KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI

dokumen-dokumen yang mirip
METODELOGI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Avian Influenza

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG 1)

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama ini mungkin kita sudah sering mendengar berita tentang kasus

BAB I PENDAHULUAN. influenza tipe A termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Virus AI tergolong

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

TINJAUAN PUSTAKA. Btetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

TINJAUAN STRUKTUR GENETIK SERTA TINGKAT KEGANASAN VIRUS INFLUENZA H1N1

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibodi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL ANTI H5N1 PADA MARMOT (Cavia porcellus) YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN AVIAN INFLUENZA H5N1 DAN H5N2 KUNTO WIDYASMORO

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Proses Penyakit Menular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Virus influenza tipe A adalah virus RNA, famili Orthomyxoviridae dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PEMBUATAN DAN STANDARISASI ANTIGEN AI H5N1 KOMERSIAL UNTUK MONITORING TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI AI DI INDUSTRI PETERNAKAN AYAM

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

BAB I PENDAHULUAN. termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009).

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Salah Satu Manajemen Perkandangan pada Peternakan Ayam Broiler.

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

TINJAUAN PUSTAKA Newcastle Disease (ND)

MODUL 2 DASAR DASAR FLU BURUNG, PANDEMI INFLUENZA DAN FASE FASE PANDEMI INFLUENZA MENURUT WHO

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

TINJAUAN PUSTAKA. Virus Influenza A, B dan C

EVALUASI HASIL VAKSINASI AVIAN INFLUENZA (AI) DI KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMEDANG ANI SITI NURFITRIANI

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS Avian influenza ASAL BEBEK

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi (Wibowo, 2014). Hal ini disebabkan

OUTLINE PENDAHULUAN CIRI-CIRI VIRUS STRUKTUR SEL VIRUS BENTUK VIRUS SISTEM REPRODUKSI VIRUS PERANAN VIRUS

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. sangat akut dan mudah sekali menular. Penyakit tersebut disebabkan oleh virus

FLU BURUNG AVIAN FLU BIRD FLU. RUSDIDJAS, RAFITA RAMAYATI dan OKE RINA RAMAYANI

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Kajian Vaksin Avian Influesa (AI) pada Ayam Buras dengan Sistem Kandang Kurung di Gunung Kidul Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September-Oktober 2013.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dapat disebabkan oleh kausa infeksius, non-infeksius dan nutrisional (Ali dkk.,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan epidemiologi Avian Influenza

TINJAUAN PUSTAKA Virus Influenza Tipe A

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Kerangka Konsep. Kerangka konsep yang dibangun dalam penelitian ini digambarkan sebagai. berikut :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Respon Kekebalan Vaksin Avian Influenza Inaktif pada Ayam Indukan Pedaging Strain Hubbard (Studi Kasus pada Peternakan Ayam Indukan Pedaging)

PENYAKIT VIRUS UNGGAS PENYAKIT VIRUS UNGGAS

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Indluenza

PERBANDINGAN UJI HI DAN ELISA UNTUK MENGUKUR MATERNAL ANTIBODI ND PADA ANAK AYAM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Deteksi genom virus avian influenza pada penelitian dilakukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN RESPON KEBAL TERHADAP INFECTIOUS BURSAL DISEASE

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

MATURASI SEL LIMFOSIT

BAB 1 PENDAHULUAN. Virus family Orthomyxomiridae yang diklasifikasikan sebagai influenza A, B, dan C.

Deteksi Respon Antibodi dengan Uji Hemaglutinasi Inhibisi dan Titer Proteksi terhadap Virus Avian Influenza Subtipe H5N1

Virus baru : Coronavirus dan Penyakit SARS

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian. Dalam kurun waktu 50 tahun

HASIL DAN PEMBAHASAN

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Termasuk ke dalam retrovirus : famili flaviviridae dan genus hepacivirus. Virus RNA, terdiri dari 6 genotip dan banyak subtipenya

Pertanyaan Seputar "Flu Burung" (Friday, 07 October 2005) - Kontribusi dari Husam Suhaemi - Terakhir diperbaharui (Wednesday, 10 May 2006)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Avian influenza (AI) dan Newcastle disease (ND) adalah penyakit

Transkripsi:

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

ABSTRACT ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Neutralization Ability of Specific Antibody of Avian Influenza H5 to Several Viruses of H5N1 Field Isolates. Under direction of I Wayan Teguh Wibawan and Sri Murtini. Avian Influenza (AI) is well known as Avian flu, Fowl pest, Fowl plaque, or Flu burung, caused by influenza virus type A. This virus is belonged to Orthomyxoviridae and could infect many kind of species such as bird, pig, horse, cat, as well as human. Vaccination is applied to control the disease using inactivated vaccine, which induced the specific antibody against H5 antigen. Passive immunization using specific antisera against H5 antigen is thought to be usefull in controlling the disease especially in the treatment of infected host. In this experiment the neutralization ability of specific antisera against H5 were studied using various field viral isolates subtype H5N1. Antisera was developed in Cavia porcellus which vaccinated with AI subtype H5N1 in activated vaccine. The titre of antisera obtained is 2 8 used HI test. Four AI virus subtype H5N1 isolates from 23 to 26 agains viral were we as tested virus. The neutralization test showed that the sera were able to neutralizing 1 4 EID 5 AI virus H5N1 with neutralization index range between 1,1 1,3. The result indicated that the specific antisera had the neutralization potency to the field virus. Keyword : Avian influenza, Neutralization test, Neutralization Index

Hak cipta milik IPB, tahun 28 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarangan mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KEMAMPUAN NETRALISASI ANTIBODI SPESIFIK AVIAN INFLUENZA H5 TERHADAP BEBERAPA VIRUS H5N1 ISOLAT LAPANG ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Megister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 28

Judul Tesis : Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang Nama : Andrijanto Hauferson Angi NIM : B151611 Program Studi : Sains Veteriner Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Drh. I Wayan T. Wibawan, MS Ketua Dr. Drh. Sri Murtini, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 3 September 28 Tanggal Lulus :

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Dr. I Wayan Teguh Wibawan, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Drh. Sri Murtini M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas waktu, saran, nasehat, kesempatan, serta bimbingannya. 2. Drh. Bambang Pontjo P, MS, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sains Veteriner. 3. Prof. Dr.Drh. Retno D.Soejoedono, MS, selaku Dosen Penguji Luar 4. Teman-teman Program Studi Sains Veteriner ( Mr. Jack, Pak Adji, Pak Agung, Bu Ketut, Bu Sovi, Pak Muharam, Pak Nyoman, Pak Mustafa, Kalbe grup) 5. Teknisi Bagian Mikrobiologi Medis Laboratorium Virologi dan Imunologi FKH IPB (Lukman, Wahyu, Ifan) 6. Orang tua tercinta dan keluarga atas doa serta bantuan dan motivasinya 7. Ai dan Kedua anakku tercinta (Luki dan Putri) atas doa dan kasih sayangnya Bogor, Agustus 28 Andrijanto Hauferson Angi

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kupang, 2 April 1972 dari ayah Drs. Ayub Angi dan ibu Ny. Agusthina Angi-Takain. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penulis Menempuh Pendidikan S1 dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Fakultas Kodekteran Hewan IPB. Tahun 2 hingga 22 penulis bekerja di Jakarta pada PT. Hannachemia Suginra dan PT. Paeco Agung. Bulan Desember Tahun 22 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politeknik Pertanian Negeri Kupang. Pada tahun 26 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

RINGKASAN ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang. Dibimbing oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN dan SRI MURTINI. Penyakit Avian Influenza (AI) yang disebut juga Flu burung, Fowl pest, Fowl plaque, atau Avian flu adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini berasal dari kelompok famili Orthomyxoviridae. Di Indonesia, sejak tahun 23 hingga tahun 28 sudah 31 propinsi di Indonesia dari 33 propinsi terserang wabah penyakit ini, 26 di antaranya merupakan daerah endemis. Tindakan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penyakit Avian influenza melalui vaksinasi. Selain memberikan kekebalan pada hewan vaksinasi juga dapat menyebabkan tekanan terhadap virus sehingga mengurangi peluang terjadinya mutasi alami atau reassortment melalui pengurangan jumlah virus yang bersirkulasi. Vaksinasi merupakan tindakan pengebalan secara aktif terhadap hewan atau manusia. Tindakan pengebalan selain secara aktif dapat juga dilakukan secara pasif. Pengebalan secara pasif adalah pemberian zat kebal (antibodi) secara langsung pada hewan atau inang. Pengebalan pasif dapat bertindak sebagai terapi bagi penderita suatu penyakit seperti pada kasus tetanus. Berbagai isolat lapang yang diperoleh serta diteliti, memperlihatkan bahwa isolat virus unggas yang dikumpulkan selama wabah Avian influenza yang berlangsung tahun 23, 24 dan 25 dari berbagai daerah tertular di Indonesia masih berada dalam satu cluster yang sama. Hasil pemetaan gen dapat diketahui bahwa virus H5N1 pada unggas di Indonesia selama ini belum menunjukkan indikasi mengalami mutasi yang nyata. Belum adanya perubahan genetik yang drastis (mutasi) dari virus Avian influenza H5N1 yang ada di Indonesia memberi peluang bagi dilakukannya penelitian kemampuan netralisasi antibodi anti virus H5N1 serta kemungkinan penggunaannya sebagai imun terapi bagi penyakit Avian influenza. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi antibodi anti H5 (Ab anti H5) dan mengetahui kemampuan netralisasi antibodi tersebut terhadap berbagai isolat lapang. Penelitian dilaksankan dalam 4 tahap yaitu titrasi virus dengan uji Hamaglutinasi dan Uji Egg Infectious Dose 5 (EID 5 ), produksi antibodi terhadap avian influenza H5N1 (Ab anti H5), identifikasi dan titrasi antibodi dengan uji AGP dan uji penghambatan agglutinasi serta uji Netralisasi menggunakan prosedur ß untuk mengetahui kemampuan netralisasi antibodi terhadap virus isolat lapang. Hasil titrasi menunjukkan bahwa isolat lapang yang dimiliki FKH IPB sejak tahun 23 26 mempunyai titer antara 2 8-2 9 HAU / 25 ul dan 1 8,3 1 11,8 EID 5/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa virus koleksi FKH IPB memiliki titer dan viabilitas yang tinggi sehingga layak digunakan dalam pengujian. Produksi antibodi dilakukan pada cavia yang divaksinasi sebanyak 2 kali dengan interval penyuntikan 2 minggu, koleksi serum dilakukan 2 minggu setelah

vaksinasi kedua. Hasil pemeriksaan Ab dengan virus standar H5N1 menunjukkan bahwa Ab yang diproduksi homolog dengan Antigen standar. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya garis presipitasi pada Agar Gel Presipitasi (AGP). Titer Ab yang terbentuk cukup tinggi mencapai 2 9 dengan uji HI. Hasil uji netralisasi menunjukkan Indeks Netralisasi dari Ab yang diperoleh terhadap virus isolat tahun 23 26 adalah 1,1 1,3. Berdasarkan hasil uji netralisasi terlihat bahwa antibodi anti H5 yang diproduksi memiliki kemampuan menetralisasi virus uji. Isolat tahun 23, tahun 25 dan tahun 26, antibodi anti H5 dapat menetralisasi 5% virus dengan titer 1 4 EID 5 pada pengenceran 1:2, sedangkan terhadap virus AI H5N1 isolat tahun 24, Ab dapat menetralisasi pada pengenceran 1:13. Penelitian ini menunjukkan bahwa antibodi anti H5 (antisera) yang diproduksi dapat menetralisasi virus dengan sempurna pada titer 2 8. Kemampuan Ab anti H5 asal cavia ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kemampuan netralisasi Ab asal unggas. Laporan Riset Unggulan Insentif 28, Wibawan et al. (28) menyatakan bahwa IgY asal kuning telur ayam yang bertiter 2 4 dapat menetralisasi 1% virus isolat 25. Perbedaan efikasi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu adanya perbedaan konformasi dan konsentrasi antibodi mamalia (IgG) dengan antibodi unggas (IgY). IgG memiliki jumlah antibodi/minggu 2 mg IgG/darah (dalam 4 ml darah) sedangkan IgY 5-1 mg IgY/ telur. Perbedaan lain IgG memiliki jumlah antibodi spesifik 5%, sedangkan IgY hanya 2-1%. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Ab anti H5 yang diproduksi mampu menetralkan virus H5N1 isolat lapang. Kata kunci : Avian Influenza, Uji Netralisasi, Indeks Netralisasi

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kemampuan Netralisasi Antibodi Spesifik Avian Influenza H5 Terhadap Beberapa Virus H5N1 Isolat Lapang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 28 Andrijanto Hauferson Angi NIM B151611

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr.Drh. Retno D.Soejoedono, MS

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Halaman...Latar Belakang... 1...Tujuan Penelitian... 3...Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA...Ekologi Avian Influenza... 4...Sifat dan Patogenitas Virus Avian Influenza 6...Replikasi Virus. 7...Gambaran Klinis... 8...Vaksin dan Vaksinasi Terhadap Penyakit Avian Influenza... 9...Antibodi... 1...Bentuk Alami Dari Reaksi Antibodi Antigen... 12...Imunisasi Pasif... 13...Uji Netralisasi Virus... 15...Titrasi Virus... 16 METODELOGI PENELITIAN...Tempat dan Waktu... 17...Metode Penelitian... 17...Titrasi Virus dengan Uji HA dan EID 5... 17...Produksi Antibodi Anti H5... 19...Identifikasi dan Titrasi Antibodi... 19...Uji SNT Prosedur ß-Netralisasi... 21...Perhitungan Indeks Netralisasi prosedur ß... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN...Titrasi Virus Isolat Uji.... 22...Produksi Antibodi...... 23...Identifikasi Serum kebal (Antibodi Anti H5) 24...Titrasi Antibodi Anti H5... 25...Uji Netralisasi Virus...... 26 SIMPULAN DAN SARAN... 32 x xi xii

DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN... 37

DAFTAR TABEL Halaman 1 Perhitungan Endpoint 5%...... 19 2 Titer virus Isolat Koleksi dengan Uji HA... 22 3 Titer Virus dengan Uji EID 5... 23 4 Waktu Vaksinasi serta Titer Ab anti H5 koleksi... 24 5 Nilai HI test terhadap Isolat Koleksi FKH IPB (Isolat Terpilih)... 25 6 Uji Netralisasi Isolat Tahun 23 dengan Metode Reed and Muench... 27 7 Uji Netralisasi Isolat Tahun 24 dengan Metode Reed and Muench... 28 8 Uji Netralisasi Isolat Tahun 25 dengan Metode Reed and Muench... 29 9 Uji Netralisasi Isolat Tahun 26 dengan Metode Reed and Muench... 3 1 Perhitungan titer endpoint 5% isolat 23... 38 11 Perhitungan titer endpoint 5% isolat 24... 39 12 Perhitungan titer endpoint 5% isolat 25... 4 13 Perhitungan titer endpoint 5% isolat 26... 41

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Virus Influenza tipe A, B, C... 4 2 Replikasi Virus Influenza.. 8 3 Struktur Antibodi... 11 4 Bentuk alami reaksi antibodi antigen... 12 5 Reaksi Antibodi Antigen... 13 6 Skematik Sistem Imun... 14 7 AGP... 25 8 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 23... 27 9 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 24... 28 1 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 25... 29 11 Reaksi aglutinasi hasil uji netralisasi untuk isolat tahun 26... 3

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Desain Penelitian 37 2 Uji EID 5... 38

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Avian Influenza (AI) yang disebut juga Flu burung, Fowl pest, Fowl plaque, atau Avian flu adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus ini berasal dari kelompok famili Orthomyxoviridae, serta dapat menginfeksi berbagai macam spesies diantaranya unggas, babi, kuda, serta manusia (Easterday & Hinshaw 1991). Di Indonesia, sejak tahun 23 hingga tahun 28 sudah 31 propinsi di Indonesia dari 33 propinsi, 26 diantaranya adalah endemis. Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit Avian Influenza di Indonesia sesuai dengan rencana dan strategi nasional pengendalian Avian Influenza adalah mencegah penularan dan memutus mata rantai penyebaran virus flu burung sedini mungkin, melakukan tindakan pengendalian virus pada daerah yang terjangkit, serta menyediakan dan mengembangkan pembuatan obat antivirus dan vaksin dari benih virus (seed) Indonesia (Bappenas 25). Tindakan pencegahan penyakit Avian influenza dapat dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksinasi memberikan peningkatan respon kekebalan aktif. Selain vaksinasi, kekebalan dapat juga diberikan melalui pemberian zat kebal secara langsung yang dikenal dengan respon kekebalan pasif. Sebagai contoh pada pemberian serum kebal bagi penderita rabies. Alternatif pengendalian penyakit yang tertuang dalam rencana strategis pengendalian Avian influenza adalah penelitian pengaruh obat bagi penderita Avian influenza. Pemberian Antibodi langsung dalam bentuk kekebalan pasif dapat dilakukan sebagai alternatif pencegahan penyakit Avian influenza. Secara umum, virus influenza dapat mengalami mutasi spontan pada saat virus memperbanyak diri di dalam sel inang. Beberapa tipe virus influenza dapat menginfeksi manusia maupun hewan, yaitu virus influenza A, B, dan C. Penggolongan virus influenza didasarkan pada perbedaan Antigenic NP dan M1 dari masing-masing virus. Tidak seperti virus influenza B dan C, virus influenza A mempunyai dua sifat yang mudah berubah, yaitu Antigenic drift dan Antigenic shift

2 (pergeseran genetik). Antigenic drift adalah perubahan pada satu titik dari genom virus influenza A, perubahan ini sebagai penyebab wabah flu musiman yang sering terjadi. Antigenik drift melibatkan perubahan minor antigenik pada HA dan/atau NA, sedangkan Antigenik shift melibatkan perubahan antigenik mayor pada HA dan/atau NA (Easterday et al. 1997). Antigenic shift adalah perubahan yang lebih besar dari genom virus, meliputi minimal 1 segmen dari 8 segmen virus influenza, perubahan ini sebagai penyebab terjadinya wabah berkala setiap abad, seperti Pandemi influenza. Antigenic shift yang dikenal dengan proses reassortasi (reassortment), merupakan proses terjadinya pemilihan dan pencampuran secara genetis virus dari 2 subtipe virus berbeda yang berasal dari 2 induk semang berbeda, sehingga terbentuk jenis subtipe virus baru yang berbeda dengan 2 subtipe induknya (Parent viruses). Subtipe virus baru ini (reassortant influenza virus) mampu beradaptasi pada jenis makhluk hidup lain. Antigenic shift dalam hubungannya dengan kemunculan strain virus baru, terjadi ketika virus membutuhkan gen HA baru (dan NA pada beberapa kasus) mengkode sebuah protein baru yang memiliki karakteristik antigenik yang baru. Dalam subtipe viral baru, virus mengalami evolusi di bawah tekanan selektif imunitas inang. Strain yang mampu tumbuh dan berkembang adalah yang mampu mengakumulasi mutasi yang cocok pada gen yang mengkode HA. Perubahan asam amino HA berhubungan dengan perubahan minor sifat antigenik (Both & Sleigh 1981). Vaksinasi dapat menyebabkan tekanan terhadap virus sehingga mengurangi peluang terjadinya mutasi alami melalui pengurangan jumlah virus yang bersirkulasi. Berbagai isolat lapang yang diperoleh serta diteliti, memperlihatkan bahwa isolat virus unggas yang dikumpulkan selama wabah Avian influenza yang berlangsung tahun 23, 24 dan 25 dari berbagai daerah tertular di Indonesia masih berada dalam satu cluster yang sama. Studi sekuensing nukleotida menunjukkan bahwa kebanyakan virus HPAI memiliki ciri-ciri yang sama dalam gen HA pada ayam, sebagai penanda virulensi (Harder & Werner 26; Neuman et al. 23). Hasil pemetaan gen dapat diketahui bahwa virus H5N1 pada unggas di Indonesia selama ini belum menunjukkan indikasi mengalami mutasi yang nyata. Belum adanya perubahan genetik yang drastis (mutasi) dari virus Avian influenza

3 H5N1 yang ada di Indonesia memberi peluang bagi dilakukannya penelitian kemampuan netralisasi antibodi anti virus H5N1 serta kemungkinan penggunaannya sebagai imun terapi bagi penyakit Avian influenza. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh Ab anti H5 yang memiliki kemampuan menetralisir isolat virus AI H5N1 asal lapang 2. Melihat dinamika virus AI H5N1 berdasarkan ekspresi biologis virus Hipotesis 1. Virus Avian Influenza H5N1 di lapangan di Indonesia belum mengalami perubahan (mutasi) genetik yang drastis berdasarkan perbedaan ekspresi biologisnya 2. Antibodi terhadap H5N1 yang diperoleh mampu menetralisir virus asal isolat lapang

4 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Avian Influenza Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat panjang, merupakan genom RNA rantai tunggal dengan 8 segmen, serta berpolaritas negatif. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae dan diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari nukleoprotein dan matrix proteinnya. Gambar 1. Virus Influenza tipe A, B, C Berdasarkan sifat antigenisitas glikoprotein, virus influenza dikelompokkan ke dalam 16 subtipe H (H1-H16) dan 9 subtipe N (N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan berdasarkan analisis filogenetik terhadap nukleotida dan penetapan sekuen gen-gen HA dan NA melalui cara deduksi asam amino (Fouchier et al. 25). Hemaglutinin merupakan protein yang mengalami glikosilasi dan asilasi (glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang terikat dalam selubung virus. Bagian distal berbentuk bulat yang berkaitan dengan kemampuannya melekat pada reseptor sel. Hemaglutinin terdiri dari oligosakharida yang menyalurkan derivat asam neuroaminik (Watowich et al. 1994). Daerah eksternal (exodomain) dari glikoprotein transmembran merupakan neuroamidase

5 (NA), enzim bertugas melakukan aktivitas enzimatik sialolitik (sialolytic ensymatic activity) selain itu enzim neuraminidase bertugas melepaskan progeni virus yang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu dilepaskan. Fungsi ini mencegah bertumpuknya virus serta memudahkan gerakan virus dalam selaput lendir dari jaringan epitel sasaran (Matrosivich et al. 24). Menempelnya virus ke target infeksi membuat neuroamidase merupakan sasaran yang menarik bagi obat antivirus (Garman & Laver 24). Kegiatan yang terkoordinasi dari glikoprotein HA dan NA dari strain virus tertentu merupakan hal yang penting bagi proses pelekatan dan pelepasan virion (Wagner et al. 22). Virion masuk dan menyatu ke dalam sebuah ruang endosom setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai (Rust et al. 24). Dalam ruang endosom, virus mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membran endosom yang dimediasi oleh pemindahan proton melalui terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus pada nilai ph di endosom sekitar 5,. Selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA. Hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain) yang sangat lipofilik dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran endolisomal, sehingga mulai terjadi fusi antara membran virus dengan membran lisomal (Wagner et al. 25). Kedelapan segmen RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan pelindung protein (ribonucleoprotein complex, RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan ke dalam sitoplasma. Di sini mereka disalurkan ke nukleus untuk melakukan transkripsi mrna virus dan replikasi RNA genomik melalui proses rumit yang diatur oleh faktor virus dan faktor sel (Whitaker et al. 1996). Polimerase yang dependen terhadap RNA (RdRp) dibentuk oleh sebuah kompleks (gabungan) dari PB1, PB2 dan protein PA virus, serta memerlukan RNA (RNP) yang terbungkus (encapsidated RNA (RNPs)) untuk hal ini. Setelah terjadi translasi protein virus dan perangkaian nukleokapsid yang membawa RNA genomik yang sudah ter-replikasi, virion-virion progeni tumbuh dari membran sel yang di dalamnya sudah dimasukkan glikoprotein virus sebelumnya. Penataan antara nukleokapsid berbentuk lonjong dan protein pembungkus virus dimediasi oleh

6 protein matrix-1 virus (M1) yang membentuk struktur serupa cangkang tepat di bawah pembungkus virus. Reproduksi virus di dalam sel peka bisa berlangsung sangat cepat (kurang dari sepuluh jam). Proses ini akan efisien, apabila gen optimal tersedia di sana (Rott et al. 1995). Akibat aktivitas Polimerase yang dependen terhadap RNA (RdRp), virus mudah mengalami mutasi dan siklus replikasinya cepat. Jika ada tekanan selektif seperti antibodi penetral, ikatan reseptor yang tidak optimal, atau obat antiviral yang bekerja selama proses replikasi virus pada inang, dapat menyebabkan terjadi mutan dengan keunggulan selektif (mis. reseptor terlepas saat proses netralisasi serta membentuk unit pengikat reseptor baru) dan kemudian menjadi varian yang dominan dalam spesies virus di dalam tubuh inang. Determinan antigenik dari glikoprotein HA dan NA yang dipengaruhi oleh mekanisme yang dipicu oleh sistem kekebalan, prosesnya disebut sebagai Antigenic drift (Fergusson et al. 23). Sebaliknya, Antigenic shift menunjukkan adanya perubahan mendadak dalam determinan antigenik, yaitu pertukaran subtipe H dan/atau N, dalam satu siklus tunggal replikasi. Hal ini terjadi dalam sebuah sel yang secara bersamaan terinfeksi oleh dua atau lebih virus influenza A dari subtipe yang berbeda. Karena distribusi segmen genomik virus yang sudah tereplikasi ke dalam progeni yang baru tumbuh berlangsung tanpa tergantung kepada subtipe asal dari tiap segmen, dan dapat muncul progeni yang berkemampuan untuk bereplikasi membawa informasi genetik dari virus induk yang berbeda-beda (disebut sebagai reassortant) (Webster & Hulse 24, WHO 25). Sifat dan Patogenitas Virus Avian Influenza Sifat virus Avian influenza antara lain mengaglutinasi sel darah merah ayam, mudah mengalami mutasi, virus mudah mati di luar sel tubuh ayam (tidak stabil di lingkungan). Virus ini juga mudah mati oleh panas, kekeringan, sinar ultraviolet, serta berbagai desinfektan yang umum di lapangan (deterjen, formalin, yodium, ammonium, kuarterner, hipoklorit, klorin, serta senyawa fenol). Tingkat keganasan virus Avian influenza sangat bervariasi, dan secara garis besar dibedakan atas dua

7 bentuk yaitu Low Pathogenic AI (LPAI) dan Highly Pathogenic AI (HPAI). Kejadian LPAI umumnya tidak menunjukkan gejala yang khas atau asimptomatik, misalnya berupa gangguan pernapasan ringan atau gangguan reproduksi. Kasus HPAI memiliki ciri-ciri antara lain bersifat sangat kontagius, dapat menimbulkan penyakit multisistemik dengan mortalitas tinggi. Bentuk HPAI dapat disebakan oleh virus AI dari beberapa suptipe H5 atau H7, namun penentuan bentuk HPAI tidak didasarkan pada subtipe H5 atau H7 tetapi sifat keganasan penyakit. Pada setiap wabah, subtipe H5 atau H7 mempunyai karekteristik internal gene yang mungkin bervariasi. Virus HPAI dapat berasal dari virus LPAI yang bermutasi pada protein permukaan hemaglutinin (OIE 25) Replikasi Virus Replikasi virus dimulai dengan adsorbsi virus ke reseptor glikoprotein yang mengandung asam sialic pada permukaan sel. Virus kemudian memasuki sel dengan jalan endositosis melalui reseptor. Kondisi ph rendah dalam endosom, menghasilkan perubahan konformasi dalam hemaglutinin, yang memperantarai fusi membran. Nukleokapsid kemudian memasuki sitoplasma dan bermigrasi ke nukleus. Virus influenza menggunakan mekanisme yang unik untuk menginisiasi transkripsi, yaitu menggunakan viral transkriptase. Enam mrna monosistronik dihasilkan dan ditranslasi menjadi HA, NA, NP dan tiga polimerase (PB1, PB2, dan PA). Melalui pembelahan mrna untuk gen NS dan M masing-masing menjadi dua mrna, yang ditranslasi dalam reading frame berbeda dan menghasilkan protein NS1, NS2, M1 dan M2. Hemaglutinin dan neuraminiase diglikosilasi dalam retikulum endoplasma kasar, dilengkapi di dalam badan golgi, ditransportasikan ke permukaan dan melekat pada membran sel (Easterday et al. 1997). Syarat penting protein HA dapat bekerja adalah adanya pembelahan oleh protease sel inang menjadi HA 1 dan HA 2 yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Pembelahan dibutuhkan untuk dihasilkannya virus yang infeksius. Setelah produksi

8 dan pemasangan protein viral dan RNA, virus keluar sel dengan jalan menguncup dari membran plasma (Easterday et al. 1997). Gambar 2. Replikasi Virus Influenza (Paul 23) Gambaran Klinis Gambaran klinis penyakit Avian influenza (AI) pada unggas bervariasi serta gejalanya sering tidak spesifik, oleh karena itu tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis. Virus berkembang selama beberapa hari, tergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies, dan usia unggas. Unggas yang menderita AI dapat mengeluarkan virus dalam jumlah yang besar di kotorannya. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 3 hari dalam suhu 3 C. Di dalam feses unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit, virus dapat bertahan lebih lama, tetapi akan mati pada pemanasan 6 C selama 3 menit (Soejoedono & Handharyani 25). Gejala klinis infeksi virus AI berpatogenesis rendah tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu kusut, produksi telur secara perlahan menurun, penurunan berat badan disertai gangguan pernapasan ringan (Capua & Mutinelli 21). Beberapa strain berpatogenesis rendah misalnya

9 strain H9N2 dari garis Asia virus ini telah beradaptasi sehingga menghasilkan replikasi yang efisien dalam unggas, dan menimbulkan gejala klinis yang nyata serta mengakibatkan kematian secara signifikan. Infeksi virus AI yang patogenitasnya tinggi, menimbulkan penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan gejala hebat serta kematian mendekati 1% dalam jangka waktu 48 jam (Swayne & Suarez 2). Penyebaran virus dalam kelompok unggas tergantung bentuk pemeliharaannya. Pada kelompok unggas yang dilepas di tempat kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam kandang. Namun masih diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua et al. 2). Infeksi virus pada peternakan unggas skala besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang drastis dalam waktu singkat. Hal ini dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik. Pada ayam petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, ayam yang terkena HPAI sering hanya menunjukkan apatis dan imobilitas. Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan, dan susah bernafas, dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten). Pada ayam petelur, awalnya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers et al. 25). Gejala sistem saraf termasuk tremaor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek, angsa, serta burung onta. Vaksin dan Vaksinasi Terhadap Penyakit Avian Influenza Vaksinasi bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap timbulnya penyakit secara klinis. Perlindungan terhadap serangan virus yang virulen, merupakan perlindungan terhadap ekskresi virus. Vaksinasi yang digunakan saat ini belum ada yang secara eksperimental memenuhi persyaratan di atas (Lee & Suarez 25). Teknologi produksi vaksin untuk penyakit AI saat ini diarahkan ke tiga tipe produksi yaitu vaksin konvensional homolog, vaksin konvensional heterolog, dan

1 vaksin rekombinan homolog. Vaksin konvensional homolog H5N1, memiliki homologi yang mirip virus lapang sehingga tidak terbentuk mutant akibat tekanan imunologis (Antigenic drift). Namun vaksinasi ini memiliki kelemahan antara lain hingga saat ini bentuk virus H5N1 bersifat ganas sehingga pada proses produksinya secara konvensional membahayakan. Vaksin konvensional heterolog H5N2, H5N9, H5N1, dipakai pada vaksin konvensional karena sifatnya Low Pathogenic sehingga tidak berbahaya pada proses produksi vaksin dan dapat menghasilkan titer virus tinggi. Namun vaksin konvensional heterolog memiliki kelemahan antara lain antigenisitas tidak kompatibel (homologi yang mirip) sepenuhnya terhadap virus lapang sehingga besar kemungkinan terbentuk mutant akibat tekanan imunologis (Antigenic drift). Vaksin rekombinan homolog memiliki kelebihan dapat menginduksi imunitas seluler dan humoral, tidak menimbulkan reaksi sakit akibat vaksinasi, tidak memerlukan adjuvan, lebih effektif dan efisien, dapat diberikan pada anak ayam umur muda. Pembedaan antara hewan terinfeksi atau divaksinasi lebih nyata secara klinis. Namun vaksin rekombinan homolog juga memiliki kelemahan antara lain kemampuan bereplikasi yang rendah dan menginduksi kekebalan parsial pada unggas, pemberian vaksin rekombinan juga berarti memaparkan vaksin atau virus vektornya. Efek antibodi asal juga dapat mempengaruhi efikasi vaksin, sampai saat ini efikasi vaksin perlu diteliti terlebih dahulu, serta penggunaan vaksin tersebut harus dibatasi untuk spesies tertentu. Antibodi Hewan yang terpapar oleh suatu antigen, akan membentuk respon kekebalan pada tubuh hewan tersebut. Respon humoral tubuh yang terinfeksi menghasilkan antibodi. Antibodi merupakan molekul protein yang diproduksi oleh sel B dan saling berhubungan secara spesifik dengan molekul asing (antigen). Molekul antibodi merupakan globulin, sehingga umumnya dikenal sebagai immunoglobulin (Ig). Dikenal 5 kelas utama imunoglobulin dalam serum, IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain)

11 yang identik dan 2 rantai ringan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S S). Fragmen Fab dengan antigen binding site, berfungsi mengikat antigen, karena itu susunan asam amino dibagian ini berbeda antara molekul imunoglobulin satu dengan yang lain dan bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen yang merangsang pembentukannya. Sebaliknya fragmen Fc merupakan fragmen yang konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan mengikat antigen tetapi dapat bersifat sebagai antigen (Determinan antigen). Fragmen ini merupakan efektor sekunder dan menjadi tempat untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, Ig menembus plasenta. Gambar 3. Struktur Antibodi (Jacquelyn 25) Fungsi antibodi sebagian besar ditentukan oleh spesifitas antigen binding site dan isotype H-chain. Subkelas yang berbeda menunjukkan perbedaan pula dalam hal kemampuan berikatan dengan reseptor Fc, komplemen dan reseptor lain. IgG, IgA dan IgE mempunyai afinitas terhadap antigen yang lebih tinggi dibanding IgM, walaupun hal ini juga bergantung pada pematangan (maturasi) afinitas yang bersaingan dengan Class switching pada sel B dan tidak ada hubungannya dengan domain terminal C. Dalam tubuh terdapat 2 bentuk imunoglobulin yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan untuk antigen dan sebagai antibodi yang disekresikan kedalam cairan ekstraselular. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai adaptor yang berfungsi untuk mengikat antigen pada struktur

12 binding-sitenya yang spesifik. Agar terjadi proses netralisasi, antigen harus dikenal oleh antibodi. Bagian antibodi yang dikenal atau bereaksi dengan antibodi disebut epitop, sedangkan bagian antibodi yang dapat mengenal antigen disebut paratop. Bentuk Alami Dari Reaksi Antibodi Antigen Studi X-ray crystallography dari interaksi antibodi antigen menunjukkan adanya sebuah bentuk celah lewat tempat gabungan antibodi pada jaring determinan antigen. Selanjutnya konsep reaksi antibodi antigen merupakan sebuah kunci (yaitu antigen) yang cocok masuk dalam sebuah gembok (yaitu antibodi) (Li et al. 2). Ikatan antibodi antigen mempengaruhi antigen pada lokasi kombinasi semua antibodi non-kovalen dalam bentuk alaminya, diantaraya termasuk ikatan hidrogen, ikatan elektrostatik, kekuatan Van der waals serta ikatan hidrofobik. Banyaknya ikatan diantara antigen dan antibodi yang terjadi menyebabkan antigen menjadi berbentuk seperti papan bagi antibodi. Sejak terjadi reaksi antibodi antigen melalui ikatan non kovalen, maka dikatakan sebagai bentuk reversibel alami. Gambar 4. Bentuk alami reaksi antibodi antigen (Li et al. 2) Bentuk antibodi (digambarkan dengan struktur Y) berbeda jenisnya untuk molekul antigen, dimana perbedaannya sangat spesifik. Reaksi silang pada sebuah

13 populasi antibodi dengan antigen asing hanya terjadi, jika terdapat homologi dengan antigen asing. Setiap antibodi mempunyai dua tempat penanda ikatan untuk determinan antigen. Gambar 5. Reaksi antibodi - antigen (Peter 27) Imunisasi Pasif Pertahanan tubuh dibagi dua, yaitu pertahanan tubuh non spesifik dan pertahanan tubuh spesifik. Sistem pertahanan tubuh non spesifik merupakan sistem pertahanan tubuh yang melindungi dari berbagai ancaman penyakit secara umum. Sistem pertahanan non spesifik berupa kulit, mukosa, mukus dan silia pada saluran pernapasan. Selain itu pertahanan non spesifik juga berupa fagositosis, sistem komplemen dan sel pembunuh. Sistem pertahanan tubuh spesifik, berkaitan dengan adanya respon kekebalan tubuh berperantara seluler maupun humoral. Respon kekebalan tubuh humoral dapat bersifat aktif maupun pasif. Sistem ini mampu mengenali antigen sebagai benda asing, mempunyai spesifitas tertentu serta memori terhadap antigen. Respon kekebalan tubuh yang bersifat aktif dapat diperoleh sebagai hasil vaksinasi, dan paparan materi yang berkaitan dengan respon kekebalan humoral aktif seperti antigen. Kekebalan aktif timbul karena adanya vaksinasi oleh karena tubuh secara aktif membentuk setelah diberikan rangsangan oleh vaksin (berisi bibit penyakit) yang disuntikan. Oleh karena sengaja dibuat, kekebalan

14 vaksinasi disebut sebagai kekebalan aktif buatan. Sementara antibodi yang terbentuk setelah menderita suatu penyakit infeksi disebut kekebalan aktif alami Respon kekebalan tubuh yang bersifat pasif merupakan hasil transfer atau perolehan kekebalan asal induk. Perolehan kekebalan pasif yang didapatkan anak ayam dari induknya biasanya tidak seragam. Kekebalan yang diperolehnya tergantung dari titer antibodi induk dan akan habis dalam waktu relatif singkat. Imunisasi pasif terjadi apabila tubuh diberikan zat kekebalan yang sudah jadi dari luar berupa suntikan serum (Nadasul 23). Pada kasus infeksi Avian influenza penting diberikan zat kekebalan yang sudah jadi untuk kasus infeksi pada ayam broiler yang masa produksinya pendek (rata-rata umur panen 35 hari). Kasus lain penggunaan kekebalan pasif contohnya pada penggunaan serum kuda anti rabies (SAR) yang mengandung imunoglobulin spesifik anti rabies. Di Selandia Baru saat ini dikembangkan penggunaan kekebalan pasif sebagai imunoterapi pasif dengan memproduksi antibodi anti HIV, dimana antibodi terhadap HIV tersebut diambil dari serum kambing (Daniel 27). Gambar 6. Skematik Sistem Imun (Jacquelyn 25)

15 Uji Netralisasi Virus Uji netralisasi virus dapat digunakan untuk mengukur titer antibodi secara kuantitatif. Selain itu uji netralisasi dilakukan juga dalam idetifikasi virus yang tidak diketahui dengan menggunakan antisera yang sudah diketahui. Uji netralisasi terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah virus dengan titer tertentu direaksikan dengan serum pada beberapa titer tertentu didalam sebuah tabung uji. Campuran virus dan serum diinkubasi bersama pada temperatur standar untuk jangka waktu tertentu. Tahap kedua, dilakukan pembiakan virus-virus yang tidak ternetralisasi ke sistem indikator (media biakan). Setelah diinkubasikan dilakukan pengamatan terhadap hasil pembiakan. Serum yang akan diuji netralisasi harus disterilkan dahulu, bebas bahan kimia dalam penyimpanannya (phenol, formalin dan lainnya), serta telah diinaktivasi. Inaktivasi dilakukan dengan pemanasannya 56 C selama 3 menit, pemanasan tersebut akan merusak substansi nonspesifik penghambatnya yang menghambat reaksi Ab dengan virus. Strain virus yang digunakan untuk uji netralisasi harus mempunyai titer yang tinggi, tidak serumpun dengan virus uji, serta adaptasinya sangat baik dengan metode yang digunakan. Virus yang digunakan juga harus murni dan bebas dari bakteri, fungi, atau mikoplasma. Sebagai pelarut dapat digunakan media kultur sel. Prosedur uji netralisasi yang digunakan atau dikenal saat ini yaitu prosedur uji netralisasi-ß dan prosedur uji netralisasi-α (Swayne et al. 1998). Pada uji netralisasi - ß, serum yang diuji diencerkan secara seri atau desimal dan virus standarnya bertiter tetap. Uji ini memiliki keuntungan yaitu volume serum uji yang digunakan sedikit. Pada uji netralisasi-α virus diencerkan secara serial serta diencerkan dengan serum tetap pada titer tertentu (tampa pengencer). Campuran virus dan serum diinkubasi dan dihitung untuk residual virus yang terkandung didalamnya yang dinyatakan dengan Lethal Dose 5 (LD 5 ) atau Infectious Dose 5 (ID 5 ).

16 Titrasi Virus Titrasi virus diperlukan untuk kepentingan diagnosis, diantaranya untuk menghitung jumlah infektif virus dalam suatu material sampel. Ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung perkiraan jumlah (kuantitatif) virus antara lain nilai akhir pengenceran (dilution end-point), menghitung jumlah plak (Plaque counts), atau jumlah pock (Pock plaque). Nilai akhir pengenceran (dilution end-point) merupakan metode yang banyak digunakan. Perhitungan ini melibatkan dosis virus yang dibutuhkan untuk menginfeksi 5% populasi inang (hewan, telur, kultur jaringan) (Swayne et al. 1998). Titer dihitung ditandai dengan ID 5 atau LD 5 untuk tingkat infeksi atau kematian melalui pengenceran serial dari virus. Pengenceran serial ini kemudian diinokulasi pada sebuah Telur Ayam Berembrio (TAB) serta dilakukan pengamatan jumlah respon positif dan negatif. Dari hasil uji, dimungkinkan untuk menghitung 5% end-point dengan metode Reed and Muench. Respon atau nilai akhir (end-point) yang digunakan akan bervariasi dengan virus yang diuji. Namun diperlukan juga melihat kehadiran infeksi virus oleh faktor lain misalnya adanya lesi, munculnya virus akibat pewarnaan, hemagglutinasi atau lainnya. Titrasi virus pada biakan jaringan biasanya dibuat dengan pengenceran virus atau efek cytophatogenic (kematian sel-sel tampa formasi plak). Metode plak sangat penting digunakan karena satu infeksi virus memberikan satu plak, jumlah plak pada pengenceran tertentu akan menghasilkan jumlah total partikel. Penghitungan jumlah Pock virus dalam suspensi yang dapat menginfeksi hampir serupa dengan metode Plaque counts hanya pada metode ini, perubahan yang terjadi, dilihat pada khorio alantois membran pada telur ayam berembrio.

17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan FKH IPB. Penelitian dilaksanakan bulan Desember 27 sampai dengan bulan Juli 28. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksankan dalam beberapa tahap yaitu : Tahap Satu : Titrasi Virus dengan Uji Haemaglutinasi (HA) mikrotitrasi dan Uji Egg Infectious Dose 5 (EID 5 ) Sebelum digunakan sebagai antigen penguji virus AI H5N1 isolat tahun 23 - tahun 26 dititrasi terlebih dahulu untuk mengetahui titer virusnya. Uji titrasi dilakukan dengan uji HA mikrotitrasi dan EID 5 Uji HA mikrotitrasi Pada sumur pertama hingga duabelas plat mikrotiter ditambahkan,25 ml PBS. Pada sumur pertama ditambahkan larutan virus yang akan diuji sebanyak,25 ml dan diaduk dengan mikrotiter pipet dengan menghisap dan menekannya secara perlahan-lahan (sebanyak lima kali). Selanjutnya dari sumur pertama dipindahkan,25 ml ke sumur kedua dan diaduk seperti diatas dan dipindahkan ke sumur ketiga, demikian seterusnya sampai sumur terakhir. Dengan demikian didapatkan pengenceran seri virus kelipatan 2 (log 2 ). Pada setiap sumur pengenceran ditambahkan,25 ml PBS, sehingga volume setiap sumur sama yaitu,5 ml. Selanjutnya pada setiap pengenceran ditambahkan,25 ml suspensi sel darah merah

18 (sdm),5 %, kemudian plat digoyang secara manual digoyang dengan tangan selama 1 menit, lalu didiamkan. Hasil dibaca bila kontrol negatif (sumur tampa virus) sdm nya telah mengendap dan kontrol positif (sumur yang berisi suspensi virus AI H5N1 yang diketahui) telah menunjukkan aktivitas hemaglutinasi sempurna sekitar dalam waktu 3-45 menit. Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi hemaglutinasi sempurna. Uji Egg Infectious Dose 5 (EID 5 ) Uji Egg Infectious Dose 5 (EID 5 ) dilakukan dengan menggunakan telur berembrio, PBS, tabung pengenceran, pipet 1 ml, isolat AI H5N1 koleksi FKH IPB terpilih (tahun 23-26). Sebelum melakukan inokulasi di Telur Ayam Berembrio (TAB) dibuat pengenceran virus secara desimal (dimulai dari 1-5 sampai 1-12 ). Dengan teknik yang steril suspensi virus pada pengenceran 1-5 sampai dengan 1-12, diinokulasikan ke telur sebanyak,1 ml per butir dan tiap pengenceran diinokulasikan ke 3 butir telur. Setelah inokulasi, telur diinkubasi pada suhu 37 C selama 4 hari. Telur di candling (diamati) setiap hari dan telur yang mati setelah inkubasi dapat dilakukan pengujian terhadap cairan alantoisnya. Setelah empat hari dilakukan uji cepat (Rapid test) pada semua telur untuk dihitung dosis infeksinya terhadap 5% jumlah telur yang digunakan. Perhitungan Nilai EID 5 Nilai EID 5 dihitung menggunakan metode Reed and Muench (Mohd et al. 28). Tabel 1. tersaji prosedur perhitungan endpoint 5% untuk mengetahui nilai EID 5.

19 Tabel 1. Perhitungan Endpoint 5% Log dari pengenceran Unit uji yang Kumulatif terinfeksi Kumulatif tidak Ratio A / Persentase terinfeksi virus (pengenceran) terinfeksi (A) terinfeksi (B) (A+B) - - - - - - Jarak Perbandingan ( I ) = ( % Positif diatas 5% ) - 5% ) ( % Positif diatas 5% ) - ( % Positif dibawah 5 %) log total dilution diatas 5% - (I x log h), Titer endpoint 5 % = 1 I = jarak perbandingan h = faktor pengenceran Tahap Kedua : Produksi Antibodi terhadap Avian Influenza H5N1 (Ab anti H5) Produksi antibodi anti H5 menggunakan hewan coba marmut (Cavia porcellus) lokal 8 ekor dengan berat kisaran,2,4 kg, dalam kondisi sehat. Vaksin yang digunakan produksi PT. Vaksindo berupa vaksin AI inaktif komersial H5N1 (Batch : 21666 PTP, ex. Date 28). Produksi antibodi AI (antibodi anti H5) dilakukan dengan menyuntik,3 ml suspensi vaksin secara intramuskuler dan diulang (booster) dua minggu setelah penyuntikan pertama. Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali. Serum dikoleksi (panen) satu minggu setelah vaksinasi kedua. Tahap Ketiga : Identifikasi dan Titrasi Antibodi Antibodi anti H5 (antisera) yang diperoleh dari marmut diuji dan dititrasi dengan uji Agar Gel Presipitasi (uji AGP) dan uji penghambatan aglutinasi ( HI test)

2 Uji Agar Gel Presipitasi (Uji AGP) Agar gel dibuat dengan mencampur,4 gr Agarose, 1,2 gr Poly Ethylene Glycol (PEG) 6, 2 ml PBS (ph 7,6), serta 2 ml Aquades. Campuran atau larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan warna larutan menjadi bening. Kemudian larutan dipipet dengan pipet Mohr sebanyak 3,75 ml, dan dituangkan diatas kaca objek. Agar didiamkan sampai beku. Selanjutnya agar dilubangi dengan pelubang agar. Pada sumur tengah dimasukkan 25 ul antigen virus AI H5N1 dan pada tepi disekelilingnya diteteskan masing-masing serum hasil produksi pada cavia. Kaca objek ditempatkan di bak lembab yang dialasi dengan kertas buram yang lembab dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24 48 jam. Reaksi positip ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen dan antibodi. Uji HI (Haemagglutination Inhibition) Uji HI dilakukan untuk mengetahui titer antibodi yang diperoleh dari marmut menggunakan virus standart dari BBalitvet dan juga menggunakan virus isolat lapang tahun 23-26 untuk melihat adanya perbedaan ekspresi antigen HA dari masingmasing isolat virus yang diuji. Pada tiap sumur plat mikrotiter dimasukkan,25 ml PBS. Selanjutnya,25 ml antibodi hasil produksi dimasukkan kedalam sumur pertama dan dihomogenkan lalu dipindahkan,25 ml ke sumur kedua dan seterusnya hingga sumur ke 12. Pada sumur terakhir diambil,25 ml dan dibuang. Virus atau antigen standart ditambahkan isolat lapang sebanyak Empat HAU /,25 ml tiap sumur sebanyak,25 ml dan dibiarkan selama 3 menit pada temperatur kamar (2 o C) atau 6 menit pada suhu 4 o C. Selanjutnya kedalam tiap sumur ditambahkan,25 ml suspensi sel darah merah,5 %, kemudian dikocok perlahan agar homogen dan biarkan sekitar 4 menit pada temperatur kamar (2 o C) atau 6 menit pada suhu 4 o C. Titer HI adalah serum dengan pengenceran tertinggi yang menyebabkan penghambatan aglutinasi

21 lengkap 4 HAU antigen (OIE 24). Aglutinasi dibaca dengan cara memiringkan plat. Hanya sumur-sumur dengan kecepatan aliran sel darah merah yang sama dengan sumur kontrol (mengandung,25 ml sel darah merah dan,25 ml PBS) yang menunjukkan inhibisi. Tahap Keempat : Uji SNT Prosedur ß-Netralisasi Antisera (Ab anti H5) yang bertiter 2 9 diencerkan menjadi 2 8,2 7, 2 6, 2 5, 2 4. Hasil dari masing-masing pengenceran diambil 1 ml kemudian ditambahkan 1 ml titer 1 4 EID 5 isolat lapang untuk uji netralisasi. Campuran virus dengan antibodi anti H5 didiamkan dalam suhu kamar selama 3 menit kemudian diambil,2 ml untuk diinokulasi ke TAB umur 9-11 hari (15 butir untuk masing-masing isolat uji terpilih koleksi FKH IPB). Hari keempat dilakukan panen cairan alontoik hasil uji netraliasi, kemudian dilakukan rapid test untuk dihitung endpoint netralisasi dan nilai indeks netralisasi. Interpretasi hasil; Tingkat infeksi virus dinyatakan dengan terjadi agglutinasi dari cairan alantoik yang dipanen setelah dicampur dengan volume tertentu yang sama dengan suspensi sel darah merah 5 %. Selanjutnya dilihat timbulnya reaksi agglutinasi. Perhitungan Indeks Netralisasi Prosedur- ß Endpoint 5% dari netralisasi dihitung dengan metode Reed and Muench, saat banyaknya residual virus diuji dengan banyaknya suatu respon. Indeks netralisasi merupakan perhitungan dari nilai endpoint ini (Swayne et al. 1998). Untuk masingmasing respon endpoint adalah pengenceran dari antibodi terhadap AI H5N1 ketika ternetralisasi 5% pada virus.

22 HASIL DAN PEMBAHASAN Titrasi Virus Isolat Uji Berdasarkan hasil titrasi virus dengan uji Hemaglutinasi (HA) tampak bahwa virus AI koleksi FKH IPB tahun 23 26 memiliki titer yang cukup tinggi (Tabel 2). Uji HA merupakan suatu uji untuk mengetahui keberadaan antigen virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (sdm) (WHO 22). Reaksi aglutinasi ini dapat dihalangi atau dihambat dengan antibodi spesifik terhadap antigen sehingga reaksi ini digunakan sebagai dasar pada isolasi virus serta diferensiasi pada strain varian yang sering muncul (Klasse & Sattentau 22). Virus influenza mengandung dua antigen glikoprotein pada permukaannya yaitu HA dan NA. HA secara spesifik mengandung reseptor sialic acid pada permukaan selnya dan sebagai tempat untuk proses infeksi. Reseptor ini hampir sama dengan reseptor permukaan yang ada pada membran plasma sel darah merah, sehingga bilsa sel darah merah dicampur dengan virus influenza dengan rasio sama akan dihasilkan jembatan antara sel darah merah dengan virus sehingga terbentuk aglutinasi. Aglutinasi sempurna pada pengenceran tertinggi dinyatakan sebagai endpoint dan memiliki titer 1 HAU (Hamaglutinasi Unit). 1 HAU setara dengan 1 7 partikel virus. Tabel 2. Titer virus Isolat Koleksi dengan Uji HA Asal Isolat Terpilih Tahun Koleksi Titer Hasil HA Test Bogor 23 2 9 Bogor 24 2 8 Tasik 25 2 9 Cikole 26 2 9 Uji HA menghitung jumlah virus baik yang telah mati (tidak infektif) maupun virus yang masih hidup (infektif). Titrasi virus yang infektif dapat diukur menggunakan uji Embrionated Infectious Dose 5 atau dosis yang digunakan yang

23 mampu menginfeksi 5% populasi embrio. Titer virus H5N1 dari isolat asal lapang terpilih (Koleksi FKH IPB) dengan uji EID 5 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Titer Virus dengan Uji EID 5 Asal Isolat Terpilih Tahun Koleksi Log 1 ID 5 Bogor 23 1 8,3 ID 5 /ml Bogor 24 1 1,8 ID 5 /ml Tasik 25 1 1,8 ID 5 /ml Cikole 26 1 11,8 ID 5 /ml Uji EID 5 merupakan uji titrasi virus yang dapat mengukur titer virus yang hidup dalam suatu suspensi virus. Prinsip uji EID 5 adalah menghitung dosis virus yang dibutuhkan untuk menginfeksi 5% inang (hewan, telur, kultur jaringan) (Swayne et al. 1998). Dosis ini ditandai dengan Infektious Dose 5 (ID 5 ) atau Lethal Dose 5 (LD 5 ) untuk tingkat infeksi atau kematian, yang terjadi melalui pengenceran virus dan diinokulasi pada telur ayam berembrio. Pengamatan atau hasil inokulasi dilihat dengan jumlah respon positif dan negatif hasil uji cepat (Rapid test). Hasil uji EID 5 menunjukkan bahwa suspensi virus isolat terpilih FKH IPB masih hidup serta memiliki titer yang cukup tinggi serta layak digunakan sebagai virus uji. Produksi Antibodi Marmut (Cavia porcellus) yang divaksinasi sudah mampu memproduksi antibodi terhadap Avian influenza H5N1 satu minggu setelah vaksinasi kedua. Antisera anti H5 yang dikoleksi memiliki titer 2 9. Koleksi Antibodi terhadap H5 (antibodi anti H5) dilakukan dua kali. Koleksi kedua dilakukan seminggu setelah revaksinasi ketiga. Vaksinasi kedua dilakukan setelah seminggu koleksi antibodi anti H5. Waktu vaksinasi dan koleksi Ab anti H5 serta titer Ab anti H5 dengan uji HI menggunakan antigen standar dari BBalitvet dari hasil produksi disajikan pada Tabel 4.