II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

KAJIAN EKOLOGIS DAN BIOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

Pemanfaatan jenis sumberdaya hayati pesisir dan laut seperti rumput laut dan lain-lain telah lama dilakukan oleh masyarakat nelayan Kecamatan Kupang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

Studi Potensi Pengembangan Budidaya Perikanan di Lokasi Coremap II Kota Batam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebutan thallus. Bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat

Bab II Tinjauan Pustaka A. Definisi dan Biologi Rumput Laut

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Studi Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Lokasi Coremap II Kabupaten Lingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

3. METODE PENELITIAN

Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

PENGARUH MUSIM DAN PARAMETER LINGKUNGAN TERHADAP PRODUKSI KARAGENAN

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3.3 Teknik Budidaya Rumput Laut (Gracillaria verrucosa) dengan Metode Longline Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Rumput Laut

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

Pertumbuhan Rumput Laut

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. sepanjang km (Meika, 2010). Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun

5.1 Keadaan Umum Perairan Gugus Pulau Nain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. benda keras lainnya. Secara taksonomi dikelompokkan ke dalam divisio

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

Studi Pertumbuhan Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

Abdul Muqsith. Program Studi Budidaya Perikanan Akademi Perikanan ibrahimy. Abstrak. Kata kunci : Eucheuma cottonii, jarak ikat tanam, pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keluarga remput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi jagung dijelaskan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

III. METODOLOGIPENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

EKOSISTEM. Yuni wibowo

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Bab IV Hasil dan Pembahasan A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budidaya Rumput Laut Dalam pembangunan diwilayah pesisir, salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang sedang digalakkan pemerintah adalah pengembangan budidaya rumput laut. Melalui program ini diharapkan dapat merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah akibat meningkatnya pendapatan masyarakat setempat. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (Ditjenkan Budidaya, 2004). Pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta (3) mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001). 2.1.1 B iologi Rumput Laut Rumput laut merupakan ganggang yang hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta. Keseluruhan dari tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel (multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (duadua terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous}, lunak bagaikan tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Soegiarto et al, 1978).

Sejak tahun 1986 sampai sekarang jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Kepualauan Seribu adalah jenis Eucheuma cottonii. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii ini juga dikenal dengan nama Kappaphycus alvarezii. Menurut Dawes dalam Kadi dan Atmadja (1988) bahwa secara taksonomi rumput laut jenis Eucheuma dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisio Rhodophyta Kelas Rhodophyceae Ordo Gigartinales Famili Solieriaceae Genus Eucheuma Spesies Eucheuma cottonii Genus Eucheuma merupakan istilah popular di bidang niaga untuk jenis rumput laut penghasil karaginan. Nama istilah ini resmi bagi spesies Eucheuma yang ditentukan berdasarkan kajian filogenetis dan tipe karaginan yang terkandung di dalamnya. Jenis Eucheuma ini juga dikenal dengan Kappaphycus (Doty, 1987 dalam Yusron, 2005). Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris atau pipih, percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya. Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai kompleks (Ditjenkan Budidaya, 2004). 2.1.2 Kondisi Fisika, Biologi dan Kimia Lingkungan Keberhasilan budidaya rumput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat merupakan salah satu faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil yang dikehendaki.

Lokasi dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma di wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan (Puslitbangkan, 1991) a. Kondisi Lingkungan Fisika Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin topan dan ombak yang kuat, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga diperairan teluk atau terbuka tetap terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya untuk budidaya rumput laut (Puslitbangkan, 1991). Dasar perairan yang paling baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur,dengan gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik (Ditjenkan Budidaya, 2005). Kedalaman air yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada saat surut terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu surut terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2005). Kenaikan temperatur yang tinggi mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan yang menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu suhu perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20-28 C dengan fluktuasi harian maksimum 4 C (Puslitbangkan, 1991) Tingkat kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut (Puslitbangkan, 1991).

b. Kondisi Lingkungan Kimia Rumput laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 28-35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2005). Mengandung cukup makanan berupa makro dan mikro nutrien. Menurut Joshimura dalam Wardoyo (1978) bahwa kandungan fosfat sangat baik bila berada pada kisaran 0,10-0,20 mg/1 sedangkan nitrat dalam kondisi berkecukupan biasanya berada pada kisaran antara 0,01-0,7 mg/1. Dengan demikian dapat dikatakan perairan tersebut mempunyai tingkat kesuburan yang baik dan dapat digunakan untuk kegiatan budidaya laut. c. Kondisi Lingkungan Biologi Sebaiknya untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih perairan yang secara alami ditumbuhi oleh komonitas dari berbagai makro algae seperti Ulve, Caulerpa, Padina, Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma. Kemudian sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang besifat herbivora terutama ikan baronang/lingkis (siganus. spp), penyu laut (Chelonia midos} dan bulu babi yang dapat memakan tanaman budidaya (Puslitbangkan, 1991). Secara umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan. Ketiga budidaya tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Metode Dasar (bottom method) Penanaman dengan methode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar

10 perairan. Metode dasar merupakan metode pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan bibit dengan berat tertentu. 2) Metode Lepas Dasar (off-bottom method) Metode ini dapat dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran 2,5x5 m 2 dengan lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput laut diikatkan pada simpul-simpulnya. 3) Metode Apung (floating method)/ Longline Metode ini cocok untuk perairan dengan dasar perairan yang berkarang dan pergerakan airnya di dominasi oleh ombak. Penanaman menggunakan rakitrakit dari bambu sedang dengan ukuran tiap rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material, tetapi umumnya 2,5x5 m 2 untuk memudahkan pemeliharaan. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode lepas dasar hanya posisi tanaman terapung dipermukaan mengikuti gerakan pasang surut. Untuk mempertahankan agar rakit tidak hanyut digunakan pemberat dari batu atau jangkar. Untuk menghemat area, beberapa rakit dapat dijadikan menjadi satu dan tiap rakit diberi jarak 1 meter untuk memudahkan dalam pemeliharaan. Bibit diikatkan pada tali plastik dan atau pada masing-masing simpul jaring yang telah direntangkan pada rakit tersebut dengan ukuran berkisar antara 100-150 gram. 2.1.3 Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Kabupaten Kupang Pemanfaatan rumput laut sebagai bahan makanan kosmetika dan obatobatan tradisional sudah lama dikenal oleh masyarakat. Sedangkan pemanfaatannya sebagai bahan industri yang memungkinkan untuk diekspor baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini, sehingga merangsang pengembangan untuk budidaya rumput laut. Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat sangat perlu dilakukan mengingat besarnya potensi

11 dan lahan yang dimiliki adalah 149,72 km 2 dengan perkiraan poduksi yang cukup besar (Anonim, 2003). Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km 2 dan secara geografis terletak antara 09 19'-10 57' LS dan 121 31'-124 ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km 2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka perairan wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut telah dilaksanakan sejak tahun 1968 oleh Lembaga Penelitian Laut bekerjasama dengan Dinas Hidrografi Angkatan laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu melalui uji coba budidaya E. spinosum dan E. edule yang bibitnya berasal dari perairan setempat. Kemudian dikembangkan juga E. cottonii yang bibitnya berasal dari Bali yang hasilnya telah memasyarakat sampai saat ini (Sulistijo, 1996). 2.2 Pertumbuhan dan Karaginan Rumput Laut Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung (Syaputra, 2005). Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berasal dari bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Menurut Puslitbangkan (1991), laju pertumbuhan rumput laut

12 yang dianggap cukup menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat per hari. Rumput laut merupakan organisme laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan akan semakin baik pertumbuhannya dan juga hasil yang diperoleh (Syaputra, 2005). Soegiarto et al, (1978), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2-3% per hari. Pada percobaan penanaman dengan menggunakan rak terapung pada tiga lapisan kedalaman tampak bahwa yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik dari lapisan kedalaman dibawahnya karena cahaya matahari merupakan faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut. Pada kedalaman tidak terjangkau cahaya matahari, maka rumput laut tidak dapat tumbuh. Demikian pula iklim, letak geografis dan faktor oceanografi sangat menentukan pertumbuhan rumput laut. Pertumbuhan rumput laut dikategorikan dalam pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologis. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat, panjang thallus sedangkan pertumbuhan fisiologis dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya. Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu pada kelas Rhodophycae (alga merah). Spesies Eucheuma cotonii merupakan penghasil kappa karaginan sedangkan spesies Eucheuma spinosum merupakan penghasil iota karaginan. Karaginan juga merupakan polisakarida yang berasal dari hasil ekstraksi alga. Karaginan terdiri dari iota karaginan dan cappa karaginan dimana kandungannnya sangat bervariasi tergantung musim, spesies dan habitat. Dalam karaginan terdapat garam sodium, potasiun dan kalsium. Karaginan potasiun yang terdiri dari alfa karaginan dan B-karaginan sifatnya dapat larut dalam air panas, sedangkan karaginan sodium dapat larut dalam air dingin (Percivel, 1968 dalam Iksan, 2005). Istilah karaginan mencakup sekelompok polisakarida linear sulfat dari D- galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galktosa yang diekstraksi dari jenis-jenis alga merah (Glicksman, 1983 dalam Iksan, 2005). Karaginan merupkan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium dan kalsium sulfat dengan

13 galaktosa dan 3,6 anhydrogalaktocopolimer. Karaginan dapat diperoleh dari hasil pengendapan dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum drying) dan pembekuan. Jenis alkohol yang dapat digunakan untuk pemurnian yaitu metanol, ethanol dan isopropanol. 2.3 Model-Model Kajian Dalam Pengembangan Budidaya Rumput Laut 1. Model Sistem Informasi Geografis Model Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat yang digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatis (Burough, 1986 dalam Fatmawati, 1998). Teknologi SIG menjadi pilihan untuk menjawab permasalahan mengingat kemampuan yang dimilikinya yaitu dapat menampung, menyimpan, mengolah dan memanipulasi data spasial sehingga menghasilkan output sesuai dengan tujuan. Analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan dengan mudah dan cepat serta tepat dengan menggunakan SIG dalam menentukan suatu kawasan. 2. Model Konvensional Model ini merupakan suatu alat yang digunakan untuk pengumpulan dan mendapatkan informasi suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data yang bersifat kovensional dalam merencanakan peneltian. Dalam menganalisis suatu kawasan untuk usaha sangat mudah dan cepat karna berdasarkan data survei namun tidak menggunakan data atribut untuk pemetaan suatu kawasan. 2.4 Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis sangat bermanfaat untuk penanganan data spasial daerah terutama untuk penyimpanan, editing, penampilan, perubahan dan

14 pemodelan. Fungsi dari penyimpanan, editing, penampilan ini merupakan pengolahan data bagi presentasi dan penyajian data sedangkan kegunaan untuk mengetahui perubahan sangat bermanfaat untuk kegaitan montitoring, terutama variabel yang cepat berubah. Pemodelan sangat penting untuk menghasilkan informasi baru untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan wilayah pada dasarnya merupakan usaha untuk memanfaatkan potensi sumeberdaya alam semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pendapatan daerah tanpa meninggalkan aspek konservasi (Hartono,1995). Menurut Burough, (1986) dalam Fatmawati, (1998) bahwa sistem informasi geografis dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali informasi dan menampilkan suatu data untuk tujuan tertentu. Data yang dimaksud meliputi data spasial atau ruang maupun data atribut. Pada prinsipnya sistem informasi geografis mempunyai beberapa langkah yang berurutan dan berkaitan erat mulai dari perencanaan, penelitian, persiapan, inventarisasi, pemetaan tematik, penggabungan peta, mengedit hingga pemetaan secara otomatisasi. Perolehan informasi untuk pengelolaan lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemrosesan, penelusuran dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunaannya pada waktu yang diinginkan, pengelolaan informasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan SIG baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer (Dahuri et al, 2004). 2.5 Daya Dukung Lingkungan Dewasa ini pemakaian daya dukung lingkungan dalam perencanaan suatu design budidaya laut terus berkembang. Melihat perkembangan sektor budidaya laut saat ini dan yang akan datang maka dalam mengembangkan suatu kawasan perairan sebagai lahan untuk budidaya perlu membuat model-model estimasi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah. Pengukuran daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa perairan pesisir memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan organisme. Konsep daya dukung yang digunkan dalam pengembangan budidaya

15 rumput laut adalah konsep daya dukung ekologis. Daya dukung ekologis yaitu tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan atau wilayah sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. Menurut Turner, (1988) dalam Rustam, (2005) bahwa daya dukung lingkungan adalah jumlah populasi organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah ultimate constraint yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang, siklus predator, temperatur, cahaya matahari atau salinitas (Rachmansyah, 2004). Konsep daya dukung perairan telah lama dikenal dan dikembangkan dalam lingkungan budidaya perikanan, seiring dengan peningkatan pemahaman akan pentingnya pengelolaan lingkungan budidaya untuk menunjang kontinuitas produksi. Dalam perencanaan atau desain suatu sistem produksi budidaya baik ikan maupun rumput laut maka nilai daya dukung merupakan faktor penting dalam menjamin siklus produksi dalam jangka waktu yang lama. Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang kegiatan budidaya ikan laut di keramba jaring apung (KJA) merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degredasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al, 1982 dalam Ali, 2003). Dalam hal menentukan daya dukung lingkungan untuk kawasan budidaya rumput laut sebagai bagian dari kegiatan budidaya laut maka estimasi ini akan menunjukkan berapa unit rakit yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan. 2.6 Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Pembangunan berkelanjuatan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED,1987 dalam Dahuri et al, 2004)

16 Konsep dasar pembangunan berkelanjutan pertama kali dikemukan oleh "the club of Rome" pada tahun 1972, diantaranya mengandung pesan penting bahwa sumberdaya alam telah berada pada tingkat ketersediaan yang memprihatinkan dalam menopang keberlanjutan pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Pesan tersebut pada diskusi "Limits to Growth" diawal tahun 1979-an berkembang membahas akibat perkembangan ekonomi yang tidak dapat dikendalikan terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kehancuran sistem sosial secara global yang diakhiri dengan dikelurkannya resolusi bahwa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan (Dahuri et al, 2004). Pengembangan budidaya perikanan merupakan sistem usaha budidaya perikanan yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan laut dan payau seyogyanya berdasarkan pada : i) potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, ii) kemampuan masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, iii) pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu dan iv) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan menjadi leading sector (Dahuri, 2003). Dalam kaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, pembangunan berkelanjutan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada didalamnya Konsep pembangunan berkelanjutan antara lain memiliki dimensi ekologis, dimensi ekonomi, dimensi sosial-ekonomi, dimensi sosial-politik serta dimensi hukum dan kelembagaan. Konsep pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologis menjelaskan bagaimana mengelola semua kegiatan pembangunan yang ada disuatu wilayah yang berhubungan dengan pesisir agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya bagi kehidupan manusia yang meliputi: jasa-jasa pendukung kehidupan; jasa-jasa kenyamanan; penyedia sumberdaya alam dan penerima limbah (Dahuri et al, 2004). Untuk mengelola wilayah pesisir sangat diperlukan batas wilayah yang akan dikelola. Batas wilayah dpertimbangkan atas dasar biogeofisik kawasan yang didalamnya termasuk faktor hidrologi, ekologis maupun administratif. Batas

17 hidrologi dibutuhkan karena aliran air yang berasal dari daratan yang akan mempengaruhi kawasan perairan. Batas ekologis diperlukan agar dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak mengganggu siklus hidup hewan perairan, sedangkan batas administratif diperlukan batas pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu. Menurut Dahuri et al, (2004) bahwa hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku, namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Selanjutnya bahwa untuk kepentingan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pamanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah adalah 5.898,18 km 2 dan secara geografis terletak antara 09 19'-10 57' LS dan 121 31'-124 ll' BT. Wilayah Kecamatan Kupang Barat terletak dibagian barat Kabupaten Kupang dengan luas wilayah adalah 149,72 km 2. Dengan wilayah perairan yang luas dan strategis serta memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar, maka peraiaran wilayah Kecamatan Kupang Barat perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan (Anonim, 2003). Pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan Kupang Barat merupakan salah satu konsep pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar pesisir.