DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI TINGKAT PETERNAK : Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI DI TINGKAT PETERNAK: Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dampak Penurunan Harga Susu terhadap Agribisnis Sapi Perah Rakyat

KEBIJAKAN IMPOR SUSU: MELINDUNGI PETERNAK DAN KONSUMEN

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

DAMPAK PENURUNAN HARGA SUSU TERHADAP AGRIBISNIS SAPI PERAH RAKYAT

ANALISIS HARGA, IMPOR, DAN EKSPOR SUSU. Haris Budiyono. Abstract

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga permintaan susu semakin meningkat pula. Untuk memenuhi

OUTLOOK Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

ANALISIS KESEIMBANGAN RASIO HARGA PAKAN TERHADAP SUSU SEGAR PADA PETERNAKAN RAKYAT

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. bisnis ikan air tawar di dunia (Kordi, 2010). Ikan nila memiliki keunggulan yaitu

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

PENDAHULUAN. Latar Belakang. suatu negara. Produksi susu menjadi suatu tolak ukur dalam program

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan

ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

ANALISIS INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia di Pasar Dunia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

III. KERANGKA PEMIKIRAN

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR

KEBIJAKAN EKONOMI INDUSTRI AGRIBISNIS SAPI PERAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

PROSPEK TANAMAN PANGAN

IV. ANALISIS DAN SINTESIS

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. maju dalam produk susu, hal ini terlihat akan pemenuhan susu dalam negeri yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dede Upit, 2013

IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. A. Kontribusi Pangan Terhadap Laju Inflasi Di Indonesia

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR DIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari Departemen Pertanian, bahwa komoditas daging sapi. pilihan konsumen untuk meningkatkan konsumsi daging sapi.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

VI. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI, PERMINTAAN, IMPOR, DAN HARGA BAWANG MERAH DI INDONESIA

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

METODE ANALISIS HARGA PANGAN 1

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

I, PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempakan sektor yang masih menduduki posisi sangat

I PENDAHULUAN. sehat juga semakin meningkat. Produk-produk fermentasi bisa berasal dari berbagai

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

DINAMIKA PRODUKSI DAGING SAPI DI WILAYAH SENTRA USAHA SAPI POTONG DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan merupakan salah satu sumber protein hewani yang

DAMPAK PENERAPAN KEBIJAKAN INDUSTRI SUSU TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat. Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA. Oleh :

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Ikan lele Masamo (Clarias sp.) merupakan salah satu ikan yang saat ini

Perkembangan Harga Daging dan Telur Ayam

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Kandungan Zat Gizi Komoditas Kedelai. Serat (g) Kedelai Protein (g) Sumber: Prosea 1996 ( Purwono: 2009)

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PETERNAKAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT*)

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

Transkripsi:

Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI TINGKAT PETERNAK : Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat oleh Atien Priyanti dan Ratna A. Saptati PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

DAMPAK HARGA SUSU DUNIA TERHADAP HARGA SUSU DALAM NEGERI TINGKAT PETERNAK : Kasus Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara di Jawa Barat 1 Atien Priyanti dan Ratna A. Saptati Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor ABSTRAK Kenaikan harga susu di pasar internasional akhir-akhir ini juga telah mengakibatkan naiknya harga susu di tingkat peternak. Suatu kajian telah dilakukan untuk mengetahui perkembangan harga susu dunia, dalam hal ini 1,25% skim milk powder, terhadap harga susu di tingkat peternak. Informasi harga susu dunia diperoleh dari Understanding Dairy Markets, sedangkan harga susu di tingkat peternak diperoleh dari Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara pada periode yang sama. Harga susu dunia meningkat sangat tajam pada periode 2006-2007 mencapai 74 persen. Di dalam negeri, hal tersebut direspon dengan kenaikan harga susu di tingkat peternak yang hanya mencapai 22 persen. Dihitung atas dasar harga full cream milk powder setara dengan 8 kg susu segar, maka rata-rata harga susu segar di tingkat peternak baru mencapai 62 persen dibandingkan dengan harga dunia. Hal ini menunjukkan bahwa harga susu dalam negeri sangat kompetitif dibandingkan dengan harga susu dunia, sehingga industri pengolah susu saat ini lebih memilih pasokan susu dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Di sisi lain, elastisitas harga penawaran susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak masing-masing cukup tinggi, dimana produksi susu sangat responsif terhadap kedua variabel tersebut. Harga susu segar dan harga konsentrat sangat berpengaruh terhadap produksi susu di tingkat peternak. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu ternyata juga diimbangi kenaikan harga konsentrat, sehingga perlu upaya substitusi komponen bahan pakan penyusun konsentrat. Dalam hal ini peternak diupayakan untuk tidak harus menanggung kompensasi kenaikan harga konsentrat yang cukup besar. Kata Kunci: Harga susu, harga konsentrat, elastisitas harga PENDAHULUAN Produksi susu dalam negeri sebagian besar masih tergantung dari peternakan sapi perah rakyat, dengan sekitar 110 ribu peternak, 377 ribu sapi perah (Ditjen Peternakan, 2007) dan rata-rata produksi harian 1185 ton susu segar yang dipasarkan ke industri pengolahan susu (IPS) melalui koperasi (Sulistiyanto, 2008). Pasar produk susu di Indonesia masih cukup besar, dimana perkembangan produksi meningkat sebesar 3,4 persen per tahun pada periode 2002-2006. Namun hal ini belum mampu memenuhi seluruh permintaan konsumen di dalam negeri karena perubahan peningkatan konsumsi 1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 Nopember 2008. 1

susu relatif lebih cepat dibandingkan produksinya. Pada periode yang sama, konsumsi susu meningkat sebesar 4,7 persen per tahun. Jawa Timur merupakan pemasok utama produk susu dan mengalami peningkatan produksi secara bertahap sejak tahun 1996, sedangkan Jawa Barat telah kembali bangkit dari keterpurukannya akibat krisis moneter tahun 1997 dan saat ini menjadi produsen susu segar terbesar di Indonesia. Indonesia masih mengimpor sekitar 70 persen untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Pada periode tahun 2002-2006 terjadi peningkatan volume impor sebesar 14,8 persen per tahun dengan nilai sebesar US$ 416 ribu pada akhir tahun 2006 (Ditjen Peternakan, 2007). Angka ini belum memperhitungkan impor produk susu lainnya, seperti mentega, keju dan yogurt. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat trend impor dan ekspor susu yang meningkat, sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia. Delgado et al., (1999) menyatakan bahwa perubahan pola konsumsi produk hewani ini bukan hanya dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi tetapi juga didorong oleh arus urbanisasi, serta kesadaran gizi dan perubahan gaya hidup masyarakat. Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk akan mendorong permintaan terhadap produk peternakan melonjak, meningkat dengan laju yang semakin pesat. Kondisi ini merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya Revolusi Peternakan (Livestock Revolution) di negara-negara sedang berkembang. Peluang ini harus dapat dimanfaatkan oleh usaha peternakan sapi perah di dalam negeri, sehingga ke depan ketergantungan terhadap produk impor dapat diminimalkan. Kenaikan harga susu segar akhir-akhir ini cukup menggairahkan para peternak di sentra produksi susu karena keuntungan yang diterima juga meningkat. Setiadi (2007) menyatakan bahwa kenaikan harga susu ini sudah saatnya, setelah selama 12 tahun stagnan. Para peternak sapi perah saat ini dapat menikmati kenaikan rata-rata sebesar Rp.700/liter, dimana harga susu saat ini berkisar antara Rp.3500 sampai Rp.3900 per liter, sedangkan sebelumnya berkisar antara Rp.2800 sampai Rp.3600 per liter di tingkat koperasi. Kenaikan harga susu ini cukup bervariasi tergantung dari kualitas susu yang dihasilkan. Ketua GKSI Jawa Tengah, Kuncoro, menyatakan bahwa harga susu di tingkat peternak mencapai sekitar Rp.1700 Rp.2100, sedangkan harga tersebut di tingkat koperasi mencapai rata-rata sekitar Rp.2300/liter. Relatif rendahnya harga ini disebabkan oleh total solid rendemen atau kadar air susu yang dihasilkan oleh peternak baru mencapai sekitar 10,5 persen, padahal standar yang diperlukan oleh IPS mencapai 12 persen. Lebih lanjut disampaikan bahwa produksi susu di GKSI Jawa Tengah saat ini 2

mencapai 110 ton/hari, sedangkan kebutuhannya mencapai 180 ton. Di Jawa Barat, ratarata produksi per hari hanya sekitar 430 ton dan hanya memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional. Secara nasional, permintaan untuk memenuhi kebutuhan susu mencapai 2253 ton/hari sedangkan pasokan produksi baru dapat memenuhi 1184 ton/hari untuk 5 pabrik IPS (Sulistiyanto, 2008). Pasokan ini sebagian besar (76 persen) dihasilkan oleh produksi susu harian dari sapi perah yang berkisar antara 10 20 liter. Suatu kajian telah dilakukan untuk mengevaluasi seberapa besar kenaikan harga susu internasional dibandingkan dengan kenaikan harga susu di tingkat peternak. Hal ini sangat relevan dalam kaitannya dengan upaya menghasilkan produk susu di dalam negeri yang kompetitif, dan upaya mengurangi ketergantungan bahan baku susu dari luar negeri. MATERI DAN METODE Kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh dari International Dairy Product Prices, Understanding Dairy Markets untuk harga 1,25% skim milk powder (SMP) dan 26% full cream milk powder (FCMP). Harga susu dalam negeri di tingkat peternak diperoleh dari Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) dalam 10 tahun terakhir (1999 2008). Data dianalisis secara deskriptif untuk menghitung harga susu dunia setara dengan harga susu segar di dalam negeri. Formulasi yang digunakan mengikuti Erwidodo dan Sayaka (1998), dimana harga susu dunia dihitung atas dasar harga satu kg FCMP setara dengan delapan kg susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kg FCMP merupakan biaya susu segar dan ditambah dengan bea masuk sebesar lima persen dan biaya transport serta bongkar muat dari pelabuhan ke lokasi IPS sebesar 2,5 persen. Nilai tukar yang digunakan adalah 1 US$ = Rp.9.200. Model regresi linier sederhana dipergunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis hubungan keterkaitan antara peubah produksi susu di dalam negeri terhadap faktor dan harga susu. Elastisitas harga susu diperoleh dari hasil estimasi persamaan tersebut. 3

Model persamaan regresi linier sederhana dalam kajian ini dapat dituliskan sebagai berikut: PROD i = a 0 + a 1 HSUSU i + a 2 HKONS i + e i (1) dimana: PROD : produksi susu (000 l) HSUSU : harga susu segar (Rp/liter) HKONS : harga konsentrat (Rp/kg) e : error term i = 1,2...10 : pengamatan tahun ke-i PEMBAHASAN Perkembangan Harga Susu Dunia vs Dalam Negeri Gambar 1 menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 1999-2008, rata-rata harga 1,25% butter fat skim milk powder mengalami fluktuasi dengan trend yang meningkat. Sampai dengan bulan September 2007, harga susu ini meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan pada awal tahun 1999. Rata-rata pada tahun 1999 adalah US$ 1330 per metric ton, dan hal ini mencapai US$ 5225 pada minggu kedua bulan September 2007, atau rata-rata harga susu ini pada tahun 2007 mencapai US$ 4400. Rata-rata kenaikan harga yang paling tinggi dicapai pada periode tahun 2006 2007 hingga mencapai 75 persen, sedangkan selama kurun waktu 1999-2006 dapat dinyatakan bahwa rata-rata kenaikan harga susu tersebut relatif stabil. Sedikit mengalami penurunan pada periode tahun 2001 2006. Secara signifikan rata-rata kenaikan harga susu mencapai 16 persen per tahun. Adanya kenaikan harga susu dunia pada awal tahun 2007, dimana kenaikannya pada lima bulan pertama mencapai 41 persen, telah membuat IPS beralih mencari pasokan susu segar dari dari dalam negeri. Harga skim milk powder (SMP) yang di awal 2006 hanya US$ 2100 per metric ton telah bergerak naik dan mencapai harga US$ 5450 per metric ton pada bulan Agustus 2007. Sedangkan untuk anhydrous milk fat (AMF) atau buffer fat kenaikannya lebih tinggi lagi dan hampir mencapai tiga kali lipat. Diawal 2007, harga AMF hanya sekitar US$ 2200 per metric ton, enam bulan kemudian harganya melonjak sampai US$ 6000 per metric ton (Boediana, 2008). Kenaikan harga susu bubuk dunia tersebut dipicu oleh menyusutnya produksi internasional akibat 4

kekeringan di sejumlah negara produsen serta adanya pengurangan subsidi dari pemerintah bagi peternak di masing-masing negara penghasil. International 1.25% BF Skim Mik Powder Price-Europe 1999-2008 5000 4500 4000 3500 3000 Price 2500 2000 1500 1000 500 Avrg. Price 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Year Gambar 1. Perkembangan harga susu dunia, 1.25% butter fat skim milk powder Saat ini, rata-rata harga susu di pasar internasional mencapai US$ 3442 per metric ton untuk SMP dan US$ 3900 per metric ton untuk AMF. Pada tingkat harga tersebut, ditambah dengan bea masuk sebesar 5 persendan biaya-biaya lainnya, maka harga bahan baku susu impor setara susu segar menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga beli susu segar di tingkat peternak. Hal ini mendorong IPS untuk memburu susu segar dalam negeri, disamping alasan susu segar sangat penting untuk memberikan aroma dan rasa pada saat pencampuran dengan bahan baku susu impor (Boediana, 2008). Gambar 2 menunjukkan bahwa perkembangan harga susu segar di tingkat peternak masih terus mengalami peningkatan yang cukup substansial. Pada periode yang sama, tahun 1999 2008, rata-rata harga susu di dalam negeri meningkat sebesar 14 persen per tahun. Kenaikan tertinggi justru dicapai ada periode tahun 2007 2008, sebesar 32 persen sedangkan tahun sebelumnya hanya meningkat sebesar 22 persen. Sebagai perbandingan, harga susu impor di negara asalnya mencapai Rp.4500,- per liter, dan di Indonesia harganya menjadi Rp.5600,- per liter. Harga susu segar bervariasi di tingkat IPS sekitar Rp.2.750 Rp.3.450,- per liter, sedangkan di tingkat koperasi, harga 5

beli susu dari peternak lebih rendah lagi yaitu Rp.2300 Rp.2500,- per liter (Khairina, 2007). Hasil survei peternak sapi perah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY serta Jawa Timur menunjukkan bahwa rata-rata harga susu di tingkat peternak saat ini masingmasing adalah Rp.3133; Rp.2980 dan Rp.3137 per liter. Perkembangan Harga Susu Harga Susu (Rp/l) 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tahun Harga Susu (Rp/l) Gambar 2. Perkembangan harga susu segar di tingkat peternak di salah satu koperasi susu di Jawa Barat Perhitungan atas dasar satu kg FCMP setara dengan 8 kg susu segar menunjukkan bahwa selama periode tahun 1999-2008, harga susu segar di dalam negeri relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan harga susu dunia. Dinyatakan bahwa dengan 80 persen biaya satu kg FCMP yang merupakan biaya susu segar ditambah dengan bea masuk impor sebesar 5 persen dan 2,5 persen biaya transport serta bongkar muat dari pelabuhan ke lokasi IPS mengakibatkan harga bahan baku susu impor setara susu segar menjadi lebih mahal. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata harga susu segar dalam negeri hanya sekitar 62 persen dari harga susu impor setara susu segar selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2007, dimana harga susu dunia meningkat cukup tinggi, harga susu segar di dalam negeri mengalami peningkatan yang tidak terlalu tinggi, sehingga imbangan antara harga susu segar di dalam negeri terhadap harga susu impor setara susu segar bahkan hanya mencapai 42 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu di pasar internasional belum direspon dengan baik oleh para peternak di dalam negeri. 6

Tabel 1. Perkembangan harga susu dalam negeri dengan harga susu impor setara dengan susu segar Tahun Harga FCMP (Rp/kg) Harga FCMP+be a masuk 5% Harga FCMP+bea masuk+ transpor 2,5% Harga setara susu segar (Rp/l) Harga susu dalam negeri (Rp/l) Rasio harga susu DN terhadap impor 1999 14055 14758 15053 1882 1000 0.53 2000 17020 17871 18228 2279 1137 0.50 2001 17921 18817 19194 2399 1411 0.59 2002 12882 13526 13796 1725 1562 0.91 2003 15976 16774 17110 2139 1612 0.75 2004 19927 20923 21342 2668 1647 0.62 2005 20855 21898 22335 2792 1756 0.63 2006 21779 22868 23326 2916 1988 0.68 2007 43055 45208 46112 5764 2431 0.42 2008 38815 40756 41571 5196 3200 0.62 Keterangan: 1 US$ = Rp.9200 Secara ekonomis, kenaikan harga susu di pasar internasional telah menempatkan produk susu segar dalam negeri memiliki bargaining power dan lebih kompetitif. Melihat disparitas harga susu segar di dalam negeri dengan bahan baku susu eks impor seharusnya peternak memiliki peluang untuk memperoleh harga yang lebih baik. Idealnya harga jual susu lokal sebesar 80 persen dari harga susu impor (KHAIRINA, 2007). Disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak ini dikarenakan posisi tawar (bargaining position) peternak/koperasi terhadap IPS yang rendah. Harga susu lebih ditentukan oleh IPS berdasarkan standar baku mutu yang ketat seperti kandungan mikroba (total plate count=tpc) dan total solid (TS) yang harus dipenuhi oleh koperasi. Di sisi lain banyak peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS, karena rendahnya kemampuan budidaya peternak. Harga susu yang diterima oleh koperasi sangat ditentukan oleh komponenkomponen tersebut. Hal ini dapat dipandang positif dalam memotivasi peternak untuk menghasilkan susu berkualitas, namun di sisi lain upaya ini juga perlu diimbangi dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak. Elastisitas Harga Susu Segar Secara empiris, elastisitas harga penawaran susu menunjukkan proporsi perubahan penawaran yang akan terjadi apabila terjadi perubahan harga susu pada tingkat tertentu. Kajian ini mengemukakan perubahan penawaran atau produksi susu yang disebabkan 7

oleh perubahan harga susu itu sendiri, atau sering disebut dengan elastisitas harga sendiri. Hasil pendugaan model pada studi ini cukup representatif menjelaskan kinerja ekonomi perilaku harga bahan baku pakan ternak terhadap harga susu segar. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas yang menyusun model terhadap peubah terikat mampu menjelaskan variasi peubah sampai 96 persen. Pada derajat bebas masing-masing, uji F menghasilkan kesimpulan bahwa model regresi yang dibangun secara statistik nyata pada taraf nyata 0,0001. Hasil uji t menunjukkan bahwa sebagian besar peubah penjelas dalam mode persamaan ini berpengaruh terhadap peubah terikatnya masing-masing pada taraf nyata 5 persen dengan arah sesuai harapan (Tabel 2). Hasil analisis menunjukkan bahwa harga susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak sangat berpengaruh terhadap produksi susu (P<0.05). Secara signifikan hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu segar dapat meningkatkan produksi susu di tingkat peternak. Menurunnya harga konsentrat juga dapat mengakibatkan naiknya produksi susu, namun pada kenyataannya harga konsentrat juga turut naik seiring dengan meningkatnya harga susu segar. Keuntungan peternak, yang seharusnya dapat diperoleh sebagai akibat kenaikan harga susu segar, tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh peternak. Kompensasi keuntungan peternak dialokasikan terhadap kenaikan harga bahan baku pakan, utamanya adalah konsentrat yang merupakan komponen terbesar dalam ransum sapi pakan perah (Priyanti dan Mariyono, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat merupakan komponen dalam ransum sapi perah yang cukup penting dan pada akhirnya bermuara pada pendapatan maupun keuntungan peternak. Peningkatan mutu pakan konsentrat ini juga mempengaruhi terhadap kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan, sehingga harga susu segar juga meningkat. Tabel 2. Hasil estimasi dan perhitungan elastisitas harga susu Peubah Intercep Harga susu Harga konsentrat Parameter dugaan 2371.0282 16.168 *) - 27.051 *) Elastisitas Prob > T - 1.450-1.014 F value = 31.014 Prob > F = 0,0003 R-square = 0.8986 Adj R-square = 0.8696 0.0016 0.0497 0,0575 8

Perhitungan elastisitas harga sendiri sebesar 1.45 menunjukkan bahwa produksi susu sangat responsif terhadap perubahan harga susu segar. Semakin tinggi harga susu, maka produksi susu juga semakin meningkat. Elastisitas harga susu yang cukup tinggi ini mengindikasikan bahwa produk susu masih dianggap sebagai komoditas pangan berharga mahal, padahal susu merupakan salah satu asupan bergizi yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain, seharusnya kenaikan harga susu ini dapat dimanfaatkan oleh peternak dalam upaya meningkatkan produksinya guna memenuhi kebutuhan nasional. KESIMPULAN DAN SARAN Kenaikan harga susu di pasar internasional juga menyebabkan naiknya harga susu segar di tingkat peternak. Harga susu dunia meningkat sangat tajam pada periode 2006-2007 mencapai 74 persen. Di dalam negeri, hal tersebut direspon dengan kenaikan harga susu di tingkat peternak yang hanya mencapai 22 persen. Dihitung atas dasar harga full cream milk powder setara dengan 8 kg susu segar, maka rata-rata harga susu segar di tingkat peternak baru mencapai 62 persen dibandingkan dengan harga susu impor setara susu segar. Hal ini menunjukkan bahwa harga susu dalam negeri sangat kompetitif dibandingkan dengan harga susu dunia. Elastisitas harga penawaran susu segar dan harga konsentrat di tingkat peternak masing-masing cukup tinggi, dimana produksi susu sangat responsif terhadap kedua variabel tersebut. Harga susu segar dan harga konsentrat sangat berpengaruh terhadap produksi susu di tingkat peternak. Hasil ini menunjukkan bahwa kenaikan harga susu segar ternyata juga diimbangi dengan kenaikan harga konsentrat, sehingga perlu upaya substitusi komponen bahan pakan penyusun konsentrat. Dalam hal ini peternak diupayakan untuk tidak harus menanggung kompensasi kenaikan harga konsentrat yang cukup besar. DAFTAR PUSTAKA Boediyana, Teguh. 2008. Menyongsong agribisnis persusuan yang prospektif di Tanah Air. Majalah Trobos No 108 September 2008 Tahun VIII. Delgado, C., M. Rosegrant, H. Steinfeld, S. Ehui and C. Courbois. 1999. Livestock to 2020 The Next Food Revolution. Food, Agriculture, and the Environment Discussion paper 28. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. 9

Ditjen Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta. Erwidodo dan B. Sayaka. 1998. Dampak krisis moneter dan reformasi ekonomi terhadap industri susu di Indonesia. Analisis Kebijaksanaan: Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan Analisis Dampak Krisis. Monograph Series No.18. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Khairina. 2007. Susu sapi juga butuh perhatian. http://64.203.71.11/kompascetak/0707/21/fokus/301562.htm. 21 Juli 2007. Priyanti, A. dan Mariyono. 2008. Analisis keseimbangan rasio harga pakan terhadap susu segar pada peternakan rakyat. Prosiding Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sulistiyanto. 2008. Prospek dan pengembangan usaha agrobisnis (Usaha persusuan bagi koperasi). Makalah disajikan dalam Workshop Pengembangan Peternakan Dalam Bidang Usaha Agrobisnis Persusuan. Jakarta, 11 Maret 2008. Setiadi, D. 2007. Koperasi susu: kenaikan harga susu wajar dan gairahkan peternak. http://www.antara.co.id/.htm. 27 Maret 2007. 10