GAMBARAN RESILIENSI SISWA SMA YANG BERESIKO PUTUS SEKOLAH DI MASYARAKAT PESISIR Ahmad Junaedi Salim Pulungan 1 dan Tarmidi 2 PS Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jl. Dr Mansyur No. 7 Padang Bulan Medan 2 bro.midi@gmail.com Abstrak Penelitian ini mengkaji resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Hasil menunjukkan bahwa resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir secara umum tergolong sedang sampai tinggi. Penelitian kuantitatif deskriptif ini mendeskripsikan nilai mean, standar deviasi, skor minimum dan skor maksimum dari tujuh aspek yang membentuk resiliensi yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy dan Reaching out pada siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Kata Kunci: Resiliensi, Siswa SMA, Masyarakat pesisir Abstract The present study examines the resilience of high school drop out risk in coastal community. The results showed that resilience of high school drop out risk in the coastal community is moderate to high level. This study descriptive quantitative research looking for the mean value, standard deviation, as well as minimum and maximum score are seven aspects that form resilience: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Self-efficacy and Reaching out of high school drop out risk in coastal community. Keywords: Resilience, High School Students, Coastal Communities Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwaperistiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002). Di dalam penelitian ini, kami berasumsi bahwa tingkat fleksibilitas yang membuat siswa berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, sehingga ia mampu untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi sulit, ini yang disebut dengan resiliensi. Sehubungan dengan asumsi ini, kami mencoba untuk melihat gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Melalui penelitian deskriptif ini, kami berharap untuk memberikan gambaran ilmiah tentang resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Banyak siswa yang mengalami putus sekolah berasal dari anak nelayan yang tinggal di daerah pesisir pantai. Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan, merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Berdasarkan data laporan bulanan kepala lingkungan Mutas Mutandis kependudukan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun pada lingkungan 2, 4 dan 7 sebesar 487 orang, sedangkan siswa yang bersekolah pada usia tersebut atau jenjang SLTA sebanyak 193 orang. Dengan demikian tingkat capaian kinerja angka partisipasi murni (APM) SLTA di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan hanya sebesar 39,6%. Siswa yang beresiko putus sekolah tidak terlepas dari kemiskinan yang melingkupi masyarakat 47
pesisir (Sulistyowati, 2003). Namun ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, masih ada siswa yang tetap melanjutkan sekolah. Hal ini dapat dilihat selama bulan Mei tahun 2011, penduduk yang berusia 15-19 tahun berjumlah kurang lebih 1.500 orang, sedangkan penduduk yang bersekolah SMA pada usia tersebut hannya sekitar 500 orang saja. Siswa yang tetap melanjutkan sekolah tersebut menyadari bahwa akan pentingnya pendidikan untuk masa depan mereka nanti (Prasodjo, 2005). Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu banyaknya anak nelayan yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah, tetapi tetap masih ada anak nelayan yang bertahan untuk meneruskan pendidikanya hingga ke jenjang sekolah menengah atas (SMA), maka kami tertarik ingin mengamati kondisi ini dengan melihat lebih jauh resiliensi siswa ini berada dalam kondisi yang sulit (terutama kemiskinan) yang dapat mencegah kebanyakan anak dari latar belakang yang sama untuk tetap bersekolah. Masyarakat nelayan dan beresiko putus sekolah Banyak siswa yang beresiko putus sekolah berasal dari daerah pesisir. Siswa yang beresiko putus sekolah, merupakan efek dari kemiskinan yang dialami pada masyarakat pesisir (Sulistyowati, 2003). Masyarakat pesisir adalah sekelompok orang atau komunitas yang tinggal di daerah pesisir yang sumber kehidupan perekonomiannya secara langsung bergantung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Dari segi mata pencaharian masyarakat pesisir terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan dan orang-orang yang bekerja pada sarana produksi perikanan (Muhadjirin, 2009). Pada umumnya, mereka mempunyai ciri yang sama yaitu berpendidikan yang rendah. Hal ini terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, oleh karena itu setinggi apa pun tingkat pendidikan masyarakat pesisir tidak akan mempengaruhi kemahiran mereka dalam melaut (Sudarso, 2005). Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam, membuat mereka sulit untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kondisi tersebut yang menyebabkan rendahnya kemampuan dan keterampilan mereka, sehingga membuat mereka tetap hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Hampir setiap tahun jumlah anakanak nelayan yang putus sekolah di seluruh wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terjadi karena terus memburuknya kemiskinan keluarga mereka. Memburuknya kemiskinan nelayan tersebut terjadi seiring dengan terus menurunnya pendapatan melaut mereka (Suhana, 2006). Kemiskinan ini membuat mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat pendidikan yang rendah, karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya. Hal ini membuat anak-anak nelayan ini sulit membebaskan diri dari profesi nelayan, biasanya mereka turun-temurun adalah nelayan (Mubyarto, 1989). Anakanak dituntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orangtuannya (Fathul, 2002). Oleh karena itu, sebagian besar anak nelayan harus tetap bekerja sebagai nelayan untuk menambah pendapatan keluarga daripada bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Mulyadi, 2005). Fenomena keseharian masyarakat pesisir baik anak pria atau wanita mulai sejak kecil sudah terlibat dalam proses pekerjaan nelayan, mulai dari persiapan orangtua untuk ke laut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berdampak kepada keberlangsungan pendidikan anak-anak nelayan (Pengemanan, 2002). Pada umumnya 48
rumah tangga di masyarakat pesisir kurang memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan untuk sebagian besar keluarga di masyarakat pesisir masih belum menjadi suatu kebutuhan yang penting didalam keluarga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap pendidikan di masyarakat pesisir relatif masih rendah (Anggraini, 2000). Resiliensi dan pilihan melanjutkan sekolah Sebagian siswa tetap melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA atau berhasil dalam akademis walaupun mereka berada pada kondisi yang sulit, mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Kemampuan yang membuat mereka bertahan lalu tetap melanjutkan sekolah dan menyesuaikan dengan kondisi sulit, disebut dengan resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan (Reivich & Shatte, 2002). Individu dianggap sebagai seseorang yang memiliki resiliensi jika mereka mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari berbagai peristiwaperistiwa kehidupan yang negatif (Reivich & Shatte, 2002). Reivich & Shatte (2002) mengungkapkan beberapa kemampuan yang menyumbang pada resiliensi individu yaitu: Emotion regulation, Impuls control, Optimism, Causal analysis, Emphaty, Selfefficacy dan Reaching out. Penelitian ilmiah yang telah dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, memiliki efek terhadap kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morales (2008) resiliensi dapat dilihat sebagai proses dan hasil. Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang disebut sebagai individu yang resilien, adalah mereka yang dapat bangkit, berdiri diatas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan. Resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999). Dalam bidang pendidikan, resiliensi bisa disebut sebagai resiliensi edukasi, resiliensi akademik atau siswa yang memiliki resiliensi yang baik disebut sebagai siswa resilien. Siswa resilien adalah siswa yang berhasil di sekolah meskipun adanya kondisi yang kurang menguntungkan (Waxman et al., 2003). Resiliensi dalam bidang akademis dapat diartikan sebagai kemampuan seorang siswa untuk sukses di bidang akademik meskipun ia berada dalam kondisi yang membuatnya sulit untuk berhasil (Benard, 1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan, 2005). Kondisi atau lingkungan yang kurang mendukung tersebut bisa berupa kemiskinan, kondisi sekolah yang serba kekurangan, maupun kondisi keluarga yang kurang baik. Secara spesifik resiliensi akademik dipahami sebagai proses dan hasil yang menjadi bagian dari cerita hidup seorang individu yang meraih kesuksesan akademik, meskipun ia mengalami banyak rintangan yang dapat mencegah 49
kebanyakan orang dari latar belakang yang sama untuk meraih kesuksesan (Morales & Trotman, 2004). Selain faktor internal atau yang berasal dari siswa itu sendiri, ternyata faktor eksternal seperti sekolah, keluarga, komunitas dan masyarakat dimana siswa itu berada juga turut berperan dalam menciptakan siswa yang resilien. Penelitian yang dilakukan Bryan (2005) mengenai resiliensi dan prestasi akademik di sekolah pedesaan melalui sekolah, keluarga, dan komunitas, menunjukkan hubungan antara sekolah, keluarga dan komunitas bisa menciptakan kesempatan yang baik mengembangkan resiliensi siswa. Hal ini karena ketiga kemampuan tersebut dapat membantu menghilangkan stresor, batasan maupun rintangan dalam mencapai prestasi akademik (Bryan, 2005). Karakteristik sekolah yang dapat meningkatkan resiliensi siswanya adalah model komunitas atau lingkungan sekolah yang mendukung, termasuk elemenelemen yang secara aktif melindungi anakanak dari kesulitan. Intinya adalah sekolah bisa menciptakan suasana yang harmonis agar siswanya merasa tidak berbeda dari kaum mayoritas (Borman & Rachuba, 2001). Dengan kata lain, sekolah menggunakan cara untuk membuat lingkungan belajar yang positif, dimana kompetensi akademik dan perilaku siswa didukung, responsif terhadap kebutuhan siswa yang mengarah kepada pencapaian akademik, dan mengurangi masalah perilaku (Close & Solberg, 2007). Penelitian ini Meskipun sudah banyak penelitian yang mengambarkan resiliensi dengan berbagai konteks, sepengetahuan kami, jarang sekali ada penelitian, khususnya di Indonesia yang meneliti gambaran resiliensi di masyarakat pesisir. Dengan demikian, di dalam penelitian deskriptif ini, kami mencoba untuk mengambarkan resiliensi tersebut. Secara spesifik, kami memfokuskan penelitian ini pada resiliensi dalam konteks siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, yang secara konsisten menunjukkan bahwa resiliensi yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat, kami mendeskripsikan bahwa tingkat resiliensi yang dimiliki siswa akan berkontribusi terhadap kesehatan siswa tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan keberhasilan siswa tersebut dalam lingkungan sekolah dan berinteraksi dengan lingkungannya. Metode Partisipan Partisipan ini terdiri dari 150 siswa SMA yang berdomisili di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, dengan spesifikasi jumlah laki-laki 36 siswa dan perempuan 114 siswa, berusia antara 14 sampai 19 tahun. Partisipan kami pilih dengan purposive sampling. Mereka berpartisipasi secara sukarela dengan pemberian reward. Prosedur dan alat ukur Untuk keperluan penelitian ini, kami mengunakan skala untuk mengukur variabel-variabel penelitian. Resiliensi kami ukur dengan skala yang kami konstruksi berdasarkan resiliensi Reivich & Shatte (2002). Skala resiliensi ini sudah mencakup 7 aspek resiliensi, yaitu Emotion Regulation (2 aitem), Impulse Control (7 aitem), Optimisme (7 aitem), Causal Analysis (3 aitem), Emphati (6 aitem), Self-efficacy (7 aitem), dan Reach Out (4 aitem). Gabungan dari ketujuh aspek resiliensi ini membentuk satu skala resiliensi (e.g., Saya yakin akan sukses di masa yang akan datang, Ketika ada masalah yang muncul, saya memiliki berbagai macam solusi untuk menyelesaikannya ; 36 aitem; α =.712; corrected item-to-total correlation = -.186 sampai.473). Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, 50
dengan menghitung frekuensi, nilai maksimum, nilai minimum, range, standard deviasi (σ), serta mean (µ) untuk masing-masing aspek dari resiliensi. Selain menggunakan professional judgment, dalam penelitian ini validitas isi diuji dengan menggunakan analisis faktor untuk menganalisis tujuh aspek resiliensi Reivich & Shatte (2002) dengan nilai MSA dan KMO sebesar 0.708. Untuk keperluan skoring, kami menggunakan model distribusi normal. Hasil Deskriptif dan normalitas Dalam analisis, respon-respon setiap partisipan pada setiap aitem pada setiap skala pengukuran (Resiliensi) kami reratakan sehingga menciptakan rentang skor antara 1 sampai dengan 5, senada dengan skala Likert yang kami gunakan dalam pengukuran. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov, dengan nilai Z sebesar 0,839 dan nilai signifikansi (p) sebesar 0,482. Karena nilai p >.05, data dalam penelitian ini terdistribusi secara normal. Dengan demikian, subjek penelitian dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori berdasarkan model distribusi normal, yaitu resiliensi tinggi, resiliensi sedang, dan resiliensi rendah. Sebelum dipaparkan cara pengkategorian subjek ke dalam kelompok subjek yang memiliki resiliensi tinggi, sedang, dan rendah, berikut ini akan disajikan deskripsi umum skor resiliensi siswa. Data ini penting dalam pengolahan data untuk mengkategorikan subjek ke dalam tiga kelompok subjek yang dimaksudkan. Deskripsi umum skor maksimum, minimum, mean, dan standar deviasi resiliensi siswa dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean, dan Standar Deviasi Skor Resiliensi Variabel N Min MaksMeanStandard Deviasi Resiliensi 150 36 180 108 24 Kemudian siswa dikatakan memiliki resiliensi tinggi, sedang atau rendah berdasarkan masing-masing aspek dari resiliensi, berdasarkan klasifikasi tinggi dan rendah dari mean dan standard deviasi yang dibuat dalam tiga rentang, berdasarkan model distribusi normal, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi. Tabel 2 Penggolongan Resiliensi Siswa SMA yang Beresiko Putus Sekolah di Masyarakat Pesisir Berdasarkan Skor Skala Resiliensi Varia bel Resili ensi Rent ang Skor X < 84 84 X < 132 Katego risasi Freku ensi (N) Perse ntase Rendah - - Sedang 100 66,7 % X Tinggi 50 33,3 % 132 Jumlah 150 100 % Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa mayoritas siswa memiliki kemampuan resiliensi yang tergolong sedang yaitu sebanyak 100 orang (66,7%) sedangkan kemampuan resiliensi yang tergolong tinggi sebanyak 50 orang (33,3%) dan tidak ada siswa yang tergolong kedalam kemampuan resiliensi rendah. Gambaran resiliensi siswa dapat dilihat berdasakan tujuh aspek resiliensi. Karena tidak ada siswa yang tergolong kedalam kemampuan resiliensi rendah, berikut grafik penggolongan siswa yang tergolong kedalam kemampuan resiliensi sedang dan tinggi. 51
PREDICARA Volume.1 Nomor. 2 Desember 2012 100 80 60 40 20 Grafik 1 Penggolongan resiliensi siswa berdasarkan aspek-aspek resiliensi sedang 0 100 80 60 40 20 Resiliensi Sedang Grafik 2 Penggolongan resiliensi siswa berdasarkan aspek-aspek resiliensi tinggi 0 Resiliensi Tinggi Emotion Regulation Impilse Control Optimisme Causal Analysis Emotion Regulation Impilse Control Optimisme Causal Analysis Diskusi Di dalam penelitian ini, kami melihat gambaran resiliensi siswa beresiko putus sekolah di SMA yang masyarakat pesisir. Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum siswa memilikii kemampuan resiliensi yang tergolong sedang sampai dengan kemampuan resiliensi yang tergolong tinggi. Dalam penelitian ini tidak ada subjek yang memiliki kemampuan resiliensi yang tergolong rendah. Artinya, mereka memiliki resiliensi yang tergolong sedang sampai tinggi. Dengan demikian, penelitian ini mendemonstrasikan bagaimana resiliensi yang dimiliki siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir merupakan hal yang sangat penting, agar siswa mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam hidupnya untuk melanjutkan pendidikan. Sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitiann ini menunjukkan bagaimana resiliensi dapat bermanfaat bagi individu yang sedang menghadapi tekanan dalam menjalani hidupnya (e.g., Block dalam Klohnen, 1996; Rutter & Garmezy dalam Klohnen, 1996; Liquanti, 1992; Reivich & Shatte, 2002). Secara khusus, penelitian ini mendukung hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang bagaimana resiliensi berperan penting bagi siswa dalam menghadapi berbagai tantangan hidup, untuk berhasil di sekolah meskipun ia berada dalam kondisii yang membuatnya sulit untuk berhasil (e.g., Bryan, 2005; Waxman et al., 2003; Morales & Trotman, 2004; Benard, 1991 & Wang et al., 1997 dalam Bryan, 2005; Prasodjo, 2005; Borman & Rachuba, 2001; Close & Solberg, 2007). Namun demikian, penelitian ini dapat dikatakan cukup unik karena objek eksplorasi berfokus pada bagaimana resiliensi yang dimiliki siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Dari berbagai permasalahan kehidupan (Risk factor) yang ada di masyarakat pesisir yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin, kondisi keluargaa yang kurang baik, sebagian besar penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi sekolah yang serba kekurangan, tentunya hal ini berdampak pada pendidikan yang rendah untuk anakmenyebabkan anaknya sehingga banyaknya anak yang beresiko putus sekolah hingga akhirnya terpaksa putus sekolah. Hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kegagalan di sekolah menengah, terjadi karena siswa yang berasal dari sosial ekonomi rendah (Balfanz & Legters, 2004). Selain masalah kemiskinan, terdapat masalah lain didalam masyarakat pesisir yaitu antusias terhadap pendidikan di masyarakat pesisir relatif masih relatif rendah (Anggraini, 2000). 52
Pandangan terhadap penting atau tidaknya pendidikan menjadi penyebab terjadinya putus sekolah. Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, tetap ada siswa yang meneruskan sekolah hingga SMA di masyarakat peisir. Mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Hal ini terjadi karena adanya (Protective factors) yaitu minat, motivasi, harapan, dan persepsi siswa tentang sekolah tinggi, lalu persepsi orangtua tentang pendidikan yang tinggi dan bantuan dari pihak sekolah. Grotberg (1995) mengemukakan sumber-sumber resiliensi, salah satunya adalah I Have. I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan resiliensi. Salah satu sumbernya adalah Trusting relationships yaitu orangtua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak tersebut. Dengan adanya hubungan antara sekolah, keluarga dan komunitas, bisa menciptakan kesempatan yang baik untuk menciptakan siswa yang resilien, dengan seperti itu siswa dapat menghilangkan stressor, batasan maupun rintangan dalam mencapai prestasi akademiknya (Bryan, 2005). Hubungan antara Risk factor dengan Protektive factor itulah yang menciptakan resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan siswa untuk mampu bertahan dan tidak mengalah dalam situasi tertekanan, sehingga terhindar dari kegagalan di sekolah dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan adanya resiliensi telah membuat siswa bisa sekolah dan tetap meneruskan sekolah hingga SMA. Oleh karena itu sesuai dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki kemampuan resiliensi yang tergolong sedang sampai dengan kemampuan resiliensi yang tergolong tinggi dan tidak ada subjek yang memiliki kemampuan resiliensi yang tergolong rendah. Selanjutnya, kami menyadari berbagai kekurangan dari penelitian ini. Pertama, penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kuantitatif, di mana kami mengukur resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Dengan metodologi seperti ini, kami kurang memiliki jumlah data statistik yang jelas tentang jumlah siswa SMA yang beresiko putus sekolah dan putus sekolah di masyarakat pesisir, baik secara nasional dan perdesa-desa sehingga kurang diperoleh data yang cukup komprehensif. Dengan demikian, akan sangat menarik di penelitian selanjutnya untuk melihat bagaimana resiliensi siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir, apabila datanya lengkap disetiap daerah pesisir yang ada di Indonesia. Kedua, pengambilan data dalam penelitian ini kami menggunakan skala resiliensi umum (Reivich & Shatte, 2002) yang telah di adopsi kedalam bahasa Indonesia, sehingga diperoleh hasil yang sangat luas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan resiliensi pada siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir. Akan lebih baik lagi untuk penelitian selanjutnya jika menggunakan skala yang khusus menugkur resiliensi akademik. Selain itu penerjemahan dari bahasa Ingris ke bahasa Indonesia harus disesuaikan dengan budaya, situasi, kebiasaan, norma-norma dan perilaku di negara Indonesia, agar hasil yang diperoleh sudah lebih terfokus pada resiliensi akademik siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir di negara Indonesia. Ketiga, dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif deskriptif, sehingga terdapat beberapa data yang missing yang tidak dapat diungkapkan dengan menggunakan jenis ini. Akan sangat menarik untuk penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan jenis penelitian kualitatif terhadap subjek penelitian, guna memperoleh gambaran resiliensi siswa SMA yang beresiko putus 53
sekolah di masyarakat pesisir yang lebih komperhensif. Terakhir, sebagai implikasi praktis, kami ingin mengajak bagi pihak yang terkait dan kepada siswa SMA yang beresiko putus sekolah di masyarakat pesisir, dengan cara-cara seperti berikut: 1. Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan pendidikan yang besar, agar bisa membantu pihak sekolah setempat untuk dapat menerima siswa-siswa SMA di masyarakat pesisir yang lebih banyak lagi dan mempertahankan para siswa agar tidak beresiko putus sekolah. 2. Resiliensi sangat penting bagi kemajuan diri siswa dibidang akademik. Dengan adanya resiliensi maka siswa dapat bertahan dalam menempuh pendidikannya. DAFTAR PUSTAKA Alifianto, A. (2008). Kuliah Kerja Nyata Wajib Belajar 9 Tahun. http://www.pewartakabarindonesia.blogspot.com. Tanggal akses 06 Maret 2011. Al-Husaini, A. H. (2003). Pendidikan Anak Menurut Islam (Terjemahan Abdullah Mahadi), cet.i, Bandung: Sinar baru Al-Gensiondo. Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan Generasi Nelayan. www.suarakaryaonline.com. Tanggal akses 06 Maret 2011. Audiyahira, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. http://www.mediaindonesia.com/rea d/2010/08/04/159874/88/14/13-juta- Anak-Terancam-Putus-Sekolah. Tanggal akses 25 Maret 2011. Harahap, A.H. (1981). Bina Remaja. Medan: Yayasan Bina Pembangunan Indonesia. Axford, K., M. (2007). Attachment, Affect Regulation, and Resilience in Undergraduate Students. Dissertation, Walden University, hlm. 63. Azwar, S. (1999). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.. (1999). Penyusunan skala psikologi (edisi 1). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.. (2001). Methodology Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.. (2005). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.. (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Baharuddin, M. (1982). Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66. Balfanz, B., Legters, N. (2004). Locating the dropout crisis: Which high schools produce the nation s dropouts? Where are they located? Who attends them?. Center for Research on the Education of Students Placed At Risk, Baltimore, MD: Johns Hopkins University. Bandura, Albert. (1997). Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H Freeman and Company. Benard, B. (1991). Fostering resiliency in kids: Protective factors in the family, school, and community. Portland, OR: Northwest Regional Educational Laboratory. (ERIC Document Reproduction Service No. ED335781). Bobey, Mary. (1999). Resilience : The ability to Bounce Back from Adversity. American Academy of Pediatric. Available http://www.crhahealth.ab.ca/clin/wowen102_marapr.htm. Bryan, J. A. (2005). Fostering Educational Resilience and Achievement in Urban Schools Through School- Family-Community Partnerships. Professional School Counseling. 8:3. Brown, J. H., D'Emidio-Caston, M., & Benard, B. (2001). Resilience 54
education. U.S.; California: Corwin Press. Close, W. & Solberg, S. (2007). Predicting achievement, distress and retention among lower-income Latino youth. Journal of Vocational Behavior, 72, pp. 31-42. Coulson, R. (2006). Resilience and Self- Talk in University Students. Thesis University of Calgary, hlm. 5. Dahuri, R. (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha, Jakarta. Dahuri, R. (2004). Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004. Daftar Tabel Data Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Tahun 2009/2010. Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Rumah Tangga Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang. Davis, N. J. (1999). Subtance Abuse and Mental Health Services Administration Center for Mental Health Services Division of Program Development, Special Populations & Projects Special Programs Development Branch (301), pp.443-2844. Status of Research and Research-based Programs. HYPERLINK. http://mentalhealth.samhsa.gov/scho olviolence/. Tanggal akses 20 Febuari 2011. Fakhrudin, A. & Yulianto. G. (2008). Karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Pesisir. http://coastaleco.wordpress.com/200 8/04/26/karakteristik-sosialekonomimasyarakat-pesisir/. Tanggal akses 25 Mei 2011. Farmadi. (2004). Selamatkan Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan. Semarang: Mujahid Press. Fathul. (2002). Peran Komunitas dalam Pengasuhan. http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/index.ph p?option=com_content&view=articl e&id=187%3aperan-komunitasdalam pengasuhan&catid=20%3aterbaru& Itemid=94&lang=id. Tanggal akses 3 September 2011. Garmenzy, N. (1991). Resiliency and vulnerability to adverse developmental outcomes associated with poverty. American Behavioral Scientist, 34(4), 416 430. Gordan, E., & Song, L. (1994). Variations in the experience of educational resilience. In M. Wang, & E. Gordan (Eds.), Educational resilience in inner-city America: Challenges and prospects (pp. 27 43). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Grahacendikia. (2009). Anak Putus Sekolah dan Cara Pembinaannya. http://www.google.co.id/putussekola h/referensipenelitianskripsi-tesis. Tanggal akses 06 Maret 2011. Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and Reflections. Number8. The Hague: Benard van Leer Voundation. Hadi, S., (2000). Metodologi research. Jilid I, II & III. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C. (2006). Multivariate Data Analysis. Sixth Edition. Prentice Hall International: UK. Hasanuddin, B. (2000). Diundur Hingga 2009, Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun. http://edukasi.kompas.com/read/201 1/03/03/ Diundur-Hingga-2009- Penuntasan-Wajib-Belajar- Sembilan-Tahun. Harian Kompas. 55
Edisi 3 Maret. Tanggal akses 06 Maret 2011. Holaday, M. (1997). Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling and Development.75. 346-357. Johnson, N. And Wichern, D. (2002). Applied Multivariate Statistical Analysis. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. N.J. Kalyanamitra. (2005). Kuingin Anak nelayan Pintar. Kompas Cyber Media. www.kalyanamitra.or.id/kalyanamed ia/2/2/sosok.htm. Tanggal akses 30 Maret 2011. Kiroyan, J. (2010). 13 Juta Anak Terancam Putus Sekolah. http://www.mediaindonesia.com/rea d/2010/08/04/159874/88/14/13-juta- Anak-Terancam-Putus-Sekolah. Tanggal akses 30 Maret 2011. Kitano, M. K., & Lewis, R. B. (2005). Resilience and coping: Implications for gifted children and youth at risk. Roeper Review, 27(4), 200 215. Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p 1067-1079. Kurniawan, I., N. & Vita R. (2008). Pengaruh Pelatihan Resiliensi terhadap Perilaku Asertif pada Remaja. Jurnal Psikologi Islam, Vol. 5, Nomor 1, hlm. 93-105. ada, berorientasi pada tujuan, pencarian dukungan dari orang lain, rasa humor (sense of humor) dan efikasi diri (self-efficacy). Kusnadi. (2003). Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS, Yogyakarta. Latief. (2009). Siswa SD Putus Sekolah. http://edukasi.kompas.com/read/201 1/03/04/10323346/527.850.Siswa.S D.Putus.Sekolah. Tanggal akses 06 Maret 2011. Liquanti, R. (1992). Using Communitywide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities. Far West Laboratory fo Educational Research and Development. San Fransisco. http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/ citu11bhtm. Tanggal akses 20 Febuari 2011. Lusiana. (2010). Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Anak Nelayan Untuk Sekolah. http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/17858/7/Cover.pdf. Tanggal akses 25 April 2011. Mendiola, J. J. (2006). A Case of Resilience at a Local Bay Area School: Defying the Odds. International Comparative Education. School of Education. Stanford University. McCubbin, L. (2001). Chalange to The Definition of Resilience. Paper presented at The Annual Meeting of The American Psychological Association in San Francisco, 24-28 Agustus 2001, hlm. 9. Morales, E. E. (2008). Exceptional Female Students of Color: Academic Resilience and Gender in Higher Education. Innovative Higher Education. 33:197 213. Morales, E. E., & Trotman, F. (2004). Promoting academic resilience in multicultural America: Factors affecting student success. New York, NY: Peter Lang. Mubyarto. (1989). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3S. Muhadjirin. (2009). Sosiologi Pedesaan Masyarakat Pesisiran. http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjah irin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/. Tanggal akses 25 April 2011. Mulyadi, S. (2005). Ekonomi Kelautan. Jakarta: Rajawali Pers. 56
Nata, A. (2003). Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1, cet. 1, Jakarta: Kencana. Nikijuluw, V.P.H. (2001). Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta: Kerja Sama Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo. Nusajaya. (2011). 3.000 Anak Nelayan Putus Sekolah. http://nusajaya72.com/tag/penyebabputus-sekolah/. Tanggal akses 30 Maret 2011. Pengemanan, A.P. (2002). Sumber daya Manusia (SDM) Masyarakat Nelayan. http://tumoutou.net/702_05123/grou p_a_123.htm. Tanggal akses 30 Maret 2011. Prasodjo, I. (2005). Remaja berdamai dengan kekerasan dan kriminalitas. www.tempointeraktif.co.id. Tanggal akses 06 Maret 2011. Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life s Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books. Riley, J., R., & Masten, A. S. (2005). Resilience in Context. Dalam Peters dkk., Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York, hlm. 16. Roberts, K., A. (2007). Self-Efficacy, Self- Concept, and Social Competence as Resources Supporting Resilience and Psychological Well-Being in Young Adults Reared within The Military Community. Dissertation, Fielding Graduate University, hlm. 18. Rudkin, J.K. (2003). Community Psychology: Guiding Principles and Orienting Concepts. New Jersey: Prentice Hall. Santrock, Jhon, W. (2003). Life-Span development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Schoon, I. (2006). Risk and Resilience: Adaptation in Changing Times. Cambridge University Press, New York, hlm. 8. Sharma, S. (1996). Applied Multivariate Techniques. New-York: John Wiley & Sons, Inc. Singgih D.G dan Ny. Y. Singgih D. G. (1985) Psikologi Remaja, Jakarta: Gunung Mulia. Sudarso. (2005). Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisonal di Perkotaan. Universitas Airlangga. Suhana. (2006). Krisis Sumberdaya Manusia Nelayan (Memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2006). http://ocean.iuplog.com. Tanggal akses 02 Maret 2011. Sulistyowati, L. (2003). Analisis Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Gugus Kepulauan. http://tumoutou.net/702_07134/vend a_i_pical.htm. Tanggal akses 8 Maret 2011. Surachmad, W. (1977). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kesehatan. Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Vembriarto. (1975) Pendidikan Sosial. Jilid II. Yogyakarta: Paramita. Wang, M. C., Haertel, G.D., & Walberg, H. J. (1997). Fostering educational resilience in inner-city schools. Children and Youth, 7, 119 140. Waxman, H. C., Gray, J.P., & Padron, Y. N. (2003). Review of Research on Educational Resilience (p.1). CA: Center for Research on Education, Diversity & Excellence. Winengan. (2007). Masalah Sosial Masyarakat Pesisir. http://perikananhangtuah.blogspot.com/2011/02/mas 57
alah-sosial-masyarakat-pesisir.html. Tanggal akses 14 November 2011. Werner, Emmy, E. (2005). Resilience Research: Past, Present, and Future. Dalam Peters dkk., Resilience in Children, Families and Community: Linking Context to Practice and Policy. Plenum Publisher, New York, hlm. 5. 58