VII. ANALISIS KEBIJAKAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. METODOLOGI PENELITIAN

PERANAN KREDIT DALAM MENDORONG KINERJA USAHA KECIL

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Strategi Pengembangan UMKM dengan Mengatasi Permasalahan UMKM Dalam Mendapatkan Kredit Usaha

VII. DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

I. PENDAHULUAN. Jumlah (Unit) Perkembangan Skala Usaha. Tahun 2009*) 5 Usaha Besar (UB) ,43

I. PENDAHULUAN. tahun keuangan mikro (international microfinance year 2005), dimana lembaga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN. Bab ini akan membahas penerapan model ekonometrika melalui analisis

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

PENDAHULUAN. peternak, khususnya bagi yang berminat meningkatkan skala usahanya. Salah satu

Executive Summary Model Makro APBN: Dampak Kebijakan APBN terhadap Beberapa Indikator utama Pembangunan

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

PERANAN KREDIT MIKRO DAN KECIL TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DAN EKONOMI WILAYAH DI PROVINSI JAWA TENGAH BAYU NUSWANTARA

BAB I PENDAHULUAN. satunya ialah kredit melalui perbankan. penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha. Bank

VII. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebenarnya masalah dan kendala yang dihadapi masih bersifat klasik yang selama

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tabel 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

PENGARUH SUKU BUNGA TERHADAP PENYALURAN BERBAGAI JENIS KREDIT UMKM DI KOTA MADIUN (PERIODE TAHUN 2004 SD 2011) TESIS

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaku bisnis di Indonesia sebagian besar adalah pelaku usaha mikro, kecil

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

I. PENDAHULUAN. negaranya, yaitu sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan progres

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

I. PENDAHULUAN. Kebijakan moneter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap suatu perekonomian,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

V. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Berdasarkan hasil estimasi dapat diketahui bahwa secara parsial variabel

Kebijakan Moneter & Bank Sentral

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Selain itu sektor industri juga merupakan salah satu sektor ekonomi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional (Wikipedia, 2014). Pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

I. PENDAHULUAN. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan lembaga keuangan yang

TUJUAN KEBIJAKAN MONETER

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (KSP), UMKM mampu menyerap 99,9 persen tenaga kerja di Indonesia.

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN PUAP DAN RASKIN TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

Keseimbangan di Pasar Uang

Bab V Validasi Model

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Skala Usaha, Jumlah, dan Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia Tahun 2006 s.d. 2007

BAB I PENDAHULUAN. individu berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Bank-bank yang ada

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mengambil langkah meningkatkan BI-rate dengan tujuan menarik minat

I. PENDAHULUAN. Modal tanah, tenaga kerja dan manajemen adalah faktor-faktor produksi,

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut. Sehubungan dengan arah pembangunan nasional, maka pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

IV. METODOLOGI PENELITIAN

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dan kekurangan dana (Mishkin, 2009). Bank memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara yang kuat sering di artikan sebagai negara dengan kondisi ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi yang berubah cepat dan kompetitif dengan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan konsumsi telah melekat di sepanjang kehidupan sehari-hari manusia.

I. PENDAHULUAN. Mencermati data laporan Bank Indonesia dari berbagai seri dapat

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi dapat di artikan sebagai suatu proses meningkatnya harga-harga

Bab I. Pendahuluan Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian dan pembahasan mengenai pengaruh selisih M2, selisih GDP,

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Kebijakan moneter Bank Indonesia dilaksanakan dalam rangka mencapai

ekonomi K-13 KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN FISKAL K e l a s A. PENGERTIAN KEBIJAKAN MONETER Tujuan Pembelajaran

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Moneter

Pasar Uang Dan Kurva LM

VIII. SIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi dan simulasi kebijakan

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah menyadari peranan usaha kecil terhadap pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

Kartika Sari, SKom., MM Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk salah satu negara yang sedang berkembang yang dalam

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

VII. ANALISIS KEBIJAKAN 179 Secara teoritis tujuan dari suatu simulasi kebijakan adalah untuk menganalisis dampak dari berbagai alternatif kebijakan dengan jalan mengubah dari salah satu atau beberapa nilai variabel atau instrumen kebijakan (policy instrument). Untuk mengetahui apakah model yang dibangun cukup baik untuk digunakan dalam simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Tujuan dilakukannya validasi model adalah untuk mengetahui sejauhmana nilai estimasi tersebut sesuai dengan nilai aktual dari masing-masing variabel endogen. Ada beberapa kriteria statistik yang dapat digunakan untuk menilai kesahihan (validity) dari model tersebut, diantaranya adalah root mean square error (RMSE), root mean square percent error (RMSPE), dan Theil s Inequality Coefficient (TIC) atau nilai U. Namun karena dalam penelitian ini hanya terbatas melakukan simulasi kebijakan, dan tidak melakukan peramalan (forecasting), maka tidak semua kriteria statistik yang dikemukakan tersebut relevan untuk digunakan. Dalam penelitian ini, kriteria statistik yang lebih tepat atau relevan untuk digunakan adalah nilai bias (UM), dimana apabila nilai UM semakin mendekati nol, maka model yang digunakan tersebut cukup baik untuk simulasi kebijakan. Berdasarkan hasil validasi model yang dilakukan, diketahui bahwa sebagian besar nilai UM adalah mendekati nol, yang berarti model yang digunakan ini cukup baik untuk malakukan simulasi kebijakan. Selanjutnya simulasi kebijakan yang akan dilakukan meliputi analisis dampak kebijakan terhadap model ekonomi usaha kecil.

180 7.1. Model Ekonomi Usaha Kecil Model ekonomi usaha kecil ini pada dasarnya digunakan untuk menggambarkan perilaku ekonomi usaha kecil yang menerima kredit atau pinjaman dari bank, koperasi, dan lembaga lainnya. Sebagai pelaku usaha, maka kredit atau pinjaman yang diperoleh akan memberikan kontribusi pada modal usaha, terutama menambah kemampuan modal kerja sehingga akan meningkatkan produksi dan penerimaan usaha, yang akhirnya akan menaikkan pendapatan usaha. Pendapatan usaha ini merupakan pendapatan bersih usaha yaitu penerimaan usaha dikurangi total biaya produksi. Peningkatan pendapatan bersih usaha ini, diharapkan akan mampu meningkatkan tabungan, konsumsi, serta pengeluaran pendidikan dan sosial. Untuk memperoleh gambaran tersebut, maka dilakukan validasi terhadap model ekonomi usaha kecil ini. Suatu model akan dikatakan cukup valid apabila memiliki nilai U Theil yang kecil. Dari hasil perhitungan validasi model maka dapat dilihat nilai U Theil. Tabel 30. Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Simulasi Kebijakan Dasar No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai U 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 0.4857 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 0.4202 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 0.4540 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 0.3616 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 0.3239 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 0.4516 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 0.3649 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 0.3641 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 0.2906 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 0.2120 11 Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) 6 204 833 0.3107 Dari tabel diatas terlihat bahwa sebelas persamaan pada model ekonomi usaha kecil, semuanya memiliki nilai U Theil dibawah 0.5. Adapun secara lebih rinci lima persamaan endogen yaitu persamaan Pengambilan Kredit (PKM),

181 Modal Usaha (MOUS), pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Baku (PBM), dan Total Biaya Produksi (TBP) memiliki nilai U Theil antara 0.40 sampai 0.50. Sedangkan enam persamaan endogen lainnya yaitu pengeluaran untuk Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Bakar (PBB), Penerimaan Usaha (PENU), Pendapatan Usaha (PEND), Tabungan (TABS), Konsumsi (PKON), dan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) memiliki nilai U Theil dibawah 0.40. Sehingga model ekonomi usaha kecil ini cukup valid. 7.1.1. Dampak Perubahan Suku Bunga Kredit Pada bagian ini akan dilakukan analisis terhadap dampak perubahan Suku Bunga Kredit (SBK), yaitu kredit yang diambil oleh pelaku usaha kecil. Penurunan suku bunga kredit ini dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui mekanisme subsidi bunga atau penjaminan kredit, sehingga risiko pinjaman akan menurun dan suku bunga kredit menjadi lebih rendah, seperti misalnya pada program Kredit Untuk Rakyat (KUR). Mekanisme ini sangat bermanfaat bagi usaha kecil yang pada umumnya sangat feasible tapi masih belum bankable. Simulasi 1 adalah simulasi dampak penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen. Dengan tingkat bunga kredit rata-rata saat ini yang dinikmati oleh usaha kecil sebesar 19.05 persen per tahun, maka penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen diharapkan akan membuat suku bunga kredit turun menjadi 15.24 persen per tahun atau 1.27 persen per bulan. Tabel 31. menampilkan hasil simulasi dampak penurunan suku bunga. Penurunan SBK sebesar 20 persen akan berdampak positif terhadap seluruh variabel endogen. Kenaikan paling besar di

182 dapat variabel PKM dan MOUS, masing-masing sebesar 25.45 persen dan 12.99 persen. Perubahan pada variabel Pengambilan Kredit (PKM) ini cukup elastis, karena itu penurunan suku bunga kredit memberikan dampak positif yang besar terhadap PKM dan MOUS. Penurunan SBK ini juga akan mendorong peningkatan PBM sebesar 4.25 persen yang artinya kegiatan produksi meningkat, serta adanya kenaikan TBP, kenaikan PENU dan kenaikan PEND, masing-masing sebesar 4.35 persen, 4.15 persen dan 3.63 persen. Tabel 31. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Penurunan Suku Bunga Kredit (SBK) No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 1 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 20 425 242 25.45 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 36 030 798 12.99 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 243 840 000 4.25 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 29 073 481 5.66 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 17 909 597 3.67 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 290 820 000 4.35 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 398 630 000 4.15 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 107 810 000 3.63 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 895 000 0.48 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 429 038 0.32 11 Pengeluaran Pend. dan Sos.(PPKS) 6 204 833 6 271 785 1.08 Keterangan Simulasi 1: Suku Bunga Kredit Turun sebesar 20 persen Sedangkan variabel endogen lainnya, meliputi variabel untuk Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON),dan Tabungan (TABS) juga akan meningkat dengan adanya penurunan suku bunga kredit, walaupun kenaikan relatif kecil. Hasil simulasi ini menunjukkan kegiatan usaha kecil, sebenarnya masih sangat membutuhkan dukungan kredit bagi kelangsungan kegiatan usahanya. Karena itu kemudahan akses usaha kecil terhadap sumber kredit sangatlah diperlukan, seperti memperluas skim kredit dengan agunan ringan, dan membantu peningkatan formalitas usaha dan aset yang dimiliki oleh usaha kecil.

7.1.2. Dampak Kenaikan Pengambilan Kredit 183 Simulasi.2 digunakan untuk melihat dampak kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen. Kenaikan pengambilan kredit ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui dua cara; pertama, secara langsung dengan kebijakan pemberian dan perluasan skim-skim kredit baru dengan plafon kredit yang lebih besar, terutama di bank-bank pemerintah; kedua, secara tidak langsung melalui himbauan (suasion) dan insentif terhadap bank-bank non pemerintah dan lembaga non bank, yang memberikan kredit kepada usaha kecil dengan plafon kredit yang lebih besar. Kenaikan pengambilan kredit ini akan meningkatkan jumlah kredit yang diambil usaha kecil dari sekitar Rp 16 280 000 menjadi Rp 32 560 000. Perubahan ini akan mendorong peningkatan pada variabel-variabel endogen lainnya meliputi: Modal Usaha (MOUS) 51.07 persen, Total Biaya Produksi (TBP) 17.10 persen, Penerimaan Usaha (PENU) 16.33 persen, dan Pendapatan Usaha (PEND) 14.28 persen, serta Penggunaan Bahan Baku (PBM) 16.68 persen, Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 22.23 persen, dan Penggunan Bahan Baku (PBB) sebesar 14.43 persen. Dari sisi pendapatan usaha peningkatan jumlah kredit yang diambil usaha kecil dari sekitar Rp 16 280 000 menjadi sekitar Rp 32 560 000 akan meningkatkan pendapatan usaha dari sekitar Rp 104 030 000 menjadi sekitar Rp 118 890 000. Apabila kredit yang diambil oleh usaha kecil ini terus berkelanjutan, maka kenaikan pendapatan usaha akibat peningkatan pengambilan kredit ini diharapkan akan dapat menambah modal usaha secara internal, sehingga akan mampu memperbesar kegiatan usaha.

184 Tabel 32. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Pengambilan Kredit No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 2 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 32 564 098 100.00 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 48 172 222 51.07 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 272 940 000 16.69 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 33 633 436 22.23 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 19 768 741 14.43 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 326 350 000 17.10 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 445 230 000 16.33 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 118 890 000 14.28 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 963 150 1.88 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 637 610 1.25 11 Pengeluaran Pend. dan Sos.(PPKS) 6 204 833 6 467 985 4.24 Keterangan Simulasi 2: Pengambilan Kredit Naik sebesar 100 persen 7.1.3. Dampak Perubahan Sumber Kredit Dummy Sumber Kredit (DSK) juga mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan jumlah pengambilan kredit, karena usaha kecil yang memperoleh sumber kredit dari bank memiliki tingkat pengambilan kredit (pinjaman) yang lebih tinggi dibandingkan dengan usaha kecil yang memperoleh sumber pinjaman dari lembaga non bank. Dummy Sumber Kredit (DSK) yaitu: 0 adalah sumber pinjaman (kredit) dari non bank, dan 1 adalah sumber kredit dari bank. Perubahan sumber kredit terutama dari non bank ke sumber kredit dari bank, dapat didorong dan difasilitasi oleh pemerintah melalui kegiatan pendampingan secara indivudu atau kelompok terutama kepada usaha kecil yang telah feasible tetapi belum bankable, sehingga mampu memiliki akses yang baik terhadap perbankan. Hasil simulasi 3 yaitu perubahan sumber kredit dari non bank ke sumber kredit dari bank, memberikan dampak yang positif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: Pengambilan Kredit (PKM), Modal Usaha (MOUS), Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Tenaga Kerja (PTK), Penggunaan Bahan Bakar

185 (PBB), Total Biaya Produksi (TBP), Penerimaan Usaha (PENU), Pendapatan Usaha (PEND), Tabungan (TABS), Konsumsi (PKON), dan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial PPKS). Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: PKM meningkat 63.41 persen, MOUS meningkat 32.38 persen, PENU meningkat 10.36 persen dan PEND meningkat 9.06 persen. Tabel 33. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Non Bank Menjadi Kredit dari Bank No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 3 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 26 606 646 63.41 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 42 212 201 32.38 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 258 660 000 10.58 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 31 395 031 14.09 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 18 856 119 9.15 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 308 910 000 10.84 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 422 360 000 10.36 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 113 450 000 9.06 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 929 696 1.19 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 535 225 0.79 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 371 674 2.69 Keterangan Simulasi 3: Perubahan Sumber Kredit Menjadi Kredit dari Non Bank ke Bank (DSK = 1) Sedangkan simulasi 4 adalah perubahan sumber kredit dari sumber kredit bank menjadi sumber kredit dari non bank juga akan mempengaruhi jumlah permintaan kredit, karena usaha kecil yang memperoleh sumber kredit dari non bank memiliki tingkat permintaan kredit (pinjaman) yang lebih kecil dibandingkan dengan usaha kecil yang memperoleh sumber pinjaman dari lembaga bank. Hasil simulasi ini yaitu perubahan sumber kredit dari lembaga bank ke non bank memberikan dampak yang negatif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: PKM, MOUS, PBM, PTK, PBB, TBP, PENU, PEND, TABS, PKON, dan PPKS. Dampak terbesar terjadi pada dua variabel endogen yaitu: Pengambilan Kredit (PKM) berkurang 40.35 persen dan Modal Usaha (MOUS)

186 berkurang 20.60 persen, sedangkan Penerimaan Usaha (PENU) dan Pendapatan Usaha (PEND) masing-masing berkurang 6.59 persen dan 5.76 persen. Tabel 34. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi sumber Kredit dari Non Bank No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 4 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 9 711 852-40.35 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 25 317 407-20.60 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 218 160 000-6.73 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 25 049 853-8.97 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 16 269 120-5.82 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 259 480 000-6.90 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 357 510 000-6.59 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 98 035 992-5.76 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 834 865-0.76 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 244 997-0.51 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 098 661-1.71 Keterangan Simulasi 4: Perubahan Sumber Kredit dari Bank Menjadi Sumber Kredit dari Non Bank (DSK = 0) 7.1.4. Dampak Kenaikan Harga Jual Produk Harga Jual Produk (PO) juga turut menentukan besarnya penerimaan usaha kecil, simulasi 5 adalah simulasi yang digunakan untuk melihat dampak kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen terhadap variabel-variabel endogen lainnya. Kenaikan harga jual produk ini dapat terjadi apabila pemerintah melakukan perbaikan infrastruktur jalan, jembatan dan prasarana transportasi lainnya, terutama di daerah-daerah perdesaan dimana terdapat banyak sentrasentra usaha kecil. Peningkatan infrastruktur ini akan memberikan peluang lebih baik bagi produk-produk usaha kecil makanan olahan untuk dipasarkan ke wilayah lain, sehingga diperoleh harga jual yang lebih tinggi. Perbaikan dalam hal prasarana dan sarana ini secara tidak langsung akan menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha kecil.

187 Perubahan akibat adanya kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen ini akan mendorong peningkatan paling besar pada variabel Pendapatan Usaha (PEND) dan Penerimaan Usaha (PENU), masing-masing sebesar 2.65 persen, dan 0.74 persen, sedangkan variabel endogen lainnya lebih rendah dari nilai tersebut. Dampak yang terjadi oleh kenaikan harga jual produk ini tidaklah besar, yang diduga karena elastisitas jangka pendek dari variabel eksogen Harga Jual Produk (PO) sangat kecil sekitar 0.069, dengan demikian kebijakan tunggal pada variabel ini tidaklah mempunyai dampak yang cukup berarti, sehingga perlu dilakukan simulasi kebijakan secara simultan dengan kombinasi perubahan variabel endogen maupun variabel eksogen lainnya. Salah satu variabel endogen yang layak digunakan untuk kombinasi simulasi adalah variabel Pengambilan Kredit (PKM). Tabel 35. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kenaikan Harga Jual Produk No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 5 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 16 326 766 0.28 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 31 932 321 0.14 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 234 010 000 0.04 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 27 534 217 0.06 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 17 282 022 0.04 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 278 830 000 0.05 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 385 570 000 0.74 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 106 740 000 2.61 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 888 410 0.34 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 408 871 0.23 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 252 815 0.77 Keterangan Simulasi 5: Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen 7.1.5. Dampak Perubahan Daerah Pemasaran Produk Perubahan daerah pemasaran produk dapat dilakukan oleh pemerintah dengan memperbaiki kelembagaan pemasaran produk dan sarana transportasi, antara lain dengan memberikan kesempatan kepada usaha kecil untuk mengikuti

188 kegiatan pameran dagang, pelatihan maupun lokakarya (workshop) baik di tingkat regional ataupun nasional, serta memberikan subsidi terhadap transportasi umum bagi produk-produk usaha kecil. Kesempatan untuk mengikuti pameran dagang ini bagi usaha kecil akan mendorong kemampuan daya saing produk, sehingga mampu menembus pasar regional, nasional, atau bahkan pasar ekspor. Kegiatan semacam ini secara tidak langsung juga dapat mensinergikan usaha kecil dengan pelaku usaha menengah mupun besar. Simulasi perubahan daerah pemasaran produk ini dilakukan dengan menggunakan variabel Dummy Pemasaran Produk (DPP). Dummy pemasaran produk juga mempunyai arti yang penting dalam meningkatkan jumlah pengambilan kredit, karena usaha kecil yang mempunyai wilayah atau daerah pemasaran produk yang lebih luas diharapkan akan mampu meningkatkan jumlah (kuantitas) penjualan yang lebih besar karena mempunyai pasar yang lebih luas. Dummy Pemasaran Produk (DPP) yaitu: 0 adalah daerah pemasaran produk di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan 1 adalah daerah pemasaran produk hingga wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, serta Jakarta dan sekitarnya. Hasil simulasi 6 yaitu perubahan daerah pemasaran produk dari hanya wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran produk hingga mencakup juga wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, diharapkan mempunyai dampak positif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: Pendapatan

189 Usaha (PEND) oleh usaha kecil meningkat 16.14 persen, Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS) meningkat 4.80 persen, dan Penerimaan Usaha (PENU) meningkat 4.60 persen. Dari simulasi ini terlihat bahwa perluasan daerah pemasaran akan mampu mendorong peningkatan omset penjualan, sehingga penerimaan usaha dan pendapatan usaha meningkat. Tabel 36. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perluasan Daerah Pemasaran Produk dari Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah Menjadi Wilayah Pemasaran Mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya. No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 6 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 16 559 312 1.70 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 32 164 867 0.87 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 234 570 000 0.28 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 27 621 554 0.38 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 17 317 631 0.25 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 279 510 000 0.29 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 400 340 000 4.60 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 120 820 000 16.14 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 975 085 2.12 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 674 137 1.42 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 502 346 4.80 Keterangan Simulasi 6: Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, serta Jakarta dan Sekitarnya (DPP = 1) Sedangkan simulasi 7 perubahan daerah pemasaran produk dari wilayah pemasaran yang mencakup hingga Jawa Timur, Jawan Barat, Jakarta dan sekitarnya menjadi hanya wilayah pemasaran produk di Yogyakarta dan Jawa Tengah, juga akan mempengaruhi variabel-variabel endogen lainnya. Hasil simulasi ini memberikan dampak yang negatif terhadap seluruh variabel endogen yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, tabungan, konsumsi, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. Dampak terbesar terjadi pada tiga variabel endogen yaitu: pendapatan

190 usaha (PEND) oleh usaha kecil berkurang 18.45 persen, pengeluaran pendidikan (PPKS) berkurang 5.48 persen, dan penerimaan usaha (PENU) berkurang 5.26 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa pada saat sekarang ini, daerah pemasaran produk masih cukup besar terkonsentrasi di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hal ini terlihat pada tabel 37 berikut. Tabel 37. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Perubahan Daerah Pemasaran Produk dari Mencakup Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya, Menjadi Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 7 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 15 965 179-1.95 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 31 570 734-0.99 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 233 150 000-0.33 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 27 398 415-0.43 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 17 226 655-0.28 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 277 770 000-0.33 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 362 610 000-5.26 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 84 834 970-18.45 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 753 639-2.42 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 21 996 409-1.62 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 5 864 818-5.48 Keterangan Simulasi 7: Perubahan Daerah Pemasaran Produk Menjadi Hanya di Wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah (DPP = 0) 7.1.6. Dampak Kombinasi Simulasi Kebijakan Simulasi 8 adalah kombinasi simulasi 2 dan simulasi 5, yaitu untuk melihat dampak kenaikan Pengambilan Kredit (PKM) sebesar 100 persen dan kenaikan Harga Jual Produk (PO) sebesar 10 persen secara simultan. Dampak dari simulasi ini adalah adanya kenaikkan variabel-variabel endogen lainnya, dengan dampak paling besar pada kenaikan Modal Usaha (MOUS) sebesar 51.07 persen, sedangkan Total Biaya Produksi (TBP) meningkat 17.10 persen, Penerimaan Usaha (PENU) meningkat 17.03 persen, dan Pendapatan Usaha (PEND) meningkat 16.84 persen, seperti terlihat pada tabel 38.

191 Adanya kombinasi simulasi dengan melakukan perubahan secara simultan pada dua variabel, yaitu kenaikan pengambilan kredit dan kenaikan harga jual produk, akan terlihat dampaknya pada kenaikan yang lebih tinggi di beberapa variabel endogen, terutama variabel penerimaan usaha, pendapatan usaha, dan total biaya produksi. Tabel 38. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 5 No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 8 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 32 564 098 100.00 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 48 172 222 51.07 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 272 940 000 16.69 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 33 633 436 22.23 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 19 768 741 14.43 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 326 350 000 17.10 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 447 900 000 17.03 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 121 550 000 16.84 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 4 979 566 2.21 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 687 849 1.48 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 515 245 5.00 Keterangan Simulasi 8: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen dan Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen Sedangkan skenario 9 meliputi simulasi terhadap dampak kebijakan kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen dan perluasan wilayah pemasaran dari hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Dampak dari simulasi ini adalah kenaikan variabel-variabel endogen lainnya secara lebih signifikan, terjadi peningkatan modal usaha sebesar 51.07 persen, total biaya produksi meningkat 17.10 persen, sedangkan penerimaan usaha meningkat 20.65 persen, dan pendapatan usaha usaha meningkat sebesar 30.18 persen. Simulasi ini menggabungkan perubahan pada variabel pengambilan kredit dan dummy pemasaran produk.

192 Dari hasil simulasi terdapat kenaikan variabel-variabel endogen lainnya, yang lebih tinggi dibandingkan dengan simulasi sebelumnya. Hal ini karena pada simulasi.6 sebelumnya, yaitu perluasan daerah pemasaran produk hingga mencakup wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya, juga terjadi kenaikan yang besar pada variabel pendapatan usaha dan penerimaan usaha. Tabel 39. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2 dan Simulasi 6 No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 9 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 32 564 098 100.00 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 48 172 222 51.07 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 272 940 000 16.69 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 33 633 436 22.23 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 19 768 741 14.43 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 326 350 000 17.10 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 461 770 000 20.65 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 135 430 000 30.18 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 5 064 936 3.97 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 949 120 2.65 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 761 018 8.96 Keterangan Simulasi 9: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen dan Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya Skenario 10 adalah simulasi yang digunakan untuk melihat dampak kebijakan kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen dan perluasan wilayah pemasaran dari hanya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah menjadi wilayah pemasaran mencakup Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Dampak dari kebijakan ini akan menaikkan variabel-variabel endogen lainnya secara lebih signifikan, terjadi kenaikan modal usaha sebesar 51.07 persen, total biaya produksi meningkat 17.10 persen, sedangkan penerimaan usaha meningkat 21.35 persen, dan pendapatan usaha usaha meningkat tajam 32.75 persen. Sedangkan pengeluaran untuk penggunaan bahan baku meningkat 16.69 persen, pengeluaran untuk penggunaan tenaga kerja

193 meningkat 22.23 persen, dan pengeluaran untuk penggunaan bahan bakar meningkat 14.43 persen. Pada skenario ini simulasi yang dilakukan pada tiga variabel sekaligus, memberikan dampak yang besar terhadap semua variabel endogen lainnya, seperti terlihat pada tabel 40. Tabel 40. Persentase Perubahan Nilai Rata-Rata Variabel Endogen Akibat Kombinasi Simulasi 2, Simulasi 5, dan Simulasi 6 No Variabel Endogen Nilai Dasar Nilai Hasil Simulasi 10 Perubahan (%) 1 Pengambilan Kredit (PKM) 16 282 049 32 564 098 100.00 2 Modal Usaha (MOUS) 31 887 605 48 172 222 51.07 3 Penggunaan Bahan Baku (PBM) 233 910 000 272 940 000 16.69 4 Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) 27 517 423 33 633 436 22.23 5 Penggunaan Bahan Bakar (PBB) 17 275 175 19 768 741 14.43 6 Total Biaya Produksi (TBP) 278 700 000 326 350 000 17.10 7 Penerimaan Usaha (PENU) 382 730 000 464 440 000 21.35 8 Pendapatan Usaha (PEND) 104 030 000 138 100 000 32.75 9 Tabungan (TABS) 4 871 744 5 081 351 4.30 10 Konsumsi (PKON) 22 357 864 22 999 360 2.87 11 Pengeluaran Pend. & Sos. (PPKS) 6 204 833 6 808 277 9.73 Keterangan Simulasi 10: Kenaikan Pengambilan Kredit sebesar 100 persen, Kenaikan Harga Jual Produk sebesar 10 persen, dan Perluasan Daerah Pemasaran Produk Hingga Wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan Sekitarnya 7.1.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan Untuk memberikan gambaran simulasi kebijakan yang telah dibuat, akan disajikan rangkuman atau rekapitulasi yang merupakan ikhtisar dari seluruh simulasi kebijakan melalui tabel 41. Dari tabel tersebut terlihat bahwa delapan simulasi kebijakan yaitu: 1, 2, 3, 5, 6, 8, 9, dan 10 merupakan simulasi pilihan untuk melakukan kebijakan. Hal ini berarti delapan alternatif kebijakan tersebut akan memberikan dampak kenaikan terhadap seluruh variabel endogen, yaitu: pengambilan kredit, modal usaha, penggunaan bahan baku, penggunaan tenaga kerja, penggunaan bahan bakar, total biaya produksi, penerimaan usaha, pendapatan usaha, pengeluaran pendidikan dan sosial, tabungan, dan konsumsi.

194

195 Apabila tujuan utama kebijakan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan nilai rata-rata variabel endogen pengambilan kredit oleh usaha kecil, maka alternatif kebijakan simulasi 1 dan simulasi 3 yaitu penurunan suku bunga kredit sebesar 20 persen, dan perubahan sumber kredit dari non bank menjadi sumber kredit dari bank, adalah merupakan pilahan yang terbaik, yaitu akan meningkatkan pengambilan kredit oleh usaha kecil masing-masing sebesar 25.45 persen dan 63.41 persen. Alternatif ini sangat erat berkaitan dengan kebijakan di bidang moneter khususnya perbankan. Sedangkan apabila tujuan utama kebijakan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatan nilai rata-rata variabel endogen penerimaan usaha dan pendapatan usaha, serta maka seluruh variabel endogen lainnya, maka alternatif kebijakan pilihannya adalah simulasi 9 dan 10. Simulasi 9 kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, perubahan dummy wilayah pemasaran hingga Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta sekitarnya, akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 20.65 persen dan meningkatkan pendapatan usaha sebesar 30.18 persen. Simulasi 10 kenaikan pengambilan kredit sebesar 100 persen, kenaikan harga jual produk sebesar 10 persen, dan perubahan dummy wilayah pemasaran hingga Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta sekitarnya, akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 21.35 persen dan meningkatkan pendapatan usaha sebesar 32.75 persen. Alternatif kebijakan pada simulasi 9 dan simulasi 10 ini erat berkaitan dengan kebijakan di perbankan, penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan kelembagaan pemasaran. Karena itu kebijakan simultan ini memerlukan koordinasi yang baik antar kementerian terkait dan pihak perbankan, sehingga implementasi kebijakan di lapangan dapat dirasakan langsung oleh usaha kecil.

196 7.2. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah Model ini pada dasarnya digunakan untuk melihat pengaruh kredit mikro dan kecil dari lembaga kuangan mikro terhadap perekonomian wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Peranan kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh bank meliputi bank umum, BRI-Unit, dan bank perkreditan rakyat, serta koperasi simpan pinjam (KSP) di masing-masing kabupaten, secara makro-regional akan memberikan dampak terhadap perekonomian wilayah yaitu meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa pada tingkat kabupaten. Dampak makro dari kredit terhadap ekonomi wilayah ini merupakan salah satu bentuk transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit. Mekanisme ini dimulai dengan adanya kebijakan kuantitatif yang longgar dari bank sentral di pasar uang, misalnya melalui operasi pasar terbuka (open market operation), sehingga likuiditas bank dari sisi kredit (aset) menjadi lebih longgar dan kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh perbankan, dalam bentuk modal kerja dan investasi tersedia lebih banyak. Kredit mikro dan kecil dari perbankan ini bila diserap oleh pelaku usaha di sektor riil dalam bentuk pengambilan kredit, akan memberikan tambahan modal kerja dan investasi bagi pelaku usaha, sehingga akan bisa meningkatkan nilai penjualan (omset usaha tahunan) seperti yang terlihat pada Model Usaha Kecil pada sub-bab 6.1.5. Selanjutnya peningkatan omset penjualan tahunan dari pelaku usaha ini, pada tingkat agregat (regional) akan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi secara sektoral pada lapangan usaha pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa, sehingga Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor: pertanian, industri

197 pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa ditingkat kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah diharapkan akan meningkat. Dari hasil analisis pada model keterkaitan kredit dan ekonomi wilayah seperti ditunjukkan pada Tabel.29 terlihat bahwa kredit dari koperasi simpan pinjam (KKSP) mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor industri pengolahan (PDRB2), dengan elastisitas yang cukup sebesar 0.6023. Nilai ini menunjukkan bahwa kredit kecil dari koperasi simpan pinjam mampu meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah, walaupun responnya cukup elastis. Sementara untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) dari bank umum juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor perdagangan (PDRB3), dengan elastisitas yang cukup sebesar 0.5436. Ini menunjukkan bahwa kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum juga mampu memberikan peningkatan terhadap kegiatan ekonomi wilayah kabupaten di provinsi Jawa Tengah, dengan respon cukup elastis. Kredit Usaha Pedesaan (Kupedes) dari BRI Unit, termasuk dalam kategori kredit usaha kecil dari bank umum. Untuk kredit dari bank perkreditan rakyat (KBPR) dan kredit usaha kecil (KUK) dari bank umum, juga menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor jasa (PDRB4), namun elastisitas yang kecil masing-masing sebesar 0.1279 dan 0.2037. Hasil ini menunjukkan kredit dari BPR dan kredit usaha kecil dari bank umum juga memberikan peningkatan terhadap perekonomian wilayah, namun dengan respon yang inelastis.

198 Sedangkan kredit dari Bank Perkreditan Rakyat (KBPR) dan pinjaman / kredit dari koperasi simpan pinjam (KKSP), tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Regional Bruto sektor pertanian (PDRB1). Tidak adanya pengaruh signifikan pada PDRB1 ini diduga karena kredit di sektor pertanian selama ini lebih banyak didominasi oleh kreditkredit program yang umumnya lebih sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Kondisi ini terjadi karena petani sebagai pelaku usaha di sektor pertanian pada umumnya masih belum bankable, salah satunya karena terbatasnya agunan atau jaminan yang dimiliki petani, sedangkan perbankan umumnya meminta agunan sebagai syarat utama untuk mendapatkan kredit. Secara historis kredit program di sektor pertanian ini telah berjalan cukup lama sejak awal tahun 1970-an. Menurut Nurmanaf (2007), adanya pembiayaan berupa kredit program yang difasilitasi oleh pemerintah secara terus menerus dan jangka waktu lama di perdesaan ini membuat petani tidak mengenal sistem kredit komersial sehingga aksesibilitas sebagian besar petani terhadap lembaga pembiayaan formal sangat rendah. Kenyatan ini menjadikan sebagian besar petani lebih akrab dengan sumber-sumber pembiayaan informal seperti pedagang sarana produksi dan hasil produksi, pelepas uang, dan kelompok lainnya. Karena itu menurut Ashari (2009a), pelibatan dan keikutsertaan lembaga keuangan mikro di perdesaan untuk menyalurkan dana program ke masyarakat akan dapat membawa keuntungan, (1) biaya yang relatif murah, (2) dana program tetap utuh dan dapat berkembang, dan (3) mendidik masyarakat untuk mengenal lembaga keuangan dan mendapat akses ke lembaga keuangan.