ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DI LAPORKAN (UNREPORTED FISHERIES) DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA BAHAR KAIDATI

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

I. PENDAHULUAN. dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan serta memiliki jumlah panjang garis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Indonesia merupakan negara kepulauan dan maritim yang. menyimpan kekayaan sumber daya alam laut yang besar dan. belum di manfaatkan secara optimal.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

SUMBERDAYA PERTANIAN TATIEK KOERNIAWATI ANDAJANI, SP.MP.

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

Pengelolaan SD Pulih -SD Ikan- Luh Putu Suciati

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

2 KERANGKA PEMIKIRAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

POTRET KEBIJAKAN KELAUTAN DAN PERIKANAN. Oleh: Rony Megawanto

OPTIMALISASI DAN STRATEGI PEMANFAATAN SOUTHERN BLUEFIN TUNA DI SAMUDERA HINDIA SELATAN INDONESIA MUHAMMAD RAMLI C

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

VII NILAI EKONOMI SUMBERDAYA EKOSISTEM LAMUN

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

Potensi penangkapan ikan dari tahun ke tahun cenderung mengalami

Negara Kesatuan Republik lndonesia adalah benua kepulauan,

PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

PARADIGMA APARATUR PEMERINTAH DALAM PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

I. PENDAHULUAN buah pulau dengan luas laut sekitar 5,8 juta km 2 dan bentangan garis

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

Transkripsi:

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DI LAPORKAN (UNREPORTED FISHERIES) DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA BAHAR KAIDATI PEMBIMBING: DR. IR. LUKY ADRIANTO, MSc. DR. IR. ACHMAD FAHRUDIN, MS. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin meningkat. Demand perdagangan ikan cukup tinggi, diperkirakan dunia masih kekurangan stok ikan hingga tahun 2010 sebesar 2 juta ton per tahun dan diperkirakan perdagangan ikan dunia mencapai USD 100 milyar per tahun ( DPP Gapindo 2005). Wilayah Indonesia yang terdiri dari 70 % wilayah laut merupakan suatu kekuatan potensi sebagai supplier produk perikanan yang patut diperhitungkan di kawasan Asia dan dunia, sebagaimana diketahui bahwa pasokan ekspor perikanan Indonesia yang terus meningkat dengan market share yang dicapai dari total pasar dunia kurang lebih 5 % dengan tujuan ekspor ke 90 negara di dunia dan tujuan pasar utama adalah Jepang sebesar 50 %, Amerika Serikat sebesar 17 % dan Uni Eropa sebesar 13 % (DPP Gapindo 2005). Pasar domestik juga cukup kuat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi ikan semakin tinggi. Dengan demikian nampak bahwa prospek pasar perikanan secara global memiliki potensi yang sangat menjanjikan, hal ini memicu usaha untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan terus meningkat, yang didukung dengan teknologi penangkapan yang semakin canggih. Salah satu kemajuan yang nampak dalam bisnis perikanan dalam merespon pasar global adalah modernisasi armada perikanan, pengenalan teknologi yang canggih untuk penangkapan ikan serta pembangunan infrastrukur. Namun demikian, potensi yang besar dengan pasar yang menjanjikan dan kemajuan teknologi terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalakan segala cara yang semata-mata untuk mengejar keuntungan sepihak,

3 sehingga menimbulkan berbaga masalah antara lain adalah IUU (Illegal Unreported Unregulation) fishing. Telah terjadi praktek IUU fishing yang melibatkan nelayan dari sejumlah negara asing yang marajalela di hampir seluruh wilayah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Permasalahan IUU fishing di perairan Indonesia mencakup pencurian ikan (illegal fishing), perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing) yang mengakibatkan negara dirugikan hingga jutaan US dolar dan besarnya kerugian akibat dari praktek IUU fishing yang diderita oleh negara Indonesia mencapai USD 2.136 juta, yang terdiri dari (i) penangkapan ikan di ZEE Indonesia dan ekspor yang tidak termonitor oleh kapal asing diperkirakan mencapai 4.000 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 1.200 juta, (ii) kapal-kapal ilegal yang melanggar daerah penangkapan diperkirakan mencapai 1.275 kapal dengan jumlah kerugian sebesar USD 574 juta, (iii) selisih harga BBM dengan jumlah kerugian USD 240 juta, (iv) selisih iuran DPKK sebesar USD 22 juta dan (v) fee yang harus dibayar sebesar USD 100 juta (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Selain itu, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa, jumlah ikan yang ditangkap secara ilegal mencapai kurang lebih 1 juta ton setiap tahunnya dengan nilai kerugian mencapai USD 1 sampai dengan 4 miliar. Unreported fisheries merupakan bagian dari IUU fishing yang terjadi karena dilakukan oleh nelayan asing maupun nelayan lokal. Nelayan asing yang beroperasi secara ilegal (illegal fishing) sudah pasti melakukan unreported fisheries karena hasil yang diperoleh dari fishing ground di wilayah ZEEI langsung diekspor ke luar negeri dimana nelayan tersebut berasal atau ke negara lain tanpa dilaporkan (unreported) sebagaimana mestinya, praktek ini mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar karena terjadinya kehilangan nilai ekonomi (economic loss) yang nilainya mencapai jutaan US dolar dan kesalahan data tentang kondisi biologis atau stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya serta kerugian secara sosial maupun politik.

4 Unrepoted fisheries juga dilakukan oleh nelayan lokal yang melakukan penangkapan secara legal tetapi tidak dilaporkan (unreported), terdapat kesalahan pelaporan (misreported) dan pelaporan yang tidak sebenarnya (undereported). Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang potensial mempengaruhi terjadinya unreported fisheries antara lain adalah kondisi sosial dan struktural yang berkembang dalam suatu wilayah, misalnya : keberadaan nelayan yang jauh dari Pangkalan Pendaratarn Ikan (PPI) atau Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), sehingga sulit bagi mereka untuk melaporkan hasil tangkapannya. Kebanyakan nelayan masih beroperasi secara tradisional dan menggunakan perahu tanpa motor, nelayan langsung menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat disekitarnya dan disekitar wilayah nelayan berada terdapat tangkahan (tauke) yang siap membeli hasil tangkapan nelayan untuk di jual kemudian dengan harga yang lebih tinggi dan lain-lain. Provinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 145.891,1 km 2 dimana 69,08 % merupakan wilayah laut, memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang sangat menunjang pembangunan daerah. Wilayah perairan Maluku Utara berada dalam wilayah pengelolaan Laut Seram dan Laut Maluku dengan jumlah potensi sumberdaya ikan (standing stock) diperkirakan mencapai 1.035.230,00 ton dengan jumlah potensi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) yang dapat dimanfaatkan sebesar 828.180,00 ton per tahun terdiri dari, ikan pelagis 621.135,00 ton per tahun dan ikan demersal 207.045,00 ton per tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara, 2005). Kota Ternate merupakan bagian dari provinsi Maluku Utara yang luas wilayahnya didominasi oleh perairan sebesar 97% (5.544,55 km 2 ) dan luas daratan sebesar 4,3 % (250,85 km 2 ). Dengan luas wilayah yang didominasi oleh perairan, Kota Ternate memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Ternate (2006), potensi lestari sumberdaya perikanan di wilayah perairan Kota Ternate mencapai 47.838,25 ton per tahun dari standing stock yang dimiliki sebesar 71.757,38 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, cucut, tenggiri dan pelagis kecil seperti

5 layang dan tembang, serta ikan demersal seperti kakap merah, skuda, ekor kuning serta berbagai jenis ikan kerapu. Sebagai wilayah yang memiliki potensi perikanan yang begitu besar, maka sudah pasti menjadi target praktek IUU fishing, hal ini ditandai dengan ditangkapnya sejumlah kapal dan nelayan asing oleh aparat Angkatan Laut dan laporan nelayan lokal tentang keberadaan nelayan asing yang sering beroperasi di wilayah perairan sekitar Maluku Utara dan khususnya wilayah Kota Ternate yaitu di sekitar Pulau Batangdua dan Pulau Hiri. Selain terjadi illegal fishing oleh nelayan asing yang sangat merugikan negara, juga terjadi unreported fisheries yaitu hasil tangkapan yang tidak dilaporkan oleh nelayan lokal. Secara ekonomi hal ini sangat merugikan pemerintah karena terjadinya economic loss dan kehilangan rente sumberdaya (resource rent) perikanan yang ada serta tidak jelasnya data tentang stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (misscalculation). Terjadinya unreported fisheries oleh nelayan lokal dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor sosial budaya, ekonomi, geografis maupun struktural. Sebagaimana yang terjadi di wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya dan khususnya di Kota Ternate, sebagian hasil tangkapan nelayan tidak di daratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) atau Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) sebagaimana mestinya. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi kerugian secara ekonomi (economic loss) atas pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh para nelayan yang beroperasi di sekitar wilayah perairan Kota Ternate. 1.2. Rumusan Masalah Wilayah Kota Ternate yang terdiri dari empat kecamatan dan dua kecamatan pembantu, yaitu Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Kota Ternate Selatan, Kecamatan Kota Ternate Utara, Kecamatan Pulau Moti, Kecamatan Pembantu Batang dua dan Kecamatan Pembantu Pulau Hiri. Pengaruh dari berbagai kondisi, baik kondisi ekonomi, geografis, sosial budaya, dan kebijakan menyebabkan hasil tangkapan para nelayan tidak bisa didaratkan di PPN atau PPI sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate.

6 Kebiasaan para nelayan menjual hasil tangkapannya dilakukan langsung kepada masyarakat konsumen di sekitarnya atau kepada tangkahan (tauke). Hal ini mengakibatkan terjadinya unreported fisheries yang merupakan bagian dari IUU Fishing yang telah mengakibatkan terjadinya kerugian ekonomi (economic loss) dan hilangnya rente sumberdaya perikanan yang berpengaruh terhadap pendapatan pemerintah yang di dalam hal ini dianggap sebagai pemilik tunggal (single owner) dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga berpengaruh terhadap keadaan data tentang jumlah stok sumberdaya perikanan yang sebenarnya (faktual) khususnya di wilayah perairan Kota Ternate dan wilayah Perairan Maluku Utara pada umumnya, untuk mengetahui hal tersebut, maka dalam penelitian ini dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1) Berapa nilai kerugian ekonomi (economic loss) akibat dari unreported fisheries yang terjadi di Kota Ternate. 2) Berapa peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries. 3) Berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 4) Apa yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya. 5) Bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanana yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate. 6) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. 7) Bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

7 1) Mengestimasi berapa besar kerugian ekonomi yang disebabkan oleh unreported fisheries yang terjadi di wilayah Kota Ternate. 2) Mengestimasi berapa besar peluang ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota Ternate atas terjadinya Unreported Fisheries 3) Mengestimasi berapa rente sumberdaya (resources rent) yang dihasilkan Pemerintah Kota Ternate dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah perairan Kota Ternate. 4) Mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unreported fisheries di Kota Ternate dan bagaimana solusinya. 5) Mengkaji bagaimana pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ekonomis dan lestari di Kota Ternate. 6) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap. 7) Mengkaji bagaimana keterkaitan antara unreported fisheries dengan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan perbaikan kebijakan di bidang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan nelayan, peningkatan Pendapatan Asli Daerah, menciptakan lapangan kerja dan pembangunan sektor perikanan yang berkelanjutan (sustainability).

8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Otonomi daerah telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya yang ada di daerah seoptimal mungkin untuk kepentingan pembangunan daerah. Sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 10 ayat 2 mengatur tentang, kewenangan daerah propinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, dan ayat 3 mengatur tentang Pemerintah Kota/Kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sedangkan dalam UU. No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU. No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada pasal 6 ayat 5 mengatur tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya pesisir dan laut. Mengacu pada aturan perundangan tersebut, maka bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang besar khususnya sumberdaya kelautan dan pesisir, berkesempatan untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin dan diperuntukan untuk pembangunan ekonomi yang tertinggal sebagai akibat kebijakan pembangunan yang sentralistik pada masa pemerintahan orde baru. Masalahnya adalah jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi konsekwensinya akan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi sumberdaya dan lingkungan itu sendiri, baik kondisi ekologi maupun ekonomi yang akan berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being) (Kusumastanto 2003). Dengan demikian maka kebijakan yang ditempuh dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dipertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga bisa bermanfaat secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan

9 ekonomi demi tercapai kesejahteaan dan disisi yang lain bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan (sustanaibility). Menurut Adrianto (2005), perikanan sebagai sebuah sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi setiap penduduk Indonesia, membutuhkan pengelolaan yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang (sustainable), tidak hanya bagi generasi saat ini namun juga bagi generasi masa depan. Dalam konteks ini pengelolaan yang bertanggungjawab (responsible management) menjadi salah satu kunci jawaban untuk menjawab tantangan pembangunan perikanan berkelanjutan (susstainable fisheries development). Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengabaikan kemunduran kualitas sumberdaya dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah akan makin berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995). Mengingat kawasan pesisir dan lautan yang sedemikian luas dengan multi fungsi dari berbagai kepentingan yang berbeda, hal ini telah menimbulkan dampak terhadap lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Dalam rangka pembangunan dan mempertahankan kehidupan, sumberdaya alam perlu dimanfaatkan secara berkualitas. Sumberdaya alam adalah tidak tak terbatas, baik jumlah maupun kualitasnya. Di lain pihak, kebutuhun akan sumberdaya alam semakin meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk serta perubahan gaya hidup, sejalan dengan itu pemanfaatan sumberdaya secara tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan mutu lingkungan serta daya dukung lingkungan. Dalam memahami sumberdaya alam, terdapat dua pandangan yang umumnya digunakan. Pertama adalah pandangan konservatif atau sering disebut juga pandangan pesimis atau perspektif Malthusian. Dalam pandangan ini resiko akan terkurasnya sumberdaya alam menjadi perhatian utama. Sumberdaya ini dianggap sebagai sumberdaya tidak terpulihkan (exhaustible) dimana memiliki supply yang

10 terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Dengan demikian dalam pandangan ini, sumberdaya alam harus dimanfaatkan secara hati-hati karena adanya faktor ketidakpastian terhadap apa yang akan terjadi untuk generasi mendatang. Pandangan kedua adalah pandangan eksploitatif atau sering disebut sebagai perspektif Ricardian. Dalam pandangan ini dikenal dengan flow atau sumberdaya yang dapat diperbaharui dimana sumberdaya diasumsikan memiliki supply yang infinite atau tak terbatas. Dalam pandangan ini sumberdaya ada yang tergantung pada proses biologi untuk regenerasinya dan ada yang tidak. Meskipun demikian, untuk sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi jika telah melewati batas titik kritis kapasitas maksimum secara diagramatik akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak diperbaharui, secara diagramatik klasifikasi sumberdaya alam dapat dilihat pada gambar berikut (Anwar 2002; Fauzi 2000c). Sumberdaya Alam Stok/Tidak Dapat Diperbaharui Stok/Dapat Diperbaharui habis terkonsumsi dapat didaur ulangkan memiliki zona kritis tidak memiliki zona kritis contoh : minyak, gas, batubara dsb. contoh : sumberdaya metalik contoh : perikanan, kehutanan, tanah, air dari mata air. contoh : energi surya, pasut, angin. SD ini akan menjadi stok jika telah melewati kapasitas regenerasinya Gambar 2.1. Klasifikasi Sumberdaya Alam ( sumber : Fauzi 2000c ) Sumberdaya perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam

11 yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Mengingat sifat dari sumberdaya perikanan yang dikenal dengan open access yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumberdaya tersebut secara bersama (common property). Menurut Kula (1992), terdapat banyak kasus yang terjadi pada sumberdaya milik bersama dimana terjadinya deplesi stok lebih disebabkan karena masing-masing individu beranggapan bahwa ekstraklah secepat dan sebanyak kamu bisa, jika kamu tidak bisa maka orang lain akan melakukannya, sehingga konsekuensinya sumberdaya akan mengalami depletion secara cepat. Hal ini didukung juga oleh Anwar (2002), pada keadaan sumberdaya yang bersifat open access resource akan terjadi pengurasan sumberdaya yang pada akhirnya akan terjadi kerusakan sumberdaya. Hal ini terjadi karena semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumberdaya laut dan memperlakukannya sesuka hati dalam rangka masing-masing memaksimumkan bagian (share) keuntungan, tetapi tidak seorangpun mau memelihara kelestariannya. Oleh karena itu, sifat open access resource tersebut dapat dikatakan tidak ada yang punya atau sama saja dengan tidak ada hak yang jelas atas sumberdaya yang bersangkutan (res comune is res nullius). Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (excess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama dimasa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor-faktor biologi semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainability Yield (tangkapan yang lestari maksimum) atau disingkat MSY. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap

12 species memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Kelemahannya pendekatan MSY tidak mempertimbangkan aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi 2000b). Lebih jauh menurut Conrad dan Clark (1987), menyatakan bahwa pendekatan MSY meliputi antara lain : (1) tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion); (2) tidak memperhitungkan imputed value yaitu nilai ekonomi apabila stok ikan tidak dipanen); (3) sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri-ciri ragam jenis (multi species). Dengan adanya kelemahan tersebut, maka pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal digunakan pendekatan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan ini akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Dalam mengkaji kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat dilakukan dengan bioekonomi model statik. Menurut Gordon di dalam Fauzi (2000b), model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input yaitu upaya. Dalam mengkaji bagaimana pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomis, bisa dilakukan dengan pendekatan faktor output (yield) yang pertama kali dikembangkan oleh Copes (1972), berdasarkan pada kriteria optimasi kesejahteraan (Welfare optimization) dengan menggunakan analisis surplus konsumen (consumer s surplus), surplus produsen (producer s surplus) dan rente sumberdaya (resource rent). Model Copes dengan model Gordon memiliki perbedaan dalam hal penggunaan asumsi harga. Model Gordon mengasumsikan harga per unit output konstan, sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Sebaliknya dalam Model Copes harga per unit output mengikuti kurva permintaan yang memiliki kemiringan yang negatif, sehingga memungkinkan dilakukan pengukuran terhadap surplus konsumen. Ketiga aspek yang diperoleh dalam analisis

13 model Copes ini yaitu surplus produsen, surplus konsumen dan rente sumberdaya diharapkan dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dalam pemanfataan sumberdaya perikanan laut (Fauzi 2004). 2.2. Konsep Penilaian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan sangatlah bervariasi, tetapi para ekonom mengkonsentrasi pada nilai moneter yang dinyatakan melalui preference konsumen. Pada dasarnya, nilai hanya terjadi karena adanya interaksi antara subjek dan objek dalam bentuk penjelasan bukan dari kualitasnya (Peace dan Turner 1990). Secara umum nilai ekonomi (economic value) menurut Fauzi (2004), didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) sehingga nilai ekologis dari ekosistem bisa diterjemahkan kedalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Prinsip dasar dari nilai ekonomi dapat ditetapkan untuk mengukur tingkat kesejahteraan individu. Tingkat kesejahteraan dipengaruhi oleh perubahan dalam harga dan kualitas barang dan jasa. Jika barang dan jasa yang subtitutif maka tradeoff dapat dicapai dan nilai mencapai keseimbangan (Kula 1997). Sependapat dengan hal tersebut menurut Fauzi (2002), pengukuran nilai ekonomi sumberdaya adalah seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa atau bisa diukur dari sisi lain yaitu seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Salah satu konsep yang dapat digunaka untuk mengukur nilai ekonomi sumberdaya adalah konsep suply-demand. Konsep suply demand merupakan suatu konsep yang memiliki peran sangat penting dalam ilmu ekonomi, karena dapat digunakan untuk menilai fungsi dari suatu ekosistem (nilai sumberdaya), menilai tingkat kesejahteraan dan aktivitas ekonomi lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa suatu ekosistem memiliki fungsi sebagai penyuplai berbagai macam produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomis, dengan

14 pendekatan Willingness To Pay (WTP) maka barang dan jasa yang disuplai oleh suatu ekosistem dapat dinilai manfaat ekonominya, baik manfaat langsung maupun tidak langsung dan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, yang didekati dengan market value dan non market value. Agar lebih jelas penggunaan konsep suplydemand dalam penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilihat pada gambar berikut. Price a Suply= Marginal Cost p Konsumen surplus Produsen surplus Net Rent Cost b Demand = Marginal Benefit c q Quantity Gambar 2.2 Konsep supply-demand konvensional (Constanza et al.1997). Gambar 2.2 menjelaskan tentang konsep suply demand konvensional, yaitu suply = marginal cost dan Demand = marginal benefit yang menunjukkan ciri khas pasar barang dan jasa. Ada beberapa hal yang dapat dibaca dari Gambar 2.2, antara lain adalah area pbqc menunjukkan nilai GNP (gross National Product), area di bawah kurva suply (cbq) menunjukkan biaya produksi, area pbc menunjukkan produsen surplus atau net rent dan area pba menunjukkan nilai konsumen surplus atau tingkat kesejahteraan masyarakat sedangkan nilai total sumberdaya ditunjukkan oleh jumlah antara produsen surplus dan konsumen surplus atau area abc. Terkait dengan sumberdaya kelautan tropika, yang pada umumnya memiliki sumberdaya yang bersifat renewable resource (dapat diperbaharui), seperti sumberdaya perikanan. Namun perlu diketahui bahwa kurva suplai dalam kasus sumberdaya perikanan tidak dapat diasumsikan bersifat linear tetapi horizontal atau

15 tegak lurus yang menunjukkan keterbatasan daya dukung lingkungan (Carrying Capasity) terhadap pertumbuhan sumberdaya perikanan, jadi eksploitasi sumberdaya perikanan harus memperhatikan beberapa aspek yang sangat urgen antara lain aspek ekologi, biologi maupun ekonomi demi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Berkaitan dengan fenomena carrying capacity dan pertumbuhan sumberdaya perikanan maka konsep supply dan demand dalam kerangka fungsi kelautan dan tropika dapat digambarkan sebagai berikut : Price a Suply= Marginal Cost P Consumen Surplus Net Net rent Rent b Demand = Marginal Benefit 0 q Quantity Gambar 2.3. Konsep supply-demand dalam pendekatan sumberdaya perikanan (Constanza et al. 1997). Kurva supply yang horizontal menggambarkan bahwa pertumbuhan sumberdaya kelautan tropika dibatasi oleh daya dukung lingkungan yang terbatas, surplus produsen yang ditunjukan dari gambar tersebut meliputi area pbqo sedangkan konsumen surplus meliputi area pba dan nilai total dari sumberdaya adalah jumlah dari produsen surplus dan konsumen surplus yang meliputi area abqo. Dalam konsep valuasi ekonomi yang kovensional, nilai ekonomi diartikan sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use value) dan nilai non pemanfaatan (non-use value). Use value adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa sementara non-use value

16 merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Secara umum memang sulit untuk mengukur dengan pasti kedua konsep tersebut, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2002). Berkaitan dengan uraian di atas, seyogyanya pemanfaatan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan laut dengan menggunakan pendekatan biologi dan ekonomi haruslah mempertahankan keberlanjutannya. Menurut Hicks yang dikutip Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa pemanfaatan sumberdaya alam yang menghasilkan pendapatan dan kemudian dipergunakan menjadi barang-barang konsumsi masa kini, jangan mengganggu potensi pendapatan (dari sumberdaya modal) generasi mendatang, terutama yang menurunkan kapasitas sumberdaya tersebut perlu dihindari. 2.3. Praktek IUU (Illegal Unreported Unregulated) Fishing Praktek terbesar dalam IUU fishing seperti ditulis oleh Bray (diacu dalam Adrianto 2004) pada dasarnya adalah poaching yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan. Praktek pencurian ikan oleh pihak asing menurut Adrianto (2004) dapat digolongkan menjadi dua yaitu: Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan dengan memanfaatkan SIUP legal yang dimiliki pengusaha lokal, namun tetap dikategorikan pencurian karena langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah Indonesia. Praktek ini sering disebut sebagai praktek pinjam bendera (Flag of Convenience). Kedua, adalah pencurian murni ilegal dihasilkan dari proses penangkapan ikan yang juga ilegal di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Praktek IUU fishing kini menjadi masalah global karena mengancam eksistensi sumberdaya perikanan serta secara lokal telah mengakibatkan terjadinya gejolak ekonomi, sosial, politik dan hukum pada daerah-daerah yang menjadi sasaran praktek

17 IUU fishing. IUU fishing merupakan suatu masalah yang sangat kompleks dan upaya penanggulangannya pun sangat rumit sehingga kita harus benar-benar mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya praktek IUU fishing. Menurut Dahuri (2004), akar permasalahan praktek IUU fishing di Indonesia diantaranya disebabkan oleh sejumlah faktor sebagai berikut : - Penyalahgunaan perizinan merupakan salah satu praktek IUU fishing yang banyak terdapat di wilayah ZEE Indonesia. Pada saat belum dibentuknya Deprtemen Kelautan dan Perikanan (DKP), dari sekitar 7000 kapal perikanan berbendera Indonesia berbobot > 30 GT ternyata masih dimiliki oleh pihak asing (palsu). Hal ini terjadi karena penyalah gunaan kebijakan pemerintah dalam deregulasi perikanan yang antara lain tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 508/Kpts/PL.810/96 tentang pengadaan kapal perikanan dan penghapusan sistem sewa kapal perikanan berbendera asing. - Lemahnya sistem dan mekanisme perizinan perikanan ; Kapal-kapal penangkap ikan, baik kapal ikan Indonesia maupun kapal ikan asing yang beroperasi di ZEE Indonesia mendapatkan izin menangkap dari pusat (Menteri Kelautan dan Perikanan atau Pejabat yang ditunjuknya). Khusus kapal asing terlebih dahulu perlu perjanjian kerja sama dengan perusahaan Indonesia. Kapal-kapal yang beroperasi kebanyakan tidak memiliki izin operasi yang sah, banyak terjadi pelanggaran fishing ground maupun penyalah gunaan izin kapal ikan. Hal ini disebabkan masih lemahnya sistim dan mekanisme perizinan di bidang penangkapan ikan. Penataan penggunaan kapal-kapal asing melalui sistem lisensi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No KEP.60/MEN/2001 tentang penataan penggunaan kapal perikanan di ZEE Indonesia, ternyata belum dapat mengendalikan kegiatan kapal-kapal asing tersebut. - Lemahnya komitmen dan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut; Penegakan hukum bagi pelanggaran perikanan yang terjadi di wilayah ZEE Indonesia ditangani oleh banyak pihak seperti kejaksaan, Dinas PerikananTNI-AL dan pihak-pihak lainnya. Kewenangan untuk pengawasan belum terkoordinasi dengan baik dan cenderung bersifat sesuai dengan kepentingan masing-masing.

18 Aparat yang berwenang menggunakan landasan kerja dengan dasar hukum yang berbeda, dampaknya adalah tidak terintegrasinya aturan dan lemahnya kemampuan pengawasan secara keseluruhan. - Lemahnya peradilan perikanan; sanksi terhadap pelanggaran masih lemah, sehingga pelaku pelanggaran tidak jera dan akan tertarik untuk mengulanginya. - Banyak wilayah perairan laut Indonesia, terutama di wilayah perbatasan dan ZEE Indonesia tidak ada nelayan Indonesia; Secara umum kapasitas armada perikanan Indonesia masih didominasi oleh kapal-kapal kecil yang dimiliki oleh nelayan skala kecil. Dampaknya adalah, fungsi sabuk pengaman oleh nelayan yang diharapkan dapat untuk melengkapi upaya pengawasan dan pengamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan diwilayah ZEE Indonesia, tidak dapat dipenuhi. 2.3.1. Kategori IUU fishing Widodo (2003) menyajikan kategori IUU fishing berdasarkan kata kunci di dalam istilah tersebut, yaitu illegal fishing, unreported fishing dan unregulated fishing. Illegal fishing mengacu kepada berbagai kegiatan yang : Pertama, dilakukan oleh kapal-kapal nasional atau asing di dalam perairan di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa ijin dari suatu negara tersebut, atau dalam keadaan melawan hukum dan regulasi negara Kedua, dilakukan oleh kapal-kapal berbendera negara-negara anggota dari suatu organisasi pengelolaan sumberdaya yang diadopsi oleh organisasi tersebut dimana negara-tersebut terikat, atau melawan hukum internasional yang sedang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerja sama dengan suatu organisasi pengelolaan yang relevan. Unreported fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang: Pertama, tidak dilaporkan, atau dilaporkan secara tidak benar kepada otoritas nasional yang relevan, bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan; atau

19 Kedua, Dilakukan dalam area dibawah kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang tidak dilaporkan atau dilaporkan dengan tidak benar, bertentangan dengan prosedur peraturan dari organisasi tersebut. Unregulated fishing mengacu kepada kegiatan penangkapan yang terjadi: Pertama, di area suatu organisasi pengelolaan perikanan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa nasionalitas, atau oleh kapal dengan bendera suatu negara bukan anggota dari organisasi tersebut atau oleh suau fishing entity dengan cara yang tidak kensisten dengan atau melawan aturan konservasi dan pengellolaan dari organisasi tersebut, atau Kedua, di area dari berbagai stok ikan yang berkaitan dengan tidak adanya aturan (tindakan) konservasi dan pengelolaan yang diaplikasikan dan dimana aktivitas penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara bagi konservasi atas sumberdaya hayati marine dibawah hukum internasional. 2.3.2. Dampak IUU Fishing Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan berdampak terhadap keterpurukan ekonomi nasional dan meningkatnya permasalahan sosial. Menurut Adrianto (2004), bagi Indonesia, tekanan internasional terhadap masalah IUU fishing menimbulkan konsekuensi ke dalam dan ke luar sekaligus (double effects), yaitu: Pertama, kosekuensi ke dalam berhubungan dengan fakta bahwa dari kacamata sebagai negara berdaulat, di perairana Indonesia praktek poaching (penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan) sangat marajalela baik yang nekat menggunakan bendera asing maupun yang menggunakan bendera lokal bekerja sama dengan pelaku lokal. Menurut Cunningham (diacu dalam Adrianto 2004) Dalam konteks ini Indonesia sangat dirugikan karena ada economic rent yang hilang dari sebuah kepemilikan sumberdaya perikanan. Kedua, konsekuensi ke luar lebih terkait dengan praktek unreported dan unregulated fishing dimana sebagai negara berkembang (developing country) dua hal ini merupakan kelemahan utama. Khususnya dalam praktek flag of conveniece dan non

20 member fishing, yaitu penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah suatu organisasi perikanan regional tertentu di mana Indonesia bukan menjadi anggota dari organisasi tersebut. Sebagai contoh, Indonesia memiliki areal penangkapan di Lautan Hindia baik dalam tataran teritorial maupun ZEE. Tetapi saat ini Indonesia tidak termasuk anggota IOTC (Indian Ocean Tuna Comission). Sehingga apabila Indonesia menangkap tuna di wilayah Lautan Hindia walaupun masih dalam koridor teritorialnya maka praktek tersebut dapat dikategorikan sebagai flag of conveniece atau non member fishing. Kedua praktek ini mulai dilarang karena dianggap tidak ada kemauan untuk turut mengelola kelestarian sumberdaya perikanan secara bersama. Menurut Suhana (2005), permasalahan IUU fishing dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu: Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB (porduk domestik bruto). Dengan adanya aktivitas IUU fishing diperairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong kearah hilangnya rent sumber daya perikanan. Menurut laporan FAO 2001, Indonesia setiap tahunnya kecurian ikan sebanyak 1,5 juta ton atau setara dengan uang sekitar USD 2,3-4 milyar. Kedua, ketenaga kerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Misalnya pertengahan Juni 2005, ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) Hendri Sutandinata mendesak kapada pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara dan Sulawsi Utara. Alasannya, kehadiran industri di keempat daerah tersebut sudah terlalu banyak, sedangkan suplai bahan baku sangat terbatas sehingga tidak sedikit industri pengalengan ikan yang tutup. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalenganikan tuna di jawa timur. Tetapi, kini empat unit di antaranya tidak berproduksi lagi. Di Sulawesi utara, yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua industri yang beroperasi. Itupun setelah diambil alih investor dari Filipina. Sementara itu, di Bali juga tinggal satu unit, padahal

21 sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna (Kompas, 18 juni 2005 diacu dalam Suhana 2005). Kurangnya suplai bahan baku ikan tuna tersebut diduga kuat disebabkan oleh maraknya illegal fishing di Indonesia. Karena kalau kita lihat dari data potensi sumber daya ikan yang ada diwilayah perairan Indonesia khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya menurut catatan Departeman Kelautan dan Perikanan (2003) potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3,9 juta ton per tahun. Setelah itu disusul oleh jenis ikan tuna sirip biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), tuna mata besar (13.000 ton) dan madidihan (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar diseluruh wilayah Samudera Hindia. Bahkan menurut data FAO dari 1990 sampai 2003 menunjukkan adanya peningkatan produksi ikan pelagis besar jenis tuna diwilayah perairan samudera Hindia, khususnya ZEEI. Produksi ikan pelagis besar di Samudera Hindia setiap tahunnya rata-rata untuk masing-masing jenis adalah 1.408,64 ton (Albacore), 37.769 ton (Skipjak Tuna), 1.077 ton (Southern Bluefin Tuna), 24.613 ton (yellowfin Tuna) dan 17.836 ton (Bigeye Tuna). Ketiga, pendapatan ekspor. Maraknya IUU fishing akan mengurangi peran tempat pendaratan ikan na-sional dan pembayaran uang pandu pelabuhan. Hal ini akan berdampak secara nyata terhadap berkurangnya pendapatan ekspor nasional. Hal ini akan berimplikasi serius terhadap aktivitas pengawasan, dimana jika aktivitas pengawasan tersebut didukung secara keseluruhan atau sebagian oleh pendapatan ekspor (atau pendapatan pelabuhan). Keempat, pendapatan pelabuhan perikanan. IUU fishing akan mengurangi potensi untuk tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan nilai tambah. Hal ini dikarenakan kapal-kapal penangkapan ikan illegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Kelima, pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yangsah.

22 Keenam, multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier IUU fishing ini memiliki hubungan dengan penangkapan ikan nasional. Karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terhurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas IUU fishing. Ketujuh, pengeluaran untuk MCS (Monitoring Controlling and Surveillance). Keberdaan IUU fishing akan memaksa anggaran untuk manajemen MCS. Kedelapan, kerusakan ekosistem. Hilangnya niali dari kawasan pantai dan dari area bakau yang boleh jadi dirusakkan oleh IUU fishing. Pengurangan pendapatan untuk masyarakat yang melakukan penangkapan ika diwilayah pantai. Kesembilan, konflik dengan armada nelayan tradisional. Maraknya illegal fishing mengganggu keamanan nelayan Indonesia khususnya nelayan tradisional dalam menangkap ikan diperairan Indonesia khususnya nelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan secara illegal juga mereka tak jarang menembaki nelayannelayan tradisional yang lagi melakukan penangkapan ikan di fishing ground yang sama. Kesepuluh, keamanan makanan. Pegurangan ketersediaan ikan pada pasar lokal akan mengurangi ketersediaan protein dan keamanan makanan nasional. Hal ini akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dalam masyarakat. 2.4. Pendekatan Surplus Produsen Surplus produsen adalah suatu pendekatan tradisional untuk menentukan kesejahteraan produsen yang dikembangkan oleh Marshall. Surplus produsen meliputi area di atas kurva suply dan di bawah titik harga (Hanley dan L.Spash 1993). Suatu prusahaan di dalam pasar persaingan sempurna baik pasar input maupun output, Kurva suply untuk semua variabel input adalah sangat elastis, yaitu karena kemampuan perusahan untuk membeli semua variabel input yang dibutuhkan dengan harga yang telah ditetapkan dan biaya tetap diasumsikan semakin menurun pada kondisi short-run. Menurut Adrianto (2006), Surplus produsen terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi

23 suatu barang atau jasa. Misalnya suatu perusahaan pengalengan ikan yang memproduksi satu kaleng ikan dengan biaya produksi sebesar Rp.3.000.- dan harga jual ikan kaleng tersebut per kaleng adalah Rp.5.000., maka surplus produsen dari contoh tersebut adalah Rp.5.000.-Rp.3.000. = Rp.2.000. Dalam praktek pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap unreported fishing mengakibatkan nilai surplus produsen yang diperoleh produsen dalam hal ini pemerintah sebagai single agent dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin menurun, jadi pengaruhnya berbanding negatif yaitu jika nilai unreported fishing semakin besar maka surplus produsen yang diperoleh semakin menurun, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut. P S a S s CS CS P 0 B 0 P 1 B 1 PS C 0 D C 1 Q 0 Q 1 Q Gambar 2.4. Perubahan Nilai Surplus Produsen akibat Pengaruh Kurva Suplai Dari gambar tersebut menjelaskan bahwa surplus produsen berdasarkan produksi aktual (S a ) adalah pada titik P 0, B 0, C 0 kemudian setelah diketahui produksi sesungguhnya (S s ) yang diperoleh dari produksi aktual ditambah dengan produksi yang tidak dilaporkan/unreported, maka nilai surplus produsen bergeser pada titik P 1, B 1, C 1 dengan perubahan sebesar P 0 B 0 P 1 B 1, sehingga untuk mengoptimalkan rent

24 resource dari sumberdaya perikanan, maka besar perubahan tersebut harus diminimalkan, yaitu dengan meminimalisir praktek unreported fisheries agar nilai produksi aktual sama dengan nilai produksi sesungguhnya. 2.5. Konsep Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang Ekonomis dan Lestari Menurut Adrianto (2005), Kesadaran akan pentingnya membangun ekonomi nasional berbasis sumberdaya alam (natural resources based economy) pasca reformasi hingga saat ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan akselarasinya mengingat natural resources endowment yang dimiliki bangsa Indonesia masih dapat dikatakan sebagai ciri khas sekaligus menjadi advantage comparative bangsa. Salah satu endowment yang kita miliki adalah sumberdaya perikanan dan kelautan yang pada awal pemerintahan pasca reformasi disebut-sebut sebagai raksasa yang sedang tidur bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Sumberdaya perikanan dan kelautan termasuk sumberdaya yang dapat pulih (renewable resource), dan dalam kepemilikannya sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia memakai rezim kepemilikan yang bersifat common property yaitu kepemilikan bersama, sedangkan dalam pemanfaatannya menganut rezim open acces yaitu dimana dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ijin dari siapapun. Akan tetapi dalam pemanfaatan bukanlah open acces secara murni ini terlihat saat nelayan (bukan nelayan kecil) yang akan berusaha paling tidak harus memperoleh ijin (permit) dari pemerintah, baik daerah maupun pusat. Didalam penggunaan kedua kebijakan tersebut masih belum adanya kebijakan lain yang mendukung, sehingga dengan penggunaan kedua kebijakan tersebut tidak mengakibatkan terjadinya eksploitasi secara berlebih, dalam hal ini perlu dipikirkan secara bersama tentang penggunaan sumberdaya yang menunjang sustainability development. Pada saat ini sudah ada gejala terjadinya tangkap lebih (over fishing) seperti yang terjadi di perairan selat malaka, dimana dalam pemanfaatanya mencapai 112,38% dan laut jawa yang terindikasi akan terjadinya over fishing yaitu 88,98 % sehingga di kedua perairan tersebut perlu adanya rehabilitasi sumberdaya dan lingkungan dengan cara pengurangan jumlah produksi hasil tangkapan.

25 Agar tercapainya sustainability development dan sumberdaya tetap terjaga kelestariannya dengan demikian kegiatan eksploitasi yang dilakukan perlu adanya kebijakan lain seperti pengkenaan pajak (tax) yang nantinya sebagai pemasukan negara yang diperuntukkan sebagai rehabilitasi lingkungan dan pembangunan sarana seperti pelabuhan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dll, sesuai dengan UU. No. 31 2004 pasal 50. Akan tetapi penerapan pajak harus dikaji secara mendalam jangan sampai penerapan dari pada pajak akan mengakibatkan disinsentif sehingga penerapan pajak malah akan menjadikan pengeksploitasian secara berlebihan untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal. Penerapan pajak yang tidak sesuai mengakibatkan penambahan jumlah tangkapan nelayan sehingga tujuan pajak itu sendiri dalam pengurangan jumlah tangkapan tidak terjadi. Dan untuk daerah yang telah terindikasi atau terjadi over fishing dengan adanya pajak akan dapat mengurangi jumlah hasil tangkapan yang bertujuan agar diperairan tersebut akan terjadi rehabilitasi secara alamiah. Penerapan pajak selain dapat dikenakan pada input produksi juga dapat dilakukan terhadap output produksi. Penerapan pada output dapat dilakukan dengan mengalikan besaran pajak dengan volume hasil tangkapan (Rp/kg). Dalam penerapan pajak pada input sangatlah sulit dalam menentukan tingkat pajak yang diterapkan, hal ini dikarenakan banyaknya komponen input itu sendiri (tenaga kerja, mesin, gross tonage, jumlah trip) dan bila pajak dikenakan terhadap salah satu input hal ini akan menjadi substitusi terhadap komponen input yang lainnya, sehingga para nelayan akan menambah komponen input yang lainnya, pajak seperti ini tidak akan berlaku efektif terhadap pengurangan upaya pada perikanan. Selanjutnya pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 2.5.

26 Rp Biaya Penerimaan A TC TC max B TR E T E msy E Upaya (Effort) Gambar 2.5. Pengaruh pajak input terhadap hasil tangkapan Dari kurva diatas dapat diketahui bahwa pajak mengakibatkan biaya total (TC) akan bergeser sebesar TC = (c+t)e sehingga pajak per satuan upaya dapat mengurangi jumlah upaya dari E ke tingkat upaya sebesar E T. Dan besarnya pajak yang diterima oleh pemerintah sebesar AB. Sehingga pajak yang dikenakan pada input produksi akan mengakibatkan adanya sebagian pengalihan biaya produksi kepada pajak sehingga hal tersebut mengakibatkan berkurangnya usaha untuk produksi. Rp Biaya Penerimaan A TC T TR B TR T E T E msy E Upaya (Effort) Gambar 2.6. Kurva pengaruh pajak per output terhadap hasil tangkapan

27 Dari kurva diatas didapatkan akibat penerapan pajak kepada output, kurva TR akan bergerak turun menjadi TR T. titik pertemuan antara kurva TC dan kurva TR T menghasilkan keseimbangan upaya setelah pajak. Dalam hal ini upaya berkurang dari E menjadi E T dan pemerintah memperoleh penerimaan pajak sebesar jarak AB. Disisi lain dalam pemanfaatan sumberdaya kita juga harus mengetahui titik Maximum Sustainable Yield (MSY) yang pertama kali dikemukakan oleh Gordon- Schaefer. Menurut Fauzi (2004) ada beberapa asumsi yang akan digunakan untuk mempermudah pemahaman, asumsi-asumsi tersebut antara lain : 1. Harga persatuan output, (Rp/Kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna. 2. Biaya persatuan upaya ( c ) dianggap konstan. 3. Spesies sumber daya ikan bersifat tunggal (single species). 4. Struktur pasar bersifat kompetitif. 5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). h (E) h msy Produksi lestari E msy E max Upaya (Effort) Gambar 2.7. Kurva produksi lestari-upaya (yield-effort curve) Dari kurva diatas terlihat bahwa saat aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol. Ketika upaya tersebut ditingkatkan pada titik E msy akan diperoleh produksi yang maksimum. Produksi pada titik tersebut disebut sebagai titik Maximum

28 Sustainable Yield (MSY) dan bila terus dilakukan penambahan aktivitas (upaya) maka produksi akan turun kembali bahkan akan mencapai titik nol (E max ) atau dengan kata lain pada saat penambahan upaya mengakibatkan penurunan jumlah produksi maka pada saat tersebut kita telah terjadi over fishing. Rp Biaya Penerimaan B TC TC max C TR E 0 E msy E Upaya (Effort) Gambar 2.8. Kurva Model Gordon-schaefer Pada saat tingkat upaya lebih rendah dari E (sebelah kiri dari E ), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi open acces maka akan mengakibatkan adanya pertambahan pelaku perikanan baru masuk sehingga akan terjadi tingkat upaya yang lebih tinggi dari (disebelah kanan E ) sehingga total biaya lebih besar dari total penerimaan dan hal ini akan mengakibatkan pelaku perikanan keluar. Bila kita lihat maka keuntungan maksimum dan tidak menghilangkan dari pada sumberdaya itu sendiri terjadi pada saat dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC).