BAB II KAJIAN TEORI. yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung. Bertolak pada kenyataan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. sama lain. Bahasa merupakan media yang digunakan oleh manusia untuk

DEIKSIS PERSONA DALAM NOVEL TUNGGAK-TUNGGAK JATI KARYA ESMIET SEBUAH KAJIAN PRAGMATIK SKRIPSI

Analisis Deiksis dalam Komik Angkara Tan Nendra Karya Resi Wiji S. dalam Majalah Panjebar Semangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS DEIKSIS DALAM NOVEL EMPRIT ABUNTUT BEDHUG KARYA SUPARTO BRATA

PENDAHULUAN Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa untuk berkomunikasi antarsesama masyarakat Jawa.

ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 KARANGANYAR

BAB I PENDAHULUAN. Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos yang memiliki arti

DEIKSIS DALAM RUBRIK AH TENANE PADA SURAT KABAR HARIAN UMUM SOLOPOS

BAB I PENDAHULUAN. Pragmatik memiliki lima bidang kajian salah satunya deiksis. berarti penunjukan atau hal petunjuk dalam sebuah wacana atau tuturan.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. anggota kelompok tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran bahasa Indonesia mencakup empat keterampilan berbahasa

BAB I PENDAHULUAN. pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis)

PENGGUNAAN DEIKSIS SEMANTIK DALAM CERPEN SILUET JINGGA KARYA ANGGI P

PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN KOMPAS EDISI JANUARI FEBRUARI 2010 SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan

Analisis Deiksis Cerita Bersambung Evelyn karya Dyah Katrina dalam Majalah Djaka Lodang Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi antar sesama. Kridalaksana (dalam Chaer, 2003: 32)

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial, mereka harus bergaul dan berinteraksi

Kajian Deiksis dalam Cerita Bersambung Getih Sri Panggung Karya Kukuh S.Wibowo Panjebar Semangat Edisi 23 Maret 29 Juni 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PEMAKAIAN DEIKSIS PERSONA, LOKASIONAL, DAN TEMPORAL DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SKRIPSI

DEIKSIS ARTIKEL HARIAN SUARA MERDEKA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MENULIS NARASI NONFIKSI DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA

ANAFORA GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL GARUDA PUTIH KARYA SUPARTO BRATA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa penelitian mengenai hal tersebut, tetapi penelitian tentang Deiksis Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BAHASA INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian tentang analisis deiksis dalam novel yang Miskin Dilarang

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Chaer, 2003:

ARTIKEL E-JOURNAL SYARIFAH FADILAH NIM

I. PENDAHULUAN. dalam mencari informasi dan berkomunikasi. Klausa ataupun kalimat dalam

REFERENSI DALAM WACANA BERBAHASA JAWA DI SURAT KABAR

BAB II LANDASAN TEORI. peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena bahasa tidak terlepas dari

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang.

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk hidup bersama. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari antara orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial yang harus bergaul dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka

BAB II KAJIAN TEORI. dikaitkan dengan konteks pemakaiannya. Makna bahasa tersebut dapat dimengerti

REFERENSI DALAM WACANA HUMOR BERBAHASA JAWA CURANMOR (CURAHAN PERASAAN DAN HUMOR) DI SIARAN YES RADIO CILACAP

DEIKSIS PERSONA, TEMPAT, DAN WAKTU PADA NOVEL ASSALAMUALAIKUM BEIJING KARYA ASMA NADIA SKRIPSI

PRAGMATIK. Penjelasan. Sistem Bahasa. Dunia bunyi. Dunia makna. Untuk mengkaji pragmatik... Contoh-contoh sapaan tersebut...

BAB I PENDAHULUAN. Prosa dalam pengertian kesusastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif

BAB I PENDAHULUAN. sarana mengungkapkan ide, gagasan, pikiran realitas, dan sebagainya. dalam berkomunikasi. Penggunaan bahasa tulis dalam komunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengandung banyak pengetahuan didalamnya. Tidak jarang ditemui kesulitan

DEIKSIS DALAM SERI CERITA RAKYAT KALANTIKA PENULIS CHAIRIL EFFENDY

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa daerah memiliki fungsi dan peran utama dalam hal pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Semantik merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan. wacana. Tindak tutur dapat pula disebut tindak ujar.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemiripan makna dalam suatu bentuk kebahasaan dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. bukan perlu membutuhkan pemahaman yang menyeluruh. Dalam

DEIKSIS PERSONA, TEMPAT, DAN WAKTU DALAM CERITA RAKYAT DAYAK KANAYATN

ANALISIS DEIKSIS PERSONA DAN PERAN SEMANTIS DALAM KUMPULAN CERPEN KLOP KARYA PUTU WIJAYA

ANALISIS DEIKSIS NOVEL BILA CINTA MENCARI CAHAYA KARYA HARRI ASH SHIDDIQIE DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempermudah kita untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bahasa adalah

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

CERMINAN NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM VARIASI TINDAK TUTUR BAHASA JAWA DIALEK BANYUMAS

ANALISIS DEIKSIS DALAM NOVEL LINTANG PANJER RINA KARYA DANIEL TITO DAN PEMBELAJARANNYA DI SMA. Diyah Agustiyan Universitas Muhammadiyah Purworejo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dan bahasa adalah dua komponen yang tidak terpisahkan satu sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA MELAYU KUTAI TENGGARONG

KAJIAN PEMAKAIAN DEIKSIS SOSIAL DALAM TAJUK RENCANA HARIAN SOLOPOS EDISI JANUARI-FEBRUARI 2010 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Debat adalah perbincangan antara beberapa orang yang. membahas suatu masalah dan masing-masing mengemukakan

BAB III METODE PENELITIAN

BENTUK-BENTUK DEIKSIS DALAM NOVEL YANG MISKIN DILARANG MALING KARYA SALMAN RASYDIE ANWAR ARTIKEL. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. apabila referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi si

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan tugas-tugas tersebut. Tetapi kalau memahami masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada masa sekarang ini walaupun pada kira-kira dua dekade yang silam ilmu

BAB I PENDAHULUAN. tutur/ pendengar/ pembaca). Saat kita berinteraksi/berkomunikasi dengan orang

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kesantunan antara lain adalah deiksis sosial.

BAB I PENDAHULUAN. novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari

Jurnal Bastra Volume 3 Nomor 3 Desember

Artikel Publikasi POLA FRASA NOMINA POSESIF DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH SUARA MUHAMMADIYAH TAHUN 2014

BAB II PEMBAHASAN. Dalam pembahasan ini akan dipaparkan mengenai penanda kohesi (baik

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar

BAB I PENDAHULUAN. yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa lisan dan bahasa tulis salah satu

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

PRONOMINA OF CENTRAL JAVA LANGUAGE SOLO DIALECT

BAB I PENDAHULUAN. merupakan ungkapan manusia yang dilafalkan dengan kata-kata dalam. dan tujuan dari sebuah ujaran termasuk juga teks.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik memiliki tataran tertinggi yang lebih luas cakupannya dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

1. Kita harus melaporkan kejadian itu besok, tetapi mereka sekarang tidak berada di sini.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memerlukan komunikasi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Berbahasa merupakan aktivitas sosial bagi manusia. Seperti aktivitas

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI

Diajukan oleh: A JUNI, 2015

sudah diketahui supaya tidak berulang-ulang menyebut benda tersebut, bahasa Jawa anak usia lima tahun yang berupa tingkat tutur krama, berjenis

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia berkomunikasi menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORETIS

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoretik 1. Pengertian Pragmatik Pengkajian terhadap bahasa jika ditinjau dari sudut pandang linguistik terapan tentu tidak dapat dilakukan tanpa memperhitungkan konteks situasi yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung. Bertolak pada kenyataan tersebut, maka pragmatik hadir sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hubungan antara bentuk-bentuk bahasa dengan konteks yang melingkupi penggunaan bahasa (Suyono, 1991.2) membedakan pengertian pragmatik dan keterampilan pragmatik. Konsep merujuk pada ilmu yang mempelajari hubungan antara bentuk bahasa dengan konteks yang melingkupi penggunaan bahasa dalam situasi berbahasa sesuai konteks yang melingkupinya. Pragmatik sebagai salah satu disiplin ilmu bahasa memiliki definisi yang beragam, namun tetap masih menyaran pada esensi makna yang sama menurut Levision sebagaimana kutip oleh Tarigan (1986: 30), pragmatik adalah telah mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, definisi ini juga menyaran pada telah mengenai kemampuan pemakaian bahasa dalam menghubungkan dan menyerasikan kalimat-kalimat dengan konteks secara 8

9 tepat. Hal ini berarti bahwa setiap kali suatu kalimat muncul pada konteks pemakaian tertentu, maka tafsiran kalimat tersebut relatif tetap. Pendapat lain dikemukakan oleh Leech (1993: 54), pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk menemukan makna-makna ujaran yang sesuai dengan situasinya. Sementara itu, Marris Via Nababan (1987: 1) menyatakan bahwa pragmatik merupakan bagian ilmu bahasa yang mengkaji hubungan antara unsur-unsur bahasa sebagai pemakaian bahasa. Kridalaksana (1983: 59) mengungkapkan bahwa pragmatik adalah bagian ilmu bahasa yang mempelajari isyarat-isyarat bahasa mengakibatkan keserasian pemakaian bahasa dalam komunikasi serta mengkaji aspek-aspek diluar bahasa yang berpengaruh terhadap makna ujaran. Sehubungan dengan hal tersebut, Nababan (1987: 2) memberikan batasan dan penentuan maknanya sesuai dengan maksud, konteks, dan situasi komunikasi. Berdasarkan beberapa asumsi di atas, dapat disimpulkan bahwa pragmatik merujuk pada dua hal yaitu pragmatik sebagai ilmu merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan aspek pemakaiannya. Adapun pragmatik sebagai suatu keterampilan berbahasa merupakan kemampuan dalam menggunakan bahasa sesuai dengan konteks dan situasi berbahasanya. Dengan kata lain, keterampilan pragmatik merupakan keterampilan menggunakan bahasa secara komunikatif. Sehubungan dengan penggunaan bahasa jawa, maka keterampilan berbahasa secara pragmatik ini adalah keterampilan menggunakan bahasa jawa yang diselaraskan dengan pola

10 undhuk-usuk bahasanya, apakah dalam konteks ngoko, madya, ataukah krama. Artinya, pemilihan kosa kata dalam tindak bahasa benar-benar memperhatikan konteks serta situasi yang melatar belakanginya 2. Deiksis a. Pengertian Deiksis Dalam peristiwa berbahasa seringkali digunakan kata ataupun frasa yang maknanya merujuk pada bentuk yang merujuk artinya, sebuah kata atau frasa dapat memiliki rujukan lebih. Purwo (1984: 1) menyatakan bahwa sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa yang menjadi pembicara, serta saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Perpindahan leksem deiksis disebabkan oleh pengaturan leksem tersebut oleh pembicara, bukan oleh apa yang dimaksudkan si pembicara. Kridalaksana (2001: 39) menyatakan dalam deiksis adalah hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa, seperti kata tunjuk, pronomia yang referennya bergantung pada identitas penutur. Ada Alwi (2000: 42) menerangkan bahwa deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau kontruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Sejalan dengan asumsi diatas, Cahyono (1995: 217) menyatakan bahwa deiksis merupakan salah satu cara untuk mengacu hakikat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya

11 dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi pembicara. Kata deiksis itu sendiri berasal dari kata yunani deiktikos yang berarti hal yang di tunjukkan secara langsung (Purwa, 1984: 2). Istilah tersebut telah menjadi istilah teknis teori bahasa untuk menangani ciri-ciri penentuan bahasa yang berhubungan dengan waktu dan tempat ujaran. Pertunjukan dalam deiksis digunakan untuk menghindari pengulangan kata atau frasa yang telah dipakai sebelumnya. Dengan demikian, penuturan menjadi lebih variatif sehingga penggunaan deiksis dalam tuturan merupakan bentuk pemilihan gaya bahasa. Perujukan atau penunjukkan yang ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya disebut anafora. Anafora merupakan akibat dari pola penyusunan konstituen-konstituen bahasa secara linier. Adapun pertunjukan yang ditujukan pada bentuk yang akan disebutkan kemudian disebut dengan katafora. b. Jenis-jenis Deiksis Pada kajian pragmatik terdapat beberapa kriteria dalam pengklasifikasian deiksis. Purwo (1984 : 19) menyatakan bahwa deiksis waktu. Nababan (1987 : 4) membedakan deiksis atas 5 macam, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial. Nababan (1987 : 41) menyatakan bahwa persona pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara pada dirinya sendiri, persona kedua ialah

12 katregori rujukan kepada sesorang (atau lebih) pendengar atau si alamat dan person ketiga adalah kategorisasi rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembica atau lawan bicara. Sejalan dengan asumsi diatas deiksis atau tembung sesulih kata ganti dalam Bahasa Jawa dapat diklasifikasikan atas enam macam (Sasangka, 2001 : 108), lebih lanjut, Sasangka membagi deiksis menjadi tembung Sesulih purusa kata ganti orang, tambung Sesulih pandarbe kata ganti empunya, tembung Sesulih panuduh kata ganti petunjuk, Sesulih pitakon kata ganti penanya, Sesulih panyilah kata ganti penghubung, dan Sesulih Sadhengah kata ganti tak tentu. Bentuk Sesulih purusa atau pronomina persona digunakan untuk mengganti orang misalnya aku saya, kita kowe, kamu, dheweke dia, awake kamu, sira kamu, piyambakipun kamu, panjenengan sadaya kamu semua. Tembung Sesulih purusa kata ganti orang dibedakan menjadi tiga, yaitu utama purusa kata ganti orang pertama, madyama purusa kata ganti orang kedua, dan pratama purusa kata ganti orang ketiga. Adapun Sesulih pandarbe kata ganti empunya dapat dibagi menjadi dua, yaitu Sesulih Pandarbe kata ganti empunya yang berada didepan kalimat dan Sesulih pandarbe kata ganti empunya yg berada dibelakang kalimat. Sesulih pandarbe kata ganti empunya didepan kalimat disebut proklitik sedangkan yang dibelakang disebut enklitik.

13 Tabel 1. Klasifikasi Klitika Sesulih purusa Klitika kata ganti orang Proklitik Enklitika Aku saya Dak-/tak_ saya -ku ku Kowe kamu Ko-/kok-, mang- kamu -mu ku Dheweke dia Ø -mu -mu -e nya Sesulih pandarbe kata ganti empunya yang berwujud sebagian besar ada pada ragam ngoko, adapun dalam ragam Krama (krama madya) terdapat satu bentuk, yaitu mang- kamu. Tembung sesulih pandarbe dak- kamu, mang- kamu, -ku -ku dan mu -mu dalam bahasa krama akan berubah menjadi panjenengan kamu. Klitik mu yang terkadang berubah menjadi ingkang kamu dalam ragam krama. c. Deiksis Persona Persona adalah orang atau benda yang berperanan dalam pembicara (KBBI 2001: 86). Merujuk pada definisi persona tersebut, maka deiksis persona adalah deiksis yang merujuk pada orang atau benda yang memiliki peran dalam pembicaraan jadi, kategori dalam deiksis persona tidak lain

14 adalah peran peserta dalam peristiwa berbahasa tersebut. Cummings dalam (1999: 31) membedakan peran dalam kegiatan berbahasa menjadi tiga macam, yaitu persona pertama, persona kedua, dan persona ketiga. Sejalan dengan hal tersebut, Nababan (1987: 41) menjelaskan bahwa person pertama adalah kategorisasi rujukan pembicara pada diri sendiri, sedangkan persona kedua merupakan kategori rujukan pada seseorang (atau lebih) pendengar atau si alamat. Adapun persona ketiga adalah kategori rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara atau lawan bicara. Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa. Deiksis perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yang lain. Sebagaimana yang dinyatakan purwo (1987: 2), deiksis dalam linguistik digunakan untuk menggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstrative, fungsi waktu, dan bermacam-macam ciri gramatikal serta leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindakan ujaran. Mengacu pada pendapat Purwo tersebut, istilah deiksis

15 persona dalam penelitian ini adalah satuan lingual yang menggantikan fungsi kata ganti persona. Bentuk kata ganti persona pertama tunggal dalam Bahasa Jawa seperti kata aku, kula, ingsun, adalem, abdi dalem, digunakan oleh pembicara untuk merujuk pada diriya sendiri, sedangkan kata ganti persona kedua seperti kowe, sampeyan, jengandika, ndika, nandalem, slirane, awake, panjenengan, dan sira digunakan untuk merujuk pada pendengaran atau lawan bicara. Adapun khusus untuk kata ganti persona ketiga dalam bahasa Jawa hanya ada dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya tidak ada (Antunsuhono, 1953: 59). Bentuk tunggal kata ganti persona ketiga digunakan untuk merujuk pada orang lain, persona ketiga menyarankan pada persona yang dibicarakan. 3. Bentuk Pronomia Persona Dalam Bahasa Jawa Pronomina adalah kata yang berfungsi untuk menggantikan nomina (Kridalaksana, 1986: 74). Pronomina tidak bisa berafiksi tetapi dapat direduplikasi. Pronomina merupakan salah satu kelas unsur dalam bahasa yang maknanya akan diterangkan dengan mengacu pada koordinat-koordinat deiksis situasi ujaran. Dalam bahasa Jawa, kata ganti persona atau pronomina person disebut dengan istilah tembung sesulih purusa. Antunsuhono (1953: 58) mendefinisikan tembung sesulih purusa sebagai tembung kang bisa digunakake kanggo nyulih uwong, kata yang dapat digunakan untuk menggantikan orang. Selanjutnya,

16 Sasangka membedakan tembung sesulih purusa menjadi tiga maca, yaitu: utama purusa sebagai kata ganti persona utama, madyana purusa atau kata ganti pesona kedua, dan pratama purusa sebagai kata ganti persona ketiga. a. Utama Persona Kata ganti persona adalah kategorisasi rujukan pembicara kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, kata ganti persona pertama merujuk pada orang yang sedang berbicara. Kata ganti persona pertama atau utama purusa tunggal dalam Bahasa Jawa memiliki beberapa bentuk, antara lain aku, kula, ingsun, adalem, dan abdi dalem. Adapun dalam bentuk jamak hanya ada dua macam bentuk, yaitu kawula dan kita (Antunsuhono, 1953: 59). Mengingat bahwa dalam Bahasa Jawa terdapat system udha-usuk basa, maka dalam menggunakan bentuk-bentuk persona harus memperhatikan konteks tertentu pula. bentuk pronomina persona aku akan tepat penggunaannya apabila diterapkan pada konteks ngoko. Adapun dalam konteks madya dan krama dapat digunakan bentuk-bentuk pronomina tertentu digunakan atau diterapkan pada konteks tertentu pula, adapun dalam konteks madya dan krama dapat digunakan bentuk-bentuk pronomina persona seperti: kula, adalem, abdi dalem (tunggal), serta kawula, kita jamak. Khusus untuk bentuk persona ingsun, bentuk persona ini hanya digunakan oleh penutur tertentu dengan status sosial yang tinggi atau dianggap terpandang dalam masyarakat, misalnya golongan bangsawan keraton.

17 Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Yule, 1996: 15). Kata ganti persona pertama (utama purusa) memiliki bentuk ringkas berupa dak- (tak-), kok- (ko-), mang-, -ku, -e, dan mu (Sasangka, 2001:112). Bentuk ringkasan pronomina terikat (klitika). Bentuk klitika dak-/tak-ko-/kokdan mang- masuk dalam kategori proklitik, sementara ku. mu, dan e termasuk dalam enklinik. Bentuk tabel klasifikasi klitika. Tabel 2 : Klasifikasi Klitika Sesulih purusa Klitika Proklitik Enklitik Aku Dak-/tak- -ku Kowe Ko-/kok-, mang -mu Dheweke ǿ -e

18 1). Madyama Purusa Bentuk pronomina persona kedua (madyama purusa) merujuk pada orang yang diajak bicara. Bentuk tunggal madyama purusa cukup bervariasi, misalnya: kowe, sampeyan, jengandika, ndika, nandalem, samang, slirane, awake, panjenengan, dan sira. Adapun dalam bentuk jamaknya hanya ada dua macam bentuk, yaitu kowe kabeh dan panjenengan sedaya. Bentuk pronomina persona kedua kowe, awake, sira (tunggal) atau kowe kabeh (jamak) digunakan dalam konteks ujaran ngoko. Sedangkan dalam konteks ujaran madya dapat digunakan bentuk persona sampeyan, jengandika, ndika, dan samang. Adapun bentuk persona panjenengan, nandalem serta panjenengan sedaya digunakan dalam konteks ujaran karma (Poerwadarminta, 1953: 41). Pronomina persona sesungguhnya tidak masuk dalam kategori utama purusa atau kata ganti persona pertama, melainkan termasuk madyama purusa atau kata ganti persona pertama, melainkan termasuk madyama purusa atau kata ganti persona kedua. Persona dalam berarti-mu (kamu), bukan aku atau kula saya (Antunsuhono, 1953: 59). Persona yang menyaran pada aku atau kula yaitu adalem saya. Kata adalem berasal dari kata yang berarti dudu tidak dan dalem kamu yang berarti kowe kamu. Jadi, adalem berarti dudu kowe kamu bukan kamu melainkan aku

19 2). Pratama Purusa Bentuk pronomina persona ketiga dalam bahasa jawa atau yang disebut dengan pratama purusa hanya ada dalam bentuk jamak kata ganti persona ketiga dalam bahasa jawa tidak ditemukan (Sasangka, 2001: 109). Bentuk pronomina person yang bias digunakan dalam konteks ngoko antara lain: dheweke, dheke, atau dheknen. Adapun dalam konteks ujaran madya dan karma digunakan bentuk pronomina person piyambak dan piyambakipun. Bentuk pronomina person ketiga ini merujuk pada orang yang berada diluar pembaca dan lawan bicara jadi, pronomina person ketiga merujuk pada subjek yang dibicarakan. Selain bentuk sesulih purusa seperti tersebut diatas, dalam bahasa jawa terdapat bentuk pronomina lain yang memiliki fungsi sama dengan sesulih purusa yaitu menggantikan persona. Bentuk pronomina yang dimaksud adalah Sesulih pandarbe (pronomina posesif), sesulih panyilah (pronomina relatif), dan Sesulih sadhengah (pronomina identerminatif). Bentuk Sesulih pandarbe atau kata ganti empunya dapat dipilih menjadi dua, yaitu Sesulih pandarbe yang berbeda didepan kata (proklitik) dan Sesulih pandarbe yang berbeda dibelakang kata (enklitik). Bentuk yang termasuk proklitik antara lain Dak_/ tak dan ko-/ kok- adapun bentuk enklitik yaitu ku, -mu, dan e. Sesulih panyilah atau kata ganti penghubung (pronomia relatif) adalah kata yang menggantikan tembung aran (nomina) yang berbeda pada inti kalimat (Sasangka, 2001 :116). Bentuk dari sesulih panyilah yaitu sing dan

20 kang yang dugunakan dalam konteks ngoko serta ingkang digunakan dalam konteks karma. Bentuk ini contoh penggunaan bentuk sesulih panyilah sing, kang serta ingkang dalam konstruksi kalimat. a). Sing (nganggo) klambi soklat iku mbayuku b). Sing nggawa sepedha onthel kae jenenge Lien Nio c). Dudu wong kuwi sing digoleki Karmodo d). Wong kang dhemen weweh iku tandhane loma e). Ingkang ngagem rasukan bathik punika bapakke kula f). Ketingalipun sanes tiyang punika ingkang dipunkersaaken Pak Kaudin Adapun Sesulih sadhengah atau kata ganti tak tentu (pronomina indeterminatif) merupakan kata yang berfungsi mengantikan orang/ person atau sesuatu yang belum jelas keadaanya (Sasangka, 2001:116). Bentuk yang termasuk Sesulih pandarbe meliputi sawijining, apa-apa bae, sapasapa,saben uwong,kabeh,sing sapa (bae), dan salah siji. Berikut ini contoh penggunaan bentuk sesulih sadhengah dalam konstruksi kalimat. 1). Wong kae klebu sawijining tokoh agamawan 2). Apa-apa kok ora bisa, gumun aku. 3). Kowe mau tuku buku apa bae. 4). Sapa-sapa sing diundang mangsa borong panjenegan. 5). Saben uwong mesthine yo duwe salah. 6). Kuwi gawanane kabeh! 7). Sing sapa liwat ya kudu mbayar

21 4. Peran Deiksis Persona Peran dapat diartikan sebagai keterlibatan seseorang dalam suatu tindakan komunikasi, istilah peran menurut Alwi (2000: 249) adalah peran yang mengacu pada pengertian keterlibatan seseorang dalam tindak berbahasa. Peran seseorang dalam tindak berbahasa dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu sebagai pembicara, sebagai yang diajak bicara, dan sebagai orang yang dibicarakan. Kategori persona dengan jelas dapat didefinisikan dengan mengacu pada pengertian peran peserta, yaitu person pertama dipakai oleh pembicara untuk mengacu kepada dirinya sendiri sebagai subjek wacana. Persona kedua dipakai untuk mengacu kepada pendengar dan person ketiga dipakai untuk mengacu kepada orang atau benda yang berada diluar pembicara dan pendengar (Lyon, 1995: 217) Dalam Purwo Kategori persona dengan jelas dapat didefinisikan dengan mengacu pada pengertian peran-peran peserta, yaitu persona pertama dipakai oleh pembicara untuk mengacu pada dirinya sendiri sebagai subjek wacana. Persona kedua dipakai untuk mengacu pada pendengar dan persona ketiga dipakai untuk mengacu kepada orang atau benda yang berada di luar pembicara dan pendengar. Sejalan dengan hal tersebut di atas, peran deiksis persona penelitian ini mengacu pada peran yang ditunjukkan oleh masing-masing bentuk deiksis persona pertama berperan sebagai yang diajak bicara yang merupakan lawan bicara. Sedangkan bentuk deiksis persona ketiga berperan sebagai persona

22 yang dibicarakan. Dengan kata lain, bentuk deiksis persona ketiga merupakan persona yang kedudukannya berada diluar pembicara dan lawan bicara. 5. Penelitian yang Relevan Salah satu yang mengkaji mengenai deiksis persona adalah penelitian yang telah dilakukan dengan judul deiksis persona dalam kumpulan cerpen Waktu Nayla penelitian tesebut mengambil fokus kajian berupa deiksis persona, peran deiksis persona, serta aspek-aspek semantik struktural yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Waktu Nayla hasil penelitiannya menunjukkan bahwa deiksis yang digunakan dalam kumpulan cerpen Waktu Nayla. Penelitian ini relevan dengan penelitian tersebut diatas karena samasama mengambil fokus kajian berupa bentuk deiksis persona serta peran deiksis persona. Penelitian tersebut juga digunakan sebagai salah satu bahan referensi pada penelitian ini, terutama dalam hal pemerolehan data. Adapun faktor yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sasaran atau subjek yang dikaji berupa bentuk dan peran deiksis persona dalam Novel Tunggak-tunggak Jati karya Esmiet. Bentukbentuk deiksis persona yang ditemukan dalam novel ini diantaranya lain seperti kula saya, aku -aku, inggih iya, ingkang yang, kula saya, kowe kamu, dheweke dia, dhewe sendiri, sing yang.

23 Fungsi dari penelitian yang relevan ini adalah supaya penelitian ini dapat menambah khasanah pembaca tentang deiksis persona. Penelitian ini dijadikan gambaran bagi penelitian selanjutnya. 3. Kerangka Berpikir Adanya sistem undha-usuk basa dalam bahasa Jawa membawa konsekuensi munculnya pemilihan dan situasi ujaran yang diselaraskan dengan konteks ujaran itu sendiri. Salah satu bentuk ujaran yang sering digunakan dalam tindak berbahasa adalah bentuk deiksis pesona. Bentuk deiksis persona sebagai kategori yang berfungsi menunjukkan peran persona yang terlibat dalam pembicaraan, membedakan peran person menjadi tiga, yaitu person pertama sebagai pembicara, person kedua sebagai lawan bicara, dan person yang ketiga sebagai yang dibicarakan. Person yang pertama (utama purusa) berperan sebagai pembicara memiliki beberapa bentuk, antara lain: aku, kula, ingsun, adalem, kawula dan kita (jamak). Person kedua (madyama purusa) dapat berupa kowe, sampeyan, slirane,awake, panjenengan, sira (tunggal) serta kowe kabeh lan panjenengan sedaya (jamak). Person yang ketiga (pratama purusa) hanya ada dalam bentuk tunggal, yaitu dheweke, dheke, dheknene, piyambake dan piyambakipun. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk peran deiksis person yang terdapat dalam Novel Tunggak-tunggak Jati.

24 Pengamatan terhadap unit analisis tersebut menghasilkan data yang berhubungan dengan bentuk deiksis persona. Bentuk deiksis persona itu kemudian ditafsirkan rujukannya berdasarkan konteks alur ataupun kalimatnya.