BAB III LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN

BAB VI DISKUSI. Dewi Prihatini ( ) 46

BAB VI PEMBAHASAN DAN DISKUSI

STUDI UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL DAERAH PENELITIAN

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB 4 ALTERASI HIDROTERMAL

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL. 4.1 Teori Dasar

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bateman (1956) dalam buku The Formation Mineral Deposits pengertian mineral bijih adalah mineral yang mengandung satu atau lebih jenis logam dan

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK - UNIVERSITAS GADJAH MADA

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

BAB III ALTERASI HIDROTERMAL BAWAH PERMUKAAN

BAB IV TEORI DASAR DAN METODE ANALISIS

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

I. ALTERASI HIDROTERMAL

BAB V PENGOLAHAN DATA

III.4.1 Kuarsa sekunder dan kalsedon

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH PENELITIAN

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

Bab IV Sistem Panas Bumi

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH TAMBAKASRI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN SUMBERMANJING WETAN KABUPATEN MALANG, PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PROSPEK MINERAL LOGAM DI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berada di Selogiri, Wonogiri yaitu prospek Randu Kuning. Mineralisasi emas

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR GAMBAR... vi. DAFTAR TABEL...

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GEOLOGI, ALTERASI HIDROTERMAL DAN MINERALISASI DAERAH CIURUG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

I.1 Latar Belakang Masalah I.4 Lokasi Daerah Penelitian I.6 Penelitian Terdahulu dan Keaslian Penelitian... 4

BAB V KIMIA AIR. 5.1 Tinjauan Umum

BAB V MINERALISASI Mineralisasi di daerah Sontang Tengah

3.2. Mineralogi Bijih dan Gangue Endapan Mineral Tekstur Endapan Epitermal Karakteristik Endapan Epitermal Sulfidasi Rendah...

STUDI ALTERASI, MINERALISASI, DAN GEOKIMIA UNTUK PROSPEKSI EMAS DI DAERAH TIGA DESA, BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan emas biasanya digunakan sebagai standar

Bab I. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

BAB II TATANAN GEOLOGI

BAB III ALTERASI HIDROTHERMAL

ALTERASI DAN MINERALISASI PADA BATUAN PORFIRI ANDESIT DAN PORFIRI GRANODIORIT DI DAERAH CIGABER DAN SEKITARNYA, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

BAB 3 PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

BAB IV ANALISIS ASPEK PANASBUMI

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No. 1, Januari 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ALTERASI DAN MINERALISASI DAERAH GUNUNG BULEUD, DESA GARUMUKTI, KECAMATAN PAMULIHAN, KABUPATEN GARUT, PROVINSI JAWA BARAT

Zona Alterasi Berdasarkan Data Bor Daerah Arinem, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

STUDI ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI CONTO INTI PEMBORAN DAERAH ARINEM, KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

II.3. Struktur Geologi Regional II.4. Mineralisasi Regional... 25

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Mineralisasi Logam Dasar di Daerah Cisungsang Kabupaten Lebak, Banten. (Hasil Penelitian yang didanai oleh HIBAH BERSAING DIKTI )

BAB I PENDAHULUAN. banyak terkait oleh mineralisasi endapan hidrotermal-magmatik. Dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

KARAKTERISTIK ALTERASI DAN MINERALISASI EMAS PADA SISTEM EPITERMAL PROSPEK RANDU KUNING, KECAMATAN SELOGIRI, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH

ZONA POTENSI MINERALISASI VEIN KUBANG CICAU, PONGKOR, BOGOR, JAWA BARAT

Bab III Teori Dasar. III.1 Sistem Panas Bumi

SURVEI GEOKIMIA TANAH LANJUTAN DAERAH GUNUNG SENYANG KABUPATEN SANGGAU, PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

GEOLOGI DAN TIPE MINERALISASI ENDAPAN EMAS-PERAK EPITHERMAL PADA DAERAH PINUSAN, KECAMATAN BENDUNGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR.

ENDAPAN MINERAL. Panduan Kuliah dan Praktikum. Sutarto Hartosuwarno Laboratorium Petrologi dan Bahan Galian Teknik Geologi

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KARYA REFERAT

SKRIPSI DWI RACHMAWATI NIM :

BAB III TEORI DASAR. jenis dan kandungan logam lain yang berasosiasi dengannya. Emas terbentuk dari

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Mineralogi Dan Geokimia Endapan Emas Epitermal Di Paningkaban, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

SKRIPSI. Oleh : ARIE OCTAVIANUS RAHEL NIM

BAB II TATANAN GEOLOGI

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

BAB IV MINERALISASI DAN PARAGENESA

BAB IV KARAKTERISTIK AIR PANAS DI DAERAH TANGKUBAN PARAHU BAGIAN SELATAN, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1

termineralisasi dan tanah, akan tetapi tidak semua unsur dibahas dalam makalah ini karena tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. Penambangan (mining) dapat dilakukan dengan menguntungkan bila sudah jelas

ALTERASI LAPANGAN SARIDI, KABUPATEN DOMPU

TIPE ENDAPAN EPITERMAL DAERAH PROSPEK BAKAN KECAMATAN LOLAYAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

SISTEM PANASBUMI: KOMPONEN DAN KLASIFIKASINYA. [Bagian dari Proposal Pengajuan Tugas Akhir]

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia terhadap mineral logam semakin tahun semakin

GEOLOGI DAN ALTERASI HIDROTERMAL DI GUNUNG BATUR, WEDIOMBO, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DI YOGYAKARTA

STRUKTUR DAN TEKSTUR ENDAPAN MINERAL

JENIS DAN TIPE ENDAPAN BAHAN GALIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KETERDAPATAN BAHAN GALIAN GALENA DI DAERAH CIGEMBLONG, KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem bijih porfiri berasal dari fluida magmatik hidrotermal bertemperatur tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. administratif termasuk ke dalam provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di Pulau

PARAGENESA MINERAL BIJIH SULFIDA DAERAH CINANGSI, KECAMATAN PEUNDEUY KABUPATEN GARUT JAWA BARAT

SURVEI LANDAIAN SUHU DAERAH PANAS BUMI SUMANI. Yuanno Rezky, Robertus S. L. Simarmata Kelompok Penyelidikan Panas Bumi ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

BAB I PENDAHULUAN. dan perekonomian. Data Kementerian ESDM (2014) menyatakan bahwa

BAB III PENGOLAHAN DAN INTERPRETASI DATA

PROSPEKSI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 2014

ALTERASI-MINERALISASI DAN GEOKIMIA ENDAPAN TEMBAGA DI KALI BOKI DESA KUBUNGKECAMATAN BACAN SELATAN KABUPATEN HALMAHERASELATAN PROVINSI MALUKU UTARA

STUDI TENTANG KARAKTERISTIK ENDAPAN EMAS OROGENIK DI DAERAH BOMBANA, SULAWESI TENGGARA

INVENTARISASI MINERAL LOGAM DI KABUPATEN BOVEN DIGOEL PROVINSI PAPUA Reza Mochammad Faisal Kelompok Penyelidikan Mineral Logam SARI

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Alterasi dan Endapan Hidrotermal Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan perubahan mineralogi, tekstur, dan komposisi kimia batuan. Proses tersebut merupakan hasil interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya pada kondisi fisika dan kimia tertentu (Pirajno, 1992). Secara istilah, larutan hidrotermal adalah cairan panas, yang umumnya berasosiasi dengan proses magmatik, namun dapat pula berasal dari air meteorik, air connate, atau air yang mengandung mineral yang dihasilkan selama proses metamorfisme dan kemudian terpanaskan di dalam perut bumi (Bateman dan Jensen, 1981). Proses naiknya larutan hidrotermal ke permukaan menyebabkan terjadinya ubahan pada batuan samping. Proses ubahan ini disebabkan oleh kecenderungan mineral dalam batuan untuk membentuk suatu mineral baru agar mencapai kesetimbangan. Menurut Bateman dan Jensen (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi tipe dan intensitas ubahan hidrotermal adalah: - Karakteristik dan komposisi dari batuan induk (host rock) - Komposisi larutan hidrotermal - Tekanan dan temperatur serta perubahan fase pada larutan hidrotermal - Perubahan pada unsur tertentu Namun, temperatur dan sifat kimia (ph) larutan hidrotermal dianggap sebagai dua faktor yang paling berpengaruh dalam proses ubahan hidrotermal (Corbett dan Leach, 1998). Mineral-mineral di dalam batuan yang terkena fluida hidrotermal cenderung terubah menjadi mineral sekunder baru yang lebih sesuai dengan perubahan kondisi ph dan temperatur. Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan mineral alterasi disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berikut adalah beberapa zona alterasi yang dibedakan berdasarkan kumpulan mineral, temperatur, dan ph larutan hidrotermal (Morrison, 1995): - Potasik merupakan zona alterasi yang berada dekat dengan intrusi dengan temperatur fluida hidrotermal lebih dari 300 0 C dan salinitas tinggi. Zona alterasi ini dicirikan dengan pembentukan mineral sekunder berupa K- Dewi Prihatini (12007012) 15

feldspar, biotit, kuarsa, dan magnetit. Selain itu aktinolit, epidot, klorit, dan anhidrit, serta sedikit rutil dan albit juga dapat muncul dalam zona ini. - Propilitik merupakan zona alterasi yang terbentuk pada kondisi ph netral sampai alkali dengan temperatur berkisar antara 200 0-300 0 C. Mineral-mineral penciri zona ini diantaranya adalah klorit, kalsit, dan epidot yang dapat disertai dengan kuarsa, adularia, albit, serisit, dan anhidrit. Zona ini merupakan fase alterasi lanjutan dari alterasi potasik. - Filik merupakan zona alterasi yang ditandai dengan kehadiran mineral sekunder yang didominasi oleh serisit dan kuarsa. Selain itu dapat pula muncul pirit dan anhidrit. Tipe alterasi ini terbentuk akibat fluida netral sampai asam pada temperatur sedang yaitu berkisar antara 200 0-400 0 C. Biasanya terbentuk pada daerah yang permeabel dan berdekatan dengan urat. - Argilik merupakan zona alterasi yang ditandai dengan pembentukan mineral lempung bertemperatur rendah seperti kaolinit, montmorillonit, smektit, dan illit. Alterasi ini terbentuk akibat kondisi fluida hidrotermal netral sampai asam dengan temperatur rendah (<230 0 C). - Argilik lanjut merupakan zona alterasi yang terbentuk pada fluida asam (ph<4) yang ditandai dengan hadirnya alunit, diaspor, pirofilit, bersama dengan kuarsa, kalsedon, kaolinit, dan dikit. Corbett dan Leach (1998) menggambarkan himpunan mineral yang terbentuk pada kondisi ph dan temperatur tertentu serta tipe endapannya dalam suatu sistem hidrotermal. Setiap mineral hanya akan terbentuk jika berada dalam kondisi yang stabil. Oleh karena itu, beberapa mineral tertentu hanya akan terbentuk pada kondisi ph dan temperatur tertentu (Gambar 3.1). Dewi Prihatini (12007012) 16

Gambar 3.1 Himpunan mineral berdasarkan ph dan temperatur pembentukannya (Corbett dan Leach, 1998) Selain alterasi atau ubahan yang terbentuk dalam suatu sistem hidroterrmal, Lindgreen (1933; dalam Bateman dan Jensen, 1991) membagi endapan hidrotermal menjadi 3 tipe endapan berbeda berdasarkan hubungan temperatur, tekanan, dan kondisi geologi yang tercermin dari mineral-mineral yang terbentuk. Tipe endapan tersebut, adalah: 1. Endapan hipotermal, terbentuk pada daerah dekat dengan intrusi pada temperatur berkisar antara 500-600 0 C dan tekanan sangat tinggi 2. Endapan mesotermal, terbentuk pada jarak tertentu dari intrusi pada temperatur berkisar antara 200-500 0 C dan tekanan tinggi 3. Endapan epitermal, terbentuk jauh dari intrusi pada temperatur berkisar antara 50-200 0 C dan tekanan sedang atau medium Dewi Prihatini (12007012) 17

Menurut Hedenquist dan White (1995), endapan epitermal adalah endapan mineral yang terbentuk pada temperatur kurang dari 150 0 C sampai ~300 0 C dan berada pada kedalaman 1-2 kilometer. Endapan epitermal terbentuk pada lingkungan hidrotermal yang dekat dengan permukaan dan pada umumnya berhubungan dengan sub-aerial volkanisme kalk-alkali (Hedenquist dan Houghton, 1988). Fluida hidrotermal pada endapan ini biasanya berasal dari air meteorik, namun ada beberapa komponen yang berasal dari air magmatik. Hedenquist dan White (1995) membedakan endapan epitermal menjadi endapan epitermal sulfida rendah (low sulphidation) dan sulfida tinggi (high sulfidation) (Tabel 3.1). Keduanya dibedakan berdasarkan pada mineralogi bijih dan mineral ikutan (gangue) serta jenis fluida hidrotermal yang berinteraksi dengan batuan induk (host rock) (Gambar 3.2). Gambar 3.2 Tipe endapan epitermal sulfida rendah dan sulfida tinggi (Hedenquist dan White, 1995) Endapan epitermal sulfida rendah menunjukkan kondisi reduksi yang dicirikan oleh dominasi H 2 S pada fluida hidrotermal (Giggenbach, 1992; dalam Corbett, 2002). Kondisi tersebut merupakan akibat dari interaksi antara air magmatik dengan batuan samping serta air meteorik yang bersirkulasi (Simmons, 1995; dalam Corbett, 2002). Menurut Hedenquist dan White (1995), mineral-mineral sulfida seperti sfalerit, galena, kalkopirit, dan pirit terbentuk pada kondisi ini. Sebaliknya, Dewi Prihatini (12007012) 18

fluida hidrotermal pada endapan epitermal sulfida tinggi didominasi oleh SO 2 yang menunjukkan kondisi oksidasi. Hal ini disebabkan oleh fluida hidrotermal yang berasal dari air magmatik naik ke atas melalui pipa breksia sehingga interaksi fluida dengan batuan dan air meteorik terbatas. Fluida yang bersifat asam dicirikan dengan terbentuknya asosiasi mineral ubahan seperti pirofilit, alunit, kaolinit, serta mineral bijih berupa pirit, enargit, dan luzonit. Tabel 3.1 Perbedaan Tipe Endapan Epitermal Sulfida Tinggi dan Sulfida Rendah (Hedenquist dan White, 1995) Sulfida Rendah (adularia-serisit) Sulfida Tinggi (acid-sulfate) Fluida hidrotermal - didominasi air meteorik, namun ada interaksi dengan air magmatik - ph mendekati netral - kondisi reduksi - didominasi air magmatik - ph asam - kondisi oksidasi Mineral ubahan Kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, karbonat Kuarsa, alunit, kaolinit, pirofilit, diaspor Mineralisasi open-space veins dan cavity filling menyebar (disseminated) dan dominan penggantian (replacement) Tekstur Comb, crustiform, banded vein vuggy quartz Mineral bijih Pirit, sfalerit, galena, elektrum, emas, Pirit, enargit, luzonit, kalkopirit arsenopirit Unsur logam Au + Ag, Pb, Zn, Cu, As, Te, Hg, Sb Au + Cu, As, Te 3.2 Mineralisasi Mineralisasi adalah suatu proses introduksi atau masuknya mineral ke dalam batuan yang kemudian membentuk mineral bijih dan mineral penyertanya (gangue) sehingga terbentuk endapan mineral (Gary dkk., 1972). Endapan mineral adalah akumulasi atau konsentrasi dari satu atau beberapa material yang berguna, baik berupa logam maupun nonlogam, yang terdapat di dalam kerak bumi bagian luar (Bateman dan Jansen, 1981). Hal-hal pokok yang mempengaruhi pembentukkan mineral hasil dari proses mineralisasi (Bateman dan Jansen, 1981), yaitu: adanya larutan hidrotermal sebagai pembawa mineral dan adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan Dewi Prihatini (12007012) 19

hidrotermal. Selain itu, faktor lain adalah adanya tempat bagi pengendapan mineral, terjadinya reaksi kimia yang dapat menyebabkan terbentuknya pengendapan mineral, dan konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya kandungan mineral. Endapan epitermal terbentuk pada kedalaman yang dangkal dengan suhu yang relatif rendah, yaitu kurang dari 150 0 C sampai ~300 0 C (Hedenquist dan White, 1995). Kondisi inilah yang membedakannya dengan tipe endapan lain dalam proses pembentukan tubuh bijih yang menghasilkan mineralisasi. Fluida hidrotermal pembawa mineralisasi melewati batuan melalui permeabilitas yang dikontrol oleh struktur dan litologi batuan tersebut. Pada endapan epitermal, mineralisasi umumnya terbentuk sebagai pengisi pada bukaan (open-space filling atau cavity filling) sebagai urat maupun menyebar (disseminated) (Corbett dan Leach, 1998). Mineral bijih yang terbentuk pada endapan epitermal bervariasi, bergantung pada kedalaman dan kondisi fluida hidrotermal. Pada tipe endapan epitermal sulfida rendah, mineral bijih yang umum muncul adalah pirit, galena, sfalerit, dan kalkopirit yang mencerminkan kondisi reduksi (Tabel 3.1). Salah satu penciri lain adalah kehadiran sfalerit dan arsenopirit yang umum pada tipe sulfida rendah. Kedua mineral tersebut sangat jarang hadir pada tipe epitermal sulfida tinggi (White dkk., 1995; dalam Hedenquist dan White, 1995). Tipe endapan epitermal sulfida tinggi umumnya banyak terdapat mineral bijih yang kaya tembaga, khususnya mineral yang memiliki bilangan oksidasi tinggi seperti enargit dan luzonit (Tabel 3.1). Kelimpahan mineral sulfida, terutama pirit, tidak dapat dijadikan penentu untuk membedakan tipe endapan epitermal (Hedenquist dan White, 1995). 3.3 Geokimia Unsur Geokimia adalah ilmu yang mempelajari proses penyebaran dan pengumpulan unsur yang terdapat di bumi dan dapat digunakan untuk melacak keberadaan sumberdaya mineral melalui eksplorasi geokimia (Rose dkk., 1979). Penyebaran unsur di bumi umumnya membentuk suatu pola sebaran tertentu. Pola sebaran yang terbentuk dapat mencerminkan persebaran satuan batuan dan keberadaan mineralisasi. Menurut Rose dkk. (1979), pola sebaran geokimia dapat dibedakan menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut: Dewi Prihatini (12007012) 20

Nilai latar belakang adalah nilai rata-rata unsur di Bumi yang normal atau belum termineralisasi. Nilai latar belakang membentuk suatu populasi yang memiliki pola sebaran relatif dominan di suatu tempat. Nilai anomali adalah penyimpangan dari nilai latar belakang atau nilai yang normal. Nilai anomali membentuk suatu populasi anomali yang memiliki pola sebaran yang menyimpang dari populasi latar belakang. Penyimpangan tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya mineralisasi. Nilai ambang adalah nilai batas antara nilai latar belakang dengan nilai anomali. Nilai ambang suatu unsur di suatu tempat dapat berbeda dengan tempat lain karena konsentrasi suatu unsur tidak sama di setiap tempat. Asosiasi unsur dalam geokimia merupakan kekerabatan geokimia antar unsur yang terjadi akibat kesamaan kondisi lingkungan, sifat fisik, dan sifat kimia (Rose dkk., 1979). Asosiasi unsur dapat dimanfaatkan untuk menentukan tipe mineralisasi dan melacak unsur ekonomis lain dengan menggunakan unsur yang berasosiasi. 3.3.1 Analisis Geokimia Analisis geokimia dilakukan untuk mengetahui nilai ambang dan asosiasi unsur. Metode yang digunakan pada analisis ini adalah metode statistik. 3.3.1.1 Penentuan nilai ambang Nilai ambang ditentukan untuk mendapatkan batasan nilai anomali, yaitu nilai yang lebih besar dari nilai ambang. Metode yang digunakan adalah metode kurva probabilitas dan persentil. a. Metode kurva probabilitas adalah metode penentuan nilai ambang dengan memisahkan populasi latar belakang dengan populasi anomali dari kurva yang terbentuk pada kurva probabilitas. Untuk mengeplot data ke dalam grafik probabilitas, sebelumnya data harus diubah ke dalam nilai logaritma. Berikut adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengeplot data ke dalam kurva probabilitas. Data konsentrasi (ppm) dari masing-masing unsur diubah ke dalam bentuk logaritma Data dalam bentuk logaritma tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa kelas dengan interval tertentu. Dewi Prihatini (12007012) 21

Frekuensi data, kumulatif frekuensi, dan kumulatif probabilitas (%) dari setiap kelas dihitung. Data yang diplot pada kertas grafik probabilitas adalah kumulatif probabilitas (sumbu-x) dan nilai tengah kelas (sumbu-y). Populasi ditentukan berdasarkan kumpulan data yang telah diplot. Data-data yang telah diplot ke dalam kurva probabilitas akan membentuk kumpulan data atau populasi data. Populasi data tersebut harus dipisahkan, antara populasi latar belakang dan populasi anomali. Nilai ambang merupakan titik potong dari populasi yang berbeda (Gambar 3.3). Jika pada kurva hanya terdapat satu populasi, maka nilai ambang tidak dapat ditentukan (Sinclair, 1976; dalam Rose dkk., 1979). Populasi Anomali Nilai Populasi Latar Belakang Nilai ambang : antilog 0,3 = 1,99 Gambar 3.3 Penentuan nilai ambang Au dengan metode kurva probabilitas Metode persentil dilakukan dengan mengurutkan nilai konsentrasi setiap unsur dari nilai tertinggi hingga terendah, yang kemudian ditentukan persentilnya. Misal untuk persentil 90 (P90), maka nilai konsentrasi tertinggi yang diambil adalah 10% dari jumlah data. Penentuan nilai ambang dengan menggunakan metode ini adalah dengan memilih nilai terendah pada persentil tertentu. Dewi Prihatini (12007012) 22

3.3.1.2 Penentuan asosiasi unsur Asosiasi unsur dapat digunakan untuk mengetahui tipe mineralisasi di suatu daerah. Metode yang digunakan dalam penentuan asosiasi unsur ini adalah metode persentil. Metode persentil ini dilakukan dengan cara yang sama seperti pada penentuan nilai ambang, yaitu dengan mengurutkan nilai konsentrasi setiap unsur dari yang tertinggi hingga terendah. Namun, untuk penentuan asosiasi unsur ini terlebih dahulu ditentukan unsur mana yang dijadikan acuan untuk mengamati hubungan antar unsur pada persentil tertentu. Dewi Prihatini (12007012) 23