BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

RIWAYAT HIDUP PENELITI. : dr. Haryo Prabowo NIM : Tempat / Lahir : Medan / 26 Desember 1985

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pindah ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB I PENDAHULUAN. memberikan respon stress bagi pasien, dan setiap pasien yang akan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. anestesi yang dilakukan terhadap pasien bertujuan untuk mengetahui status

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anestesi spinal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. seluruh proses kelahiran, dimana 80-90% tindakan seksio sesaria ini dilakukan dengan anestesi

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang. sistem kesehatan modern. Peningkatan pelayanan di semua bidang pelayanan

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PREEKLAMPSIA - EKLAMPSIA

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan atau potensi kerusakan

PELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI (PAB)

PELAYANAN BEDAH DAN ANESTESI

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS SENYAWA STIMULAN SISTEM SARAF PUSAT. JULAEHA, M.P.H., Apt

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSUP dr. Kariadi Semarang,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keperawatan pasca operasi merupakan periode akhir dari keperawatan

BAB 1 1. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio

Preeklampsia dan Eklampsia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Afrika 11,9%, terendah di Eropa 6,2% dan Asia Tenggara 11,1% (Beck, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilakukan dengan General Anesthesia (GA), Regional Anesthesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum pemberian agen

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesi untuk pengelolaan nyeri, tanda vital, juga dalam pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Bayi dengan asfiksia neonatorum

BAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

OBAT OBAT EMERGENSI. Oleh : Rachmania Indria Pramitasari, S. Farm.,Apt.

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. multiorgan, ini disebut septic shock. Sepsis merupakan SIRS (Systemic. tempat infeksi, maka ini disebut dengan sepsis berat.

BAB I PENDAHULUAN. Dari data antara tahun 1991 sampai 1999 didapatkan bahwa proses

MANAJEMEN NYERI POST OPERASI

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis dari suatu teknologi yang baru adalah penting. Reformasi pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan ekstraksi adalah prosedur yang menerapkan prinsip bedah, fisika, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosional atau mengalami cemas akan mengalami rasa nyeri yang hebat setelah

Hipertensi dalam kehamilan. Matrikulasi Calon Peserta Didik PPDS Obstetri dan Ginekologi

BAB I PENDAHULUAN. didalam tindakan operasi atau pembedahan untuk menghilangkan rasa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Berdasarkan data yang didapat dari studi pendahuluan

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kardiovaskular dalam keadaan optimal yaitu dapat menghasilkan aliran

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Anestesi spinal telah digunakan sejak tahun 1885 dan sekarang teknik ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera

PENGARUH KOMPRES HANGAT DI SUPRA PUBIK TERHADAP PEMULIHAN KANDUNG KEMIH PASCA PEMBEDAHAN DENGAN ANESTESI SPINAL DI RSUD BATANG

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Pemberian sediaan poliherbal menurunkan tekanan darah tikus model

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi impaksi adalah gigi yang gagal untuk erupsi secara utuh pada posisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang. Mual dan muntah pasca operasi atau yang biasa disingkat PONV (Post

BAB I PENDAHULUAN. Mual muntah pascaoperasi atau post operatif nausea and vomiting (PONV)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi. Menurut Basha (2009) hipertensi adalah satu keadaan dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan merupakan kejadian fisiologi yang normal dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan bedah pada pasien menunjukkan peningkatan seiring tumbuhnya

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia

BAB I PENDAHULUAN. dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia, baik anjing ras maupun anjing lokal. Selain lucu, anjing juga

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penemuan kurare oleh Harold Griffith dan Enid Johnson pada tahun 1942 merupakan tonggak bersejarah dalam perkembangan ilmu anestesi. Kurare telah memfasilitasi intubasi dan menyediakan relaksasi otot selama pembedahan. Hal ini merupakan kabar gembira bagi dokter anestesi di seluruh dunia. Untuk pertama kali, prosedur operasi dapat dilakukan tanpa membutuhkan tingkat sedasi yang relatif dalam untuk menghasilkan relaksasi otot yang baik. Hal ini tentunya mengurangi penggunaan obat-obat anestesi yang sebelumnya diberikan dalam dosis besar dan berdampak pada depresi sistem pernafasan dan kardiovaskular. Beberapa tahun kemudian, tahun 1949, Bovert berhasil mensintesis succinyl choline, dan mempublikasikan penggunaannya secara luas pada tahun 1951. 1 Selama beberapa dekade succinylcholine telah menjadi obat standar yang dipakai untuk memfasilitasi intubasi trakea selama induksi sekuensial cepat (rapid sequence induction). Mula kerja yang cepat, relaksasi otot yang baik, durasi kerja yang ultra singkat membuat penggunaan nya sulit tergantikan dalam praktis klinis. 1 Succinyl choline pernah menjadi obat pelumpuh otot utama pada induksi sekuensial cepat, akan tetapi obat ini dikontra indikasikan pada beberapa keadaan klinis seperti luka bakar berat, cedera berat lebih dari 48 jam, cedera medulla spinalis, dan riwayat hipertermia maligna. 2,3 Succinylcholine tetap menjadi pilihan utama pada intubasi trakea karena secara konsisten menyediakan relaksasi otot yang baik dalam waktu 60 90 detik. 1 Akan tetapi akhir-akhir ini, penggunaan succinylcholine mulai ditinggalkan, efek samping yang ditimbulkan menuntut penemuan pelumpuh otot-saraf lain yang lebih aman dan ideal. Pada akhirnya pelumpuh otot non depolarisasi seperti vecuronium, atracurium, dan rocuronium dianggap ideal untuk menggantikan succinylcholine walaupun tidak ada satu pun dari golongan ini yang menyamai karakteristik succinylcholine. 1

Ketika succinylcholine menjadi kontraindikasi, penggunaan pelumpuh otot saraf nondepolarisasi menjadi rasional. Akan tetapi mula kerja dan potensi dari obat ini tidak sebaik succinylcholine. Mula kerja pelumpuh otot-saraf nondepolarisasi dapat dipercepat dengan pemberian dosis priming sebelum dosis penuh intubasi, dengan menggunakan dosis yang tinggi dari setiap obat pelumpuh otot-saraf, atau dengan menggunakan kombinasi pelumpuh otot-saraf. 4 Intubasi trakea cepat diperlukan oleh pasien-pasien dengan resiko aspirasi, walaupun ketika bukan dalam keadaan emergensi. 5 Kecepatan mula kerja dari pelumpuh otot-saraf diperlukan untuk dengan cepat mengamankan jalan nafas pada pasien emergensi dan pasien dengan resiko aspirasi yang tinggi. 4 Mula kerja suatu pelumpuh otot-saraf berbanding terbalik dengan potensinya. ED 95 yang besar menandakan obat mempunyai potensi yang rendah, tetapi semakin tinggi nilai nya akan memberikan mula kerja obat yang cepat, demikian sebaliknya. 4 Semakin poten suatu obat (cisatracurium) maka semakin lambat mula kerjanya, dosis yang dibutuhkan semakin kecil untuk mendapatkan efek dan semakin kurang poten suatu obat (rocuronium) maka semakin cepat mula kerjanya, dosis yang dibutuhkan lebih besar untuk mendapatkan efek. 4 Beberapa peneliti merekomendasikan pemberian dosis kecil subparalisis sekitar 20 % dari ED 95 atau 10 % dari dosis intubasi, diberikan 2-4 menit sebelum dosis kedua yang lebih besar. Prosedur ini akan mempercepat mula kerja pelumpuh otot non depolarisasi 30-60 detik, dimana intubasi dapat dilakukan 90 detik setelah dosis kedua. Adapun kondisi intubasi yang terjadi setelah priming tidak menyamai pemberian succinylcholine. Priming juga membawa resiko aspirasi dan kesulitan menelan serta gangguan visus dengan derjat penghambatan yang dapat mengganggu kenyamanan pasien, adapun hal ini dapat terjadi pada pasien sakit kritis dan geriatrik. 4,6 Pelumpuh otot dalam dosis besar direkomendasikan ketika intubasi harus dilaksanakan dalam waktu kurang dari 90 detik. Dosis yang lebih besar ini berhubungan dengan pemanjangan durasi kerja dan meningkatkan resiko efek samping kardiovaskular. Meningkatkan dosis

hal ini. 13 Anak-anak dengan cerebral palsy menunjukkan resistensi terhadap pelumpuh otot non rocuronium 0.6 mg/kg (2 x ED 95) menjadi 1.2 mg/kg ( 4x ED 95) akan memperpendek mula kerja dari 89 detik menjadi 55 detik tetapi secara signifikan memperpanjang durasi kerja dari 37 menit menjadi 73 menit. 4 Meningkatkan dosis atracurium juga mempunyai dampak terhadap pelepasan histamine dan akan mempengaruhi hemodinamik dan sistem kardiovaskular. 4,7 Selain permasalahan diatas, intubasi sekuensial cepat dan resistensi terhadap pelumpuh otot adalah keadaan klinis yang menyebabkan tidak tercapai nya keadaan relaksasi otot yang cukup pada saat intubasi endotrakea. 8,9 Hal ini disebabkan karena tidak terpenuhinya waktu untuk mendapatkan efek maksimal dari obat. Kerja pelumpuh otot yang tidak adekuat akan menyebabkan kegagalan pita suara untuk terbuka sempurna, kegagalan intubasi endotrakea, dan kondisi intubasi yang sulit dan tidak nyaman bagi operator intubasi. Pada akhirnya hal-hal diatas akan menyebabkan cedera laring, morbiditas pada pita suara dan serak paska operasi. 10,11,12 Beberapa pasien menunjukkan resistensi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi, hal ini dapat disebabkan obat-obatan atau penyakit. Pada kasus seperti ini magnesium dapat menjadi solusi. Pasien yang akan menjalani kraniotomi sering mendapat asam valproat sebelum tindakan operasi untuk mengontrol kejang. Asam valproat akan menurunkan potensi klinis rocuronium dan akan meningkatkan kebutuhan dosis, magnesium sulfat dapat mengurangi kebutuhan akan depolarisasi, dengan pemberian magnesium sulphate, kebutuhan rocuronium dapat dikurangi dan efek analgesia dari magnesium sulphate menunjukkan berkurangnya konsumsi opioid pasca operasi. 14 Rocuronium dapat digunakan sebagai alternatif pada kasus-kasus dimana succinylcholine dikontraindikasikan. Mula kerja rocuronium, yaitu mulai pemberian sampai supresi 95 % kedutan pertama lebih cepat dengan penggunaan dosis yang tinggi dan hal ini semakin dipersingkat lagi dengan pemberian pretreatment MgSO4. 15 Peningkatan dosis rocuronium memiliki dampak pada pemanjangan durasi kerja dan rocuronium ternyata memiliki ceiling efek. Penambahan dosis obat tidak selalu memberikan jaminan mula kerja yang lebih cepat. Terlebih lagi pemanjangan durasi kerja pelumpuh otot tidak diharapkan pada setiap pembedahan. 8,16,17

Magnesium digunakan secara luas dalam kedokteran peri operatif, mulai dari pengobatan aritmia pada pasien-pasien jantung sampai obat untuk mengontrol tekanan darah dan mengendalikan kejang pada pasien-pasien dengan pre eklampsia berat dan eklampsia. 17 Magnesium sulphate memberikan keuntungan ketika digunakan pada prosedur intubasi oleh karena efek potensiasi dengan obat-obat pelumpuh otot non depolarisasi. 17-20 Magnesium bekerja sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate yang memiliki efek pada transmisi saraf otot. Pemberian magnesium juga dapat mempercepat mula kerja pelumpuh otot, mekanisme ini didasarkan pada menurun nya pelepasan acethylcholine presinaps dengan menurunkan konduksi saluran kalsium yang bergantung tegangan. 17, 21,22 Pemberian magnesium sulphate sebagai adjuvan perioperatif akan menurunkan kebutuhan akan pelumpuh otot non depolarisasi. 13 Kim dan kawan kawan menginvestigasi, apakah pemberian magnesium sulphate dengan priming rocuronium mempersingkat mula kerja pelumpuh otot. Sembilan puluh pasien yang dijadwalkan anestesi umum, dialokasikan pada empat grup secara random. Grup kontrol mendapat 0.6 mg/kg rocuronium, pasien pada grup priming mendapat 0.06 mg/kg rocuronium 3 menit sebelum dosis utama 0.54 mg/kg. Pasien pada grup magnesium mendapat 50 mg/kg magnesium sulphate sebelum rocuronium, sedangkan pada grup magnesium dan priming diberikan keduanya baik priming rocuronium dan magnesium. Intubasi endotracheal dilakukan 40 detik setelah injeksi rocuronium. Pada penelitian ini luaran primer yang hendak dinilai adalah mula kerja pelumpuh otot, durasi kerja pelumpuh otot dan kondisi intubasi endotrakea. Grup magnesium dan priming menunjukkan mula kerja yang paling singkat 56 detik (mempersingkat 63 % dibandingkan kontrol) dengan standar deviasi 16, magnesium (94 detik), priming (125 detik), kontrol (150 detik) dan kondisi intubasi yang paling baik. Intubasi trakea sukses dilakukan pada detik 60 pada semua subjek penelitian. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada durasi kerja. Durasi kerja pelumpuh otot memanjang 27 % pada grup magnesium dan 30 % pada grup magnesium dan priming. Magnesium menurunkan kebutuhan rocuronium yang diperlukan untuk memelihara relaksasi otot selama pembedahan. Hal ini menyebabkan tidak bermaknanya pemanjangan durasi kerja pelumpuh otot pada akhir operasi. 23 Hasil yang didapat pada penelitian (magnesium sulphate + priming) ini jika dibandingan dengan rocuronium akan membutuhkan peningkatan dosis rocuronium hingga 1.6 mg/kg bb

untuk mencapai kecepatan mula kerja yang sama dengan efek pemanjangan hingga 2.5 x dari pemberian rocuronium 0.8 mg/kg bb. 23 Mula kerja obat juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti obat-obat anestesi yang digunakan, indeks massa tubuh, peralatan monitoring yang digunakan untuk menstimulasi saraf, dan definisi operasional peneliti mengenai mula kerja. 23 Pada penelitian Kim dan kawan-kawan ini penggunaan dosis 50 60 mg/kg bb tidak berhubungan dengan komplikasi serius. Efek samping yang dilaporkan meliputi rasa panas dan sensasi terbakar pada 35 % grup magnesium dan 26 % grup magnesium dan priming. Tidak dijumpai efek samping seperti kesulitan bernafas atau aspirasi isi lambung pada subjek yang mendapat dosis priming. 23 Penelitian ini menyimpulkan bahwa kombinasi magnesium sulphate dan priming rocuronium mempercepat mula kerja dan meningkatkan kondisi intubasi, dibandingkan dengan grup magnesium sulphate, grup priming, dan grup kontrol. 23 Czarnetzki dan kawan-kawan membandingkan pemberian magnesium sulphate 60 mg/kg sebagai pretreatment dan mengamati mula kerja dan durasi kerja rocuronium. Magnesium sulphate diberikan 15 menit sebelum induksi anestesia. Pasien yang mendapat magnesium menunjukkan mula kerja yang lebih singkat 77 SD 18 detik, dibandingkan placebo 120 SD 24 detik (p<0.001). Dengan pretreatment magnesium sulphate NNT untuk mula kerja lebih cepat dari 60-70 detik dibandingkan placebo adalah 5, sedangkan NNT untuk lebih cepat dari 80 atau 90 detik adalah 2. 17 Rasa terbakar atau sensasi panas pada saat pemberian magnesium sulfat dilaporkan 25 dari 40 (62.5 %) pasien dan tidak ada laporan dari grup placebo (p<0.005). Pemberian magnesium sulphate hingga total 16 gram tidak memberikan efek samping yang serius. 24 Kesimpulan penelitian Czarnetzki dan kawan-kawan bahwa pemberian magnesium sulphate 15 menit sebelum induksi anestesi akan mempersingkat mula kerja rocuronium 35 % dan memperpanjang masa pemulihan total sekitar 25 % dari kontrol. 17 Perbedaan efikasi pada pemberian magnesium sulphate merefleksi kepada perbedaan farmakodinamik dari obat pelumpuh otot, semakin singkat mula kerja dari pelumpuh otot maka semakin minimal efek magnesium sulphate. Dapat diasumsikan bahwa efek magnesium terhadap sambungan saraf otot bergantung pada konsentrasi dan waktu. Oleh karenanya pemberian magnesium sulphate secara bolus cepat sebelum rocuronium, menyebabkan magnesium belum

mencapai sambungan saraf otot dan konsentrasi nya masih rendah dan tidak cukup untuk mempengaruhi rocuronium. Ion magnesium membutuhkan waktu untuk melakukan penetrasi ke endplate sambungan saraf otot. 17 Penelitian pada ujung saraf motorik mamalia (in vitro), dibutuhkan 4-6 menit untuk mendapatkan peningkatan konsentrasi magnesium di sambungan saraf otot. 17 Magnesium yang diberikan secara infus dibandingkan dengan bolus harusnya mempunyai efek yang berbeda. Pemberian magnesium sulphate sebagai pretereatment harusnya dapat mempersingkat mula kerja yang dapat menjadi alternatif pemberian suxamethonium pada RSI. 17 Czarnetzki dan kawan-kawan juga menemukan bahwa pretreatment magnesium sulphate memberikan variabilitas yang lebih sedikit terhadap mula kerja obat pelmpuh otot saraf. Standar deviasi pada grup placebo mencapai 48 detik sedangkan pada grup yang mendapat magnesium 18 detik, hal ini memberikan efek yang lebih terprediksi pada pemberian magnesium sulfat. 17 Adapun penelitian dilakukan Kussman dan kawan-kawan dengan menggunakan pretreatment magnesium sulphate, 60 mg/kg yang diberikan 1 menit sebelum rocuronium 0.6 mg/kg bb memperpanjang durasi kerja tetapi tidak mempengaruhi mula kerja obat. Waktu rerata mula kerja pada grup magnesium sulphate 71 detik sedangkan pada control 75 detik. Perbedaan hasil ini diakibatkan ion magnesium belum memberikan efek pada endplate sambungan saraf otot pada pemberian injeksi bolus cepat. Disimpulkan bahwa efek magnesium pada endplate sambungan otot-saraf berhubungan dengan konsentrasi magnesium dan waktu untuk mencapai efek. Kussaman dan kawan-kawan juga berpendapat bahwa perbedaan efek pretreatment magnesium terhadap mula kerja obat pelumpuh ototsaraf bergantung pada profil farmakodinamik, semakin cepat mula kerja suatu pelumpuh otot semakin minimal efek magnesium. 25 Hubbard dan kawan-kawan melaporkan bahwa diperlukan waktu 4-6 menit untuk dapat memberikan efek pada potensial aksi end plate setelah peningkatan konsentrasi magnesium. 27 Pemberian magnesium sulphat dengan dosis 60 mg/kg bb tidak berhubungan dengan efek samping hemodinamik. Pada penelitian ini kadar magnesium plasma 4 mmol/l yang diukur 75 menit setelah pemberian magnesium sulphate. Akan tetapi nilai dasar dari magnesium tidak diperiksa. 17

Lampl dan kawan-kawan melakukan penelitian pada 15 pasien dengan memberikan 62.5 mg/kg iv bolus selama 1 menit sebelum pemberian pelumpuh otot saraf non depolarisasi atracurium 0.2 mg/kg bb. Pada pemberian magnesium sulphate rata-rata mula kerja ( 90 % dari penurunan kedutan pertama ) 137.3 detik sedangkan pada control 228,7 detik. Sedangkan durasi kerja mulai dari injeksi atracurium sampai pemulihan 25 % kedutan pertama pada grup magnesium sulphat 34.6 menit sedangkan grup control 26.3 menit. 27 Sang-Hun Kim dan kawan-kawan meneliti efek pemberian magnesium sulphate terhadap mula kerja dan karakteristik pemulihan cisatracurium. Pemberian magnesium sulphate 30 mg/kg dalam 0.9 % saline 100 cc 15 menit sebelum induksi anestesi sebelum atracurium 0.15 mg/kg dibandingkan pemberian normal saline control menunjukkan mula kerja lebih singkat dan tidak ada perbedaan yang bermakna pada durasi kerja. Median Mula kerja obat pada grup cisatracurium 101.5 detik (75-225) detik sedangkan grup control 150 (93-240) detik. Konsentrasi magnesium terionisasi pada darah meningkat secara signifikan tetapi tidak dijumpai efek samping. 28 Pemberian magnesium sulphate 3 gram setelah induksi anestesi yang diikuti dengan infus berkesinambungan 0.5 gram/jam memberikan kondisi intubasi yang lebih baik dan hemodinamik yang stabil. Selain itu magnesium sulphate juga mempotensiasi pelumpuh otot atracurium dengan mempercepat mula kerja, dan memperlama durasi kerja. 29 Penggunaan magnesium sulphate menunjukkan kondisi intubasi yang lebih baik (75 % kondisi intubasi sangat baik) dibandingkan grup kontrol (45 % kondisi intubasi sangat baik) walaupun tidak dijumpai perbedaan yang bermakna. 29 Mula kerja atracurium pada grup yang mendapatkan magnesium sulphate lebih singkat 1.76 menit ± 0.42 vs 2.14 menit ± 0.36 dibandingkan grup kontrol, namun durasi kerja menjadi lebih panjang walaupun tidak berbeda bermakna. 29 Mula kerja pelumpuh otot lebih cepat (p=0.002), sedangkan durasi kerja dan indeks pemulihan lebih panjang pada pemberian magnesium sulphate walaupun yang terakhir tidak berbeda signifikan (p<0.0001 dan p=0.02). 29 Fuchs buder dan kawan-kawan menginvestagasi interaksi antara magnesium sulfate 40 mg/kg dan vecuronium dan memyimpulkan bahwa magnesium sulphate memperpendek mula kerja vecuronium 0.1 mg/kg menjadi 147 (SD 22.2) dibandingkan kontrol 297.3 (SD 122) detik dan memperbaiki kondisi intubasi pada intubasi sekuensial cepat menyamai suxamethonium 1

mg/kg bb. Pada penelitian ini konsentrasi magnesium 1.08 mmol/l setelah pemberian magnesium sulphat 40 mg/kg. 30 Sang Hwan do dan MH Kim hanya mengunakan dosis 30 mg/kg bb dan tidak memberikan infuse kontinu, pada penelitiannya konsentrasi ionized magnesium 0.6-0.62 mmol/l. Dosis 30 mg/kg bb disimpulkan tidak menyebabkan efek seperti sensasi panas/terbakar, dan efek mempercepat frekuensi jantung dan aritmia. 28 Banyak peneliti menggunakan dosis mulai 30 70 mg/kg bb magnesium sulphat dan melaporkan keefektifannya dalam mempersingkat mula kerja, dan memperpanjang masa pemulihan tanpa memberikan dampak efek samping yang serius. 28 Berdasarkan penelitian-penelitian pendahulu, didapatkan bukti bahwa pemberian magnesium sulphate dapat mempercepat mula kerja dan meningkatkan kemudahan intubasi. Akan tetapi masih sedikit penelitian yang melihat karakteristik atracurium dengan pemberian magnesium sulphate. Atracurium besylate merupakan pelumpuh otot-saraf kerja sedang yang memiliki mula kerja dibawah rocuronium. 6,7 Akantetapi mula kerja dari obat ini termasuk lama jika dibandingkan succinylcholine dan rocuronium. Penelitian pendahulu menggunakan magnesium sulphate yang diberikan secara bolus sebelum pemberian pelmpuh otot saraf. 29 Akan tetapi penelitian lain menunjukkan dibutuhkan waktu bagi magnesium untuk sampai ke celah sinaps. 17 Oleh karenanya peneliti mengharapkan hasil yang lebih baik dari penelitian ini. Peneliti dalam hal ini memilih dosis 30 mg/kg bb magnesium dikarenakan selain sudah memberikan efektifitas yang diharapkan juga segi kemanan penelitian. Peneliti melihat ruang masalah dan ruang penelitian dalam hal ini. Seandainya disuatu kondisi dan institusi succinylcholine dan rocuronium tidak tersedia, dan situasi menuntut dokter anestesi untuk mendapatkan kondisi intubasi yang baik dan cepat, atracurium dapat menjadi alternatif pilihan. Dalam sudut pandang farmako ekonomi, beban biaya atracurium dua kali lebih murah dibandingkan rocuronium, dan tidak semua instansi menggunakan rocuronium dengan alasan biaya ini, sehingga penelitian ini hendak membuktikan bahwa penggunaan atracurium dengan intervensi priming dan pretreatment memiliki mula kerja yang sama dengan rocuronium. Peneliti dalam hal ini menitik beratkan kepada usaha-usaha untuk mempercepat mula kerja dari atracurium berdasarkan penelitianpenelitian yang sudah ada dan dalam hal ini berniat untuk membandingkan pemberian priming 10 % dari dosis intubasi atracurium besylate dengan pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv.

1.2. RUMUSAN MASALAH Apakah pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv 15 menit sebelum pemberian atracurium 0.5 mg/kg bb iv memberikan efek mula kerja yang lebih cepat dan kemudahan intubasi yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis priming 0.05 mg/kg bb iv 3 menit sebelum dosis atracurium 0.45 mg/kg bb iv? 1.3. HIPOTESIS Pretreatment magnesium sulphate 30 mg/kg bb iv 15 menit sebelum pemberian atracurium 0.5 mg/kg bb iv memberikan efek mula kerja yang lebih cepat dan kemudahan intubasi yang lebih baik dibandingkan pemberian dosis priming 0.05 mg/kg bb iv 3 menit sebelum dosis atracurium 0.45 mg/kg bb iv. 1.4. TUJUAN 1.4.1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan alternatif cara yang lebih efektif untuk mempercepat mula kerja atracurium dan menilai kemudahan intubasi. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mendapatkan mula kerja dan menilai kemudahan intubasi pada pemberian atracurium, dengan priming 0.05 mg/kg bb iv atracurium, dengan 30 mg/kg bb iv magnesium sulphate, dan tanpa priming maupun pretreatment, 2. Untuk membandingkan karakteristik mula kerja obat dan kemudahan intubasi pada pemberian atracurium, dengan priming 0.05 mg/kg bb iv atracurium, dengan 30 mg/kg bb iv magnesium sulphate, dan tanpa priming maupun pretreatment, 1.5. MANFAAT Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam bidang akademis, pelayanan masyarakat, dan perkembangan penelitian.

1.5.1. Bidang Akademis Penelitian ini dapat menambah referensi dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Hasil penelitian diharapkan dapat memperkuat penelitian sebelumnya atau membantah penelitian sebelumnya. 1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam praktis klinis sehari-hari pada kondisi dimana succinyl choline merupakan kontraindikasi dan ketidak tersediaan baik succinyl choline maupun rocuronium dalam rangka mendapatkan kemudahan intubasi. 1.5.3. Bidang Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber rujukan penelitian selanjutnya, menjadi perintis penelitian-penelitian dengan konsep yang sama untuk mencari obat dan alternatif cara yang dapat mempercepat mula kerja obat pelumpuh otot non depolarisasi, akan tetapi tetap aman dalam mendapatkan kemudahan intubasi.