Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan? Bramantyo Djohanputro, PhD Penulis: Dosen dan konsultan manajemen bidang keuangan, investasi, dan risiko Lecturer and consultant of management in finance, investment, and risk Sekolah Tinggi Manajemen PPM (PPM School of Management) Contact: brm@ppm-manajemen.ac.id bram.finance@gmail.com Blog: www.bram39.wordpress.com Pencabutan subsidi, kenaikan harga sampai demonstrasi pengusaha dan buruh pada prinsipnya hanyalah akibat dari perubahan kebijakan masa lalu yang sudah terakumulasi dan cenderung tidak mengikuti aturan persaingan bebas. Pencabutan subsidi yang berdampak pada kenaikan harga menunjukkan adanya perubahan orientasi kebijakan dari proteksi usaha domestik menuju kebijakan pasar terbuka. Tetapi keributan Parlemen dengan pembentukan kaukus dan sejenisnya bisa jadi hanya memanfaatkan kesempatan saja. Kebijakan ekonomi dalam beberapa dekade terakhir lebih terfokus pada kebijakan substitusi impor yang bersifat inward looking. Berbeda dengan beberapa negara tetangga, yang relatif tahan banting terhadap gelombang krisis, seperti Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Kores Selatan yang menerapkan kebijakan orientasi ekspor yang bersifat outward looking. Pada awalnya memang benar. Sejak awal 1970-an, didorong oleh besarnya potensi pasar Indonesia dan sumber daya (endowment) yang dimiliki, diperlukan kebijakan untuk mengembangkan kemampuan mengolah kekayaan nasional untuk, paling tidak, memenuhi kebutuhan pasar domestik. Sementara itu, proses produksi tidak dapat dijalankan oleh karena begitu banyaknya kebutuhan input produksi yang harus didatangkan dari luar. Antara lain berupa bahan baku tambahan, yang nilai Rupiah-nya justru lebih tinggi dari nilai bahan baku utama yang dihasilkan secara domestik. Selain itu Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan?# 1
juga mesin dan peralatan yang harus diimpor. Ditambah minimnya akses pasar luar negeri oleh pengusaha domestik, lengkaplah alasan terhadap kebijakan substitusi impor. Kondisi tersebut mendorong dua bentuk kebijakan. Pertama, memberi proteksi kepada pengusaha domestik supaya mampu bersaing dengan pengusaha asing. Proteksi tersebut bisa berupa proteksi langsung. Misalnya, dengan pemberlakuan bea masuk yang tinggi terhadap mobil impor sampai 300%, dengan harapan produsen mobil domestik mampu berkembang dan mencapai kemampuan bersaing yang setara dengan produsen asing. Pemerintah juga menyediakan subsidi bagi pengusaha supaya ongkos produksi menjadi murah. Lebih dari itu, perijinanpun diberikan secara khusus kepada pengusaha domestik sebagai bekal untuk berusaha, misalnya lisensi HPH. Proteksi dapat juga berupa kewajiban pengusaha asing untuk bermitra dengan pengusaha lokal dalam bentuk kepemilikan bersama. Tentunya kemitraan, atau pembentukan aliansi strategis antara dua pengusaha, didasarkan atas keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Dengan penggabungan, kedua keunggulan tersebut dapat dipertemukan untuk menciptakan keunggulan bersaing. Namun saat itu keunggulan pengusaha domestik masih sangat terbatas. Yang menjadi andalan adalah akses ke pemerintah yang nota bene berhubungan dengan masalah proteksi dan hak privelese di atas. Lebih-lebih, pengusaha pribumi juga menuntut perlakuan khusus melalui asosiasinya untuk bersaing dengan pengusaha yang dicap dengan non-probumi. Era bonanza pengusaha domestik di atas telah berakhir karena kegagalan kebijakan tersebut dalam mengangkat perusahaan domestik dan ekonomi nasional. DI mana letak kegagalannya? Paling tidak ada lima indikator kegagalan. Indikator kegagalan pertama rendahnya kinerja makro. Kegagalan ini cukup menyolok bila kita membandingkan kinerja makro antara negara-negara yang berorientasi pada kebijakan impor, termasuk Indonesia, dengan indikator makro negara-negara yang berorientasi ekspor. Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan?# 2
Beberapa indikator ekonomi tersebut antara lain pertumbuhan GNP, laju inflasi, stabilitas nilai tukar, tingkat suku bunga dan kesehatan neraca pembayaran. Indikator kegagalan kedua berupa kesalahan harga (mispricing) komoditas yang tidak setara dengan harga dunia. Solar dan premium, misalnya, dijual dengan harga yang jauh di bawah harga pasar internasional. Hal ini yang dituduh menjadi biang penyelundupan BBM ke luar negeri. Harga yang lebih rendah tersebut dikarenakan adanya subsidi yang bersumber dari pajak, termasuk pajak dari penduduk miskin. Bisa dibayangkan, mereka yang menikmati subsidi dan menikmati jalur penyelundupan mengambil manfaat pajak dari saudara-saudara kita yang miskin. Indikator ketiga berupa keluhan Presiden tentang manjanya pengusaha domestik. Melakukan ekspor ogah-ogahan, mengeluh terhadap persaingan dan pencabutan subsidi. Indikator keempat berupa kegagalan perusahaan-perusahaan membenahi kinerja selama masa proteksi. Dibandingkan dengan negaranegara tetangga di kawasan Asia Tenggaran dan Timur, produktivitas perusahaan Indonesia merupakan yang paling rendah. Demikian juga dilihat dari sisi keunggulan bersaing, perusahaan kita kalah jauh dibanding mitranya dari Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan. Indikator kelima berupa rente ekonomi (economic rent), atau korupsi. Angka perkiraan kasar menurut beberapa ahli adalah sebesar 30% dari total dana investasi nasional yang pergi entah ke mana. Angka tersebut merupakan perkiraan sebelum masa krisis. Selama masa krisis ini angka tersebut diperkirakan malah meningkat. Rente ekonomi, yang dinikmati oleh pengusaha dan penguasa, bisa berlangsung lama karena topangan sumber alam yang murah secara keuangan. Biaya riil pengambilan dan pengolahan, termasuk biaya tidak resmi, relatif rendah dan dikerjakan oleh tenaga kerja murah. Sejak tahun 1970-an sampai menjelang krisis, pengusaha internsional berpendapat bahwa salah satu keunggulan utama Indonesia untuk bersaing adalah murahnya tenaga kerja, selain keunggulan kestabilan politik dan tersedianya bahan baku. Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan?# 3
Namun demikian, rente ekonomi menyebabkan biaya eksternal, yang ditanggung oleh semua masyarakat. Akibatnya, usaha yang murah menurut kacamata keuangan menjadi mahal menurut kacamata sosial ekonomi setelah memasukkan faktor eksternalitas tersebut, yang antara lain berupa biaya kerusakan huta, ekosistem dan polusi. Uraian di atas menunjukkan, sebenarnya pemerintah dan pengusaha sama-sama manja. Kemanjaan kedua pihak didasarkan atas dua kekuatan besar. Pertama berupa alam dengan kekayaan sumbernya. Kedua berupa rakyat banyak, terutama kelompok kecil-menengah, yang rajin membayar pajak. Pokok-pokok kebijakan yang perlu mendapat prioritas berupa pencabutan subsidi, pendorongan ekspor, peningkatan produktivitas usaha dan ekspansi usaha ke negara lain. Arah kebijakan tesebut pada dasarnya adalah suatu koreksi terhadap kebijakan-kebijakan masa lalu yang kurang market friendly supaya perusahaan mengalami pembelajaran untuk mampu berbicara di kancah global. Pesan sederhana yang ingin disampaikan pemerintah adalah. Hai pengusaha, jangan manja lagi, sudah bukan saatnya. Belajar dari keadaan ini, ada dua masalah besar yang musti dipecahkan dalam menerapkan perubahan kebijakan. Pertama, masalah kecepatan perubahan. Apakah kebijakan tersebut harus dilakukan secara serentak (all at once policy) atau sebaiknya gradual? Perubahan serentak yang diterapkan terhadap pencabutan subsidi dan penaikan harga pada Januari 2003 telah menimbulkan gejolak demonstrasi berbagai lanangan, termasuk pengusaha, dengan tuntutan batalkan kenaikan harga. Tetapi tampaknya pembatalan kenaikan harga bukan merupakan pilihan yang ideal, baik dari sisi kredibilitas pemerintah maupun persaingan global. Kenaikan harga sudah menjadi keharusan. Dalam hal tahapan proses, perubahan serentak tampaknya juga merupakan langkah yang lebih baik. Berdasarkan pengalaman, setiap kenaikan salah satu dari listrik, telepon dan BBM selalu diikuti kenaikan harga-harga. Ini berarti, bila kenaikan dilakukan secara gradual, harga akan merambat naik juga, dan kenaikan harga akan terjadi berkali-kali. Dengan menerapkan kebijakan kenaikan harga serentak, Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan?# 4
shock harga hanya terjadi sekali. Kondisi ini justru akan memberi peluang kepada spekulan politik untuk melakukan manuver demi kepentingan pribadi. Kedua, berkaitan dengan perilaku pemerintah sendiri. Kebijakan pencabutan subsidi akan mendorong harga-harga menuju harga pasar. Dalam hal ini, efisiensi perusahaan menjadi sangat penting. Namun masalahnya, bagaimana mungkin perusahaan bisa bersaing secara global bila harus tetap menanggung rente ekonomi sebesar 30%. Ketiga, masalah transparansi, baik dalam hal proses pengambilan keputusan maupun aliran dana masuk dan keluar. Mestinya pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan tidak kemudian cuci tangan bila terjadi gejolak dan penolakan. Hasil kebijakan pencabutan subsidi dan kenaikan harga seolah-olah tidak mendengarkan suara rakyat melalui wakilwakilnya. Lalu apa peran dan cara kerja wakil-wakil mereka? Bagaimanapun juga penghapusan rente ekonomi hanya bisa dicapai bila tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) diterapkan. Masih banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan supaya pencabutan subsidi bukan saja menyelamatkan APBN tetapi juga pencapaian target ekonomi nasional. Mestinya pengusaha tidak menuntut batalkan harga, tetapi seharusnya memaksa pemerintah supaya tidak minta dimanjakan lagi dengan rente ekonomi. Pengusaha Domestik: Manja atau Dimanjakan?# 5