkan di Provinsi Maluku, walaupun di tahun 1998 laju pertumbuhan ekonomi relatif besar, akan tetapi di tahun 1999 laju pertumbuhan Maluku merupakan yang terendah jika dibanding daerah-daerah lain di Indonesia yaitu - 27,02. Sehingga rata-rata laju pertumbuhan pada periode amatan di provinsi Maluku masih jauh di bawah laju pertumbuhan Indonesia. Sedangkan nilai PDRB per kapita di daearah ini juga relatif rendah sehingga masih berada di bawah PDB per kapita Indonesia Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Klassen Typology Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia setelah otonomi daerah. Pada pembahasan ini terdapat tujuh provinsi baru yang merupakan salah satu produk dari otonomi daerah. Ke tujuh provinsi tersebut antara lain, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Irian Jaya yang menjadi dua Provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu secara tidak langsung salah satu faktor dalam perubahan

5 76 klasifikasi daerah pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah adalah hal tersebut. Klasifikasi provinsi pada pariode setelah otonomi daerah ( ) dapat dilihat pada Gambar 5.2. Terdapat dua provinsi yang termasuk sebagai daerah cepat maju dan daerah cepat tumbuh (Kuadran I) yaitu Provinsi Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi Kalimantan Tengah yang sebelum otonomi daerah masuk ke klasifikasi cepat maju dan cepat tumbuh ( Kuadran I), namun setelah otonomi daerah provinsi tersebut masuk kuadran ketiga yang merupakan daerah yang berkembang cepat. Sedangkan Provinsi Kalimantan Barat dan Riau yang sebelum otonomi daerah masuk dalam kuadran pertama, namun setelah otonomi daerah masuk dalam kuaran empat yang merupakan daerah yang relatif tertinggal. Perubahan klafisikasi pada kuadran satu sebelum otonomi daerah kemungkinan terjadi karena pada saat krisis 1998 banyak daerah maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi, seperti di Jawa dan khususnya DKI Jakarta mengalami kemunduran ekonomi yang sangat tajam. Sedangkan provinsi yang relatif kurang maju pada umumnya adalah daerah-dearah pertanian, misalnya Kalimantan, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya yang cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini yang membuat perekonomian provinsi-provinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi. 53 Sedangkan daerah yang sebelum otonomi daerah ( ), termasuk ke dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh pada periode setelah otonomi daerah ( Tulus Tambunan, op cit, h. 147.

6 ) menjadi masuk ke kuadran dua maupun kuadran yang lain, kemungkinan terjadi karena dampak dari membaiknya perekonomian dan nilai tukar rupiah yang relatif sudah stabil. Tipologi Klassen Indonesia Pertumbuhan Ekonomi Kuadran III Kuadran IV Kuadran I Kuadran II PDRB per Kapita NAD Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kep. Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Gambar 5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun Sementara Provinsi yang berada pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan (Kuadran II) adalah Kalimantan Timur dan Kepulauan Bangka Belitung yang sebelum otonomi daerah termasuk ke dalam porovinsi Sumatera Selatan.

7 78 Sedangkan provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat. Sementara provinsi yang mengalami peningkatan kuadran yaitu, Provinsi Jawa Barat yang sebelum otonomi daerah termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV), setelah otonomi daerah bergeser ke kelompok daerah berkembang cepat (Kuadran III). Sisanya adalah Provinsi yang berada dalam klasifikasi daerah yang relatif tertinggal, setelah otonomi daerah jumlahnya mengalami peningkatan dari hanya tiga menjadi sepuluh provinsi. Daerah yang termasuk dalam kuadran ke empat antara lain, Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, DIY, Jawa Tengah, NTT, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa di sepuluh provinsi tersebut posisi laju pertumbuhan PDRB dan besarnya angka PDRB per kapita lebih kecil dari laju pertumbuhan dan besarnya angka PDB per kapita Indonesia. Berdasarkan Gambar 5.1 maupun 5.2 menunjukkan bahwa perbandingan laju pertumbuhan ekonomi maupun PDRB per kapita baik sebelum otonomi daerah maupun setelah otonomi daerah dari pembentukan PDRB masing-masing provinsi terhadap laju pertumbuhan ekonomi maupun PDB per kapita Indonesia memiliki sebaran dan distribusi yang tidak merata. Sebelum otonomi daerah, provinsi lebih banyak mengelompok atau berada di klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan daerah berkembang cepat (Kuadran III),

8 79 sedangkan setelah otonomi daerah, provinsi lebih banyak berada di klasifikasi daerah berkembang cepat (Kuadran III) dan daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa setelah otonomi daerah, ketimpangan dalam laju pertumbumbuhan dan PDRB per kapita antar provinsi cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah daerah yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit dibanding setelah otonomi daerah. Hal tersebut seharusnya mendapat perhatian yang lebih. Karena, seperti yang telah diungkapkan oleh Rauf dimana otonomi daerah memungkinkan terjadi dampak positif maupun negatif yang memiliki peluang sama besar. Karena otonomi daerah yang dilandaskan terhadap nilai-nilai kebebasan, sehingga aspirasi terhadap ketidak merataan dalam kebijakan pembangunan dapat memicu terjadinya konflik. 54 Aspirasi ini menginginkan kesempatan bagi daerah kaya untuk memanfaatkan kekayaannya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini didukung juga pernyataan Tadjoeddin dimana ketimpangan pendapatan menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang memunculkan konflik vertikal. 55 Dari kedua pernyataan tersebut pada prinsipnya berupa penjaminan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimum bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa menghambat potensi pertumbuhan masing-masing daerah. 54 Maswadi Rauf, op cit, h Tadjoeddin et al, op cit, h. 7-8.

9 Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Indeks Williamson di DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dianalisis dengan menggunakan Indeks Williamson. Nilai Indeks Williamson atau CVw yang kecil menggambarkan tingkat ketimpangan yang rendah atau pemerataan yang baik, dan sebaliknya jika nilai CVw besar menggambarkan tingkat ketimpangan yang tinggi atau pemerataan yang lebih buruk. Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan pusat bisnis, industri, dan perputaran uang yang tinggi di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi di antar kabupaten/kota di DKI Jakarta. Berdasarkan kriteria yang ada, ketimpangan antar daerah berada pada taraf rendah bila nilai Indeks Williamson < 0,35, ketimpangan taraf sedang bila nilai Indeks Williamson antara 0,35-0,50 dan ketimpangan taraf tinggi bila nilai Indeks Williamson >0,50. Setelah dilakukan perhitungan, sebelum otonomi daerah di tahun nilai Indeks Williamson di Provinsi DKI Jakarta berada pada taraf tinggi. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson tanpa migas selama tahun di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.1.

10 81 Tabel 5.1 Indeks Ketimpangan Williamson berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Provinsi DKI Jakarta Tahun Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW Tahun IW , , , , , , , , , , , , , , , , , ,834 Rata-rata 0,580 Rata-rata 0,759 Sumber: BPS, diolah Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa ketimpangan antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta pada periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun berada pada taraf tinggi dengan rata-rata sebesar 0,580. Pada tahun 1998 merupakan tahun dengan ketimpangan tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah yaitu 0,633. Hal ini terjadi karena strategi kebijakan pembangunan pada saat itu masih terfokus di DKI Jakarta dan terlalu mengejar peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Membuat DKI Jakarta menjadi pusat aktivitas perekonomian dan pusat perputaran uang terbesar di Indonesia. Sehingga krisis keuangan pada tahun tersebut memberikan dampak buruk bagi perekonomian dan peningkatan ketimpangan di DKI Jakarta. Sedangkan pada periode setelah otonomi daerah, kecenderungan indeks Williamson tiap tahunnya menunjukkan ketimpangan yang relatif meningkat

11 82 setiap tahunnya mulai tahun 2000 sebesar 0,623 menjadi 0,672 pada tahun Kemudian terjadi peningkatan kembali sebesar 0,697 tahun 2002 menjadi 0,766 tahun Kemudian di tahun 2004 turun menjadi 0,756 dan di tahun-tahun selanjutnya kembali hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2010 sebesar 0,834. Dengan melihat nilai rata-rata ketimpangan baik sebelum maupun setelah otonomi daerah mengindikasikan adanya ketimpangan yang tinggi antar kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta. Seperti diketahui dengan terpusatnya segala aktivitas ekonomi dan bisnis di DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap PDRB di wilayah tersebut maupun Provinsi DKI Jakarta secara keseluruhan. Dimana PDRB per kapita yang dimiliki oleh DKI Jakarta jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini yang mengindikasikan menjadi penyebab tingginya tingkat ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta yang dicerminkan dengan tingginya nilai indeks williamson yang dihasilkan. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang memiliki potensi yang besar, kelembagaan yang solid dan bebas korupsi yang akan lebih cepat berkembang dibanding daerah lainnya. Masing-masing daerah akan bersaing untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan antar daerah meningkat, hal ini disebabkan karena perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahun-tahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerah masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Tingkat

12 83 ketimpangan pada tahun-tahun berikutnya setelah awal pemberlakuan otonomi daerah berangsur-angsur turun Indeks Williamson di Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Ketimpangan pembangunan di luar DKI Jakarta pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah di analisis menggunakan pendekatan yang sama dengan pendekatan di DKI Jakarta, yaitu menggunakan indeks Williamson. Akan tetapi perhitungan indeks Williamson di luar DKI Jakarta bukan menggunakan data kabupaten/kota akan tetapi mengunakan data provinsi. Hal tersebut dikarenakan perhitungan ini untuk menganalisis ketimpangan antar provinsi di Indonesia tanpa DKI Jakarta. Adapun hasil perhitungan indeks Williamson tanpa migas selama tahun di luar DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 5.2. Tabel 5.2. Indeks Ketimpangan Williamson Provinsi di Indonesia berdasarkan PDRB per kapita Tanpa Migas ADHK 2000 Luar DKI Jakarta Tahun Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah Tahun IW Tahun IW , , , , , , , , , , , , , , , , , ,336 Rata-rata 0,315 Rata-rata 0,337 Sumber: BPS, diolah

13 84 Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa sebelum otonomi daerah indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berkisar antara 0,303 sampai 0,342, dangan rata-rata sebesar 0,315. Pada periode ini ketimpangan terbesar terjadi pada tahun 1998 yaitu sebesar 0,342, kemungkinan kenaikan tersebut disebabkan oleh dampak krisis moneter pada tahun Hal tesebut menandakan bahwa ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta tergolong rendah. Dengan melihat rendahnya nilai ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta, mengindikasikan bahwa pembangunan di DKI Jakarta sebelum otonomi daerah memberikan peran yang cukup besar terhadap ketimpangan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjafrizal yang dalam studinya ingin menganalisis pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan pembangunan antar wilayah. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pengaruh DKI Jakarta terhadap ketimpangan antar wilayah di Indonesia ternyata cukup besar, karena struktur ekonomi DKI Jakarta yang sangat berbeda dengan provinsi lain. Dimana terdapat konsetrasi kegiatan ekonomi yang yang tinggi di wilayah tersebut. Sehingga mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. 56 Pada awal otonomi daerah diberlakukan, yaitu pada tahun 2000 indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta berada di angka 0,324 dan mengalami penurunan di tahun 2001 menjadi 0,308. Tahun 2002 indeks ketimpangan mengalami peningkatan sebesar 0,025 yang menandakan ketimpangan pendapatan antar daerah semakin meningkat. Tahun 2003, nilai indeks ketimpangan kembali menunjukkan peningkatan menjadi sebesar 0,361 yang menandakan ketimpangan pendapatan kembali meningkat. Sedangkan di 56 Sjafrizal, op cit, h. 113.

14 85 tahun 2004 hingga 2006 relatif stabil di angka 0,350 yang menandakan mulai tahun 2003 hingga 2006 ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada di taraf sedang. Tahun 2007 nilai indeks Williamson kembali turun menjadi 0,339, 0,335 dan 0,327 di tahun 2008 dan Sedangkan di tahun 2010 kembali mengalami kenaikan menjadi 0,336 pada Tahun Pada Tabel 5.2, menunjukkan bahwa di luar DKI Jakarta nilai rata-rata indeks Williamson, setelah otonomi daerah lebih tinggi dibanding sebelum otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah sebesar 0,315 dan setelah otonomi daerah sebesar 0,337. Walaupun demikian nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan nilai rata-rata indeks Williamson DKI Jakarta yaitu 0,580 sebelum otonomi daerah dan 0,759 setelah otonomi daerah. Perlu dingat disini bahwa sebagaimana diungkapkan dalam studi Williamson bahwa indeks ini sensitif terhadap ukuran wilayah yang digunakan. 57 Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang digunakan berbeda, maka hal ini akan berpengaruh pada hasil perhitungan indeks ketimpangan. Dengan demikian, analisa perlu dilakukan secara hati-hati bila pembahasan menyangkut dengan perbandingan indeks ketimpangan antar wilayah dimana ukuran wilayahnya berbeda satu sama lainnya. 5.4 Analisis Trend Ketimpangan Pendapatan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan dalam suatu wilayah dapat dilihat dalam bentuk grafis. Hasil perhitungan nilai indeks Williamson sebelum dan setelah otonomi daerah di DKI Jakarata berada pada rentang 0,547-0,834. Berdasarkan Gambar 5.1 pada tahun , trend ketimpangan DKI Jakarta mengalami kenaikan yang 57 Ibid, h. 108.

15 86 relatif kecil. Selanjutnya peningkatan trend yang relatif besar terjadi pada Tahun 1998 hingga mencapai 0,624. Pada Tahun 1999 indeks Williamson DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan menjadi 0,633 yang merupakan angka terbesar dalam periode sebelum otonomi daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada akhrir tahun 1997, dengan cepat menggangu stabilitas ekonomi di DKI Jakarta. Berdasarkan analisis pada Tahun 2000 walaupun berada pada ketimpangan taraf tinggi, trend ketimpangan di DKI Jakarta mengalami penurunan. Akan tetapi di tahun-tahun berikuntnya trend ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta kembali mengalami peningkatan. Pada Tahun 2001,2002, dan 2003 kembali mengalami peningkatan masing-masing menjadi 0,672, 0,697, dan 0,766. Pada tahun 2004 kembali mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar 0,010 dan mulai Tahun 2005 tiap tahunnya mengalami peningkatan hingga Tahun Trend ketimpangan pada periode analisis tertinggi terjadi di Tahun 2010 yaitu sebesar 0,834. Naik turunnya ketimpangan di suatu wilayah disebabkan oleh PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Kenaikan atau penurunan yang tidak merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan ketimpangan yang semakin tinggi antar wilayah. Selanjutnya, trend ketimpangan anatr provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah berada pada rentang 0,303-0,361. Pada tahun 1993 hingga 1997 trend ketimpangan antar provinsi di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan dan penurunan kecil, yaitu pada rentang 0,303 sampai 0,309. Selanjutnya pada Tahun 1998, trend ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta mengalami peningkatan yang relatif tinggi menjadi 0,342 yang

16 87 merupakan angka tertinggi pada periode sebelum otonomi daerah. Pada tahun 1999 mengalami penurunan yang relatif kecil menjadi 0,336. Pada tahun 2000 dan 2001 kembali mengalami penurunan menjadi 0,324 dan 0,308. Selanjutnya peningkatan trend kembali merangkak ke tingkat yang lebih tinggi. Pada tahun 2002 trend ketimpangan kembali mengalami peningkatan dan berlanjut pada Tahun 2003 yang merupakan ketimpangan tertinggi pada periode analisis, yaitu sebesar 0,361. Sedangkan di tahun 2004 trend ketimpangan di luar DKI Jakarta kembali mengalami penurunan dan tidak berubah di angka 0,350 di Tahun Pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan relatif kecil yaitu 0,351 dan di tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan hingga tahun 2009, sebelum kemudian mengalami peningkatan di Tahun 2010 menjadi 0,336. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan maupun penurunan pada nilai PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta. Kenaikan atau penurunan yang merata dari kedua faktor tersebut di masing-masing wilayah akan menimbulkan pemerataan antar wilayah. 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Trend Ketimpangan DKI Jakarta Indeks Williamson 0,38 0,36 0,34 0,32 0,3 0,28 0,26 Trend Ketimpangan Luar DKI Jakarta Indeks Williamson Sumber: BPS, diolah Gambar 5.3 Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.

17 88 Dari gambar 5.1 dapat dilihat perbandingan antara trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa ketimpangan antar wilayah sebelum dan setelah otonomi daerah, DKI Jakarta lebih besar dibanding di luar DKI Jakarta. Trend ketimpangan di DKI Jakarta sebelum maupun setelah otonomi daerah cenderung mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Sedangkan Trend ketimpangan antar wilayah di Luar DKI Jakarta lebih berfluktuatif jika disbanding di DKI Jakarta. Selanjutnya rata-rata ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta berada di taraf tinggi, sedangkan rata-rata ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada pada taraf rendah.

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN

III. METODELOGI PENELITIAN 51 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1.Pengertian Metodelogi Penelitian Secara umum, metodologi penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau studi mengenai sistem atau tata cara untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN No.12/02/Th.XI, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK BANTEN SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,392 Pada ember 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.46/07/52/Th.I, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK NUSA TENGGARA BARAT MARET 2017 MENINGKAT GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,371 Pada

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/9/13/Th. XIX, 1 ember 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA BARAT MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,331 Pada 2016, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Jumlah penduduk adalah salah satu input pembangunan ekonomi. Data jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sampai 2015 menunjukkan kenaikan setiap tahun. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

2

2 2 3 c. Pejabat Eselon III kebawah (dalam rupiah) NO. PROVINSI SATUAN HALFDAY FULLDAY FULLBOARD (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. ACEH

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 No. 41/07/36/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN KONSUMSI MARET 2017 GINI RATIO PROVINSI BANTEN MARET 2017 MENURUN Pada 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Banten yang diukur

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 No. 07/01/31/Th. XV, 2 Januari 2013 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) DKI Jakarta Tahun 2011 A. Penjelasan Umum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perhatian khusus pada kualitas sumber daya manusia.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perhatian khusus pada kualitas sumber daya manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan suatu wilayah tidak terlepas dari sumber daya manusia yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, untuk membangun suatu wilayah diperlukan perhatian khusus pada

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERTUMBUHAN DAN KETIMPANGAN EKONOMI ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN

IDENTIFIKASI PERTUMBUHAN DAN KETIMPANGAN EKONOMI ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN IDENTIFIKASI PERTUMBUHAN DAN KETIMPANGAN EKONOMI ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2001-2010 M Iqbal Gazali miqbalgazali@gmail.com Luthfi Muta ali luthfi.mutaali@gmail.com Abstract The issue of inequality

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah sebuah proses terciptanya kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada dapat dikelola untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor lainnya. Sejalan dengan itu, sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Indikasi adanya ledakan penduduk di Indonesia yang ditunjukkan beberapa indikator demografi menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem. pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menerapkan sistem pembangunan dengan fokus pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Meskipun

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK No. 35/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PAPUA BARAT MARET 2017 MEMBAIK GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,390 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011

TABEL 1 GAMBARAN UMUM TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM) KURUN WAKTU 1 JANUARI - 31 DESEMBER 2011 TABEL 1 GAMBARAN UMUM No. Provinsi Lembaga Pengelola Pengunjung Judul Buku 1 DKI Jakarta 75 83 7.119 17.178 2 Jawa Barat 1.157 1.281 72.477 160.544 3 Banten 96 88 7.039 14.925 4 Jawa Tengah 927 438 28.529

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Oleh karena itu, pembangunan merupakan syarat mutlak bagi suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan suatu alat yang digunakan untuk mencapai tujuan negara, dimana pembangunan mengarah pada proses untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator keberhasilan kinerja pemerintah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi di setiap negara. Setiap Negara di dunia sangat memperhatikan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NTB No. 12/02/52/Th.X, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2015 EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT PADA TRIWULAN IV 2015 TUMBUH 11,98 PERSEN Sampai dengan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. No.1562, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPKP. Pembinaan. Pengawasan. Perubahan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penelitian. Pertama, pada bagian latar belakang akan

Lebih terperinci

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT

Visi, Misi Dan Strategi KALTIM BANGKIT Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 1 PETA KABUPATEN/KOTA KALIMANTAN TIMUR Awang Faroek Ishak Calon Gubernur 2008-2013 2 BAB 1. PENDAHULUAN Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan propinsi terluas

Lebih terperinci

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi,

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi, yang Tersedia pada Menurut, 2000-2015 2015 yang Tersedia pada ACEH 17 1278 2137 SUMATERA UTARA 111 9988 15448 SUMATERA BARAT 60 3611 5924 RIAU 55 4912 7481 JAMBI 29 1973 2727 SUMATERA SELATAN 61 4506 6443

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Assalamu alaikum Wr. Wb. Sambutan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Assalamu alaikum Wr. Wb. Sebuah kebijakan akan lebih menyentuh pada persoalan yang ada apabila dalam proses penyusunannya

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D.

Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. ANALISIS BENCANA DI INDONESIA BERDASARKAN DATA BNPB MENGGUNAKAN METODE CLUSTERING DATA MINING MAHESA KURNIAWAN 54412387 Pembimbing : PRIHANDOKO, S.Kom., MIT, Ph.D. Bencana merupakan peristiwa yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari 2001. Dalam UU No 22 tahun 1999 menyatakan bahwa

Lebih terperinci

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154

Fungsi, Sub Fungsi, Program, Satuan Kerja, dan Kegiatan Anggaran Tahun 2012 Kode. 1 010022 Provinsi : DKI Jakarta 484,909,154 ALOKASI ANGGARAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN YANG DILIMPAHKAN KEPADA GUBERNUR (Alokasi Anggaran Dekonsentrasi Per Menurut Program dan Kegiatan) (ribuan rupiah) 1 010022 : DKI Jakarta 484,909,154

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Triwulan III-2017 Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 73/11/52/Th.VIII, 6 Nopember 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) TRIWULAN III-2017

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 No., 05/01/81/Th. XV, 2 Januari 2014 Agustus 2007 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada di bawah Garis Kemiskinan) di Maluku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Luas keseluruhan dari pulau-pulau di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di Asia Tenggara yang dilewati garis khatulistiwa. Negara tropis tersebut memiliki jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS ANTAR DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH. Adrian Sutawijaya Universitas Terbuka.

ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS ANTAR DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH. Adrian Sutawijaya Universitas Terbuka. 1 ANALISIS TINGKAT PERTUMBUHAN DAN DISPARITAS ANTAR DAERAH PADA ERA OTONOMI DAERAH Adrian Sutawijaya Universitas Terbuka adrian@ut.ac.id ABSTRAK Semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) merujuk pada mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan

Lebih terperinci

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI Hermanto dan Gatoet S. Hardono PENDAHULUAN Sebagai negara berkembang yang padat penduduknya, Indonesia memerlukan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN, www.bpkp.go.id PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR: PER- 786/K/SU/2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR KEP-58/K/SU/2011

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN REALISASI KEGIATAN DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI

DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN REALISASI KEGIATAN DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN REALISASI KEGIATAN DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI Oleh : Direktur Pengelolaan Air Irigasi Lombok, 27 29 November 2013 1 REALISASI KEGIATAN PUSAT DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel I.1 Pertumbuhan Produksi Tahunan Industri Mikro dan Kecil YoY menurut Provinsi,

BAB I PENDAHULUAN. Tabel I.1 Pertumbuhan Produksi Tahunan Industri Mikro dan Kecil YoY menurut Provinsi, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Usaha makanan/kuliner merupakan jenis usaha yang sangat menjanjikan. Hal ini disebabkan makanan merupakan kebutuhan pokok manusia. Usaha ini banyak sekali

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN DANA DEKONSENTRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN MASALAH

BAB III PEMBAHASAN MASALAH BAB III PEMBAHASAN MASALAH 3. 1 Analisa Aplikasi Perkembangan dunia pendidikan semakin meningkat dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang mempunyai manfaat

Lebih terperinci

Analisa Keterkaitan Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Sumatera

Analisa Keterkaitan Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Sumatera Analisa Keterkaitan Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Wilayah Sumatera Tiur Roida Simbolon Ilmu Ekonomi Regional, Fakultas Ekonomi Pascasarjana Unimed, Medan e-mail :

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 10/11/53/Th. XX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Secara umum kondisi ekonomi dan tingkat optimisme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki potensi sumber daya yang sangat besar baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, untuk sumber daya alam tidak

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 2 BPS PROVINSI DI YOGYAKARTA No 46/08/34/ThXIX, 7 Agustus 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2017 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II 2017 TUMBUH 5,17 PERSEN LEBIH LAMBAT

Lebih terperinci

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS

Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Pertumbuhan Simpanan BPR Dan BPRS Semester II Tahun 2013 GROUP PENJAMINAN DIREKTORAT PENJAMINAN DAN MANAJEMEN RISIKO 0 DAFTAR ISI Jumlah BPR/BPRS Peserta Penjaminan Grafik 1 3 Pertumbuhan Simpanan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan umum yang sering dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah kesenjangan ekonomi atau ketimpangan distribusi pendapatan antara

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015 JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN NO PROVINSI LAKI-LAKI PEREMPUAN Total 1 ACEH 197 435 632 2 SUMATERA UTARA 1,257 8,378 9,635 3 SUMATERA BARAT 116 476 592

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN 2015 No. 10/02/14/Th. XVII, 5 Februari 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TAHUN EKONOMI RIAU TAHUN TUMBUH 0,22 PERSEN MELAMBAT SEJAK LIMA TAHUN TERAKHIR Perekonomian Riau tahun yang diukur berdasarkan Produk Domestik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

Jumlah Ternak yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) menurut Provinsi dan Jenis Ternak (ekor),

Jumlah Ternak yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) menurut Provinsi dan Jenis Ternak (ekor), Sapi ACEH 25055 25902 18002 23456 22172 19693 9931 27698 26239 35601 36014 36287 30145 11316 10986 13231 SUMATERA UTARA 22557 22578 17050 21686 20380 19275 20816 24077 19676 28901 31926 32163 21761 24434

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Arsip Nasional Re BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 454, 2016 ANRI. Dana. Dekonsentrasi. TA 2016. Pelaksanaan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KEPALA

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 BADAN PUSAT STATISTIK. 29/03/Th. XIX, 15 Maret 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR ECERAN RUPIAH FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016 RUPIAH TERAPRESIASI 3,06 PERSEN TERHADAP DOLAR AMERIKA Rupiah terapresiasi 3,06 persen

Lebih terperinci

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi,

Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Bintang Menurut Provinsi, Menurut, 2000-2016 2015 ACEH 17 1.278 2.137 20 1.503 2.579 SUMATERA UTARA 111 9.988 15.448 116 10.732 16.418 SUMATERA BARAT 60 3.611 5.924 61 3.653 6.015 RIAU 55 4.912 7.481 58 5.206 7.832 JAMBI 29 1.973

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2012

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2012 No. 12/02/31/Th. XVI, 5 Februari 2014 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2012 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) DKI Jakarta Tahun 2012 A. Penjelasan Umum

Lebih terperinci

RINGKASAN DATA DAN INFORMASI KEMISKINAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 2016 ISSN : 2528-2271 Nomor Publikasi : 53520.1702 Katalog : 3205008.53 Jumlah halaman : viii + 24 halaman Ukuran : 21 cm x 14,5 cm

Lebih terperinci

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2

PANDUAN. Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 PANDUAN Aplikasi Database Tanah, Bangunan/Gedung, dan Rumah Negara Gol. 2 Bagian Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Direktorat Jenderal Cipta Karya DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA KEMENTERIAN

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakh No.1368, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Hasil Pemetaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG HASIL PEMETAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Kesenjangan Berdasarkan data PDRB per kapita, diketahui bahwa nilai PDRB per kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi

Lebih terperinci