PEMANTAPAN SISTIM PEMBIBITAN ITIK UNGGUL DI SENTRA PRODUKSI

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PENGEMBANGAN ITIK MA DI TINGKAT PETERNAK: SUATU ANALISIS EKONOMI

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

KARAKTERISTIK POLA PEMBIBITAN ITIK PETELUR DI DAERAH SENTRA PRODUKSI

EVALUASI PENGEMBANGAN ITIK MA DAN PEMASARAN TELUR DI SENTRA PRODUKSI KABUPATEN BLITAR

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

UJI MULTILOKASI BIBIT NIAGA ITIK PETELUR

PROFIL USAHA ITIK POTONG DI PANTURA JAWA BARAT DAN JAWA TENGAH

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

KINERJA PEMBESARAN ITIK MA SIAP TELUR DI PEDESAAN

KERAGAAN PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITAS UNGGULAN (SPAKU) ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

ANALISIS EKONOMI PEMBESARAN ITIK PETELUR SILANGAN AM & MA DI TINGKAT PETANI STUDI KASUS KECAMATAN PONGGOK, KABUPATEN BLITAR

PROFIL USAHATANI UNGGAS DI KABUPATEN BREBES (STUDI KASUS)

L. HARDI PRASETYO : Siralegi dan Peluang Pengembangan Pembibitan Ternak ilik usahanya dengan orientasi skala komersial. HARDJOSWORO et al. (2002) meny

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

ANALISIS USAHA PERBAIKAN PAKAN UNTUK PRODUKSI TELUR ITIK RATU (MOJOSARI ALABIO) BERBASIS BAHAN PAKAN LOKAL

ANALISIS FINANSIAL USAHA ITIK DI PETERNAK DALAM RANGKA MENUNJANG PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI DI BALI

Dampak Diseminasi Ayam Kampung Unggul Balitnak di Provinsi Gorontalo

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PRODUKSI TELUR PERSILANGAN ITIK MOJOSARI DAN ALABIO SEBAGAI BIBIT NIAGA UNGGULAN ITIK PETELUR

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

MODEL USAHA ITIK LOKAL DI D.I. YOGYAKARTA UNTUK PENUNJANG PENDAPATAN PETERNAK ABSTRAK

EFISIENSI USAHA PEMBIBITAN ITIK MODERN DAN TRADISIONAL PADA SKALA RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LEBONG

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

Ejuarini, Sumanto, B.Wibowo dan R.Matondang Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

PENGARUH PENGGUNAAN IKAN PIRIK (LEIOGNATHIDAE) KERING DAN SEGAR TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL PADA PEMELIHARAAN INTENSIF

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Litkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak yang Iebih besar. Selain itu jumlah bagian dagingnya lebih banyak d

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

PRODUKTIVITAS ITIK TEGAL DI DAERAH SENTRA PENGEMBANGAN PADA PEMELIHARAAN INTENSIF


Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

ANALISIS PROFITABILITAS PENGEMBANGAN USAHA TERNAK ITIK DI KECAMATAN PAGERBARANG KABUPATEN TEGAL

PERBAIKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN MUTU PAKANUNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI TELUR TERNAK ITIK LOKAL DI KABUPATEN MERAUKE, PAPUA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

RANGKUMAN HASIL PENGKAJIAN AYAM BURAS DI KABUPATEN BENGKULU UTARA

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

ANALISIS FINANSIAL KELAYAKAN USAHA PENETASAN TELUR ITIK DI KABUPATEN BLITAR

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BALI DENGAN POLA SELEKSI PRODUKSI

E

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

Jurnal Al-Ikhlas ISSN : Volume 3 Nomor 1, Oktober 2017

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Kondisi Umum Kandang Local Duck Breeding and Production Station

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

IbM POTENSI DAN PEMANFAATAN ITIK (JANTAN DAN PETELUR AFKIR) SEBAGAI TERNAK POTONG PADA KELOMPOK TANI DI KECAMATAN AIR HANGAT TIMUR KABUPATEN KERINCI

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

PERAN ITIK SEBAGAI PENGHASIL TELUR DAN DAGING NASIONAL

ANALISIS EKONOMI PENGGEMUKAN KAMBING KACANG BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL. Oleh : M. Jakfar dan Irwan* ABSTRAK

INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber penyedia daging dan telur telah dipopulerkan di Indonesia dan juga

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

KUALITAS TELUR ITIK ALABIO DAN MOJOSARI PADA GENERASI PERTAMA POPULASI SELEKSI

ANALISIS PERFORMA PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETERNAK AYAM BROILER DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN CLOSED HOUSE

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

ITIK MOJOMASTER-1 AGRINAK

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

BUDIDAYA ITIK SECARA TERPADU HULU-HILIR KELOMPOK PETERNAK NGUDI LESTARI SUKOHARJO

ADAPTASI TEKNOLOGI BUDIDAYA AYAM BURAS DI LAMPUNG

PELATIHAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN ITIK SECARA INTENSIF DI KECAMATAN WEDUNG KABUPATEN DEMAK

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

Key words: egg production, income, production cost, agriculural and fishery centers.

KERAGAAN PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL DITINGKAT PETERNAK DAN UPAYA PENINGKATANNYA DALAM MENDUKUNG KECUKUPAN PANGAN HEWANI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

AYAM HASIL PERSILANGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA TERNAK UNGGAS

ANALISIS USAHA TERNAK ITIK PETELUR Studi Kasus Kec. Bandar Khalifah Kab. Serdang Bedagai

KIAT PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BURAS

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGGEMUKAN AYAM KAMPUNG (LOKAL) DI TINGKAT PETANI STUDI KASUS KELOMPOK PETERNAK AYAM KAMPUNG "BAROKAH" DI CIAMIS

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu

STUDY POTENSI DAN PEMANFAATAN CACING TANAH UNTUK PAKAN UNGGAS

KELAYAKAN USAHA PETERNAKANN AYAM RAS PEDAGING POLA KEMITRAAN INTI-PLASMA

Transkripsi:

PEMANTAPAN SISTIM PEMBIBITAN ITIK UNGGUL DI SENTRA PRODUKSI (The Establishment of MA Duck Breeding System in the Duck Production Centre in Blitar) E. JUARINI, SUMANTO, B. WIBOWO dan L.H. PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor16002 ABSTRACT A series of study on the performance of MA commercial duck was conducted in the centre of duckegg production in Blitar regency. The study was started in 2002, covering five farmers that consisted of one nucleous farmer who provides the 5 months age of female MA and concentrate for the four plasm farmers. Technical and economical data were collected and monitored monthly by the researcher from Balitnak assissted by the farmer. The data collected coverred mainly egg production, feed intake, mortality, egg s price, DOD, 5 months age of female duck price and its disposal, marketing system and its insitution. Results showed that the egg production of the filial of the MA duck hatched by the nucleous and rear by the cooperator farmers over twelve month period of egg production from year to year were consistently increase and more uniform among the cooperators that were 60% (50 70%) in 2003, 62.5% (52 73%) inthe year 2004 and 68.5% (65 73%) in the year 2005. That was not much different from the egg production of MA duck supplied by Balitnak in 2001/2002 that ranged from 67.4 71.5% with an average of 69.4%. Mortality and hatchability were constant from 2002-2005, ranged from 1 7% for mortality and 60 70% for hatchability. R/C ranged from 1.24 1.42 in 2002, 1.4 1.5 in 2003, 1.5 1.7 in 2004 and 1.38 1.45 in 2005, the decrease of this value in the year 2005 was because of the considerably high of the fluctuation of the concentrate price. It is concluded that crossbreeding system of the MA duck in Blitar was relatively well established. Key Words: MA Duck, R/C Ratio, Blitar, Breeding System ABSTRAK Suatu penelitian lanjutan yang sudah dimulai sejak tahun 2002 telah dilakukan di Blitar untuk melihat konsistensi produksi itik niaga MA yang dikawinkan silang oleh peternak sendiri. Penelitian ini melibatkan lima peternak kooperator yang terdiri dari satu peternak inti sebagai pensuplai calon induk itik MA dan pakan konsentrat dan empat peternak plasma sebagai penerima bakalan. Pemilihan peternak kooperator sudah dilakukan pada awal penelitian berdasarkan pengalaman dan pemilikan ternak minimal 100 ekor induk itik MA. Monitoring dilakukan setiap bulan dan peternak kooperator. Data yang dicatat meliputi data teknis dan ekonomis termasuk produksi telur, kematian, daya tetas, jenis dan jumlah pakan yang diberikan, harga pakan, harga telur/butir, harga DOD, itik dewasa siap telur dan itik afkir, jalur pemasaran serta kelembagaan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rataan produksi telur itik MA yang disilangkan sendiri oleh peternak dari tahun ke tahun meningkat dengan kisaran yang semakin sempit yaitu 60% (50 70%) pada tahun 2003, 62,5% (52 73%) pada tahun 2004 dan 68,5% (65 72%) pada tahun 2005. Mortalitas dan daya tetas itik MA yang disilangkan sendiri oleh peternak inti stabil dari tahun ketahun yaitu 1 7% dan 60 70%. R/C rasio diantara peternak berkisar antara 1,24 1,42 pada tahun 2002, 1,4 1,5 pada tahun 2003, 1,5 1,7 pada tahun 2004 dan 1,38 1,45 pada tahun 2005 turunnya angka rasio R/C pada tahun 2005 disebabkan oleh meningkatnya harga pakan yang cukup tajam. Disimpulkan bahwa sistem perbibitan itik MA ditingkat peternak di sentra produksi di Blitar relatif sudah mantap. Kata Kunci: Itik MA, R/C Ratio, Blitar, Pembibitan 694

PENDAHULUAN Model usaha peternakan itik yang bersifat intensif dan komersial menuntut adanya bibit itik yang berkualitas dan layak baik secara teknis, ekonomis dan kelembagaannya. Upayaupaya perbaikan bibit itik lokal telah mulai dilakukan melalui sistem pembibitan itik di Balitnak sejak tahun 1997 (PRASETYO dan SUSANTI, 1997) dan adanya jalinan kemitraan dengan peternak tangguh di Blitar secara terus menerus sejak 4 tahun terakhir. Hasil kemitraan tersebut selama ini menunjukkan kemajuan yang sangat nyata, diantaranya dapat meningkatkan angka fertilitas dari 75% pada tahun 2001 (SUMANTO et al., 2001) menjadi 90,5% pada tahun 2004 (PRASETYO et al., 2004) dan daya tetas telur dari 40,9% pada tahun 2001 (SUMANTO et al., 2001) menjadi 67,3% pada tahun 2004 (PRASETYO et al., 2004), kecuali produktivitas telur itik yang dipelihara di sentra produksi masih belum konsisten peningkatannya, yaitu 57 sampai 71,4% pada tahun 2001 dan 2002 (SUMANTO et al., 2001; JUARINI et al., 2002) sedangkan pada tahun 2003 dan 2004, hasil sementara menunjukkan masih berfluktuasi antara 57 70% pada tahun 2003 dan dari 58 73% pada tahun 2004 (PRASETYO et al., 2004; JUARINI et al., 2004). Disamping kemajuankemajuan yang telah dicapai tersebut pada sistem produksi bibit niaga di perusahaan inti namun masih terlihat adanya beberapa kekurangan yang masih perlu diperbaiki. Salah satu kelemahannya adalah kualitas bibit induk yang digunakan belum semua berupa itik murni Alabio dan Mojosari hasil seleksi Balitnak, hal ini terutama disebabkan karena perlu waktu yang agak lama untuk memperbanyak bibit-bibit induk tersebut sedangkan permintaan bibit niaga MA terus semakin mendesak di masyarakat peternak itik. Hasil penelitian KETAREN et al. (1999) menunjukkan adanya variasi karakter produksi telur antar kelompok tetasan. Rataan produksi telur persilangan antara itik Alabio dan Mojosari selama 24 minggu sebesar 66,3% dengan kisaran 63,2 69,2%. Rataan produksi telur 50 dan 80% dicapai pada masing-masing umur 25,3 dan 30,3 minggu (177 hari dan 212,1 hari). Sedangkan rataan produksi telur lebih dari 80% bertahan selama 12 minggu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh SUMANTO et al. (2000). dan JUARINI et al. (2001 sampai 2004) di Cirebon, Brebes dan Blitar dari tahun 2000 sampai 2004 menunjukkan bahwa produktivitas itik keturunan MA baik yang berasal dari Balai maupun yang disilangkan sendiri oleh peternak, masih lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas itik lokal yaitu berkisar antara 50 sampai 73% pada itik MA dibanding rata-rata hanya 55 % pada itik lokal (SUMANTO et al., 2000; 2001; JUARINI et al., 2002; 2003; 2003; 2004a; b). Meskipun performan itik hasil persilangan MA memperlihatkan pertumbuhan dan produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik lokal yang ada dilokasi sekitar penelitian, namun kemantapan produksi tampaknya masih belum didapatkan. Secara ekonomis usaha pemeliharaan itik niaga petelur di tingkat peternak sudah cukup menguntungkan yaitu dengan skala usaha 200 sampai 7000 ekor induk itik MA memberikan angka BC ratio yang cukup baik (1,55 1,73). Dengan kondisi yang demikian, maka perlu dilakukan upaya-upaya manajemen pakan dan perbibitan yang lebih terarah agar kinerja usaha pembibitan itik dan usaha pemeliharaan itik niaga di tingkat peternak semakin mantap. Sebagai kelanjutan penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian guna melihat stabilitas produksi itik MA di sentra produksi itik MA di Blitar. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di tingkat peternak di Blitar, yaitu peternak inti sebagai pembibit dan kelompok peternak budidaya yang memelihara itik niaga sebagai peternak plasma. Penelitian ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu: 1. Perbanyakan bibit induk Alabio dan Mojosari hasil seleksi Balitnak, serta monitoring data (teknis dan ekonomi) secara periodik (2 bulanan) di peternak pembibit, dimana terdapat dua kelompok kandang pembibitan itik dengan populasi itik 4000 ekor dan 5000 ekor induk. Peubah yang diukur: produksi telur induk, rataan konsumsi pakan, mortalitas, jenis dan harga pakan, sistem penetasan dan harga jual DOD, serta penggunaan tenaga kerja. 695

2. Penyusunan serta perakitan sistem budidaya itik petelur MA yang baku dan mantap, serta monitoring dan pencatatan data (teknis dan ekonomi) secara periodik (2 bulanan) di kelompok kooperator peternak budidaya (bibit niaga). Dipilih 3 5 kooperator dengan skala usaha > 300 ekor sebagai sumber informasi. Pengamatan dilakukan terhadap: jumlah dan jenis pakan, mortalitas, produksi telur; biaya yang meliputi bibit, perkandangan/peralatan, tenaga kerja; penerimaan yang meliputi hasil penjualan telur dan itik afkir. Kinerja produktivitas itik dan manajemen pemeliharaan dibandingkan dengan hasil pada tahun sebelumnya dan ukuran dise sesuaikan dengan anjuran, kemudian juga dilakukan analisis ekonomi secara sederhana untuk masing-masing kooperator. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil kooperator Sebelum mengupas kinerja produksi itik, model profil peternak itik kooperator disampaikan pada Tabel 1. Penyusutan pemilikan itik Penyusutan jumlah itik yang dimiliki terjadi karena kematian dan dijualnya itik yang dianggap kurang produktif. Kematian itik di lokasi penelitian tidak berbeda dengan tahuntahun sebelumnya, banyak terjadi pada itik umur muda yaitu berkisar antara 5 sampai 7% pada itik dibawah umur 2 bulan, namun pada itik yang sudah mulai bertelur jarang terjadi kematian dan biasanya (apabila tidak ada wabah penyakit) hanya dibawah 1%. Rataan harga telur dan itik Rataan harga telur, bibit itik dan itik afkir dalam beberapa tahun tidak banyak berubah, harga telur, DOD jantan, DOD betina, itik siap bertelur dan itik afkir selama setahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 2. Pakan ransum Secara garis besar jenis bahan pakan dan harga ransum di lokasi penelitian tidak berubah selama dilakukan penelitian karena pakan diambil dari sumber yang sama yaitu dari peternak inti. Bahan pakan yang digunakan peternak kooperator dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 1. Profil kooperator penelitian di Blitar Status Jumlah kooperator Jumlah itik yang dimiliki(ekor) Itik MA (ekor) Keterangan Plasma Yang diamati (induk seumur): Peternak 1 6.000 6.000 626 Peternak 2 1.250 1.020 208 Peternak 3 900 900 150 Inti Peternak 4 12.000 12.000 5.000 Tabel 2. Harga itik dan telur di lokasi penelitian Lokasi Rataan harga itik afkir/ekor 1 tahun produksi (Rp) Selang harga telur/butir (Rp) Harga DOD jantan-betina/ekor (Rp) Blitar 12.000 470 580 Jantan 1000 1500 Betina 3000 4000 Harga itik siap telur Rp/ekor 25.000 27.500 Sistem penjualan biasanya melalui: + Penjualan telur melalui koperasi * Pembeli datang ke lokasi ** Pembeli datang ke lokasi atau dapat diantar melalui pesanan ++ Peternak drop ke warung/konsumen di kota 696

Pakan utama itik MA adalah berupa konsentrat yang telah dibuat oleh Inti (Peternak 4). Para peternak yang tergabung dalam kelompok Rahayu Mandiri biasanya selalu mengambil konsentrat dan kepala udang (kalau diperlukan) dari inti dan akan dibayar dalam bentuk setoran telur itiknya kemudian hari. Potensi ketersediaan bahan konsentrat dari inti adalah cukup baik (diantisipasi hingga kebutuhan 6 bulan kedepan). Sementara itu, bahan lainnya, seperti kebi/dedak akan diusahakan sendiri oleh para peternak. Jumlah pemberian ransumnya rataan adalah 130 sampai 150/g/ekor/hari dan perkiraan harganya adalah Rp. 1500/kg, apabila tidak menggunakan kepala udang dan Rp. 1600/kg bila menggunakan kepala udang dimana sudah termasuk biaya tenaga kerja. Penggunaan ransum tersebut sudah dilakukan beberapa tahun sejak peternak inti mulai mampu menyediakan DOD bahkan sebelumnya, hanya harga ransum meningkat agak drastis pada tahun ini karena pengaruh peningkatan harga bahan pakan dan terutama setelah harga minyak meningkat dua kali lipat pertengahan tahun 2005. Peningkatan harga ini sangat mempengaruhi tingkat keuntungan peternak yaitu menurun dari rataan antara 1,55 sampai 1,73 pada tahun 2004 menjadi hanya 1,38 sampai 1,45 pada tahun 2005, Untuk peternak inti keuntungan tersebut (R/C) juga menurun dari 1,57 pada tahun 2004 menjadi hanya 1,38 pada tahun 2005. Namun penurunan ini tidak mengurangi minat peternak dalam memelihara itik MA tersebut karena keuntungan bersih masih berada diatas suku bunga bank karena tenaga keluarga tidak diperhitungkan kecuali pada peternak inti. Produksi telur Produksi telur rata-rata dari keempat responden plasma dan inti yang diamati menunjukkan angka yang hampir merata kecuali satu orang responden plasma yang tidak menggunakan cangkang udang dalam ransumnya seperti disajikan pada Tabel 4. Dibanding tahun sebelumnya, maka produktivitas itik keturunan MA pada inti dan satu orang plasma relatif stabil yaitu 70 dan 73% pada tahun 2004 menjadi 71 dan 72% pada tahun 2005, sementara peternak yang lain produktivitas itiknya meningkat masingmasing dari 58,1 dan 59,1% menjadi rata-rata 70% dan seorang lagi dari 53,3 menjadi 65% peningkatan produktivitas terjadi karena semua peternak kooperator telah melakukan seleksi sebagaimana telah dilakukan inti sejak lama yaitu dengan mengeluarkan itik yang tampilan produksinya dianggap buruk. Peternak inti merupakan pusat penangkaran keturunan itik MA. Produksi telur itik tertingi dicapai oleh Peternak inti (73%) produktivitas itik pada peternak inti dapat stabil karena diikuti dengan seleksi, dalam hal ini itik yang penampilan produksinya dianggap jelek langsung dikeluarkan. Sistem pengelolaan ini telah ditiru oleh salah seorang peternak plasma. Pada kenyataannya bahwa model pemeliharaan ternak itik petelur di kedua peternak tersebut telah diketahui memang berbeda dengan Tabel 3. Jenis pakan dan harga ransum di lokasi penelitian *Harga ransum/kg Rp. 1.500 (tanpa kepala udang) Rp. 1.600 (dengan kepala udang) Jenis bahan pakan Konsentrat, kebi, kepala udang, dedak, nasi aking Rataan Jumlah pemberian (g/hari/ekor) 130 (plasma) 150 (inti) Keterangan konsentrat diambil dari inti Tabel 4. Rataan produksi telur itik MA dilokasi penelitian No. Kooperator Plasma I II III IV Inti Jumlah induk yang diamati (ekor) 626 208 150 350 5.000 Produksi selama setahun (%) 72 70 70 65 71 697

peternak-peternak lainnya. Kedua peternak tersebut mampu mengenali itik yang produksinya tinggi dan selalu melakukan seleksi terhadap itik (induk) mereka yang kurang produktif dengan cara langsung mengeluarkannya dan diafkir (dijual). Disamping itu dari ketersediaan permodalan, tampaknya kedua peternak adalah sangat mampu. Tujuan dari model tersebut adalah untuk mempertahankan agar produksi telur tetap stabil (kurang lebih dapat mencapai diatas 70%/tahun). Untuk peternak lainnya, model tersebut diatas tidak dilakukan, disebabkan mereka kekurangan modal. Walaupun model pemeliharaan itik yang dilakukan peternakpeternak tersebut (tidak melakukan pergantian induk secara cepat) kurang produktif, namun dengan cara pemeliharaan yang baik (salah satunya ketersediaan pakan dan air yang kontiniu), ternyata produksi telur itik masih cukup baik yaitu diatas 52% dan kondisi ternak itik terlihat sehat dan tampak bersih-bersih bulunya. Belajar dari pengalaman peternak yang lebih berhasil pada tahun sebelumnya, pada tahun 2005 peternak yang lain mengikuti jejak temannya dengan ikut melakukan seleksi, sehingga produktivitas itik mereka meningkat cukup nyata (dari rataan 53 59% menjadi 65 70%). Biaya produksi Seperti diketahui bahwa pada peternakan itik, biaya paling besar yang dikeluarkan adalah berasal dari pakan ternak, yang meningkat sekitar 20% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sedangkan biaya lainnya adalah berupa susut kandang, peralatan dan obatobatan tidak banyak berubah. Susut kandang/ alat adalah Rp. 480/ekor/tahun. Sementara itu, untuk perkiraan biaya obat-obatan adalah Rp. 150/ekor/tahun. Analisa ekonomi Analisis biaya dilakukan terhadap kelompok itik dengan umur yang seragam untuk mendapatkan angka yang dapat diperbandingkan diantara peternak. Hasil perhitungan ekonomi untuk masing-masing peternak disajikan pada Tabel 5, sementara koefisien teknis untuk masing-masing peternak tercantum pada Tabel 6. Tabel 5. Analisis ekonomi budidaya itik MA selama 1 tahun masa produksi Uraian Peternak kooperator Plasma1 Plasma2 Plasma3 Plasma4 Inti Populasi itik MA 626 208 150 350 5000 Biaya pengeluaran Penyusutan itik 6.410.000 2.200.000 1.545.000 3.875.000 51.500.000 Penyusutan kandang 5.000.000 210.000 150.000 342.857 40.000.000 Peralatan kandang 75.000 21.000 15.000 36.000 600.000 Pakan/bulan 36.057.600 11.980.800 8.640.000 24.570.000 288.000.000 Pakan kepala udang/bulan 18.479.520 6.140.160 4.428.000-147.600.000 Obat 93.900 31.200 22.500 52.500 750.000 Tenaga/bulan - - - - 500.000 Total 66.116.020 20.583.160 14.800.500 28.876.357 528.950.000 Penerimaan Produksi telur 92.606.976 29.232.000 21.485.520 41.827.500 726.415.200 Total pendapatan 92.606.976 29.232.000 21.485.520 41.827.500 726.415.200 (Penerimaan - biaya) 26490.956 8.648.840 6.685.020 12.951.143 197.465.200 Nisbah 1,40 1,42 1,45 1,45 1,38 698

Tabel 6. Koefisien teknis dan ekonomi pada analisis usaha itik MA Jenis Peternak kooperator A B C D E Populasi awal itik MA (ekor) 626 208 150 350 5.000 Populasi akhir itik MA (ekor) 616 200 147 325 4.900 Nilai itik awal (Rp.)/ekor 25.000 25.000 25.000 25.000 25.000 Nilai itik akhir (Rp)/ekor 15.000 15.000 15.000 15.000 15.000 Pakan basal Fisik (volume)/g/ekor/hari 100 100 100 130 100 Nilai Rp./kg 1.600 1.600 1.600 1.500 1.600 Kepala udang (Rp./ekor/hari) 82 82 82-82 Tenaga kerja (Rp./bulan) - - - - 500.000 Produksi telur (%) 72 70 70 65 71 Harga telur (Rp./butir) 580 580 580 550 580 Angka-angka pada tabel di atas relatif tidak banyak berbeda dari tahun sebelumnya. Harga telur, DOD, bayah dan itik afkir tidak banyak berfluktuasi, variasi harga lebih banyak dipengaruhi oleh musim tanam padi yang tampaknya sangat mempengaruhi pola dan model pemeliharaan itik baik itik niaga (hibrida) maupun sistem perbibitannya. Karena bervariasinya waktu penetasan yang dipengaruhi oleh musim menyebabkan bervariasinya pula sistem pemeliharaan itik petelurnya. Perbedaan harga pakan yang cukup tinggi menyebabkan berkurangnya keuntungan bersih pada semua usaha baik usaha telur maupun usaha perbibitan yang ditengarai oleh turunnya rasio penerimaan dan biaya dari 1,5 1,7 pada tahun 2004 menjadi hanya 1,38 1,45. Adanya perbedaan ratio penerimaan dan biaya tersebut diatas karena situasi harga pakan yang berbeda, walaupun harga telurnya tidak terjadi perubahan yang berarti. Kinerja itik MA di lokasi penelitian Blitar dari tahun 2001 2005 disajikan pada Tabel 7. Dari tabel diatas terlihat bahwa produksi telur pada tahun 2001 dan 2002 di masingmasing peternak berkisar antara 67 71% dimana bibit induk itik masih disuplai dari Balai. Pada tahun berikutnya suplai bibit sudah dilakukan oleh peternak inti, tampilan produksi telur di masing-masing peternak bervariasi antara 50 70% pada tahun 2003 dan antara 52 73% pada tahun 2004, namun pada tahun 2005 tampilan produksi telur sudah meningkat dan hampir sama dengan tampilan produksi itik MA yang bibitnya dari Balai dengan selang yang relatif lebih sempit, yaitu antara 65 72% hal mana menunjukkan tingkat produksi yang lebih stabil. Tabel 7. Kinerja itik MA selama penelitian di tingkat lapang (2001 2005) Uraian/tahun 2001 2002 2003 2004 2005 Produksi telur (%) 67,4 71,5 (4 responden) 50 70 (4 responden: inti dan plasma) < 7 (umur< 1 bulan) < 1 (umur > 1 bulan) 52 73 (4 responden: inti dan plasma) < 7 (umur <1 bulan) < 1 (umur >1 bulan) 65 72 (4 responden: inti dan plasma) <7 (umur <1 bulan) <1 (umur >1 bulan) Mortalitas (%) < 7 (umur < 1 bulan) < 1 (umur > 1 bulan) Asal bibit Dari Balai Dari Inti Dari Inti Dari Inti Daya tetas (%) 60 70 60 70 60 70 60 70 R/C 1,24 1.42 1,4 1.5 1,5 1,7 1,38 1,45 Sumber: SUMANTO et al. (2000; 2001); JUARINI et al. (2001; 2002; 2003; 2004) 699

Peranan kelembagaan dalam menunjang pemantapan usaha itik di Blitar Hubungan antara inti dan plasma 1. Inti sebagai penjual sarana produksi; Pihak inti menyediakan sarana produksi kepada plasma, terutama bahan-bahan pakan seperti dedak, kebi, menir dan konsentrat. Untuk mendapatkan bahan pakan yang dibutuhkan, plasma bahan yang diperlukan kepada inti. Pembayaran pakan dilakukan setelah plasma melakukan penjualan produksi telur kepada Inti. 2. Inti sebagai pembeli hasil produksi (telur); Peternak inti membeli semua hasil produksi telur dari peternak plasma dengan cara pembayaran tertentu. 3. Inti sebagai penyedia bibit; Peternak Inti sejak 2 tahun terakhir telah mencoba melakukan pembibitan guna menghasilkan DOD untuk dikembangkan di masyarakat maupun plasma binaannya. Usaha pembibitan telah diperlengkapi oleh berbagai fasilitas antara lain: a) itik tetua (betina dan jantan) yang dikhususkan untuk menghasilkan telur tetas; b) sejumlah petak kandang pemeliharaan intensif terkurung; c) jaminan ketersediaan pakan secara kwantitas maupun kualitas yang memadai sepanjang tahun, d) gedung khusus untuk kegiatan penetasan, e) sejumlah 92 unit mesin tetas masing-masing berkapasitas tampung 300 butir, f) tenaga operator penetasan. 4. Inti mendistribusikan DOD; Peternak Inti memberikan informasi kepada plasma bilamana, DOD tersedia dari penetasan yang diusahakan dan menerima pesanan DOD oleh plasma. Apa bila DOD tersedia maka pendistribusian kepada plasma disesuaikan berdasarkan jadwal urutan pemesanan. Pembayaran atas DOD ini juga didasarkan atas penjualan telur. Model pembesaran itik hingga calon bibit sebagai pensuplai bibit induk dan peranannya dalam pemantapan usaha itik di Blitar Mekanisme pembesaran itik Pada umumnya peternak pembesaran menerima harga yang ditawarkan oleh peternak plasma/inti. Transaksi tersebut tidak diikuti dengan pembayaran, karena pembayaran akan dilakukan ketika itik yang bersangkutan sudah menjadi bayah dan dianggap layak untuk dipelihara dengan cara sistem kering pada kandang intensif terkurung. Pemeliharaan dari DOD sampai bayah Pemeliharaan dilakukan oleh peternak yang khusus membesarkan itik dari DOD sampai siap bertelur dimana terdapat 2 fase pemeliharaan yaitu: 1. DOD hingga 21 hari, pada phase ini ternak itik dipelihara dalam kandang indukan secara intensif, pakan yang diberikan adalah campuran antara bekatul dengan pakan pabrikan. 2. Umur 22 hari hingga bayah pemeliharaan pada phase ini adalah diangon (digembala) ke tempat lokasi sawah yang baru melakukan panen, dengan harapan masih banyak padi dan lainnya yang tersedia di sawah. 3. Peternak inti/plasma kemudian menerima bayah dari peternak pembesaran. Sesuai dengan perjanjian sebelumnya. KESIMPULAN Dari hasil penelitian beberapa tahun di lapangan dapat disimpulkan bahwa produktivitas itik MA di Blitar cukup mantap asal sistem pengelolaan dan kondisi lingkungannya tidak banyak berubah seperti saat ini. 700

DAFTAR PUSTAKA JUARINI, E., SUMANTO, BROTO WIBOWO dan R. MATONDANG. 2002. Analisis Ekonomi Pembesaran Itik di DIY, Jatim dan Jabar. Lokakarya Nasional Unggas Air. Puslitbang Peternakan Bogor. hlm. 146 156. JUARINI, E., SUMANTO, BROTO WIBOWO, L. HARDI PRASETYO dan BRAHMANTIO. 2003. Uji Multilokasi Itik Niaga MA (2): Produktivitas Itik MA Petelur di Brebes, Cirebon dan Blitar. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 286 291. JUARINI, E., SUMANTO, BROTO WIBOWO dan L.H. PRASETYO. 2004a. Evaluasi Pengembangan Itik MA dan Pemasaran Telur di Sentra Produksi Kabupaten Blitar. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 836 844. JUARINI, E., SUMANTO, BROTO WIBOWO dan L.H. PRASETYO. 2004b. Evaluasi Pengembangan Itik MA di Sentra Produksi Kabupaten Blitar. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Bogor. KETAREN, P.P., L. HARDI PRASETYO dan T. MURTISARI. 1999. Karakter Produksi Telur pada Itik Silang Mojosari X Alabio. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 19 September 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 313 316. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000 Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal bertelur. JITV 5( ): 210 214. PRASETYO, L.H. dan B. BRAHMANTIYO dan B. WIBOWO. 2003. Produksi Telur Persilangan Itik Mojosari dan Alabio sebagai Bibit Niaga Unggulan Itik Petelur. Pros. Seminar Nasiona Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 30 September 2003. Putlitbang Peternakan Bogor. hlm. 360 364. SUMANTO, E. JUARINI, B. WIBOWO, L.H. PRASETYO dan M. PURBA 2000. Analisis Ekonomik Bibit Itik Niaga. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. SUMANTO, E. JUARINI, B. WIBOWO, L.H. PRASETYO dan MAIJON PURBA 2001. Uji Multi Lokasi Itik Niaga. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. 701