BAB IX PEMBAHASAN UMUM

dokumen-dokumen yang mirip
VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

disukai masyarakat luas karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dalam kondisi aseptik secara in vitro (Yusnita, 2010). Pengembangan anggrek

VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO ABAKA (Musa textilis Nee) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM RULLY DYAH PURWATI

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAB VI. SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP F. oxysporum f.sp. cubense MENGGUNAKAN FILTRAT KULTUR SEBAGAI AGENS PENYELEKSI

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penyediaan lapangan kerja dan sumber devisa. Kondisi ini merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) termasuk sayuran buah yang

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan

Teknik Pengujian In Vitro Ketahanan Pisang terhadap Penyakit Layu Fusarium Menggunakan Filtrat Toksin dari Kultur Fusarium oxysporum

Fusarium sp. ENDOFIT NON PATOGENIK

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pisang adalah tanaman penghasil buah yang paling banyak dikonsumsi dan

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

PENGGUNAAN ASAM FUSARAT DALAM SELEKSI IN VITRO UNTUK RESISTENSI ABAKA TERHADAP Fusarium oxysporum f.sp. cubense

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*)

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN VARIASI SOMAKLONAL TANAMAN KRISANTIMUM MELALUI INDUKSI KALUS. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang

TINJAUAN PUSTAKA. Syarat Tumbuh

kerusakan akihat faktor biotik, khususnya oleh mikroorganisme patogen. Plasma

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way

HASIL DAN PEMBAHASAN

RESISTENSI PISANG AMPYANG

I. PENDAHULUAN. Pisang Cavendish merupakan komoditas pisang segar (edible banana) yang

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Perbaikan Ketahanan Abaka Terhadap Fusarium dan Prospek Pengembangannya

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

PELAKSANAAN PENELITIAN

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAB I PENDAHULUAN. yang produknya digunakan sebagai bahan baku industri serta sangat penting

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berpotensi sebagai komoditas agribisnis yang dibudidayakan hampir di seluruh

Efektifitas Solarisasi Tanah Terhadap Penekanan Perkembangan Jamur Fusarium Pada Lahan Tanaman Pisang Yang Terinfeksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN. Biakan Jamur Colletotrichum sp

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

HASIL DAN PEMBAHASAN

MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI

BAHAN DAN METODE. Gambar 2. Bibit Caladium asal Kultur Jaringan

V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO

yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Pisang

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tomat pertama kali ditemukan di dataran Amerika yaitu disekitar

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

I. PENDAHULUAN. di dunia setelah gandum dan jagung. Padi merupakan tanaman pangan yang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BIBIT PISANG ABAKA DENGAN KULTUR JARINGAN DR IR WENNY TILAAR,MS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

Seleksi In Vitro dan Pengujian Mutan Tanaman Pisang Ambon Kuning untuk Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati

Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 17 (2): ISSN eissn Online

KETAHANAN BEBERAPA GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO TERHADAP PENYAKIT LAYU CENDAWAN Fusarium sp

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 5 PENEKANAN PENYAKIT IN PLANTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. spesies. Klasifikasi tanaman ubikayu adalah sebagai berikut:

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman

Transkripsi:

120 BAB IX PEMBAHASAN UMUM Salah satu penyebab rendahnya produktivitas serat abaka antara lain karena adanya penyakit layu Fusarium atau Panama disease yang ditimbulkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp cubense (Foc) pada areal pertanaman. Infeksi Foc yang dapat menyebabkan kelayuan dan mengakibatkan kematian tanaman abaka, sangat menurunkan produktivitas karena serat abaka dihasilkan dari pelepah yang membentuk batang semu. Permasalahan ini sulit dipecahkan karena belum tersedianya genotipe abaka yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium dan berdaya hasil tinggi di Indonesia. Berbagai alternatif telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu pengendalian penyakit secara terpadu dengan penggunaan bibit sehat, penggunaan mikroba antagonis, penanaman gulma berguna dan penggunaan pestisida nabati, namun keberhasilannya masih diragukan. Sejauh ini, penggunaan kultivar/klon abaka yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian Foc. Diperolehnya klon abaka yang resisten terhadap Foc melalui induksi keragaman genetika yang dikombinasikan dengan seleksi in vitro terhadap genotipe-genotipe abaka yang berdaya hasil tinggi merupakan pemecahan masalah yang strategis. Untuk mendapatkan klon abaka unggul dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium tersebut diperlukan tersedianya metode seleksi resistensi terhadap infeksi Foc yang efektif dan akurat untuk tanaman abaka, metode induksi variasi somaklonal untuk meningkatkan keragaman genetika abaka, dan metode seleksi in vitro yang dapat menghasilkan tunas insensitif terhadap agens penyeleksi yaitu filtrat kultur Foc atau asam fusarat. Dengan tersedianya ketiga hal tersebut akan memudahkan evaluasi dan pengambilan keputusan terhadap hasil mutasi dan seleksi in vitro. Dalam penelitian ini digunakan abaca klon Tangongon yang telah diketahui memiliki daya hasil serat tinggi dan Sangihe-1 yang memiliki kualitas pulp/kertas baik. Ciri khas genotipe abaka yang memiliki daya hasil tinggi ditunjukkan dengan beberapa karakter antara lain: tinggi dan lingkar batang besar,

121 jumlah anakan banyak, dan rendemen seratnya tinggi. Klon Tangongon dapat mencapai tinggi 4.5-5.5 meter pada lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya yaitu curah hujan mencapai 2 000-3 000 mm/tahun dengan temperatur rata-rata 27 o C dan kelembaban udara 78-88% (Sudjindro 1999; Dempsey 1963). Klon Sangihe-1 memiliki kualitas pulp/kertas baik yang dicirikan dengan lebih tingginya karakter-karakter indeks retak, indeks tarik, indeks sobek, dan rendemen kertas dibandingkan 10 klon lainnya (Setyo-Budi et al. 2001). Namun, kedua klon tersebut tidak didiskripsikan sebagai klon yang resisten terhadap penyakit layu Fusarium. Untuk memperoleh informasi yang akurat apakah aktivitas peningkatan keragaman genetik dan seleksi in vitro diatas efektif atau tidak, diperlukan ukuran karakter resistensi terhadap infeksi Foc pada populasi hasil regenerasi dari seleksi in vitro. Oleh karena itu pada awal penelitian dilakukan percobaan untuk menetapkan karakter yang secara konsisten dapat memisahkan genotipe yang ada kedalam kelompok imun, tahan, agak tahan, agak rentan, rentan, dan sangat rentan, sehingga peluang terjadinya kekeliruan dapat diperkecil. Dalam percobaan untuk pengembangan metode penapisan dievaluasi metode inokulasi 1 (INO-1): penanaman bibit abaka dalam media tanam yang diinfeksi dengan Foc. Inokulum diperoleh dengan mencampur Foc yang dibiakkan dalam media beras (10 g) dengan media tanah (3 kg) dan diinkubasikan selama satu minggu sebelum bibit abaka ditanam. Metode INO-2: penanaman bibit abaka yang akarnya telah dipotong ± 1 cm di bagian ujung dan direndam selama dua jam dalam suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml) pada media tanah steril. Metode INO-3: penanaman bibit abaka dalam media tanah steril dan penyiraman dengan 50 ml suspensi konidia Foc (10 6 konidia/ml). Bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc digunakan sebagai pembanding. Untuk memperoleh metode penapisan yang lebih akurat, dilakukan evaluasi pengaruh penggunaan dua tingkat kerapatan konidia terhadap munculnya gejala dan intensitas penyakit layu Fusarium pada tiga klon abaka (Tangongon, Sangihe-1 dan UB3). Kerapatan konidia Foc isolat Banyuwangi yang dievaluasi terdiri atas: 10 5 konidia/ml (KON- 1) dan 10 6 konidia/ml (KON-2). Dari hasil percobaan di atas diketahui bahwa perlakuan INO-2 dan

122 kerapatan konidia 10 6 konidia/ml (KON-2) dapat menimbulkan gejala kelayuan dan intensitas penyakit paling tinggi pada bibit abaka yang diinokulasi. Perlakuan tersebut digunakan untuk pengujian respon sepuluh genotipe abaka dan terbukti dapat memisahkan genotipe abaka ke dalam kelompok sangat rentan dan rentan pada fase pertumbuhan bibit di rumah kaca. Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa sembilan dari sepuluh genotipe yang diuji terhadap infeksi Foc memiliki respon yang sama yaitu sangat rentan, mengindikasikan bahwa genotipe-genotipe tersebut memiliki keragaman genetika sempit (bahasan BAB III). Keragaman genetika yang sempit tersebut dapat ditingkatkan dengan cara induksi variasi somaklonal dengan menambahkan mutagen EMS pada kultur in vitro kalus embriogen abaka. Peningkatan keragaman genetika tanaman merupakan langkah awal untuk mengembangkan klon yang resisten terhadap infeksi penyakit. Pada percobaan evaluasi efektivitas EMS untuk meningkatkan keragaman somaklonal plantlet abaka yang diregenerasikan dari kultur kalus embriogen ini, dua genotipe abaka Tangongon dan Sangihe-1 diperlakukan dengan berbagai konsentrasi EMS. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan EMS terhadap kalus embriogen abaka meskipun menghambat proliferasi tunas, namun dapat meningkatkan tipe varian somaklonal diantara bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen. Tipe varian somaklonal yang dijumpai diantara bibit abaka antara lain: daun variegata, daun berkerut, pelepah berwarna ungu kehitaman, pelepah menyatu dan batang ramping. Keberadaan sejumlah fenotipe varian diantara bibit abaka hasil perlakuan EMS pada kalus embriogen mengindikasikan meningkatnya keragaman genetika bibit abaka sehingga membuka peluang penggunaan kalus embriogen yang dikombinasikan dengan perlakuan EMS untuk mendapatkan karakter unggul tertentu seperti resistensi terhadap layu Fusarium (bahasan BAB IV). Evaluasi varian somaklonal tanaman abaka hasil perlakuan dengan EMS dilanjutkan hingga fase pertumbuhan generatif yaitu umur 16 bulan setelah tanam, dengan tujuan untuk mengevaluasi efektifitas EMS terhadap peningkatan keragaman sifat kuantitatif terutama produktivitas dan kualitas serat. Dari hasil pengukuran karakter kualitatif dan kuantitatif diperoleh beberapa tipe varian antara lain daun variegata, tanaman kate atau kerdil, tanaman lebih tinggi,

123 produktivitas dan kualitas serat tinggi. Selain produktivitas dan kualitas serat, tipe varian yang diamati pada fase pertumbuhan generatif sama dengan pada fase pertumbuhan vegetatif (bibit), hal ini menunjukkan adanya konsistensi pengaruh EMS terhadap peningkatan keragaman genetika abaka. Tipe dan frekuensi keragaman kualitatif dan kuantitatif pada klon Tangongon berbeda dengan klon Sangihe-1, mengindikasikan adanya pengaruh genotipe terhadap terbentuknya varian somaklonal. Diperolehnya varian-varian diantara populasi hasil regenerasi kalus embriogen abaka dengan perlakuan EMS membuka peluang penggunaan kalus embriogen yang dikombinasikan dengan perlakuan EMS untuk mendapatkan karakter unggul tertentu seperti resistensi terhadap layu Fusarium. Untuk menyeleksi varian-varian tersebut perlu didukung dengan teknik seleksi in vitro menggunakan filtrat kultur Foc atau asam fusarat (bahasan BAB V). Dalam penelitian ini peningkatan keragaman genetika dilakukan dengan perlakuan EMS pada eksplan dan diikuti dengan pengkulturan eksplan secara in vitro sehingga diperoleh proliferasi sel varian. Selanjutnya, sel atau jaringan varian diseleksi dalam media selektif dengan penambahan agens penyeleksi tertentu untuk mengidentifikasi sel atau jaringan varian yang insensitif. Regenerasi plantlet dari sel atau jaringan varian dapat menghasilkan tanaman yang resisten terhadap infeksi penyakit yang diinginkan. Seleksi in vitro dilakukan dengan menggunakan filtrat kultur (FK) Foc dan asam fusarat (AF) sebagai agens penyeleksi. Pada penggunaan FK Foc, percobaan dilakukan untuk mengevaluasi daya hambat FK dari tiga isolat Foc terhadap pertumbuhan tunas abaka, menentukan konsentrasi sub-letal FK isolat Foc terpilih, yaitu konsentrasi FK yang mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan tunas abaka minimal 90%, meregenerasikan sel/jaringan varian abaka yang insensitif terhadap FK Foc menjadi plantlet, dan mengevaluasi respon plantlet yang didapat dari hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc. Dari hasil penelitian, FK Foc isolat Banyuwangi, Bojonegoro, dan Malang mempunyai daya hambat yang berbeda. Filtrat kultur tiga isolat Foc yang digunakan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Tetapi FK Foc isolat Banyuwangi menunjukkan daya

124 hambat lebih tinggi dibandingkan isolat Bojonegoro dan Malang. Perbedaan tersebut berhubungan dengan produksi toksin oleh masing-masing isolat, karena isolat yang memproduksi toksin lebih tinggi dapat menimbulkan penghambatan lebih kuat (Cachinero et al. 2002). Meskipun dari kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 dengan perlakuan EMS 0.6% dapat dihasilkan tunas abaka yang insensitif FK Foc, tidak semua bibit yang diregenerasikan dari tunas hasil seleksi in vitro bersifat resisten terhadap infeksi Foc (sebagian rentan terhadap infeksi Foc). Hal ini diduga antara lain akibat terbentuknya tunas kimera atau terjadinya escaped dalam proses seleksi in vitro. Tunas kimera yang tersusun dari jaringan varian (resisten) dan jaringan normal (rentan) dapat bertahan dalam media selektif yang mengandung FK Foc sehingga terjadi salah identifikasi hasil seleksi in vitro. Sel/jaringan kimera yang escaped dari seleksi tidak 100% terdiri atas sel/jaringan varian yang insensitif terhadap FK Foc tetapi juga terdapat sel/jaringan normal. Pada tahapan proliferasi, sel/jaringan yang escaped dari seleksi juga akan menghasilkan bibit yang rentan terhadap infeksi Foc. Pada tahapan proliferasi dalam media tanpa penambahan FK Foc, tunas baru dapat berkembang dari sel/jaringan normal sehingga menghasilkan bibit dengan fenotipe rentan terhadap infeksi Foc (bahasan BAB VI). Salah satu toksin yang diproduksi oleh cendawan Foc adalah asam fusarat (Bacon et al. 1996), merupakan toksin yang sering digunakan sebagai agens penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk memperoleh tanaman tahan terhadap Foc. Daya hambat pertumbuhan kalus dan tunas in vitro klon Tangongon dan Sangihe- 1 dipengaruhi oleh konsentrasi AF yang ditambahkan ke dalam media selektif. Penghambatan pertumbuhan kalus dan tunas pada media selektif dengan penambahan AF merupakan akibat terganggunya permeabilitas membran sel dan protoplas, terhambatnya oksidasi sitokrom dan respirasi pada mitokondria sehingga menghambat sintesis ATP, serta menurunnya aktivitas fenol (Jin et al. 1996; Bouizgarne et al. 2006). Daya hambat AF terhadap proliferasi kalus dan tunas klon Sangihe-1 lebih tinggi dibandingkan Tangongon, mengindikasikan adanya pengaruh faktor genetika diantara dua klon tersebut.

125 Kalus yang telah diberi perlakuan EMS 0.6% dan diseleksi dalam media selektif dengan penambahan AF 50 mg/l menunjukkan respon yang beragam (eksplan membusuk, diantara kalus yang membusuk berkembang kalus embriogen, tunas ruset, atau tunas normal abaka yang insensitif terhadap AF). Keragaman ini diduga terjadi sebagai akibat adanya mutasi yang diinduksi dengan EMS atau sel-sel yang tidak terseleksi dalam media selektif (kimera). Seleksi in vitro dengan penambahan AF 50 mg/l menghasilkan total 85 tunas abaka klon Tangongon dan 28 tunas abaka klon Sangihe-1 yang insensitif terhadap AF. Tunas yang insensitif terhadap toksin yang digunakan dalam seleksi in vitro merupakan akibat terinduksinya enzim detosifikasi pada tanaman, ketahanan sistemik (SAR) atau elisitor untuk menghasilkan fitoaleksin (Jayasankar et al. 2000; Svabova & Lebeda 2005; Yusnita et al. 2005). Hasil evaluasi tunas yang insensitif AF menunjukkan bahwa 2 dari 3 tunas tersebut imun terhadap infeksi Foc. Resistensi tunas/tanaman hasil seleksi in vitro terhadap patogen berkorelasi dengan ketahanan tunas tersebut terhadap toksin yang ditambahkan dalam media selektif (bahasan BAB VII). Resistensi terhadap infeksi Foc plantlets abaka hasil regenerasi dari seleksi in vitro, mutagenesis dan kultur jaringan dievaluasi dengan metode inokulasi dan kerapatan konidia yang dikembangkan pada BAB III. Pada penelitian ini, persentase bibit abaka resisten terhadap Foc hasil seleksi in vitro dengan agens penyeleksi FK Foc lebih tinggi dibandingkan dengan AF, mengindikasikan bahwa penggunaan FK Foc lebih efektif dibandingkan dengan AF. Efektifitas FK Foc untuk agens penyeleksi dalam seleksi in vitro disebabkan karena dalam FK Foc terdapat fitotoksin lain selain asam fusarat yang disekresikan patogen tersebut antara lain: trichothecenes (Svabova & Lebeda 2005). Sejumlah bibit abaka yang diregenerasikan dari kultur jaringan dan hasil mutagenesis dengan EMS tanpa melalui seleksi in vitro juga resisten terhadap infeksi Foc. Hal ini terjadi karena adanya perubahan genetika yang menyebabkan variasi somaklonal (Skirvin et al. 1994). Perubahan genetika yang mendasari terjadinya variasi somaklonal meliputi mutasi titik, perubahan jumlah kopi gen tertentu, aktivasi transposable element, perubahan jumlah kromosom, chromosomal rearrangement, dan metilasi DNA ( Larkin & Scowcroft 1981,

126 Gichner 2003). Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa resistensi abaka dapat diinduksi dengan kultur jaringan, mutagenesis in vitro menggunakan EMS, dan mutagenesis yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro menggunakan FK Foc atau AF sebagai agens penyeleksi (bahasan BAB VIII).