BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik"

Transkripsi

1 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik 1. Pengertian Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Menurut Baron dan Byrne (2003) mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap terhadap anggota kelompok tertentu, berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Chaplin (2004), prasangka adalah: a. Satu sikap, baik positif maupun negatif, yang telah dirumuskan sebelumnya agar bisa memberikan cukup bukti dan diperhatikan dengan kegigihan emosional; b. Satu kepercayaan atau pendapat, biasanya tidak baik, yang mempengaruhi individu untuk bertingkah laku dengan cara tertentu atau berpikiran dengan cara tertentu mengenai orang lain. Lebih lanjut Brown (2005) menyatakan bahwa prasangka sering kali didefinisikan sebagai penila ian negatif yang salah atau tidak berdasar mengenai anggota suatu kelompok, tetapi, definisi semacam itu menimbulkan kesulitan konseptual karena ada masalah pemastian apakah penilaian sosial itu memang salah atau sekedar menyimpang dari kenyataan. Jadi, prasangka ialah sikap, emosi atau perilaku negatif terhadap anggota suatu kelompok. Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pemimpin. Pemimpin adalah tokoh atau elit anggota sistem sosial yang dikenal oleh masyarakat dan berupaya memengaruhi para pengikutnya secara langsung atau tidak langsung (Wirawan, 2014). Lebih lanjut Bass dan Avolio (1998) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi orang lain yang berada dalam suatu kelompok atau organisasi untuk mencapai sasaran tertentu yang telah ditetapkan

2 12 sebelumnya. Menjadi seorang pemimpin yang efektif mampu meningkatkan kesadaran diri, memahami kekuatan sekaligus kelemahan yang dimiliki, yakin terhadap kapabilitas diri sendiri, selain itu para pemimpin harus berpikir positif tentang dirinya sendri sebelum berpikir positif tentang orang-orang yang ada dibawahnya selain itu memimpin berarti mempengaruhi, memandu baik secara langsung maupun tidak langsung, melatih, action dan memberikan masukan (Nanus dalam Munandar, 2001). Jadi, kepemimpinan adalah seorang pemimpin yang mampu mempengaruhi dan membing orang lain atau kelompok tertentu menuju pencapaian tertentu. Kepemimpinan perempuan dalam politik adalah keterlibatan atau terwakilnya perempuan dalam ploitik (Agustina dalam Sastriyani, 2009). Menurut Asfar (Hadiz, 2004) kepemimpinan perempuan dalam politik adalah seorang perempuan yang memperjuangkan kepentingan umum maupun kepentingan kelompok dalam politik baik dibidang DPR/MPR maupun DPD. Jadi, kepemimpinan perempuan dalam politik adalah keterlibatan atau terwakilnya perempuan dalam politik untuk memperjuangkan kepentingan umum maupun kelompok. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prasangka kepemimpinan perempuan dalam politik adalah sikap, emosi atau perilaku negatif terhadap keterlibatan atau terwakilnya perempuan untuk menjadi pemimpin dalam politik.

3 13 2. Aspek-Aspek Prasangka Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Menurut W.J.Thomas (Ahmadi, 2009) berpendapat prasangka mempunyai 3 macam aspek yakni; 1) Aspek Kognitif Aspek ini meliputi keyakinan, persepsi, informasi tentang sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori tertentu. Dari sinilah prasangka yang sering mempengaruhi sikap individu terhadap keanggotaan individu lain pada suatu kelompok diluar kelompoknya. Salah satu contoh prasangka negatif terhadap kepemimpinan perempuan dalm politik. Hal ini terwujud dari pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu. 2) Aspek Afektif Aspek ini berwujud dalam proses yang menyangkut perasan-perasan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, suka dan tidak suka. Perasaan tidak suka terhadap suatu kelompok tertentu atau individu lainnya dikarenakan penilaian terdahulu atau pengalaman sebelumnya. Perasaan tidak suka kepada kaum perempuan yang menjadi pemimpin dalam politik. 3) Aspek Konatif Seseorang yang memiliki prangka terhadap suatu kelompok atau individu tertentu perilakunya kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya. Prasangka terhadap kepemimpinan perempuan muncul dalam bentuk sikap anti kepemimpinan perempuan dalam

4 14 politik. Sehingga sulitnya perempuan menepati jabatan yang lebih tinggi atau menjadi pemimpin dalam politik. Myers (2002) menyatakan prasangka merupakan suatu sikap, terdapat tiga aspek prasangka antara lain : 1) Kognitif Komponen kognitif mengacu pada keyakinan-keyakinan dan harapan-harapan individu terhadap anggota dari suatu kelompok masyarakat tertentu. 2) Afektif Komponen afektif mengacu pada perasaan atau emosi negatif individu apabila seseorang berjumpa atau bahkan hanya berpikir tentang anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. 3) Kecenderungan Perilaku Komponen perilaku mengacu pada tendensi individu untuk berperilaku dalam cara-cara yang bersifat negatif terhadap anggota suatu kelompok masyarakat tertentu. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menggunakan aspek dari W.J.Thomas (Ahmadi, 2009) yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Dengan pertimbangan dalam kehidupan sosial bermasyarakat kita tidak terlepas dari norma, nilai-nilai, asumsi dan informasi mengenai sifat, aktivitas, peran yang pada akhirnya mempengaruhi perilaku. Dari pengalaman nyata dan konkret yang telah ditanamkan (kognitif) oleh masyarakat dan keluarga dapat menimbulkan rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada pemimpin perempuan

5 15 dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif). Wirawan (2014) mengatakan bahwa untuk menjadi pemimpin, orang harus memenuhi persyaratan atau kualifikasi tertentu seperti: 1) Elit Masyarakat Pemimpin adalah elit anggota sistem sosial yang mempunyai kualitas pendidikan, ekonomi, status sosial yang relatif lebih tinggi dari pada para anggota sistem sosial lainnya. Banyak pemimpin yang berasal dari status sosial rendah, kemudian meniti karir hingga dapat bergerak kestatus sosial tinggi. Ia menjadi pemimpin dapat dipilih karena, diangkat, keturunan, atau dituakan oleh para anggota sistem sosial lainnya. 2) Kualitas Fisik Seorang pemimpin memerlukan kesehatan fisik yang prima. Jika seorang pemimpin tidak sehat atau secara fisik cacat fisik dan jiwanya, ia tidak akan mampu melaksanakan fiungsinya dengan baik dan akan bergatung pada bantuan para pengikutnya. Misalnya, salah satu tugas pemimpin adalah membuat keputusan yang tepat dan memengaruhi para pengikutnya untuk melaksanakan keputusan tersebut. Pembuatan keputusan dan memengaruhi aktivitas keduanya memerlukan kesehatan jiwa dan fisik.

6 16 3) Kualitas Psikologis Untuk menjadi seorang pemimpin juga perlu kualitas psikologis tertentu. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi, yaitu proses interaksi psikologis antara pemimpin dengan pengikutnya. Orang yang tidak sehat jiwanya atau kualitas psikologisnya rendah maka ia akan sulit untuk menjadi pemimpin. Kualitas pskikologis antara lain: a. Memahami Diri Sendiri Pemimpin harus mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri dibandingkan dengan orang lain dan para pengikutnya, harus mengukur dirinya sendiri apakah mempunyai kompetensi yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin dan mampu memimpin dirinya sendiri. b. Kecerdasan Intelektual Seorang pemimpin merupakan seorang intelektual, orang yang cerdas, berakal, cendikiawan dan mudah memahami sesuatu. c. Kecerdasan Emosional Emosi seorang pemimpin sangat mempengaruhi perilaku pemimpin dalam memengaruhi para pengikutnya. d. Kecerdasan spiritual Kecerdasan spiritual adalah kemampuan seseorang untuk memahami dirinya sebagai makhluk spiritual yang merupakan

7 17 bagian dari alam semesta dari kehidupannya. Kecerdasaan ini memungkin orang memahami sesuatu yang fisik dan meta fisik. e. Kecerdasan Sosial Istilah tersebut sebagai kemampuan untuk memahami dan memanajemeni laki-laki dan perempuan, keterampilanketerampilan yang dibutuhkan semu orang untuk hidup dengan baik didunia kepemimpinan (Goleman, 2006). Wirawan (2014) mengatakan bahwa ada aspek yang dapat menjadi pembeda antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan antara lain: 1) Perbedaan Fisik Secara esensial wanita fisiknyamemang berbeda dari laki-laki. Wanita didesain untuk mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Lakilaki dianggap dengan alat kelamin yang berbeda dengan wanita dan mempunyai sperma yang berfungsi membuahi indung telur yang terdapat pada wanita. Secara alami keduanya menghasilkan keberlanjutan perkembangan manusia. 2) Jenis dan Jumlah Hormon Berbeda Jenis dan jumlah hormon yang ada ditubuh wanita berbeda dengan laki-laki. 3) Otak Otak manusia terdiri dari otak kanan dan otak kiri. Beberapa artikel menguraikan perbedaan antara otak laki-laki dan otak perempuan. Lakilaki lebih banyak memproses sesuatu lebih baik diotak kirinya sedangkan

8 18 wanita kedua otaknya mampu memproses keduanya saat bersamaan. Perbedaan ini menjelaskan mengapa laki-laki lebih kuat dalam aktivitas otak kirinya dan pendekatan pemecahan masalah, sedangkan wanita menyelesaikan problem lebih kreatif dan lebih sadar terhadap perasaan ketika berkomunikasi. 4) Psikologi Psikologi membedakan pskilogi laki-laki dan wanita. Perbedaan psikologi ini berdampak pada perebedaan pola pikir, sikap dan perilaku wanita terhadap perilaku laki-laki. Karena kepemimpinan merupakan pola pikir dan perilaku pemimimpin dalam memengaruhi para pengikutnya. 5) Persepsi lingkungan sosial Masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda terhadap wanita. Perbedaan persepsi mengenai wanita yang pertama kali disebabkan karena budaya yang telah berkembang dan terbentuk dalam waktu lama. Pada masyarakat primitif, wanita merupakan bagian dari hak milik laki-laki yang dapat diperdagangkan, ditukar dengan benda lain dan dapat diberikan kepada orang lain. Dalam budaya ini wanita hanya dapat berperan sebagai pemimpin di rumah suaminya, melahirkan dan mengurusi anak-anaknya. 6) Undang-undang Sejarah kewanitaan berkembang dari ketidaksamaan gender ke arah persamaan gender. Berdasarkan beberapa aspek di atas pada penelitian ini, penulis memilih kualifikasi dari Wirawan (2014) yaitu, elit masyarakat, kualitas fisik, kualitas

9 19 pskiologis serta akan menggabungkan dengan aspek prasangka dari W.J.Thomas (Ahmadi, 2009). Pemilihan tersebut di lakukan dengan pertimbangan seperti yang kita tau pemimpin adalah elit dalam masyarakat sehingga untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki kualitas pendidikan, ekonomi dan status sosial yang relatif tinggi dari pada anggota sistem sosial lainnya, kualitas fisik, kualitas psikologis seperti; memahami diri sendiri, memiliki kecerdasan intelektual (cerdas, berakal, cendikiawan, mudah memahami sesuatu), kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Dari informasi atau kualifikasi yang telah di berikan oleh status sosial dijadikan pengalaman dan ditanamkan dialam bawah sadar (kognitif) sehingga ketika informasi, pengalaman tidak sesuai harapan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut maka akan timbul rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada pemimpin perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (Wirawan, 2014). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik Baron dan Bryne (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat ditunjukkan atau yang dapat diprasangkai yaitu antara lain: 1) Usia Berdasarkan penelitian Sherif, dkk (Baron & Byrne, 2003) menyatakan bahwa usia pun dapat menunjukkan adanya sebuah prasangka. Penjelasan paling jelas bagi kemunculan prasangka pada anak-anak adalah

10 20 prasangka yang diperoleh melalui sosialisasi langsung yang dilakukan oleh orangtua mereka maupun sumber-sumber lain seperti pengaruh teman sebaya dan saluran-saluran transmisi kultural lazimnya. Dari hasil penelitian tersebut dapat di simpulkan bahwa ternyata prasangka telah ditanamkan sejak awal perkembangan dan pertumbuhan manusia. Pentranferan terjadi berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat melalui proses belajar serta menjadikan nilai tersebut sebagai bagian dirinya. 2) Asal geografis Sebuah kompetisi tidak selalu harus nyata atau langsung dimulai dari proses ini. Misalnya yang terjadi pada pendukung Osma Bin Laden, ia mempersangkai Amerika Serikat dan semua bangsa barat mengancam kebudayaan dan agama mereka. Hasilnya mereka cenderung untuk meyakini Amerika Serikat lebih baik dan mereka percaya setiap aksi ditujukan untuk melemahkan atau menghancurkan bahkan membunuh penduduk sipil yang tidak berdosa adalah hal yang benar. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan atau anggapan asal geografi lebih baik dan ini bagi mereka merupakan memberikan atribusi untuk kelompoknya. 3) Pekerjaan atau organisasi Pekerjaan atau organisasi sering kali membentuk prasangka. Baik itu yang diprasangkai pekerjaannya, organisasinya maupun orang yang bekerja dan berorganisasi. Suatu kelompok anggotanya yang bekerja

11 21 diperusahaan tertentu, atau kelompok tersbut menjadi pemimpin kelompok tersebut dapat diprasangkai oleh kelompok lainnya. 4) Kelebihan berat badan Orang yang mengalami obesitas menjadi target prasangka. Hal tersebut merupakan bagian dari fenomena terbesar yang dikenal sebagai prasangka penampilan atau prasangka terhadap orang yang dinyatakan tidak menarik dimasyarakat. Prasangka terhadap orang yang kelebihan berat badan ini tampaknya merupakan salah satu masalah yang penting dan berkembang dalam sebuah masyarakat di mana semakin banyak orang yang tampaknya akan kalah dalam perang melawan kegemukan tersebut. 5) Ras Pada dasarnya sumber prasangka biasanya dimulai dengan orang membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda yaitu kita dan mereka hal ini merujuk pada kategori sosial. Singkatnya mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri (in group) atau kelompok lain (out group). Berikut contoh prasangka ras: prasangka antara orang berkulit hitam di Amerika, perbedaan ras antara pribumi dan Tinghoa (berkulit putih) di Indonesia dan kasus lainnya. Dari contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa ras merupakan suatu sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada suatu ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras lainnya.

12 22 6) Gender Istilah gender tidak akan lepas dari pengaruh perbedaan biologis (jenis kelamin atau sex) pada laki-laki dan perempuan. Gender merupakan atribut dasar dan menetap pada setiap individu yang ditetapkan sejak masih bayi dan anak-anak untuk membedakan pola hubungan sosial lakilaki (Fakih, 2008). Lebih lanjut Bem (1997) (Baron dan Bryne, 2003) gender merupakan karakteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan inilah yang membentuk peran gender (maskulin dan feminin) yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki dan perempuan (Baron dan Bryne, 2003). Sifat yang diyakini dalam masyarakat lama seperti maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki - laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat serta dapat

13 23 memunculkan sebuah prasangka terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik (Suwarno, 2004). Prasangka muncul sebagai akibat dari pemikiran individu berupa keunggulan dan kelemahan potensi kepemimpinan perempuan dan lakilaki, perempuan diprasangkai bahwa memiliki kualitas diri yang rendah sehingga perlu meningkatkan kulitas diri dan memperkaya karakteristik kepemimpinannya dengan komponen-komponen, antara lain pembangunan mental, ketangguhan pribadi dan ketangguhan sosial serta menutupi agresivitasnya menjadi ketegasan sikap, inisiatif, dan percaya diri akan kompetensinya. 7) Latar belakang etnis Setiap kebudayaan memiliki identitas yang berbeda dari sinilah individu menilai unsur kebudayaan satu dengan yang lainnya berbeda. Mereka terkadang tanpa sadar menilai atau beranggapan bahwa etnik mereka lebih baik dai yang lain. Dari sinilah atau dari latar belakang etnik dapat menimbulkan prasangka yang sangat tinggi. Menurut Turner (2012) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prasangka adalah sebagai berikut: 1) Kepribadian Prasangka akan muncul pada orang yang memiliki kepribadian otoriter. Seseorang dengan kepribadian otoriter dan dogmatis dengan ciricirinya antara lain, bersifat kaku dan konvensional, tidak toleran, loyalitas tinggi terhadap kelompok, dan mendukung figur otoriter

14 24 2) Frustasi dan scapegoating Prasangka ini menyebabkan frustasi. Seseorang yang frustasi cenderung menyalahkan dan marah pada lingkungannya, sehingga mencari obyek lain sebagai kambing hitam yang bisa disalahkan atas kesalahannya. Anggapan negatif inilah yang menimbulkan prasangka. 3) Konflik karena adanya kompetisi Menunjukkan konflik yang nyata disebabkan oleh sebuah persaingan untuk memperebutkan pemuas kebutuhan yang sifatnya terbatas. Kompetisi yang tidak sehat dan terus menerus dapat menyebabkan orang berpikiran negatif selain itu dapat memunculkan permusuhan jika terus berlanjut. 4) Kecemburuan sosial Aspek ini muncul disebabkan adanya anggapan bahwa salah satu kelompok memiliki status sosial yang lebih tinggi maupun rendah dibandingkan kelompok lain dan merasa perlakuan yang diberikan kepadanya bersifat diskriminatif. Kecemburuan sosial ini dipicu oleh adanya pebedaan tingkat kemakmuran ekonomi dalam masyarakat. 5) Etnosentrisme Melalui proses kategorisasi sosial seseorang menempatkan dan mengidentifikasi dirinya dengan kelompok entik tertentu. Identitas etnik ini dapat meninggalkan harga diri individu dan memunculkan etnosentrisme. Etnosentrisme membuat individu menilai unsur

15 25 kebudayaan lain kurang bagus dibandingkan dengan etniknya sendiri hal ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur kebudayaannya sendiri. 6) Norma kultural Prasangka timbul karena norma atau budaya yang mengajarkan individu-individu untuk berprasangka kepada orang atau kelompok lain. Prasangka ini ditanamkan sejak awal perkembangan dan pertumbuhan manusia. Sebab penginternalisasian nilai tersebut berasal dari keluarga dan lingkungan sekitarnya melalui proses belajar serta menjadikan nilai tersebut sebagai bagian dari dirinya. 7) Penilaian yang terlalu ekstrim dan menggenaralisir Penilaian individu yang terlalu ekstrim dan menggeneralisir dari suatu pengalaman yang menyakitkan atau kesan yang tidak menyenangkan terhadap seorang dari etnis tertentu kepada seluruh anggota dari etnik tersebut dapat menimbulkan prasangka dari individu tersebut. Berdasarkan uraian di atas yang mempengaruhi prasangka kepemimpinan perempuan dalam politik yaitu usia, asal geografis, pekerjaan atau organisasi, kelebihan berat badan, ras, gender, latar belakang etnis (Baron dan Bryne, 2003). Salah satu faktor yang dapat menimbulkan prasangka atau yang dapat membentuk terjadinya sebuah prasangka adalah faktor gender. Salah satunya adalah peran gender. Peran gender terbentuk dari pola hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam berbagai masyarakat yang berbeda (Fakih, 2008). Laki-laki memiliki peran (mencari nafkah bagi keluarga),

16 26 sedangkan perempuan memiliki (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Apabila perempuan keluar untuk mencari nafkah atau bekerja diluar rumah, maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan laki-laki yang mengerjakan peran perempuan dengan melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat (Suwarno, 2004). B. Peran gender 1. Pengertian Peran Gender Secara terminologis, gender digunakan untuk untuk menandai segala sesuatu yang ada dalam masyarakat termasuk didalamnya bahasa, tingkah laku, pikiran, makanan, ruang, waktu, harta milik, tabu, alat reproduksi dan sebagainya. Menurut Bem (1997) (Baron dan Bryne, 2004) gender merupakan karekteristik kepribadian dimana sikap dan perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh peran gender yang dimilikinya. Peran gender adalah seluruh harapan yang dibentuk oleh lingkungan sosial tentang perilaku maskulin dan feminin. Harapan-harapan ini dibentuk oleh nilainilai yang dianut masyarakat sosial setempat (Baron dan Bryne, 2004). Misalnya seorang perempuan bertangungg jawab membesarkan anak. Peran gender juga merupakan kumpulan sikap, atribut, dan perilaku tertentu yang sesuai dengan jenis kelaminnya (Fakih, 2008). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan peran gender adalah pembentukan harapan-harapan, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat mengenai

17 27 kegiatan (pekerjaan) yang pantas dilakukan laki-laki dan yang pantas dilakukan perempuan. 2. Aspek-aspek/ Karekteristik/ Ciri-ciri Peran Gender Aspek-aspek peran gender akan dijelaskan berdasarkan model-model menurut Bem Sex Inventory (Baron dan Byrne, 2003), yakni: 1) Model tradisional Dalam masyarakat tradisional yang menganut sistem patriarkhi masih terjadi pemisahan tajam pada sifat, aktivitas dan peran gender antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masingmasing jenis kelamin. Misalnya sifat maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap mengingkari kodratnya. Lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya (Suwarno, 2004). Dari sanalah pandangan feminitas dan maskulinitas sebagai suatu dikotomi. Model tradisional menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar. Pengukuran yang ditujukan untuk melihat maskulinitas dan

18 28 feminitas menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas, begitu juga sebaliknya derajat yang tinggi dari feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003). Model tradisional dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konskuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciriciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). 2) Model Nontradisional Menurut huntington (1976) dalam Fakih (2013) proses modernisasi atau nontradisional bersifat volusioner (perubahan cepat dalam dari tradisional ke modern), kompleks (melalui banyak cara), global (akan mempengaruhi semua manusia), bertahap (melalui langkah-langkah) sebagaimana prosesnya sosialisasi dalam keluarga sehingga dalam masyarakat modern atau nontradisional, setiap individu dapat mengkombinasi antara sifat, aktivitas dan peran gender antara laki - laki dan perempuan sehingga maskulinitas dan feminitasrelatif seimbang dan tidak akan terukur. Hal ini terbentuk melalui proses belajar dan perkembangan kognitif. Proses belajar tersebut melalui observasi dengan mempelajari definisi-definisi kultural dari masyarakat mengenai keperempuanan dan kelelakian. Aspek-Aspek persepsi peran gender menurut Nugroho (2008) antara lain:

19 29 1) Marginalisasi Timbulnya kemiskinan dalam masyarakat bahkan negara merupakan sebuah akibat dari proses marginalisasi yang menimpa kaum laki-laki maupun perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian antara lain: penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender. Meskipun tidak setiap bentuk marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender namun, yang dipermasalahkan disini bentu marginalisasi yang disebabkan oleh gender differences (perbedaan gender). Gender differences ini sebagai akibat dari beberapa perbedaan jnis dan bentuk, tempat dan waktu, serta mekanisme dari proses marginalisasi kaum perempuan. Gender differences ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara, jadi tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan. 2) Subordinasi Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irrasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan

20 30 bentuk dari subordiasi yang dimaksud. Proses subordinasi yang disebabkan oleh gender terjadi dalam segala macam bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat. Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga, dan bernegara, banyak kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan. 3) Stereotip Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotip. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk stereotip yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. 4) Violence Kekerasan (violence) atau serangan terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender. Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan dan pemukulan hingga pada bentuk yang lebih halus, seperti; pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi karena stereotip gender. Gender violence pada dasarnya disebabkan karena ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

21 31 5) Beban kerja Peran perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah sebagai pengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dibanding kaum laki-laki. Kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Beban kerja yang diakibatkan dari bias gender tersebut kerap kali diperkuat dan disebabkan oleh adanya keyakinan/pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki, dan dikategorikan sebagai sebagai pekerjaan yang bukan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, berkaitan dengan anggapan gender, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak lakilaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni peran gender berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Kesemuanya ini telah mmperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan. Berdasarkan uraian diatas aspek peran gender menurut Bem Sex Inventory memiliki terdiri atas dua model yaitu: Model tradisional dan nontradisional. Konsep dari model tradisional maskulin dan feminin dipandang berbeda, sedangkan konsep dari nontradisional dipandang maskulin dan feminin

22 32 dipandang relatif sama. Dari kedua konsep ini Bem Sex Inventory mengembangkan alat ukur atau merancang alat ukur didasarkan pada dua asumsi teoritis khusus yang sesuai dengan teori skema gender: yang akan dijelaskan berdasarkan masyarakat tradisional yakni; aspek maskulin dan feminin yang digunakan untuk mengukur dan mendeskripsikan sejauh mana seseorang melibatkan karekteristik tradisional (Baron dan Byrne, 2004). Dalam masyarakat tradisional yang menganut sistem patriarkhi sifat yang diyakini dalam masyarakat lama seperti maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karena itu apabila perempuan mengembangkan maskulinitasnya dengan mencari nafkah atau gemar berolahraga maka dianggap sebagai mengingkari kodratnya. Begitu pula dengan lelaki yang mengembangkan femininitasnya dengan berhias atau melakukan kerja rumah tangga juga dianggap mengingkari kodratnya bahkan bisa dianggap sakit karena bertindak tidak sesuai dengan harapan masyarakat (Suwarno, 2004). Hal ini dikarenakan dalam model tradisional menyebutkan bahwa maskulinitas dan feminitas merupakan titik-titik yang berlawanan pada sebuah kontinum yang bipolar. Pengukuran yang ditujukan untuk melihat maskulinitas dan feminitas menyebabkan derajat yang tinggi dari maskulinitas yang menunjukkan derajat yang rendah dari feminitas, begitu juga sebaliknya derajat yang tinggi dari

23 33 feminitas menunjukkan derajat yang rendah dari maskulinitas (Nauly, 2003). Dengan pengukuran yang bersifat bipolar ini memiliki konskuensi, yaitu dimana individu-individu yang memiliki ciri-ciri maskulinitas dan feminitas yang relatif seimbang tidak akan terukur, sehingga menimbulkan reaksi dengan dikembangkannya model yang bersifat non tradisional (Nauly, 2003). Perbedaan skor yang besar pada hasil penelitian dari Bem Sex Inventory (1974) antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin yang tinggi dan skor feminin yang rendah atau sebaliknya) adalah indikasi orang yang memiliki tipe jenis kelamin yang jelas atau sex typed, dan apabila berkebalikan pada kedua jenis kelamin disebut cross sex typed. Skor yang kecil antara sifat maskulin dan feminin (dengan skor maskulin dan feminin yang kira-kira hampir sama atau seimbang) adalah indikasi orang androgini. Kesimpulannya berarti orang yang memiliki sifat androgini adalah individu yang tidak membedakan sifat maskulin dan feminin dalam mendeskripsikan dirinya sendiri, jadi tidak ada perbedaan dalam hal dukungan diri individu terhadap atribut-atribut maskulin dan femininnya. Cara yang dilakukan oleh Bem diatas disebut model balance (Bem, 1974). Akan tetapi model balance yang digunakan Bem pertama kali itu ternyata diakui sendiri oleh Bem (1975, 1977) memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya pembedaan dalam hal mengkategorisasikan orang androgini yang memiliki skor tinggi dan yang memiliki skor rendah padahal mereka sebetulnya berbeda, karena itu perlu penandaan yang lebih jelas tentang hal tersebut. Penyekoringan yang dilakukan oleh Bem dalam penelitiannya dirinya mengasumsikan bahwa maskulinitas dan femininitas dipresentasikan sebagai dua kutub yang berbeda atau

24 34 berlawanan. Setelah dirinya mengasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda, dirinya membuat tipe berdasarkan jenis kelaminnya seperti: laki-laki maskulin atau perempuan feminin, tipe kebalik laki-laki feminin dan perempuan maskulin, laki-laki atau perempuan androgini (memiliki keduanya), laki-laki atau perempuan andorgini yang memiliki deskripsi diri sesuai dengan prasangka terhadap laki-laki maupun perempuan, atau sebuah tipe yang tidak dapat dibedakan dalam memberikan dukungan pada prasangka baik laki-laki ataupun perempuan. Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Bem teridentifikasi bahwa sepertiga dari semua laki-laki yang dites sesuai dengan tipe gender maskulin dan sekitar sepertiga dari perempuan sesuai dengan tipe gender feminin, sepertiga laki-laki yang lain dan sepertiga yang lain sesuai dalam kategori andorgini dan sisanya masuk dalam kategori tidak dapat dibedakan atau kategori cross-gender. Dari penelitian tersebut dapat dilihat bahwa ada efek dari peran gender dan ada hubungannya dengan feminin dan maskulin. C. Hubungan antara Peran Gender dengan Prasangka terhadap Kepemimpinan Perempuan dalam Politik Dengan munculnya modern dan globalisasi yang tidak bisa terelakan lagi isu tentang gender ini telah menjadi perdebatan banyak kalangan. Modernitas menawarkan visi dan misi tentang perubahan tatanan sosial yang sudah lama dipahami dan dianut yaitu; untuk terus bergerak maju menuju kehidupan yang lebih baik. Misalnya semakin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengaktualisasikan seluruh potensinya dalam berbagai bidang kehidupan. Keterlibatan perempuan dalam ranah politik jauh lebih tinggi dibanding laki-

25 35 lakiakan tetapi, dalam setiap kegiatan sangat jarang dilibatkan selain itu meskipun perempuan sudah banyak yang mengutarakan pendapatnya tetapi pendapat tersebut jarangdilaksanakan, hal ini merupakan gambaran mengenai adanya prasangka terhadap perempuan (Martha dan Hastuti, 2013). Penyebabnya perempuan masih berada di posisi kedua setelah laki-laki atau masih diprasangkai sebagai mahluk yang berada di bawah kepemimpinan laki-laki, sehingga dalam pengambilan keputusan, berkaitan dengan kehidupan sosial, politik ekonomi maupun kehidupan pribadi itu sendiri umumnya perempuan tidak memiliki hak suara apalagi hak untuk mengambil dan menjalankan keputusan Hamka (2012). Selanjutnya Wahyuni & Esti (Sastriyani, 2009) mengatakan, hambatan tersebut diantaranya norma-norma budaya atau sosial-kultural, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, kriteria, karakteristik yang dimiliki laki-laki maupun perempuan dari masyakarat itu sendiri, yang dikaitkan dalam ranah negara dan ranah rumah tangga. Dalam masyarakat tradisional yang masih menganut sistem patriarkhi (sistem yang menempatkan laki-laki pada posisi utama dan perempuan pada posisi kedua) masih terjadi pemisahan tajam pada sifat, aktivitas dan peran gender antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin. Misalnya sifat maskulin (berani, kasar, tegas), aktivitas maskulin (gemar olahraga), dan peran maskulin (mencari nafkah bagi keluarga) dianggap khas milik laki-laki, sedangkan sifat feminin (takut, lembut, penurut), aktivitas feminin (menari, memasak), dan peran feminin (melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak) dianggap khas sebagai milik perempuan. Oleh karenanya, nilai-

26 36 nilai yang dianut oleh masyarakat sosial setempat, yang merupakan sikap, atribut dan perilaku yang dianggap sesuai untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika harapan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tidak sesuai dengan pemikiran, pengalaman nyata dan kongkret yang telah ditanamkan (kognitif) oleh masyarakat dan keluarga dapat menimbulkan rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada kepemimpinan perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (W.J.Thomas dalam Ahmadi, 2009). Pemikiran-pemikiran tersebut berupa bahwa dunia politik merupakan wilayah yang tidak boleh dimasuki dan disentuh perempuan, dunia politik adalah dunia milik laki-laki yang cara pandangannya selalu maskulin (Manurung dalam Sastriani, 2009). Dari sanalah prasangka terhadap kepemimpinan perempuan dalam politik seringkali disangkutpautkan dengan peran gender atau peran jenis kelamin. Prasangka tersebut berupa suatu keyakinan ini, berakar pada pemikiranpemikiran kuno. Adapun bentuk dari prasangka terhadap perempuan yakni; keterlibatannya perempuan dalam ranah publik atau terjunnya perempuan sebagai pemimpin dalam politik dikaitkan dengan peran gender hal ini dapat terjadi karena berawal dari persepsi gender. Menurut Fakih (2004) prasangka terhadap gender tersebut telah terjadi sejak usia dini tidak hanya mempengaruhi aspek emosi, kognitif suatu individu, melainkan juga mempengaruhi fisik dan biologisnya secara evolutif. Proses tersebut akhirnya melibatkan perempuan lebih lemah secara fisik dari pada laki-laki, selain itu prasangka tidak jarang dapat

27 37 menimbulkan kerugian, salah satu kerugian itu berupa tindakan intimidasi (Mose,2004). Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki budaya patriarki yang mengatakan bahwa perempuan itu seharusnya tidak bekerja di sektor publik tapi hanya di sektor domestik atau dapat dikatakan seharusnya bekerja sesuai peran seksnya masing-masing. Misalnya laki-laki berani, kasar, tegas, kuat, mencari nafkah bagi keluarga, berwibawa dalam menghadapi masalah, sedangkan perempuan takut, lembut, penurut, menari, memasak, melakukan kerja rumah tangga, mengasuh anak dari kehassan yang di milik lakilaki maupun perempuan inilah di anggap dan diyakini bahwa laki-laki lebih mampu menahan semua cobaan dari pada perempuan. Dari pemisahan tajam antara laki-laki dan perempuan, yang dianggap hanya khas dimiliki oleh masingmasing jenis kelamin. Jika seseorang tidak mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat berdasarkan pemikiran, pengalaman nyata dan kongkret. Maka akan menimbulkan sebuah prasangka yang akan ditunjukkan melalui rasa marah, kesal, ketakutan (afektif) hingga menimbulkan sebuah prasangka kepada kepemimpinan perempuan dalam politik seperti antipati, suka tidak suka, kebencian, konflik kecenderungan tidak memberi pertolongan, menjauhkan diri dari kelompok yang diprasangkainya (konatif) (Baron & Bryne, 2003). D. Hipotesis Ada hubungan antara peran gender dengan prasangka terhadap kepemimpinan perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu penyelenggara pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mengasah keterampilan para siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis

Lebih terperinci

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE

PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Modul ke: 09 Setiawati Fakultas Psikologi Psikologi Sosial I PRASANGKA, DISKRIMINASI & STEREOTYPE Intan Savitri,S.P., M.Si. Program Studi Psikologi TUJUAN PEMBELAJARAN Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan kota yang inovatif dan serba maju dalam aspek kehidupan sosial ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan didalamnya seperti, semakin bertambahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik 68 BAB IV KESIMPULAN Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik (ekonomi) merupakan konsep kesetaraan gender. Perempuan tidak selalu berada dalam urusan-urusan domestik yang menyudutkannya

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender By : Fanny Jesica, S.ST DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI K E S P R Suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, bebas dari penyakit dan kecacatan

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER By : Basyariah L, SST, MKes Kesehatan Reproduksi Dalam Persfektif Gender A. Seksualitas dan gender 1. Seksualitas Seks : Jenis kelamin Seksualitas : Menyangkut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja atau dikenal dengan istilah adolescene adalah suatu transisi proses pertumbuhan dan perkembangan seorang individu dalam keseluruhan hidupnya. Transisi

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi sudah menjadi kebutuhan utama bagi manusia untuk menunjang aktivitasnya. Adanya transportasi menjadi suatu alat yang dapat mempermudah kegiatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perilaku 1. Definisi Perilaku Menurut Skinner dalam Notoatmojo (2003), perilaku merupakan respon berdasarkan stimulus yang diterima dari luar maupun dari dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi bukan berarti perbedaan itu diperuntukkan untuk saling menindas, selain dari jenis kelamin, laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian terhadap perempuan dalam roman Au Bonheur des Dames karya Émile Zola yang diambil sebagai objek penelitian ini memiliki beberapa implikasi.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan 2.1.1. Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian individu mengenai

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii ABSTRAKSI... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah. 1 1.2.

Lebih terperinci

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama.

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama. SELF & GENDER Diana Septi Purnama Email: dianaseptipurnama@uny.ac.id www.uny.ac.id KONSEP DIRI Penghayatan individu terhadap identitasnya, sekumpulan keyakinan mengenai dirinya sebagai seorang individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Timbulnya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum lemah masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan perempuan yang telah di konstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. a. Pengertian Pemberdayaan Perempuan

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR. a. Pengertian Pemberdayaan Perempuan 9 BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Teori 1. Pemberdayaan Perempuan a. Pengertian Pemberdayaan Perempuan Pemberdayaan berasal dari kata empowerment merupakan konsep yang lahir dari perkembangan

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER Oleh: Dr. Marzuki PKnH FIS -UNY Pendahuluan 1 Isu-isu tentang perempuan masih aktual dan menarik Jumlah perempuan sekarang lebih besar dibanding laki-laki Perempuan belum

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gender dengan kata seks atau jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Misalnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gender dengan kata seks atau jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Misalnya BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan Menurut fakih (1996) dalam memahami konsep gender maka harus dibedakan pada kata gender dengan kata seks atau jenis kelamin yang ditentukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE)

BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE) BAB V PRASANGKA SOSIAL (SOCIAL PREJUDICE) A. Pengertian Prasangka Sosial Prasangka sosial merupakan suatu maslah yang tidak dapat kita hindari di dalam hidup bermasyarakat. Apa yang dimaksud dengan prasangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

MEMAHAMI GENDER UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

MEMAHAMI GENDER UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MEMAHAMI GENDER UNTUK MENGATASI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh : Rahmah Marsinah, SH, MM ----------------------------------------- Abstract : Perbedaan jender pada dasarnya merupakan hal yang biasa

Lebih terperinci

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang

BAB I PENDAHULUAN. pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjuangan kesetaraan gender adalah terkait dengan kesetaraan sosial antara pria dan wanita, dilandaskan kepada pengakuan bahwa ketidaksetaraan gender yang

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV maka terdapat beberapa hasil yang dapat disimpulkan di dalam penelitian ini, yaitu: Tingkat kecenderungan untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang memiliki permasalahan dalam hidupnya, dan mereka memiliki caranya masing-masing untuk menangani masalah tersebut. Ada orang yang bisa menangani masalahnya,

Lebih terperinci

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mahasiswa identik dengan kaum terdidik yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Peran ganda yang dijalani oleh mahasiswa mendorong mereka untuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A.

BAB II KAJIAN TEORI. dan Eksploitasi Wanita dalam Novel The Lost Arabian Women karya Qanta A. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Kajian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Nikmawati yang berjudul Perlawanan Tokoh Terhadap Diskriminasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan manusia mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Contohnya, perubahan kebudayaan, adat istiadat, peradaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan, peran seseorang tidak lagi banyak mengacu kepada norma-norma kebiasaan yang lebih banyak mempertimbangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi tentang gender bukan hanya sekedar sebuah upaya memahami perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan keduanya dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan pelanggaran kondisi kemanusiaan yang tidak pernah tidak menarik untuk dikaji. Menurut Mansour Fakih (2004:17) kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Manajemen Konflik 1. Pengertian Manajemen Konflik Menurut Johnson ( Supraktiknya, 1995) konflik merupakan situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial.

BAB I PENDAHULUAN. homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penerimaan masyarakat terhadap kelompok berorientasi homoseksual atau dikenal sebagai gay dan lesbian masih kontroversial. Mayoritas masyarakat menganggap homoseksual

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian BAB 6 PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian terhadap hipotesis yang telah diajukan. Penjelasan secara diskripsi tentang hasil pnelitian ini menekankan pada

Lebih terperinci

FEATURE DALAM MENGUBAH PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG GENDER DI KALANGAN REMAJA

FEATURE DALAM MENGUBAH PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG GENDER DI KALANGAN REMAJA FEATURE DALAM MENGUBAH PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG GENDER DI KALANGAN REMAJA (Penelitian Eksperimental Mengenai Pengaruh Feature Satu Harapan karya Yuli Andari dalam Mengubah Pengetahuan dan Sikap Tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012)

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012) ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012) Indah Suci Wulandari K8407032 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK : Indah Suci Wulandari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam

I. PENDAHULUAN. 2008:8).Sastra sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008:8).Sastra

Lebih terperinci

PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA

PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA PERSEPSI REMAJA TERHADAP PEMBAGIAN PERAN GENDER DALAM KELUARGA (Kasus: Siswa Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Kota Bogor) RIZQI SUCI LESTARI A14204039 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari dalam maupun dari luar individu. Havighurst yang dikutip (Hurlock,

BAB I PENDAHULUAN. dari dalam maupun dari luar individu. Havighurst yang dikutip (Hurlock, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa-masa remaja merupakan masa yang sangat riskan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul, baik permaslahan yang muncul dari dalam maupun dari luar individu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Segala sesuatu di muka bumi ini diciptakan Allah secara berpasangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Segala sesuatu di muka bumi ini diciptakan Allah secara berpasangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Segala sesuatu di muka bumi ini diciptakan Allah secara berpasangan. Termasuk makhluk hidup, seperti ada betina dan jantan untuk binatang dan tumbuhan, begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak terlepas dari manusia lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu melibatkan orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ketakutan Sukses. Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ketakutan Sukses. Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ketakutan Sukses 1. Pengertian Ketakutan Sukses Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah disposisi yang bersifat stabil dan mulai muncul sejak awal

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP Pada bagian ini penulisan akan dibagi menjadi dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. 5.1.KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Gereja adalah persekutuan orang percaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan bagi sumber daya wanita untuk berkarya. Khususnya di kota-kota besar dimana

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan bagi sumber daya wanita untuk berkarya. Khususnya di kota-kota besar dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang serba kompetitif menuntut dunia usaha memberi lebih banyak ruang bagi sumber daya manusia untuk berkarya. Situasi dan kondisi demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan manusia dari generasi ke generasi untuk menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling

BAB I PENDAHULUAN. terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak Indonesia dilahirkan, konflik, perilaku kekerasan, dan diskriminasi terus terjadi, dan bahkan terus meningkat. Saling membenci antar etnik atau saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain, sebuah dunia

BAB I PENDAHULUAN. Dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain, sebuah dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain, sebuah dunia yang membahagiakan bagi anak (Christiyati Ariani, 2006: 40). Anak-anak akan memainkan permainannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin banyak wanita yang bekerja di sektor formal. Ada yang sekedar untuk

BAB I PENDAHULUAN. makin banyak wanita yang bekerja di sektor formal. Ada yang sekedar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, sebagaimana juga yang terjadi di seluruh penjuru dunia, makin banyak wanita yang bekerja di sektor formal. Ada yang sekedar untuk menyambung nafkah dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. semua objek yang masih dianggap eksternal dan secara paradigmatik harus

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. semua objek yang masih dianggap eksternal dan secara paradigmatik harus BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka 1. Fenomena Fenomena berasal dari bahasa Yunani phainomena (yang berakar kata phaneim berarti menampak ) sering digunakan untuk merujuk ke semua

Lebih terperinci

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam Bab II Kajian Pustaka 2.1. Identitas Sosial Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan mereka sebagai pria atau wanita. Seorang pakar psikologi

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan mereka sebagai pria atau wanita. Seorang pakar psikologi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jenis kelamin merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial. Ketika kita bertemu dengan orang baru, pasti kita akan berusaha mengidentifikasikan

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN A Skala Penelitian A-1 SKALA SIKAP SUAMI TERHADAP ISTRI BEKERJA A-2 SKALA KESADARAN KESETARAAN GENDER LAMPIRAN A-1 Skala SIKAP SUAMI TERHADAP ISTRI BEKERJA LAMPIRAN A-2 Skala KESADARAN

Lebih terperinci

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN

Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN Nomer : Jenis Kelamin : Kuliah di : Usia : Asal daerah : Tempat tinggal di Semarang : PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah pernyataan-pernyataan pada lembar berikut, kemudian jawablah dengan sungguh-sungguh sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan zaman melalui kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan sistem informasinya memberikan banyak dampak positif bagi kalangan yang jeli membaca

Lebih terperinci