BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sumber pendapatan pemerintah berasal dari pendapatan pajak dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. sejak saat itulah Indonesia menganut Self Assessment System. di Indonesia memberi kepercayaan kepada pengusaha kena pajak dalam

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Pemerintah membutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan masyarakat dan perkembangan zaman, di antaranya dengan. mengembangkan e-government sebagai trend global birokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. (APBN) dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Pajak Bumi dan

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar, semuanya dapat terwujud jika adanya bantuan dari sumber

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pemerintah selalu ingin mensejahterakan rakyatnya dan ini dapat dilihat

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak (Pangestu, Rusmana:2014). Realisasi penerimaan pajak tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 16 tahun 2009 menyatakan bahwa pajak adalah kontribusi wajib

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah. membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dana tersebut dikumpulkan dari

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Besar kecilnya pajak pada suatu negara sudah ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. membiayai belanja negara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak,

BAB I PENDAHULUAN. dikaji. Sejauh ini Negara memiliki dua sumber pendapatan yaitu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. perpajakan yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai. adalah tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum pada

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan oleh setiap warga negara yaitu dengan membayar pajak. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan kewajiban warga negara untuk membayar iuran atas penghasilan yang didapat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang berkesinambungan selama 4 tahun terakhir dalam APBN.

BAB 1 PENDAHULUAN. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang - undang, keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. satu instrumen dalam mengatur perekonomian negara, dapat dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pemerintahan berupaya untuk menciptakan negara Indonesia yang

BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

ABSTRAK. DAFTAR ISI Halaman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang cukup dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Penerimaan pajak digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia, hal tersebut terlihat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber penerimaan negara di peroleh dari berbagai sektor, baik sektor

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap Penerimaan Negara

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari adanya pajak. Pajak

BAB I PENDAHULUAN. sistem administrasi perpajakan dengan sistem self assessment, diharapkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan masyarakat, hal ini ditujukan agar pembangunan tersebut berjalan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mengandalkan berbagai pemasukan negara sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. memaksimalkan target pemasukan sumber dana negara. Pemasukan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Negara. Tanpa pajak, Negara tidak akan bisa melaksanakan kegiatan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun WP Terdaftar WP yang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. kontraprestasi yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan hal yang penting bagi suatu negara yang terus

Hukum Pajak. Kewajiban Perpajakan (Pertemuan #9) Semester Genap

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan biaya yang tak sedikit jumlahnya. Usaha yang dilakukan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. baik negara maju maupun negara berkembang. Karena jika Wajib Pajak

BAB 1 PENDAHULUAN. negara. Tugas Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak) adalah senatiasa. untuk melakukan peningkatan jumlah penerimaan pajak.

BAB 1 PENDAHULUAN. barang-barang yang dikuasai pemerintah, denda-denda atau warisan yang di

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumber pendapatan terbesar yang dimiliki suatu Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional diperoleh dari pendapatan sektor pajak. Oleh karena

PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat. Karena pajak mempunyai fungsi sebagai budgetair yang

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN II-2015

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur (Punarbhawa dan Aryani, 2013). Pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan membutuhkan peningkatan dalam penerimaan pajak. pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, pemerintah mengandalkan sumber-sumber penerimaan negara. Nota Keuangan dan APBN Indonesia tahun 2015 yang diunduh dari

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang taat pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin tingginya

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Dalam membiayai pembangunan dan pengeluaran rutin lainnya di

BPS KABUPATEN BATU BARA

EVALUASI PENERAPAN e-spt TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAIRI TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang tercantum dalam. Pembukaan UUD Upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dalam hal perekonomian. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan pajak merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar (Susanto,

BAB II GAMBARAN UMUM KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT. A. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

BAB 1 PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur memerlukan dana yang besar.

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pajak merupakan bagian dari sumber penerimaan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negera hukum yang menetapkan pajak. Pajak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk pembangunan negara. Meskipun pendapatan negara dari

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang terus-menerus berlangsung secara

BAB I PENDAHULUAN. Inasius (2014) di Indonesia, jumlah UMKM mencapai 56 juta unit dan

BAB I PENDAHULUAN. E. Latar Belakang Masalah. Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suryani N. A., 2016 Pengaruh Pelayanan Fiskus dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

BAB I PENDAHULUAN. Self assessment system ini baru akan berhasil dengan baik apabila syaratsyarat diatas dapat dipenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional di beberapa bidang, Pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. pajak dapat memperbaiki hal tersebut dan menjadi solusi yang efektif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan. Pemerintah melalui dirjen pajak telah menetapkan pajak sebagai

PERTUMBUHAN EKONOMI LABUHANBATU TAHUN 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA BARAT TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan nasional yang hendak dicapai negara Indonesia

Abstrak. Kata kunci: kemudahan pengisian SPT, pengetahuan peraturan perpajakan, kualitas pelayanan, kepatuhan wajib pajak.

BAB 4 EVALUASI DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara dari pajak juga perlu ditingkatkan karena pajak merupakan

BPS KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. relatif terbatas, pada saatnya akan habis dan tidak bisa diperbaharui. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai

PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA TANJUNGBALAI TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang berlangsung secara berkesinambungan. Usaha pemerintah agar bisa mandiri dalam pembiayaan pembangunan adalah dengan cara menggali sumber pendapatan pemerintah. Sumber pendapatan pemerintah berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan non pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan nasional. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk pembangunan nasional maka penerimaan negara dari pajak dituntut untuk terus ditingkatkan. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan penerimaan negara dari perpajakan tersebut dibutuhkan peranan dari masyarakat yaitu kesadaran dan kepatuhan seluruh Wajib Pajak baik orang pribadi, badan usaha maupun bendaharawan pemerintah untuk mematuhi hukum pajak yang berlaku. Akan tetapi besarnya penerimaan pajak masih belum diimbangi dengan peningkatan kepatuhan pajak masyarakat Indonesia. Fakta di Indonesia menunjukkan tingkat kepatuhan pajak masih rendah, ditandai belum optimalnya angka tax ratio (Jatmiko, 2006). Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio ini dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara.

Penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak sudah sering dilakukan. Beberapa peneliti juga menggunakan kerangka model Theory of Planned Behavior (TPB) yang menjelaskan tentang perilaku. Model TPB yang digunakan dalam penelitian memberikan penjelasan yang signifikan, bahwa perilaku tidak patuh (noncompliance) Wajib Pajak sangat dipengaruhi oleh variabel sikap, norma subjektif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan. Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) telah memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan tentang kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi. Hasil temuan Bobek & Hatfield (2003), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) adalah sikap berpengaruh terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Sedangkan Blanthorne (2000) dalam Mustikasari (2007), tidak bisa membuktikan pengaruh sikap terhadap ketidakpatuhan terhadap niat karena model pengukuran sikap yang digunakan tidak valid. Perkembangan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan masih rendahnya kepatuhan pajak diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak. Diakui atau tidak, Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya memang sangat rumit karena menyangkut banyak hal. Semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak yang terutang, dan menyetorkan jumlah pajak yang terutang. Menurut pendapat Aviantara (2009)

sistem perpajakan di Indonesia mempunyai kompleksitas yang tinggi, bukan hanya jumlah peraturannya yang sangat banyak, tetapi juga sering berubah dari waktu ke waktu, ditambah lagi dengan sosialisasi dari otoritas perpajakan dirasakan kurang optimal. Menurut Sanjaya dalam Vanessa dan Priyo (2009) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak adalah persepsi terhadap kemudahan dalam pelaksanaan sistem perpajakan. Sejak tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment system, dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Sistem ini lebih ditekankan kepada kerelaan Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakannya. Untuk menunjang dari self assesment system tersebut Direktorat Jenderal Pajak membuat sistem pendukung yang diharapkan dapat memudahkan Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya yaitu adanya e-registration, e-spt, e-filing, dropbox, online payment dan kring pajak 500200. Sadhani (2004) mengemukakan bahwa guna melakukan penilaian tingkat efisiensi suatu sistem perpajakan, terdapat dua elemen dasar yang selalu menjadi acuan, yaitu (1) biaya administrasi perpajakan; dan (2) biaya kepatuhan perpajakan (compliance of taxation). Sistem perpajakan dikatakan efisien apabila biaya kedua elemen tersebut rendah. Beberapa Wajib Pajak beranggapan bahwa sistem perpajakan kita khususnya Pajak Penghasilan masih terlalu kompleks. Kompleksitas peraturan tersebut ternyata menimbulkan tingginya biaya yang harus dipikul oleh seorang Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Kemudian salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban

pajak adalah jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya yang dalam berbagai literatur disebut dengan compliance cost atau disebut juga sebagai biaya kepatuhan pajak. Kenyataannya compliance cost begitu memberatkan dan menghambat Wajib Pajak. Menurut Sandford (1993) dalam Heriyanto (2012) biaya kepatuhan disini bukan hanya biaya dalam artian uang, tapi juga waktu dan pikiran. Dalam memenuhi kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mengeluarkan uang selain untuk membayar pajak terutang, minimal untuk biaya perjalanan dan administrasi ke bank atau kantor pos untuk melakukan penyetoran, selain itu Wajib Pajak juga harus meluangkan waktu untuk membaca petunjuk pengisian SPT, mengisinya dan mengirimkannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak juga dibebani pikiran takut kalau-kalau pemahamannya atas peraturan perpajakan berbeda dengan pemahaman petugas pajak kemudian dituduh melakukan tax evasion. Tingginya biaya kepatuhan pajak tersebut, menyebabkan orang enggan untuk membayar pajak. Idealnya biaya kepatuhan pajak tidak memberatkan dan menghambat Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang komprehensif mengenai besaran biaya kepatuhan pajak di Indonesia, tapi bukan berarti biaya kepatuhan pajak tidak membebani Wajib Pajak (Prasetyo : 2008). Pada hakekatnya pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (Wajib Pajak) yang dengan sukarela membayar pajak. Namun karena pajak adalah iuran yang sifatnya memaksa, maka sebenarnya negara tidak butuh kerelaan Wajib Pajak. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Untuk menimbulkan rasa ketaatan atau kepatuhan tersebut itulah diperlukan penegakkan hukum, diantaranya melalui pemberian sanksi. Penerapan

sanksi perpajakan baik administrasi (denda, bunga, dan kenaikan) dan pidana (kurungan atau penjara) mendorong kepatuhan Wajib Pajak (www.pajak.go.id) Menyadari masih besarnya potensi perpajakan dan masih sedikitnya jumlah pembayar pajak, maka pemerintah melaksanakan kegiatan yang dinamakan Sensus Pajak Nasional (SPN). Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak dengan benar, dapat melaksanakannya sesuai kondisi atau potensi yang sebenarnya. Sensus Pajak Nasional merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka penggalian potensi Wajib Pajak. Selain itu, SPN memiliki tugas yang berat yaitu mengamankan target penerimaan pajak dan penerimaan negara. Tugas ini tidaklah mudah karena adanya kemungkinan hambatan atau masalah seperti respon negatif dari responden dengan menghindari petugas sensus, menjawab pertanyaan dengan asal, tidak bersedia menandatangani formulir sampai dengan tindakan konfrontatif terhadap petugas sensus (www.pajak.go.id). Jika kondisi ini terjadi Ditjen Pajak akan sangat dirugikan karena tidak akan memperoleh data yang diperlukan. Keberhasilan program Sensus Pajak Nasional tidak lepas dari persepsi masyarakat yang positif. Untuk mengatasi respon yang kurang baik dari para responden, selain teknik komunikasi yang baik petugas SPN juga diperlukan dukungan semua pihak terkait. Persepsi positif masyarakat terhadap SPN dan kesadaran perpajakan akan mendorong pada kepatuhan sukarela. Sensus Pajak pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan. Sungguh tidak adil apabila ada sebagian masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih banyak lagi yang belum membayar pajak. Masyarakat haruslah memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui

Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan kesadaran dan rasa bangga bayar pajak. Kesadaran perpajakan masyarakat yang sangat rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat terjaring. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso (2013) bahwa penerimaan pajak dibawah target yang dipatok pemerintah untuk tahun 2012 bukan sekedar dampak dari krisis perekonomian global yang berkepanjangan, namun juga masih terkendala dengan rendahnya kesadaran masyarakat melaksanakan kewajiban membayar pajak (m.sindowews.com/read/2013/01/08/16/704712/realisasi-pajak-melenceng). Pentingnya peranan penerimaan pajak, mengharuskan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang merupakan instansi di bawah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menjalankan peranannya dengan baik dalam mengumpulkan penerimaan negara tersebut. Salah satu diantaranya adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat yang berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Pada awalnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat memiliki nama Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan, kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 namanya menjadi Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat. Dalam perjalanannya, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat mengalami 2 (dua) kali reorganisasi. Sesuai Keputuan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia. Setelah mengalami reorganisasi pertama tersebut, bahwa dalam rangka pelaksanaan modernisasi sistem administrasi perpajakan dan efektivitas organisasi

instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.01/2008 tanggal 6 Mei 2008, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah lagi menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Petisah. Adapun wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat sekarang adalah Kecamatan Medan Barat yang terdiri dari : 1. Kelurahan Kesawan 2. Kelurahan Silalas 3. Kelurahan Glugur Kota 4. Kelurahan Pulo Brayan Kota 5. Kelurahan Karang Berombak 6. Kelurahan Sei Agul Penerimaan pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukkan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi, investasi maupun perdagangan di daerah tersebut (Widodo, 2006). Sedangkan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan penghitungan atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, dimana faktor perubahan harga telah dikeluarkan.

Seperti kebanyakan kota lainnya, Medan sebagai kota terbesar di pulau Sumatera juga bergantung pada sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada kontribusi sektor tersebut pada PDRB Medan tahun 2011 mencapai 20,68 persen (kontribusi sektor terbesar). Statistik Daerah Kota Medan 2012 menunjukkan bahwa nilai tambah bruto sub sektor perdagangan besar dan eceran dalam PDRB Medan selalu meningkat secara nominal setiap tahunnya. Pada tahun 2009 NTB sektor ini berada pada kisaran 15,94 triliun rupiah, kemudian meningkat menjadi 18,17 triliun rupiah pada tahun 2010, selanjutnya pada tahun 2011 menjadi 19,36 triliun rupiah. Data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa kecamatan yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Medan selama tahun 2009 adalah Kecamatan Medan Barat, menyumbang sebesar 15,22 triliun rupiah (20,95 persen) dari total PDRB Kota Medan atas dasar harga berlaku. Sedangkan berdasarkan harga konstan Kecamatan Medan Barat menyumbang sebesar 6,56 triliun rupiah (19,63 persen) dari total PDRB Kota Medan. Dilihat penerimaan pajak per sektor di Kecamatan Medan Barat yang merupakan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat, diketahui bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi yang paling besar bagi penerimaan KPP Pratama Medan Barat selama dua tahun terakhir. Adapun penerimaan pajak per sektor KPP Pratama Medan Barat untuk tahun 2011 dan 2012 adalah sebagai berikut : Tabel 1.1. Penerimaan Bruto Per Sektor KPP Pratama Medan Barat Tahun 2011 dan 2012 (Milyar)

Kategori Klasifikasi Lapngan Usaha 2011 2012 (KLU) Rp % Rp % G Perdagangan besar dan eceran 79,44 29,31 91,56 27,18 F Konstruksi 56,10 20,69 62,62 18,59 D Industri pengolahan 35,44 13,07 43,42 12,89 I Transportasi, pergudangan dan komunikasi 34,68 12,79 39,50 11,72 K Real estate, usaha persewaan dan jasa usaha 9,14 3,37 26,39 7,83 A Pertanian, perburuan dan kehutanan 12,96 4,78 19,96 5,92 O Jasa kemasyarakatan, sosial dan lainnya 5,28 1,95 7,91 2,35 J Perantara keuangan 5,26 1,94 5,82 1,73 L Administrasi pemerintahan, pertahanan 3,09 1,14 4,54 1,35 E Listrik, gas dan air 3,66 1,35 4,40 1,30 P Jasa perorangan 1,98 0,73 2,99 0,89 H Penyediaan akomodasi dan makan minum 1,05 0,39 1,14 0,34 M Jasa pendidikan 0,94 0,35 1,10 0,33 N Jasa kesehatan dan kegiatan social 0,35 0,13 0,38 0,11 X Kegiatan yang belum jelas batasannya 0,04 0,01 0,08 0,03 B Perikanan 0,01 0,00 0,01 0,00 C Pertambangan dan penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00 Non NPWP 16,76 6,18 19,19 5,70 Unknown NPWP 4,91 1,81 5,92 1,76 Grand Total 271,08 100,00 336,93 100,00 Sumber : Seksi PDI KPP Pratama Medan Barat Walaupun sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan KPP Pratama Medan Barat pada tahun 2011 dan 2012, namun tingkat kepatuhan pembayaran pajak sektor perdagangan eceran masih rendah. Dari database yang dimiliki KPP Pratama Medan Barat sampai dengan tahun 2012, Wajib Pajak dari sektor ini tercatat sebanyak 2.231 pedagang eceran, sedangkan yang aktif melakukan pembayaran pajak hanya 744 pedagang eceran saja.

Berikut adalah jumlah dan tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran pada tahun 2010-2012 : Tabel 1.2. Jumlah dan Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat Tahun Pedagang Eceran Terdaftar Pedagang Eceran Melakukan Pembayaran Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak 2010 2.081 793 38,10% 2011 2.188 764 34,92% 2012 2.231 744 33,35% Sumber : Modul Penerimaan Negara, 15 Januari 2013 Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran. Dimana perbandingan antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran dan yang terdaftar sangat rendah yaitu 38,10% pada tahun 2010, kemudian terus menurun menjadi 34,92% pada tahun 2011 dan turun kembali 33,35% pada tahun 2012. Turunya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran tersebut disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak. Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku pedagang eceran yang ada di KPP Pratama Medan Barat, sementara mereka mendominasi peran dalam perekonomian Kecamatan Medan Barat menimbulkan efek pada rasa keadilan. Pelaku pedagang eceran yang tidak membayar pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang membayar pajak. Pelaku usaha yang membayar pajak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak tidak

melakukannya untuk barang yang sama. Di pihak lain, pelaku usaha yang membayar pajak harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) terutang, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya. Distorsi yang terjadi antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak dengan pedagang eceran yang tidak membayar pajak ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak dalam persaingan di pasar. Distorsi juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak membayar pajak, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan kewajiban perpajakannya, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang. Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pedagang eceran yang belum patuh pajak menjadi patuh pajak dan pedagang eceran yang sudah patuh untuk tetap patuh. Atas dasar itulah, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini menjadi sebuah penelitan yang diberi judul Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Sektor Formal pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas adapun yang menjadi rumusan masalah adalah :

1. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal? 2. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal? 3. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal. 2. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal. 3. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal. 1.4. Manfaat Penelitian