TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan

BAB I PENDAHULUAN. martabat, dan hak-haknya sebagai manusia. faktor-faktor lainnya. Banyak pasangan suami isteri yang belum dikaruniai

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, pengangkatan anak merupakan cara untuk mempunyai

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

P E N E T A P A N Nomor : 0015/Pdt.P/2010/PA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN PENETAPAN Nomor: 06/Pdt.P/2011/PA.Pkc.

BAB IV. Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR AGAMA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 03 S/D 05 MEI

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB VII PERADILAN PAJAK

PENETAPAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III. PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. A. Ruang Lingkup Kekuasaan Mahkamah Agung

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

P E N E T A P A N. Nomor : XX/Pdt.P/2011/PA.Ktb BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 6, Nomor 2, Tahun 2017 Website :

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 47/Pdt.P/2011/PA. Sgr.

BAB III. DESKRIPSI PUTUSAN PA JOMBANG NO. 1433/Pdt.G/2008/PA. JOMBANG TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMAGRESIK NOMOR: 0085/ PDT.P/ 2012/ PA. G.S TENTANG PENETAPAN AHLI WARIS

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

P E N E T A P A N. Nomor: 29/Pdt.P/2011/PA.Ktb. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

PENETAPAN. Nomor XXXX/Pdt.P/2014/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

bismillahirrahmanirrahim DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PENETAPAN. Nomor 12/Pdt.P/2014/PA JP TENTANG DUDUK PERKARA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV. Agama yang telah disajikan pada bab sebelumnya. Berdasarkan hasil. 1. Menurut Hukum Islam, Pengertian Itsbat Nikah ini berasal dari bahasa

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

P E N E T A P A N Nomor 0220/Pdt.P/2015/PA.Sit BISMILLAHIRROHMANIRROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

Pada prinsipnya asas pada Hukum Acara Perdata juga berlaku di PA Asas Wajib Mendamaikan Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, kec.

P E N E T A P A N. Nomor XXXX/Pdt.P/2014/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PREDIKSI SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER IV TAHUN 2016/2017

P E N E T A P A N Nomor 047/Pdt.P/2014/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 0096/Pdt.P/2010/PA.Pas DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Oleh Administrator Kamis, 15 Januari :42 - Terakhir Diupdate Rabu, 22 Desember :51

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013

P E N E T A P A N. Nomor: 0062/Pdt.P/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P E N E T A P A N Nomor: 0081/Pdt.P/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PENETAPAN Nomor : 04/Pdt.P/2011/PA.Gst

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

NIKAH SIRI DARI SUDUT PANDANG HUKUM ISLAM*

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

Ada dua pengertian tentang pengangkatan anak, yaitu : 1. Pengertian Pengangkatan Anak secara Etimologi

PENETAPAN Nomor XXX/Pdt.P/2014/PA.Ktbm

P E N E T A P A N Nomor : 0018/Pdt.P/2011/PA. Skh.

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

P E N E T A P A N. Nomor 0154/Pdt.P/2013/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 0096/Pdt.P/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor 0074/Pdt.P/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P E N E T A P A N Nomor : 004/Pdt.P/2012/PA.SKH. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III PUTUSAN PA BANGKALAN DAN PTA SURABAYA TENTANG PERSELISIHAN DAN PERTENGKARAN TERUS MENERUS SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

P E N E T A P A N Nomor : 13/Pdt.P/2012/PA Slk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PE N E T A P A N Nomor: 03/Pdt.P/2010/ PA. Kab. Mn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N. Nomor : 65/Pdt.P/2014/PA Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1) sejarah lahirnya UU No. 3 Tahun kelahirannya, Peradilan Agama tidak memiliki Undang-Undang tersendiri

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB III. IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN NO.1821/Pdt.G/2013/Pa.SDA

PENETAPAN NOMOR XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

Transkripsi:

1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PROSES PENGANGKATAN ANAK SETELAH DIBERLAKUKAN UU NO 3 TAHUN 2006 DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam lingkup badan peradilan umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata ditingkat pertama. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara pidana mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer yang merupakan kewenangan peradilan militer. Sedangkan dalam perkara perdata, Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Kewenangan Pengadilan Negeri mengadili perkara perdata mencakup perkara perdata dalan bentuk gugatan dan perkara permohonan. Perkara perdata gugatan dalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang disebut Penggugat dan tergugat. Sedangkan perkara permohonan adalah perkara yang tidak mengandung sengketa dan hanya ada satu pihak, yang disebut pemohon. Perkara yang tidak mengandung sengketa disebut juga dengan perkara volunter, sedangkan perkara yang mengandung sengketa disebut perkara contensius. Perkara permohonan banyak macamnya tergantung dari apa yang dimohonkan oleh pemohon sesuai dengan kewenangan pengadilan dan permohonan tersebut harus ada urgensi dan dasar hukumnya. Salah satu permohonan yang sering diajukan ke pengadilan adalah permohonan pengesahan pengangkatan anak. Pada awalnya, lembaga peradilan yang berwenang memeriksa permohonan pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengakibatkan Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, salah satunya adalah penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak dan memberi kewenagan baru pada pengadilan agama berkaitan dengan pengangkatan anak. Kewenangan itu diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf A angka 20, yang menyebutkan bahwa pengadilan agama berwenang mengadili penetapan asal-usul anak seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dengan adanya Undang-undang tersebut, kewenangan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam beralih dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama. Namun ternyata bahwa Pengadilan Negeri kota Malang dari penulis menemukan ketika melakukan prapenelitian dengan melihat perkara-perkara yang ada di Pengadilan Negeri, Pengadilan Negeri kota Malang masih menerima dan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam. Hal ini menimbulkan permasalahan tentang kewenangan Pengadilan Negeri terhadap

2 permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam setelah berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Negeri Kota Malang. Secara etimologis kata tabanni berarti mengambil anak, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan istilah Adopsi yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri. 1 Istilah Tabanni yang berarti seseorang mengangkat anak orang lain sebagai anak, dan berlakulah terhadap anak tersebut seluruh ketentuan hukum yang berlaku atas anak kandung orang tua angkat, 2 pengertian demikian memiliki pengertian yang identik dengan istilah Adopsi. Secara terminologi tabanni menurut Wahbah al-zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu di nasabkan kepada dirinya. Dalam pengertian lain tabanni adalah seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam pengertian demikian jelas bertentangan dengan Hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan. 3 Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut mantan Rektor Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan seorang mujtahid menjelaskan bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya sudah dipraktekkan oleh masyararkat bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan islam, seperti yang dipraktekkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Dikalangan bangsa arab sebelum islam (masa jahiliyyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-menurun. 4 Ketentuan pengangkatan anak ini diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 junctis1919 Nomor 81, 1924 Nomor 557, 1925 Nomor 93 tentang Ketentuanketentuan unutk Seluruh Indonesia tentang hukum perdata dan hukum dagang untuk golongan Tionghoa dalam bab kedua. Staatsblad ini berlaku bagi penduduk golongan Tionghoa. Kemudianpengangkatan anak menurut hukum adat Dasar hokum berlakunya hokum adat dapat kita temukan dalam pasal 25 Ayat (1) Undang- 1 Debdikbud, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 7 2 Muhammad Ali Al-Sayis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (Mesir: Mathba ah Muhammad Ali Shahib wa Auladih, 1372 H/1953 M. Jilid IV), h. 7 3 Andi Samsu Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 19-20 4 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Hal 22

3 undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan: Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Untuk mengetahui pengertian pengangkatan anak menurut perundangundangan Republik Indonesia terlebih dahulu melihat undang-undang perkawinan, karena pengangkatan anak termasuk dalam hukum keluarga atau bidang perkawinan. Undang-undang RI Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan dalam pasal-pasalnya tidak menyinggung anak angkat atau pengangkatan anak. Beberapa perundang-undangan terkait dengan pengangkatan anak misalnya, Undang-undang RI Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak tidak pula memberikan pengertian anak angkat atau pengangkatan anak. Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan RI dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang tersebut memberikan pengertian bahwa yang dimaksud anak angkat adalah anak yang hanya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan pengertian pengangkatan anak dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 47 ayat (1) Undang-undang RI No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang tersebut memberikan pengertian bahwa yang dimaksud pengangkatan anak adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Prosedur Acara Pemeriksaan Permohonan Pengangkatan Anak dalam SEMA No. 6 Tahun 1983. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption) juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga Negara

4 Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Telah banyak diketahui tentang pengertian pengeangatan anak diataranya, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. 5 Hakim Pengadilan Negeri Kota Malang mengatakan bahwa pengangkatan anak adalah beralihnya hak asuh anak dari orang tua kandung ke orang tua angkatnya, anak angkat di pengadilan negeri memutus hubungan perdata dengan orang tua kandungnya sehingga masih berhak mendapatkan hak waris dari orang tua kandungnya, dan pengangkatan anak di pengadilan negeri bagi orang islam masih ada karena memang adat/kebiasan, jika sesuatu itu berdasarkan adat/kebiasaan maka masih tetap dilakukan bagi orang-orang yang mengangkat anak di pengadilan negeri malang. Prosedur pengangkatan anak di Pengadilan NegeriKotaMalang: a. Pemohon ke bagian perdata mengajukan permohonan pengangkatan anak b. Di bagian perdata diberikan besarnya biaya permohonan yang harus dibayar c. Berkas permohonan pengangkatan anak diajukan di ketua pengadilan negeri untuk ditetapkan hakim dan panitera pengganti yang akan menyidangkan perkara tersebut. d. Setelah ditetapkan hakim dan penitera pengganti berkas turun ke bagian perdata lagi untuk diserahkan ke hakim yang bersangkutan guna menetapkan hari sidang. e. Setelah ditetapkan hari sidang nanti jurusita akan memanggil pemohon, tempat tinggal pemohon sesuai dengan alamat si pemohon f. Setelah dipanggil dan hari sidang telah ditetapkan, pemohon hadir di persidangan pengadilan negeri. g. Kemudian mulai sidang, dan hakim seorang di bantu oleh panitera pengganti. Dalam persidangan agenda sidang pertama yaitu pembacaan permohonan, yang nantinya hakim menanyai pemohon apakah masih tetap pada permohonannya, kalau tetap pada permohonannya maka sidang di lanjutkan dan maupun sebaliknya. 5 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak

5 h. Bukti surat yaitu KTP suami istri pemohon, kartu keluarga, surat keterangan atau surat pernyataan dari orang tua kandungnya dan dari anak yang akan di angkat, surat keterangan bahwa dia tidak keberatan untuk memberikan anaknya kepada pemohon untuk diasuh, dan termasuk surat keterangan dari kantor sosial. i. Saksi diperiksa, saksi biasanya tetangga, kemudian terkadang sudah ada surat pernyataan dari orang tua kandung, dari anak yang mau diangkat tapi hakim panggil lagi orang tua dari anak yang mau diangkat kemudian disumpah, di dengar keterangannya, lalu keterangan di catat dalam berita acara, jadi kalau ada apa-apa tak bisa ingkar lagi. j. Kalau dalam permohonan bukan putusan tapi penetapan. k. Hakim akan membacakan penetapannya, yang nantinya penetapan dikabulkan atau di tolak oleh hakim. Tujuan dari pengangkatan anak di Pengadilan Negeri ini antara lain: Keinginan untuk mendapatkan anak, pengangkatan anak yang mereka lakukan karena memang pada dasarnya sebuah pengakuan dari lembaga pemerintahan itu bisa dijadikan bukti,jika kelak terjadi sesuatu hal yang datang dikemudian hari, Bagi seseorang yang tidak mempunyai keturunan agar kelak tua nanti ada yang memeliharannya, Demi masa depan kesejahteraan anak, yang mungkin orang tuanya tidak mampu atau meninggal dunia, Ada yang mengurus harta yang mereka tinggalkan agar tidak beralih ke orang lain. kewenangan Pengadilan Agama sebelum berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU No. 7 Tahun 1989 yang diperjelas dalam penjelasan umum angka 2 alinea ke tiga UU No. 7 Tahun 1989 meliputi bidang perkawinan. Bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama setelah berlakunya UU No. 3 tahun 2006 sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum alenia pertama, Pasal 2, Pasal 3 A, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 52 UU No. 3 tahun 2006 bidang-bidang yang menjadi kewenangan pengadilan agama mengalami perluasan dan penambahan kewenangan maupun penegasan, sebagaimana disebut dalam pasal 49 peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang: Perkawinan, waris, wasit, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, ekonomi syariah. Tujuan dari pengangkatan anak adalah demi kebaikan masa depan anak dengan tidak menghilangkan atau putus hubungan dengan orang tua kandung dan tidak mendapat waris kecuali mendapat wasiat wajibah, karena pengangkatan anak disini adalah pengangkatan anak yang diperluas, hanya sebatas mengasuh, memberikan biaya pendidikan dan lain-lain, tidak menjadikannya seperti atau dianggap sebagai halnya anak kandung sendiri.

6 Pembahasan Kewenangan Pengadilan Negeri Malang tentang pengangkatan anak setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama nampaknya tidak berubah dari segi kewenangan absolutnya. Karena sampai saat ini, Pengadilan Negeri Malang masih menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi mereka yang beragama Islam meskipun dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan pengangkatan anak merupakan kewenangan dari Peradilan Agama pada penjelasan pasal 49 huruf a angka 20. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 52 Ayat 2 yang berbunyi. Selain tugas kewenangan tersebut dalam pasal 50 dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh atau berdasarkan undangundang. 6 Pengadilan Negeri Malang sebagaimana Pengadilan Negeri yang lainnya di Indonesia, merupakan peradilan tingkat pertama. Peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan mengenai perkara perdata maupun pidana. Tugas pokok Pengadilan ialah untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Berdasarkan wilayah dan batas kerja yang ada dalam Pengadilan Negeri, kompotensi (kekuasaan) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri yaitu: 1. Kompotensi Relatif Kompotensi relatif adalah kekuasan atas dasar wilayah hukum, dan dapat diartikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Dalam perdebatan kekuasaan yang sama satu jenis dan sama tingkatannya. Kekuasaan relatif Pengadilan Negeri terdapat dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 yang selengkapnya berbunyi: Pengadilan Negeri berkedudukan di kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota Madya atau Kabupaten. 7 Pada penjelasan pasal 4 ayat 1 berbunyi: Pada dasarnya tempat dan kedudukan Pengadilan Negeri ada di kotamadya atau di Ibu Kota Kabupaten yang daerah hukumnya meliputi kota madya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. 8 2. Kompotensi Absolut 6 Sentosa Sembiring, h. 42 7 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Perundang-undangan tentang Peradilan dan Penegak Hukum, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 55 8 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Perundang-undangan tentang Peradilan dan Penegak Hukum, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), h. 67

Kompotensi absolut adalah wewenang suatu Pengadilan yang bersifatmutlak, dapat diartikan kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau tingkatan peradilan lainnya. Dengan kata lain kewenangan pengadilan kekuasaan pengadilan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan, (mengadili) perkara berdasarkan materi hukum. Mengenai kompotensi absolut Pengadilan Negeri, sebagaimana disebutkan dalam UU No. 2 Tahun 1986Tentang Peradilan Umum pada pasal 50 sebagai berikut : Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. perkara perdata yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri meliputi upaya hukum permohonan dan gugatan. Undang-undang No. 3 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, namun undang-undang tersebut tidak mencabut kewenangan Pengadilan Negeri untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon beragama Islam, sehingga bagi pemohon yang beragama Islam ada 2 (dua) badan peradilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan menyidangkan perkara permohonan pengangkatan anak yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Adanya kewenangan absolut yang dimiliki Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri terhadap perkara permohonan pengangkatan anak mengakibatkan persinggungan kewenagan anatara kedua lembaga tersebut. Didalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II Edisi 2007 tentang Badan Peradilan Umum, terbitan Mahkamah Agung RI Tahun 2009, pada alinea 2 angka 7 disebutkan, bahwa permohonan pengangkatan anak angkat yang diajukan oleh pemohon beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat tersebut sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun dalam UU Peradilan Agama yang baru telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, namun Pengadilan Negeri masih diberi kewenangan untuk mengadili permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon beragama Islam. Menurut Pedoman Pelaksanana Tugas dan Adminstrasi tersebut, ke pengadilan mana permohonan pengangkatan anak diajukan tergantung dari maksud dilakukannya pengangkatan anak. Dengan demikian berarti bahwa ke pangadilan mana diajukan permohonan pengangkatan anak oleh pemohon beragama islam adalah merupakan pilihan hukum, tergantung tujuan dilakukannya pengangkatan anak tersebut. Adanya pilihan hukum tersebut 7

8 yang menjadi timbulnya kerancuan dalam pelaksanaan pengangkatan anak di pengadilan. Berdasarkan penelitian Pengadilan Negeri berpendapat bahwa walaupun UU No 3 tahun 2006 telah memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk mengadili permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, Pengadilan Negeri masih mempunyai kewenangan untuk mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama islam. Dapat disimpulkan bahwa kebanyakan hakim Pengadilan Negeri lebih tunduk kepada Pedoman Pelaksanaan tugas dan Administrasi Peradilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung daripada ketentuan Undang-undang. Sesuai dengan teori kewenangan, masing-masing badan peradilan telah mempunyai kewenangan atribusi untuk memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkannya kepadannya, 9 sebagaimna yang dinyatakan dalam pasal 25 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan pada dasarnya pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan oleh para pihak, namun berkenaan dengan pengangkatan anak yang diajukan oleh orang-orang muslim, pada dasarnya kewenangan tersebut menjadi kewenangan penuh pengadilan agama sebagaimana telah diatur dalam UU No. 3 tahun 2006 perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, akan tetapi pada saat diajukannya permohonan tersebut Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tersebut belum ada hukum yang pasti dan masih rancu yang berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaannya, sehingga pengadilan negeri masih berwenang menerima dan mengadili permohonan pengangkatan anak tersebut. Dan namun oleh karena pengaturan tentang pembagian kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri tidak tegas dan jelas, serta adanya Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan dalam buku II edisi 2007 tentang badan Peradilan Umum terbitan Mahkamah Agung RI tahun 2009 pada Alinea 2 Angka 7 yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang memberi peluang kepada pemohon beragama islam untuk mengajukan permohonan pengangkatan ke Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri masih berwenang mengadili permohonan pengangkatan anak bagi yang beragama islam. Saran Bagi Mahkamah Agung mengkaji tentang peraturan wewenang penetapan pengangkatan anak bagi yang beragama Islam agar tidak terjadi tumpang tindih antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. 9 Pasal 25 Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.

9