BAB V GEOKIMIA DAERAH PENELITIAN 5.1 Data AAS (Atomic Absorption Spectrometry) AAS (Atomic Absorption Spectrometry) atau dikenal juga sebagai Spektrometri Serapan Atom merupakan suatu metode kimia yang digunakan untuk mengetahui konsentrasi unsur-unsur kimia pada suatu conto yang dianalisis. Uji AAS pada dasarnya berprinsip bahwa setiap atom yang menyusun suatu unsur dapat menyerap radiasi elektromagnetik. Setiap unsur akan menyerap sinar pada panjang gelombang yang berbeda-beda (Rollinson, 1993). Pada uji AAS, conto batuan yang akan dianalisis harus merupakan conto yang segar sehingga harus dipisahkan dari bagian yang lapuk. Conto batuan yang diperlukan untuk uji ini kira-kira 20 gram yang kemudian digerus dan diayak sampai berukuran halus. Conto yang sudah berukuran halus tersebut nantinya akan dilarutkan menggunakan larutan kimia tertentu dan siap dilakukan uji AAS. Peralatan AAS terdiri dari sumber sinar (light source), peralatan atomisasi (atomizing device), dan detektor (Rollinson, 1993). Sumber sinar berupa lampu katoda berongga (hollow cathode lamp) yang berbeda-beda karena katoda terbuat dari unsur yang akan dianalisis. Conto batuan dalam bentuk larutan dipanaskan dan kemudian sinar dari lampu katoda berongga ditembakkan. Besarnya sinar yang diserap oleh atom sebanding dengan konsentrasi unsur yang terdapat di dalam conto. Uji AAS dilakukan di Laboratorium AAS Pusat Survei Geologi Bandung terhadap 21 conto batuan terpilih (Lampiran E). Conto batuan yang dilakukan uji AAS adalah batuan yang termineralisasi dan relatif banyak mengandung mineral bijih dari pengamatan secara megaskopis. Uji AAS pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan unsur Sb, Pb, Cu, Zn, Ag, Au, As, dan Mn pada batuan. Pada penelitian ini, terdapat beberapa data yang berasal dari luar lokasi daerah penelitian. Namun, data-data tersebut masih diambil dari sekitar lokasi daerah penelitian. Data tersebut tetap diikutsertakan dalam analisis data AAS dengan harapan semakin banyak data akan semakin baik hasil yang diperoleh. Data hasil uji AAS di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.1. Dewi Prihatini (12007012) 40
Tabel 5.1. Data unsur kimia berdasarkan hasil uji AAS No Nomor Conto Sb Pb Cu Zn Ag Au As Mn (ppm ) 1 2010/AHW/09A 12,15 290,40 156,90 29,30 6,60 0,26 45,00 135 2 2010/AHW/10F 3,03 537,90 2604,00 218,00 14,00 0,23 79,88 133,3 3 2010/AHW/11B 1,71 267,90 22,90 74,60 2,50 0,03 21,15 326,8 4 2010/AHW/12A 4,46 3510,00 351,50 1995,00 12,40 0,14 37,35 173,60 5 2010/AHW/13A 4,31 294,60 519,30 95,00 10,00 0,13 171,00 98,40 6 2010/AHW/14A 3,14 233,60 921,50 60,20 7,70 1,24 264,38 142,90 7 2010/AHW/15A 20,73 263,60 623,00 87,10 5,20 0,31 360,23 63,40 8 2010/AHW/16C 7,59 1260,00 30127,50 180,80 196,00 3,01 561,60 104,40 9 2010/AHW/21A 4,10 30,00 7,30 35,00 1,20 0,03 21,60 639,30 10 2010/AHW/28A 12,99 111,40 78,40 406,80 10,60 0,02 557,78 94072,50 11 2010/AHW/31C 7,11 61,10 18,50 53,70 2,10 0,12 31,50 367,00 12 2010/AHW/34C 6,71 42,90 10,50 114,00 3,30 0,02 66,60 385,40 13 2010/AHW/35H 4,14 68,60 26,80 52,10 6,60 3,46 296,10 345,00 14 2010/AHW/35I 6,93 37,50 14,70 67,60 1,90 0,02 34,88 365,70 15 2010/AHW/35J 6,62 39,60 13,50 67,30 2,30 0,10 92,48 632,40 16 2010/AHW/35K 6,38 31,10 13,30 40,20 1,60 0,55 139,50 236,90 17 2010/AHW/37B 431,78 31050,00 13612,50 393,90 164,00 11,46 1315,80 791,30 18 2010/AHW/37J 121,05 93825,00 8421,00 767,10 362,70 1,58 525,60 57,60 19 2010/AHW/38E 58,95 73,90 2164,50 98,90 1,70 0,23 268,65 278,70 20 2010/AHW/38F 53,82 4245 662,50 764,50 28,20 0,06 288,90 48,50 21 2010/AHW/39F 57,81 89100 2547,00 11706,00 208,30 0,06 240,20 48,50 Data konsentrasi unsur dari uji AAS ini selanjutnya akan diolah secara statistik untuk mengetahui harga ambang dan asosiasi unsur di daerah penelitian. 5.2 Penentuan Nilai Ambang Data hasil uji AAS memuat konsentrasi unsur Sb, Pb, Cu, Zn, Ag, Au, As, dan Mn dalam satuan ppm (part per million). Data ini kemudian diolah dengan menggunakan metode kurva probabilitas dan persentil untuk mengetahui nilai ambang dari masing-masing unsur. Penentuan nilai ambang dengan menggunakan metode kurva probabilitas dan persentil selengkapnya tercantum pada Lampiran F. Hasil penentuan nilai ambang dari masing-masing unsur dapat dilihat pada Tabel 5.2. Dewi Prihatini (12007012) 41
Tabel 5.2 Nilai ambang unsur berdasarkan metode kurva probabilitas dan persentil Unsur Metode Kurva Probabilitas Metode Persentil NA 1 (ppm) NA 2 (ppm) NA (ppm) Sb 158,49 63,09 57,81 Pb 2511,89-1260,00 Cu 1778,30-2164,50 Zn 3162,28 630,95 764,50 Ag 251,18 35,48 164,00 Au 1,99-1,58 As 707,94 354,81 296,10 Mn 501,19 398,11 632,40 Pemilihan nilai ambang dilakukan dengan membandingkan nilai-nilai tersebut terhadap konsentrasi unsur rata-rata di kerak bumi (Tabel 5.3). Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah nilai ambang tersebut dapat dijadikan batas anomali untuk suatu unsur karena nilai ambang dari perhitungan statistik belum tentu lebih besar dari nilai konsentrasi rata-rata unsur di kerak bumi. Tabel 5.3 Konsentrasi rata-rata unsur di kerak bumi (Rose dkk., 1979) Unsur Konsentrasi rata-rata (ppm) Sb 0,1 Pb 10 Cu 50 Zn 80 Ag 0,05 Au 0,003 As 2 Mn 1000 Nilai ambang yang digunakan adalah nilai ambang yang memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi unsur di kerak bumi. Dari hasil pembandingan, nilai ambang untuk unsur Mn tidak dapat digunakan karena nilai ambang unsur tersebut lebih kecil dari konsentrasi unsur rata-rata di kerak bumi. Dewi Prihatini (12007012) 42
Kemudian dilakukan pemilihan nilai ambang dari kedua metode yang berbeda tersebut. Nilai ambang ini nantinya akan digunakan untuk menentukan anomali unsur sehingga pemilihan nilai ambang didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Menurut Rose dkk. (1979), jika nilai ambang terlalu tinggi maka akan terdapat mineral bijih ekonomis yang terlewatkan, namun jika nilai ambang terlalu rendah maka akan membuang waktu dan biaya untuk mineral bijih yang tidak begitu ekonomis. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dipilih dua nilai ambang. Nilai ambang pertama (NA 1) merupakan nilai ambang tertinggi dengan tujuan untuk mendapatkan nilai anomali yang tinggi sehingga eksplorasi nantinya diarahkan untuk daerah yang memiliki prospek paling baik. Nilai ambang kedua (NA 2) merupakan nilai ambang dengan nilai yang lebih rendah, yang digunakan untuk mendapatkan daerah prospek yang lebih luas. Dalam aplikasinya, nilai ambang kedua ini akan digunakan sebagai alternatif batas zona pengembangan suatu daerah eksplorasi apabila investasi berdasarkan nilai ambang pertama telah dilakukan. Hasil penentuan nilai ambang dan nilai anomali unsur tertera pada Tabel 5.4 Tabel 5.4 Nilai ambang dan nilai anomali unsur di daerah penelitian Unsur Nilai Ambang (ppm) Nilai Anomali (ppm) NA 1 (ppm) NA 2 (ppm) Nilai Anomali 1 Nilai Anomali 2 Sb 158,49 57,81 >158,49 57,82-158,49 Pb 2511,89 1260,00 >2511,89 1261,00-2511,89 Cu 2164,50 1778,30 >2164,5 1778,40-2164,50 Zn 3162,28 630,95 >3162,28 630,96-3162,28 Ag 251,18 35,48 >251,18 35,49-251,18 Au 1,99 1,58 >1,99 1,59-1,99 As 707,94 296,10 >707,94 296,20-707,94 5.3 Penentuan Asosiasi Unsur Penentuan asosiasi unsur pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode persentil. Unsur yang digunakan sebagai acuan adalah unsur Au. Pemilihan unsur Au sebagai acuan sesuai dengan tujuan utama dari penelitian di daerah ini, yaitu untuk mencari prospek emas (Au). Dewi Prihatini (12007012) 43
Berdasarkan pengolahan data secara statistik dengan menggunakan P80, P70, dan P60 (Lampiran F), maka diperoleh asosiasi unsur sebagai berikut : P80: Au, Sb, Pb, Cu, Ag, As P70: Au,, Pb, Cu, Ag, As P60: Au, Sb,, Cu,, As Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa pada persentil 80 (P80) unsur yang berasosiasi adalah Au, Sb, Pb, Cu, Ag, As. Namun, terdapat beberapa unsur yang terlihat berasosiasi kurang kuat pada persentil tertentu, yaitu unsur Sb pada P70 serta unsur Pb dan Ag pada P60. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa asosiasi unsur di daerah penelitian adalah Au, (Sb), (Pb), Cu, (Ag), As. Jika mengacu kepada asosiasi unsur menurut Lindgreen (1933; dalam Evans, 1987), maka tipe mineralisasi di daerah penelitian adalah transisi epitermalmesotermal (Tabel 5.5). Namun, asosiasi unsur serupa menurut Hedenquist dan White (1995) masih termasuk ke dalam tipe endapan epitermal sulfida rendah (Tabel 5.6). Tabel 5.5. Tipe mineralisasi (Lindgreen,1933; dalam Evans, 1987) Tipe Mineralisasi Kedalaman (m) Suhu ( 0 C) Asosiasi Unsur Hipotermal 3000-15000 300-600 Au, Sn, Mo, W, Cu, Pb, Zn, As Mesotermal 1200-4500 200-300 Au, Ag, Cu, As, Pb, Zn, Ni, Co, W, Mo, U Epitermal Dekat permukaan- 1500 50-200 Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U Teletermal Dekat permukaan + 100 Pb, Zn, Cd, Ge Dewi Prihatini (12007012) 44
Tabel 5.6 Tipe endapan epitermal (Hedenquist dan White, 1995) Tipe Endapan Epitermal Sulfida Rendah (adularia-serisit) Fluida hidrotermal - didominasi air meteorik, namun ada interaksi dengan air magmatik - ph mendekati netral - kondisi reduksi Mineral ubahan Kuarsa, kalsedon, kalsit, adularia, illit, karbonat Mineralisasi Mineral bijih Unsur logam dominan open-space veins dan cavity filling dominan Pirit, sfalerit, galena, elektrum, emas, arsenopirit Au + Ag, Pb, Zn, Cu, As, Te, Hg, Sb Sulfida Tinggi (acid-sulfate) - didominasi air magmatik - ph asam - kondisi oksidasi Kuarsa, alunit, kaolinit, pirofilit, diaspor mineral bijih menyebar (disseminated) Pirit, enargit, luzonit, kalkopirit Au + Cu, As, Te Dewi Prihatini (12007012) 45