Indonesian Journal of Theology 90 RESENSI BUKU. Mengapa Nyantri bersama John Titaley?

dokumen-dokumen yang mirip
UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB V PENUTUP. Dalam bagian ini, akan di buat kesimpulan dari pembahasan bab 1 sampai. dengan bab 4 serta saran-saran. 5.1.

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme. Skripsi

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

CRITICAL THEORIES Bagian II

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Oleh, Yohanes Yuniatika NIM: SKRIPSI

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Gagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari Taurat, para Nabi, dan Tulisan-tulisan, atau yang diringkas sebagai Tanak Taurat,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

I. A. PERMASALAHAN I. A.

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I Pendahuluan UKDW

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

JUJUR PADA PLURALIS. Ch. Daniel Saduk Manu

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang: Sebuah Refleksi Awal

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

UKDW. BAB I Pendahuluan

Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan RESENSI BUKU

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman.

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB V PENUTUP. 1. Rekonstruksi teologi antroposentris Hassan Hanafi merupakan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

Bab 1. Pendahuluan UKDW

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

RESENSI BUKU Keselamatan Milik Allah Kami - bagi milik

RESPONS - DESEMBER 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks

BAB V KESIMPULAN. relasi antara ideologi dan gerakan sosial keagamaan. Dengan melihat penelitian yang

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,

KETERBATASAN HERMENEUTIK DALAM STUDI SASTRA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila

A. Pengertian Pancasila

UKDW BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. kegelapan muncul temuan lampu sebagai penerang. Di saat manusia kepanasan

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. PERMASALAHAN. a. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Restu Nur Karimah, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-ku. 1

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KONSEP KEADILAN SOSIAL DALAM AMOS 6:1-7, DALAM PERSPEKTIF TEORI KEADILAN

Wassalam. Page 5. Cpt 19/12/2012

BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

Studi Hubungan Pemikiran Teologis Paulus dan Markus tentang Penebusan Dosa TESIS

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

BAB I PENDAHULUAN. material sampai pada segi yang bersifat mental, sehingga tidak mudah untuk menemukan dan

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

Pengantar Penerbit. iii

SUKARNO DAN PANCASILA (KAJIAN ATAS RITUAL SIPIL SEBAGAI PRAKONDISI PANCASILA 1 JUNI 1945)

BAB 1 PENDAHULUAN. Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta : 2001), p. 28.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang kita dapatkan. Banyak orang berilmu membagi wawasan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN. dicapai siswa yaitu menemukan pokok-pokok berita (apa, siapa, mengapa,

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

Renungan Harian Kampus

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

METODE HERMENEUTIKA UNTUK AL-QUR AN

Misiologi David Bosch

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Dr. H. Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1979, hlm

BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

BAB V PENUTUP. merupakan jawaban dari rumusan masalah sebagai berikut: 1. Historisitas Pendidikan Kaum Santri dan kiprah KH. Abdurrahan Wahid (Gus

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Tetangga dekat dari rumah masa kecil. Memberitakan Kebenaran dengan Kasih. pengantar

UKDW BAB I. PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

Transkripsi:

Indonesian Journal of Theology 90 RESENSI BUKU Gaspersz, Steve dan Tedi Kholiludin (editors). Nyantri Bersama John Titaley: Menakar Teks, Menilai Sejarah dan Membangun Kemanusiaan bersama; Buku Penghormatan Ulang tahun ke-64 Profesor John Adrianus Titaley, Th.D. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014; xix+552. Mengapa Nyantri bersama John Titaley? Menurut editornya buku ini disusun bebas dalam hal tema (hlm. xiv). Maka tidak mengejutkan jika dalam esai-esai pada 19 bab buku ini, pembaca akan menemukan ragam sudut pandang mulai dari Filsafat, Biblika, Teologi (umumnya Teologi Kontekstual), Hukum, juga Sosiologi Agama (hubungan Agama dan Negara serta concern kebanyakan murid pada Religiositas Indonesia). Meskipun beragam, namun sebenarnya esai-esai tersebut merujuk pada dua tujuan: (1) hadiah bagi John Titaley, (2) menjawab kritik terhadap Titaley. Apabila melihat isi buku ini dari tujuan pertama, maka dapat dimengerti mengapa berbagai tulisan tersebut menyinggung sosok JT (panggilan para murid untuk Titaley) melalui benang-benang kebaikannya sebagai teolog dan guru. Bahkan di dalam berbagai esai tersebut terselip pengakuan muridnya tentang betapa sang guru termasuk pribadi yang tidak jauh dari kontroversi. Nampaknya penekanan utama buku ini justru pada tujuan yang kedua, yaitu demi menjawab kritik beberapa pembelajar teologi di Indonesia tentang publikasi buku yang sedikit dari Titaley dan kurang berkembangnya pikiran-pikiran Titaley. Kritik itu oleh para murid (santri) Titaley dianggap tidak terlalu tepat, namun juga tidak salah sehingga melatarbelakangi mereka berkerja keroyokan guna menghasilkan buku ini. Buku yang mereka sebut memperlihatkan dua dimensi penting yang melandasi gagasan Titaley: [1] agama sebagai realitas sosial (perspektif sosiologis) dan [2] agama sebagai realitas spiritual (perspektif teologis).

91 Resensi Buku: Nyantri bersama John Titaley Menjawab Kritik dan Sedikit Upaya Memperluas Ide Sang Guru Upaya menjawab kritik terhadap Titaley melalui buku ini sedikit banyak telah dilakukan dengan cukup baik, namun belum maksimal. Anggapan kurang berkembangnya pikiran-pikiran Titaley dapat saja dipahami jika membaca ulasan para santri yang sebagian besar menuliskan kembali ide-ide sang guru. Nampak tidak banyak perluasan terhadap ide-ide yang diajarkan sang guru semasa mereka belajar secara formal dari Titaley. Menceritakan kembali pendapat Titaley di kelas mendominasi penjelasan tentang buah-buah pikiran Titaley. Di samping itu, patut disayangkan bahwa terlalu banyak halaman dihabiskan hanya untuk menuliskan pengalaman pribadi dengan Titaley. Mestinya ruang tersebut dimanfaatkan untuk mengulas secara mendalam pikiran-pikiran sang guru. Selain lebih banyak menceritakan tentang apa yang Titaley ajarkan di kelas, kurangnya perluasan ajaran itu juga jelas terlihat dari hampir tidak ada kritik terhadap ide-ide Titaley. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya. Semoga sedikitnya kritik dalam buku ini bukanlah tanda dari apa yang disebut Sir Francis Bacon sebagai idola theatra. Bacon memperingatkan bahwa idola ialah cikal bakal dari ideologi. 1 Tentu tidak ada seorangpun yang berharap bahwa epistemologi Titaley dapat berubah menjadi semacam ideologi. Salah seorang santrinya menuliskan bahwa ada celah-celah dalam ajaran-ajaran sang guru (hal. 126-127). Namun, justru celahcelah tersebut tidak dikemukakan dalam buku ini. Kritik terhadap Titaley, apabila saya tidak keliru memahaminya baru muncul secara jelas dalam tulisan tentang kelemahan metodologi historis-kritis yang dilengkapi dengan sosial-sains (yang bersesuaian dengan positivisme dan objektivisme). Melalui tulisan itu muncul kesan bahwa Titaley sangat mengutamakan metode tersebut dan agak mengesampingkan metode yang lain, misalnya metode Poskolonial. Dalam hal ini saya memandang bahwa apabila metode historis-kritis dan sosial-sains (yang telah dikritik oleh para ahli Poskolonial) dibakukan sebagai satu-satunya metode yang digunakan untuk memaknai teks Alkitab, maka metode tafsir lain akan tersingkir.. Akibatnya, tentu para pembaca Alkitab hanya membutuhkan buku-buku metode historis-kritis sebagai alat tafsir. Memperlakukan teks Alkitab dengan anggapan tanpa subjektivitas sama sekali, seperti halnya ilmu eksakta yang memungkinkan paling 1 F. Budi Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Erlangga, 2014), 26.

Indonesian Journal of Theology 92 tidak hasil yang relatif sama (baku dalam rumus-rumus), maka hasil dari tafsir Alkitab saat ini dan pada masa yang akan datang, kapanpun dan di manapun seharusnya cukup sama (konsekuensi logis metodologi historis-kritis dalam kerangka berpikir positivistik dan objektif). Meskipun minim perluasan dan kritik terhadap ide-ide sang guru, namun saya mencatat ada sebagian kecil upaya untuk mengembangkan gagasan Titaley. Beberapa usaha para santri untuk memperluas pikiran-pikiran Titaley nampak dalam pemaparan tentang: Teologi Sipil di Indonesia (hal. 98-122), beberapa paragraf di bawah sub judul Pancasila sebagai milestone Bangsa Indonesia: Catatan Tambahan (hal. 137-145), dialog pemikiran Titaley dengan persoalan perempuan di Indonesia yang menawarkan lima ide (hal. 154-178), Kekristenan yang Mengindonesia (Bab 10), Ritual dan Integrasi Sosial (hal. 237-245 ), Tafsir terhadap 1 Samuel 8:1-22 (Bab 14), lalu juga pada ulasan tentang Habermas, Titaley dan Diskursus Founding Fathers (Bab 16). Esai-esai tersebut memberikan sedikit warna dari begitu seragamnya pembahasan ide-ide Titaley. Bagian yang tidak kalah menarik adalah percakapan yang melatarbelakangi penulisan buku ini. Terdapat komentar 2 yang menyebutkan bahwa Titaley sebenarnya telah menciptakan suatu mazhab berpikir (school of thought) yang disebut Titaleyan. Sebagai sebuah mazhab tentu karakteristik Titaleyan menjadi penting untuk dibahas. Misalnya, bagaimana epistemologi Titaley terbentuk? Mengapa pikiran-pikiran sang guru menjadi medan magnet bagi para Titaleyan. Satu bab khusus mencoba membahas model berteologi Titaley. Pada bab itu disampaikan ulasan tentang Titaley yang seolah berangkat dalam terang pemikir-pemikir seperti Marx, Hegel, Lukacs, Gramsci, dan lain-lain. Hanya saja penentuan karakteristik Titaley akan lebih baik jika tidak dilakukan dalam upaya menafsirkannya, melainkan bicara Titaley (epistemologinya) secara an sich. Menurut saya upaya ini terkesan sedikit dipaksakan karena penulis esai ini mengatakan bahwa Titaley berada dalam terang mazhab Kritis Frankfurt, tetapi tidak memberikan rujukan tekstual. 3 Justru dalam karyanya Religiositas di Alinea Tiga, juga dalam buku tulisan para santri ini, nampak bahwa pemikiran Titaley dipengaruhi oleh Durkheim, Rousseau, Hicks, Gottwald dan Bellah. Ide-ide para pemikir besar ini yang mengantar Titaley membangun gagasan transformasi kehidupan beragama di Indonesia. 2 Lihat Tautan Diskusi Pemikiran John Titaley. 3 Kelemahan para santri pada umumnya adalah sangat sedikit menggunakan rujukan tekstual untuk menyatakan pikiran-pikiran Titaley.

93 Resensi Buku: Nyantri bersama John Titaley Keberagamaan yang Inklusif-transformatif Kekuatan ajaran Titaley seperti yang dikemukakan oleh para santrinya terletak pada keprihatinan terhadap cengkram eksklusivisme masing-masing agama dan jalan keluar yang ditawarkan terhadap permasalahan keberagamaan di Indonesia. Agama-agama di Indonesia terutama agama-agama besar, menurut Titaleyan, masih mengakar dalam tradisi dan bentuk asal agama-agama itu. Misalnya, Kristen-Barat, Islam-Arab, dan lain-lain. Akibatnya para penganut agama-agama di Indonesia tidak mencerminkan alam berpikir orang Indonesia yang beragama. Padahal penganut agama-agama itu bukan orang Belanda, orang Arab, orang India, dan sebagainya Sebaliknya, mereka ialah orang Indonesia yang hidup dalam keprihatinan sosial dan teologis di Indonesia. Para santri mengungkapkan bahwa eksklusivisme yang didasari oleh klaim kemutlakan masing-masing agama, membuat satu sama lain merasa diri paling benar. Padahal klaim kemutlakan itu lahir persis dari suatu konteks tertentu yang bertujuan untuk menjawab kebutuhan tertentu. Kondisi sosial, ekonomi, politik, dan paham tentang kemanusiaan secara tegas dikatakan oleh para santri menjadi faktor-faktor yang membentuk konteks lahirnya ajaran masingmasing agama termasuk juga teks (kitab suci). Eksklusivisme agama tersebut menimbulkan berbagai masalah dalam perjumpaan antara agama-agama. Sebab dalam kenyataan masyarakat yang begitu majemuk, masing-masing klaim kemutlakan itu menuntut dirinya menjadi yang utama. Keutamaan itu berakibat pada timbulnya rasa superior-inferior, satu lebih tinggi dan lebih selamat daripada yang lain. Atau dengan kata lain, cara beragama demikian membuat orang di Indonesia tidak egaliter. Padahal melalui fakta historis, Indonesia sebagai suatu realitas imajiner yang kelahirannya disepakati dalam pembahasan panjang para founding fathers melalui sidang BPUPKI ialah suatu bangsa yang egaliter. 4 Dengan memberi ruang secara khusus pada keberatan yang diajukan oleh I Kutut Pudja tentang penggunaan kata Allah, Titaley menilai bahwa kesepakatan yang dicapai dengan menggunakan kata Tuhan, yang adalah kata asli Indonesia, sebagai ganti kata Allah membuat setiap orang beragama di Indonesia menjadi setara. Sebab, jika Allah yang digunakan maka tentu Islam dan Kristen akan merasa 4 Nampak dalam Bab ke-16 Titaley, Habermas, dan Diskursus Founding Fathers. Sayangnya, garis utama pembahasanya justru lebih banyak mengacu kepada Yudi Latif dan bukan Titaley

Indonesian Journal of Theology 94 lebih diutamakan sedangkan agama lain yang tidak menyapa Yang Transenden itu dengan sebutan Allah menjadi terpinggirkan. Bagi Titaley fakta sejarah itu telah diingkari. Tanpa disadari hal ini berdampak sangat serius dalam kehidupan beragama di Indonesia. Kegelisahan tersebut membuat para Titaleyan sepakat bahwa cara beragama di Indonesia diharapkan menjadi inklusiftransformatif, tatanan beragama yang tidak diskriminatif dan menghantar orang Indonesia pada suatu cara beragama yang baru. Lalu bagaimana tatanan itu dimungkinkan? Ia dimungkinkan karena selain mendapat dasar historis seperti dikemukakan sebelumnya, ia juga mendapat dasar lain yaitu melalui tindakan merelatifkan klaim kemutlakan agama-agama. Misalnya dengan merelatifkan klaim kemutlakan terhadap penamaan konsep Yang Transenden dari agama-agama tersebut maka niscaya kedudukan agama-agama yang setara di Indonesia akan tercapai. Mengapa klaim kemutlakan agama-agama dapat direlatifkan? Para santri menyebutkan bahwa teks dan tradisi keagamaan yang membentuk klaim-klaim kemutlakan itu lahir dari konteks tertentu. Konteks itu dalam alam berpikir Titaleyan dapat saja didekonstruksi untuk kemudian direkonstruksi. Konsekuensi dari kemungkinan dan keterbukaan terhadap pembongkaran macam-macam hal yang mutlak itu membuat sesungguhnya klaim kemutlakan bahkan tidak pernah ada. Klaim kemutlakan tidak diperlakukan sebagai sebuah ideologi lagi akan tetapi semata-mata dipandang sebagai suatu kenyataan sosial. Dengan demikian pemahaman teologisnya sekalipun menjadi sangat tergantung pada konstruksi sosialnya. Dalam hal ini sedikit kerumitan muncul. Apabila keberagamaan di Indonesia diminta hidup dalam realitas nasionalnya sekaligus realitas primordialnya, maka bagaimana dijelaskan kehidupan keberagamaan yang harus melepaskan benar klaim-klaim kemutlakannya itu (primordialisme) dalam realitas nasional Indonesia? Misalnya apakah sebutan Tuhan, sebagai realitas tertinggi yang mengatasi nama-nama Yang Transenden yang lain, dapat merelatifkan klaim kemutlakan agama sehingga tranformasi keberagamaan dapat dicapai? Apalagi kacamata yang dipakai untuk melalukan dekonstruksi itu semata-mata dalam terang sosiologiagama. Apakah memang masalah realitas keberagamaan di Indonesia hanya semata-mata dapat dipandang dalam kacamata sosiologinya saja? Apakah dengan begitu justru tidak sedang melakukan penyerderhanaan kenyataan keberagamaan yang multikompleks? Kemudian, terlintas dalam benak saya, apabila klaim kemutlakan itu tidak diperlukan, lalu bagaimana seseorang beragama? Bagaimana secara teologis hal itu dijelaskan meski secara sosiologis

95 Resensi Buku: Nyantri bersama John Titaley dimungkinkan? Juga, apakah memang ketika bersepakat demi mendirikan Indonesia para founding fathers secara sadar telah merelatifkan agamanya masing-masing? Kerumitan di atas juga berkaitan terutama dengan konsep Inklusif-transformatif yang ditawarkan oleh Titaleyan. Salah seorang santri menyebutkan bahwa Titaley menolak tripolar teologi agamaagama (eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme) karena baik ketiganya sudah selalu jatuh pada eksklusivisme sehingga sebagai gantinya ia mengajukan suatu cara beragama yang Inklusiftransformatif. Konsep Inklusif-transformatif itu seharusnya diulas dengan lebih jelas. Sebab, pembaca tentu perlu mendapatkan pemahaman tentang letak perbedaan tegas antara inklusif dalam paham Tripolar itu dengan paham Inklusif-transformatif yang digagas Titaleyan. Apakah dalam gagasan itu kemudian menempatkan Titaley selaras dengan Knitter, Kung, Hicks, Sherbok, Dalai Lama atau para pluralis lainya? Jika memang tidak, perlu didudukan letak perbedaanya secara tajam. Pemaparan tentang perbedaan Titaley dari Rousseau dan Bellah baru menegaskan tentang konsep-konsep yang Titaley ambil dari mereka sebagai landasan berpikirnya. Menurut saya hal itu belum cukup dalam menegaskan Inklusif-transformatis Titaleyan. Sebagai pembanding, apa yang dikatakan Titaley bahwa tripolar teologi agama-agama itu sudah selalu jatuh eksklusif memang bersesuaian dengan apa yang juga dikatakan D Costa. D Costa memberikan penjelasan yang sangat baik tentang bagaimana sebenanarnya terdapat inkonsistensi dalam pluralisme kebenaran. Apabila konsisten maka seluruh paham apapun itu harus diterima oleh para pluralis. Termasuk di dalamnya menerima juga pikiranpikiran (yang tentu ideologis) dari para fundamentalis. D Costa menyebut bahwa pluralisme kebenaran niscaya runtuh sendiri ke dalam eksklusivisme yang dikritiknya. 5 Pluralisme kebenaran ialah anak dogmatisme program pencerahan sejak abad ke-18 di Barat yang menolak kemungkinan wahyu dan campur tangan Allah dalam dunia. Lalu bagaimana pluralisme kebenaran dapat diterima jika campur tangan Allah bukan termasuk kebenaran? Uji konsistensi logika internal dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: apabila kebenaran benar-benar relatif, lalu jika saya percaya bahwa hanya Yesus satu-satunya juruselamat, apakah itu tidak termasuk kebenaran? Dalam konteks buku ini perlu untuk ditegaskan apakah Titaley dalam menolak tripolar itu berada pada posisi yang mirip D Costa, atau justru sebaliknya. 5 Gavin D Costa, The Meeting of Religions and The Trinity (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2000) 22, 39. Bnd. Franz Magnis Suseno, tinjauan buku The Meeting of Religions and the Trinity, dalam Diskursus Vol. 9, No. 2 (Oktober 2010): 270.

Indonesian Journal of Theology 96 Pada akhirnya saya mencatat bahwa buku ini rupanya lebih banyak mengarahkan ulasanya kepada esai-esai reflektif. Meski begitu ia cukup memadai untuk memberikan gambaran umum guna memahami agama dalam dimensi sosial. Buku ini adalah sebuah kumpulan esai dalam terang sosiologi agama sebagai salah satu pendekatan dari banyak pendekatan yang dapat dipakai untuk memahami agama secara khusus dalam konteks di Indonesia. Albert Josua Putra Maliogha Mahasiswa S1 pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga