BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. serta berpenampilan menarik dilakukan oleh kaum pria.

PERBEDAAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PRODUK PAKAIAN DITINJAU DARI PERAN GENDER SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi persyaratan

BAB II LANDASAN TEORI. Berbicara mengenai sikap politik, maka istilah political efficacy adalah

BAB II LANDASAN TEORI. (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama.

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

BAB I PENDAHULUAN. Ini bisa dilihat dengan begitu maraknya shopping mall atau pusat

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam kemajuan dan berkembangnya dunia dapat diprediksi bahwa pola

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia iklan pada era globalisasi ini sudah sangat bervariasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagian besar yang sering melakukan adalah kaum wanita dari pada

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan mereka sebagai pria atau wanita. Seorang pakar psikologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, modernitas memunculkan gaya hidup baru. Dunia modern

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB III Stereotip. Gender. Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pipit Yuliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. merupakan senjata ampuh milik mereka yang berprofesi sebagai public relations

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan pribadi individu untuk menjadi dewasa. Menurut Santrock (2007),

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Teknologi komunikasi yang semakin maju dan berkembang pesat

REPRESENTASI NILAI-NILAI METROSEKSUAL DI DALAM MAJALAH MEN S GUIDE. Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

MATA KULIAH: PSIKOLOGI DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan barang yang menjadi keperluan untuk sehari-hari dengan jalan

BAB 1 PENDAHULUAN. menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan-keputusan pembelian

BAB I PENDAHULUAN. bidang ilmu pengetahuan, masih banyak misteri pada diri manusia yang belum

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dewasa ini, pria metroseksual kian menggejala dihampir seluruh kota besar, pria metroseksual lebih dari sekedar fakta

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012)

BAB 4 KESIMPULAN. Representasi maskulinitas..., Nurzakiah Ahmad, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, perubahan dalam

BAB III. Perbedaan individual

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kosmetik sebagian besar didominasi oleh wanita karena kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN Bab I menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, fokus penelitian, rumusan penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman yang modern memberi pengaruh terhadap perilaku membeli

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman seperti sekarang ini, keberadaan pria metroseksual telah

BAB I PENDAHULUAN. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB IV ANALISIS DATA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini menjelaskan mengenai rencana model bisnis Distro balita

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

Nuke Farida ÿ. UG Jurnal Vol. 7 No. 09 Tahun Kata Kunci: Semiotika Pierce, Iklan, Hedonisme

BAB I PENDAHULUAN. dan pengambilan keputusan pembelian tanpa rencana atau impulsive buying.

BAB VI PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN AGEN SOSIALISASI YANG MEMPENGARUHINYA

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. serasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008, p.37) ditinggalkan baik oleh wanita maupun pria. Wanita maupun pria di

BAB I PENDAHULUAN. Mereka sangat memperhatikan penampilan selain menunjukan jati diri ataupun

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dilepas dari kaum wanita. Secara psikologis wanita memang

BAB I PENDAHULUAN. dikhawatirkan dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks.

Self Presentation Model Androgini dalam Lingkungan Pertemanan

Lembar Identitas Informan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ditinjau dari segi bahasa kata waria adalah singkatan dari wanita dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, persaingan tidak hanya tersebar luas melainkan juga bertumbuh lebih

IMPROVING PERSONAL, INTERPERSONAL, & ORGANIZATIONAL COMMUNICATIONS

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga perusahaan memiliki strategi tersendiri dalam menarik konsumen yang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seakan menjadi prioritas utama selain kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya. Satu

BAB I PENDAHULUAN. penting mengenai peran serta posisi seseorang di kehidupan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. di bidang keuangan. Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan dari budaya terhadap perilaku konsumen adalah, budaya digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berkembangnya era globalisasi saat ini, negara-negara di dunia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan kulit saat ini merupakan isu menarik yang menjadi perhatian

BAB I PENDAHULUAN. Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Waria merupakan salah satu jenis manusia yang belum jelas gendernya.

BAB I PENDAHULUAN. bentuk tubuhnya jauh dari ideal.masyarakat berpikir orang yang cantik

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbandingan dan memudahkan dalam melakukan penelitian. Berikut ini adalah. tabel penelitian terdahulu yang penulis gunakan:

BAB II GEJALA SHOPAHOLIC DI KALANGAN MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. budaya sebagai sosok yang jantan, perkasa, tidak terlalu memperdulikan penampilan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB I PENDAHULUAN. yang paling disukai adalah kegiatan berbelanja produk fashion. Produk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

Transkripsi:

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Peran Gender Menurut Bem (dalam Wathani 2009), gender merupakan karakteristik kepribadian, seseorang yang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya dan dikelompokkan menjadi 4 klasifikasi yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan. Konsep Gender dan peran gender merupakan dua konsep yang berbeda, gender merupakan istilah biologis, orang-orang dilihat sebagai pria atau wanita tergantung dari organ-organ dan gen-gen jenis kelamin mereka. Sebaliknya menurut Basow (1992) dalam Wathani (2009), peran gender merupakan istilah psikologis dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif seseorang mengenai ke-pria-an (maleness) atau kewanitaan (femaleness). Brigham (1986) dalam Naully (2003) lebih menekankan terhadap konsep stereotipe di dalam membahas mengenai peran gender, dan menyebutkan bahwa peran gender merupakan karakteristik status, yang dapat digunakan untuk mendukung diskriminasi sama seperti yang digunakan untuk mendukung diskriminasi sama seperti yang digunakan terhadap status-status yang lain seperti ras, kepercayaan, dan usia. Sementara peran gender sendiri sebagai sebuah karakteristik memiliki determinan lingkungan yang kuat dan berkaitan dengan dimensi maskulin versus

10 feminine, Stewart & Lykes, dalam Saks dan Krupat, (1998). Ketika berbicara mengenai gender, beberapa konsep berikut ini turut terlibat di dalamnya : a. Gender role (peran gender), merupakan definisi atau preskripsi yang berakar pada kultur terhadap tingkah laku pria atau wanita. b. Gender identity (identitas gender), yaitu bagaimana seseorang mempersepsi dirinya sendiri dengan memperhatikan jenis kelamin dan peran gender. c. Serta sex role ideology (ideologi peran-jenis kelamin), termasuk di antaranya stereotipe-stereotipe gender, sikap pemerintah dalam kaitan antara kedua jenis kelamin dan status-status relatifnya, Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, dalam Wathani (2009). 2.1.1. Orientasi Peran Gender Bem dalam Wathani (2009) menyatakan bahwa terdapat dua model orientasi peran gender di dalam menjelaskan mengenai maskulintas dan feminitas, dalam kaitannya dengan laki-laki dan perempuan, yaitu model tradisional dan model non tradisional, Nauly (2003). 1. Model tradisional memandang feminitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Model tradisonal menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas merupakan titiktitik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar. Pengukuran yang ditujukan untuk melihat maskulinitas dan feminitas menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas; begitu juga sebaliknya, derajat yang tinggi dari feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari

11 maskulinitas (Nauly, 2003). Menurut pandangan model tradisional ini, penyesuaian diri yang positif dihubungkan dengan kesesuaian antara tipe peran gender dengan gender seseorang. Seorang pria akan memiliki penyesuaian diri yang positif jika ia menunjukkan maskulinitas yang tinggi dan feminitas yang rendah. Dan sebaliknya, seorang wanita yang,memiliki penyesuaian diri yang positif adalah wanita yang menunjukkan feminitas yang tinggi serta maskulinitas yang rendah (Nauly, 2003). Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konsekuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri-ciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannyamodel yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). Model ini dapat digambarkan secara sederhana melalui gambar di bawah ini yang menjelaskan konseptualisasi dari maskulinitas-feminitas sebagai sebuah dimensi atau kontinum tunggal yang memiliki ujung yang berlawanan. Maskulin Feminin Gambar 2.1. Model tradisional peran gender Sumber: Wathani (2009) 2. Sedangkan pandangan nontradisonal menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, dimana masing-masing merupakan dimensi yang independen. Model yang kedua ini memandang feminitas dan

12 maskulinitas bukan merupakan sebuah dikotomi, hal ini menyebabkan kemungkinan untuk adanya pengelompokan yang lain, yaitu androgini, yaitu laki-laki atau perempuan yang dapat memiliki ciriciri maskulinitas sekaligus ciri-ciri feminitas. Model non tradisional ini dikembangkan sekitar tahun 1970-an oleh sejumlah penulis, Bem (1974) dalam Wathani (2009) yang menyatakan bahwa maskulinitas dan feminitas lebih sesuai dikonseptualisasikan secara terpisah, karena masing-masing merupakan dimensi yang independen. Model ini dapat dijelaskan secara sederhana melalui gambar di bawah ini. Di sini dijelaskan bahwa konseptualisasi maskulinitas-feminitas digambarkan sebagai dimensi yang terpisah. Tipe Feminin Tipe Androgini MASKULIN FEMININ Undifferentiated Tipe Maskulin Gambar 2.2. Model non tradisonal Sumber: Wathani (2009)

13 Berdasarkan model nontradisonal ini, terdapat semacam klasifikasi kepribadian yang mulai banyak dibicarakan sebagai alternatif dari peran yang bertolak belakang antara pria dan wanita, yaitu tipe androgini (Naully, 2003) TABEL 2.1 Klasifikasi Orientasi Peran Gender Maskulin High Low Feminim High Androgini Feminim Sumber: Pearson, 1985 dalam Wathani (2009) Low Maskulin Undifferentiated Adapun pengertian dari masing-masing peran gender maskulin, feminin dan androgini adalah sebagai berikut: a. Maskulin Maskulin menurut Hoyenga & Hoyenga dalam Nauly (2003) adalah ciri-ciri yang berkaitan dengan gender yang lebih umum terdapat pada laki-laki, atau suatu peran atau trait maskulin yang dibentuk oleh budaya. Dengan demikian maskulin adalah sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi laki-laki (Nauly, 2003). Misalnya, asertif dan dominan dianggap sebagai trait maskulin.

14 b. Feminin Feminin menurut Hoyenga & Hoyenga (dalam Nauly, 2003) adalah ciri-ciri atau trait yang lebih sering atau umum terdapat pada perempuan daripada lakilaki. Ketika dikombinasikan dengan stereotipikal, maka ia mengacu ada trait yang diyakini lebih berkaitan pada perempuan daripada laki-laki secara kultural pada budaya atau subkultur tertentu. Berarti, feminin merupakan ciri-ciri atau trait yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi perempuan, Nauly (2003). c. Androgini Selain pemikiran tentang maskulinitas dan feminitas sebagai berada dalam suatu garis kontinum, dimana lebih pada satu dimensi berarti kurang pada dimensi yang lain, ada yang menyatakan bahwa individu-individu dapat menunjukkan sikap ekspresif dan instrumental. Pemikiran ini memicu perkembangan konsep androgini. Androgini adalah tingginya kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan pada satu individu pada saat bersamaan, Bem; Spence & Helmrich, dalam Santrock, (2003) dalam Wathani (2009). Individu yang androgini adalah seorang laki-laki yang asertif (sifat maskulin) dan mengasihi (sifat feminin), atau seorang perempuan yang dominan (sifat maskulin) dan sensitif terhadap perasaan orang lain (sifat feminin). Beberapa penelitian menemukan bahwa androgini berhubungan dengan berbagai atribut yang sifatnya positif, seperti self-esteem yang tinggi, kecemasan rendah,

15 kreatifitas, kemampuan parenting yang efektif (Bem, Spence & Helmrich, dalam Hughes & Noppe, 1985 dalam Wathani 2009). d. Undifferentiated Merupakan keadaan laki-laki atau perempuan dengan skor maskulinitas dan feminitas rendah, sehingga tidak muncul kecenderungan maskulinitas maupun sisi femininnya. Basow (1992). 2.2. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Kertajaya (2004) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam proses perilaku pembelian. Berdasarkan konteks pria metroseksual maka berikut ini adalah penjabarannya, yaitu 1. Kelas sosial atau divisi masyarakat yang relative permanen dan teratur dengan para anggotanya yang menganut nilai-nilai, minat dan tingkah laku yang serupa dan diukur sebagai kombinasi dari pekerjaan, pendapatan, pendidikan, kekayaan dan lain-lain. Dalam hal ini pria metroseksual sudah seperti kelas sosial baru dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat modern yang berbasis kapitalis. Oleh karena itu wajar jika mereka memiliki perilaku konsumtif yang berbeda dan khas dibandingkan dengan yang lain. 2. Peran dan status sosial. Kebanyakan pria metroseksual adalah individuindividu dengan posisi yang baik, bagus dan berkelas dalam masyarakat.

16 Peran dan status sosial tersebut secara tidak langsung menuntut mereka untuk memiliki penampilan yang sangat menunjang keberadaan mereka. 3. Pekerjaan pria metroseksual kebanyakan adalah eksekutif muda. Masalah penampilan jelas terlihat dari pakaian dengan segala atributnya seperti dasi, sepatu sampai parfum dan sebagainya. Faktor yang relevan dengan sisi penampilan juga ditambah dengan perawatan tubuh mulai dari salon, spa dan klub fitnes; 4. Situasi ekonomi pria metroseksual biasanya berasal dari kalangan dengan penghasilan ekonomi yang besar. Oleh karena itu besarnya materi yang dikeluarkan untuk menunjang perilaku konsumtif yang mereka lakukan bukan menjadi masalah. 5. Gaya hidup. Gaya hidup pria metroseksual jelas berbeda dibandingkan pria kebanyakan. Mereka biasa melakukan pleasure shopping dibandingkan purpose shopping, mereka biasa berinteraksi dari café ke café (social butterflies) yang jelas tidak mungkin hanya menghabiskan biasa yang sedikit dan masih banyak gaya hidup lainnya. Gabungan antara motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap dari pria metroseksual itu sendiri. Semua hal ini dipengaruhi iklan, pergaulan, keadaan dan suasana lingkungan kerja, respon klien, konsumsi dunia hiburan dan masih banyak hal lain. Gabungan faktor-faktor ini semakin memperjelas betapa pria metroseksual benar-benar target market yang potensial untuk dibidik.

17 TABEL 2.2 Daftar Produk Barang & Jasa Yang Digunakan Pria Metroseksual No. Kategori Contoh Produk 1 Penampilan Jas, kemeja, celana panjang, dasi, sepatu, jaket 2 Penampilan Non Pakaian Gadget, mobil, jam tangan, tas, dompet, kacamata 3 Kosmetik Pelembap, lip balm, face wash, concealer 4 Informasi Majalah Maxim, FHM, Matra, Popular, Playboy, situs AskMen.com, MenEssentials.com, MenSpecies.com 5 Pergaulan Cafe, pub, internet. 6 Jasa Salon, spa, gym, Skin care clinic Sumber: Rahardjo (2007) Berdasarkan tabel 2.2 diketahui bahwa ada 6 kategori produk yang biasa digunakan oleh pria metroseksual. Kategori-kategori tersebut akan dinilai bahwa sejauh mana para pria metroseksual ini menggunakan atau mengkonsumsi masingmasing produk dalam tiap kategori, seperti penggunaan pakaian, gadget, kosmetik, café dan salon. 2.3. Pengertian Pria Metroseksual Pria metroseksual adalah women-oriented men (Kartajaya dkk., 2004). Secara lebih jauh pria metroseksual dideskripsikan sebagai laki-laki yang cinta setengah mati

18 tak hanya terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya (Simpson dalam Kartajaya dkk., 2004). Pria metroseksual juga digambarkan sebagai sosok yang normal atau straight, sensitive dan terdidik, hanya saja mereka lebih mengedepankan sisi feminin yang mereka miliki (Jones, dalam Hudiandy, 2006) Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kartajaya dkk. (2004), yaitu: 1. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar di mana hal ini tentu saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan dan gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi keberadaan mereka. 2. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup yang dijalani. 3. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis. 4. Secara intens mengikuti perkembangan fesyen di majalah-majalah mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fesyen terakhir yang mudah diikuti, dan Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

19 Dikutip dari penelitian sebelumnya, Hudiandy (2006) menyatakan bahwa ada beberapa definisi lain tentang Metroseksual: 1. Menurut rubrik Fashion & style di New York Times: Metroseksual di definisikan sebagai lelaki yang menggemari busana bagus dan benda bagus lain pada umumnya, serta begitu berpretensi sebagai macho mereka tidak harus diasosiasikan sebagai homoseksual melainkan lelaki yang tampil pada pose seksi pada majalah-majalah popular pria. 2. Menurut situs Word Spy.com: Metroseksual didefinisikan sebagai laki-laki perkotaan yang memiliki daya estetika tinggi, memiliki waktu dan uang untuk penampilan dan gaya hidupnya. 3. Menurut situs Askmen.com: Metroseksual adalah pria modern yang pada umumnya masih lajang (walaupun tidak harus) dan merasa nyaman akan dirinya dan sisi femininnya. Berdasarkan beberapa definisi tentang pria metroseksual tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan definisi pria metroseksual menurut Kartajaya (2004) bahwa metroseksual merupakan Metroseksual adalah pria modern yang pada umumnya masih lajang (walaupun tidak harus) dan merasa nyaman akan dirinya dan sisi femininnya.

20 2.4. KERANGKA PEMIKIRAN Peran Gender Maskulin Feminim Androgini Undifferentiated Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual 1. Penampilan Pakaian 2. Penampilan Non Pakaian 3. Kosmetik 4. Informasi 5. Pergaulan 6. Jasa Perawatan Gambar 2.3. Peran Gender Terhadap Perilaku Konsumtif Pria Metroseksual Sumber: modifikasi Lertwannawit, et. al. (2010) & Rahardjo (2007) 2.5 HIPOTESIS H1: Ada perbedaan peran gender maskulin pada perilaku konsumtif pria metroseksual. H2: Ada perbedaan peran gender feminin pada perilaku konsumtif pria metroseksual. H3: Ada perbedaan peran gender androgini pada perilaku konsumtif pria metroseksual. H4: Ada perbedaan peran gender undifferentiated pada perilaku konsumtif pria metroseksual.