LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

dokumen-dokumen yang mirip
(1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan

KATA PENGANTAR. dr. Untung Suseno Sutarjo, M.Kes.

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Target 2A : Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011

Paparan Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah

MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Diterjemahkan dari: Population and Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

CAPAIAN MDGs. provinsi KALIMANTAN TENGAH

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

KATA PENGANTAR. Pada akhirnya, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Laporan Ringkasan ini.

Dra. Nina Sardjunani, MA Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Kementerian PPN/Bappenas

Latar Belakang. Tujuan setiap warga negara terhadap kehidupannya adalah

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penulisan Sumber Data... 3

SERIAL PEDOMAN TEKNIS

LAPORAN SINGKAT PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOALS INDONESIA 2010

BAB III PEMANTAUAN DAN EVALUASI

DAFTAR ISI. RAD MDGs Jawa Tengah

Strategi Pemecahan Masalah pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai berikut :

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

LAMPUNG LAMPIRAN : PERATURAN GUBERNUR LAMPUNG

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014

3.2 Pencapaian Millenium Development Goals Berdasarkan Data Sektor Tingkat Kecamatan di Kabupaten Polewali Mandar Tahun

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

MEWASPADAI DATA STATISTIK PADA PENCAPAIAN SASARAN MDGS. Fatia Fatimah Tati Rajati Andriyansah. UPBJJ-UT Padang

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2013

Dari MDGs Menuju SDGs: Pembelajaran dan Tantangan Implementasi

Nina Sardjunani. Disampaikan pada Acara Bedah Buku MDGs Sebentar Lagi. Reuni Akbar Alumni ITB 75, Jakarta, 31 Januari 2011

Pengalaman MDGS: PROSES INTEGRASI DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BAB IV P E N U T U P

BAB IV PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

INTEGRASI SPM DALAM RPJMD. BAPPEDA KABUPATEN GUNUNGKIDUL 2 Oktober 2012

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Lampiran 1 KUESIONER RISKESDAS

LATAR BELAKANG DAN KONDISI UMUM

MAKALAH KONSEP SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebijakan Kesehatan Nasional

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KONFERENSI INTERNASIONAL CSR DAN MEMERANGI GIZI BURUK DALAM MENCAPAI MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (MDGs) Jakarta, 13 Desember 2010

CAPAIAN MDGs BIDANG KESEHATAN

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs DI DAERAH (RAD MDGs)

BRIEFING NOTE RELFEKSI PENCAPAIAN MILLENNIUM DEVELOPMENT GOAL (MDG) DI INDONESIA

MENGGAPAI TARGET MDGs DALAM PROGRAM KB NASIONAL. Oleh : Drs. Andang Muryanta

INDIKATOR KESEJAHTERAAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR 2014

DRAFT LAMPIRAN MATRIK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGS UNTUK RAPAT KERJA 2 TAMPAK SIRING, BALI

KATA PENGANTAR. Surakarta, Desember KEPALA BAPPEDA KOTA SURAKARTA Selaku SEKRETARIS TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN KOTA SURAKARTA

Peran Kementerian Dalam Negeri dalam Melaksanakan MDGs dan Bergerak Menuju SDGs

I. PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di suatu daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

MDGs. Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan. dalam. Direktorat Penanggulangan Kemiskinan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional September 2007

Metadata untuk Penyusunan Rencana Aksi yang Partisipatif

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 56 TAHUN 2011

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

BAB I PENDAHULUAN... I-1

Penanggulangan Kemiskinan

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN PROVINSI PAPUA DAN PROVINSI PAPUA BARAT

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 37 TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

BAB V PENUTUP Kesimpulan

IKU Pemerintah Provinsi Jambi

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

DAFTAR ISI. Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Grafik...

Apa Kabar Kesehatan Ibu dan Anak di Indonesia?

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

BAB IV. PENCAPAIAN MDG s DI INDONESIA Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan

KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN DALAM AKSELERASI PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU

Mewujudkan Peningkatan Budaya Sehat dan Aksesbilitas Kesehatan Masyarakat.

PENANGANAN STUNTING TERPADU TAHUN 2018

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs): Refleksi dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

NOMOR : TANGGAL : TENTANG : RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BOGOR TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

Katalog BPS: KESEHATAN SEKSUAL DAN REPRODUKSI DALAM PEMBANGUNAN: Yang Harus Diperbuat oleh Wakil Rakyat

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: Lintas Bidang Penanggulangan Kemiskinan II.1.M.B-1. (dalam miliar rupiah)

Kata Pengantar Keberhasilan pembangunan kesehatan tentu saja membutuhkan perencanaan yang baik. Perencanaan kesehatan yang baik membutuhkan data/infor

Studi Efektifitas CSR 6 Desa Binaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dengan Pendekatan MDGs dan Lima Pilar Pembangunan Nasional

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

BAB I P E N D A H U L U A N

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

SERIAL PEDOMAN TEKNIS

REPUBLIK INDONESIA 2. PRIORITAS NASIONAL KESEHATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG

KATA PENGANTAR. Semoga Peta Kesehatan Indonesia Tahun 2012 ini bermanfaat. Jakarta, September 2013 Kepala Pusat Data dan Informasi

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN BERAU BAB I PENDAHULUAN

PETA SOSIAL UPAYA MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN MILLENIUM (MDG S) DI JEPARA. Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Delapan tujuan Millenium Development Goals (MDG s) telah disepakati

SERIAL PEDOMAN TEKNIS Penyusunan Rencana Aksi Percepatan Pencapaian Tujuan MDGs di Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand hanya 44 per

Aplikasi System Dynamic pada Model Perhitungan Indikator Millennium Development Goals (MDGs)

Transkripsi:

REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 2012 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ISBN 978-979-3764-79-5 Diterbitkan oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Tim Penyusun: Penanggung Jawab Ketua Tim Pengarah Sekretaris Anggota Mitra Pendukung : Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA : Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA : Dra. Nina Sardjunani, MA : Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D; Dr. Ir. Subandi, MSc; Dr. Sanjoyo, M.Ec; Dr. Hadiat, MA; Ir. Wahyuningsih Darajati, MSc; Dra. Tuti Riyati, MA; Dra. Rahma Iryanti, MT; Dadang Rizki Ratman, SH, MPA; Prof. Dr. Fasli Jalal, Ph.D.; Dr. Arum Atmawikarta, MPH; Dedi Darmadji, SE, MSc; Mukhlis Hanif Nurdin, SKM; Aisyah Putri Mayangsari, SKM : United Nations Development Programme (UNDP)

LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2011 Diterbitkan Oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

ii

iii Kata Pengantar Keikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan produktif dengan masyarakat madani dan sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan pencapaian MDGs. ini merupakan laporan ke tujuh yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2004. Penerbitan laporan ini bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat bangsa-bangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000. Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan kecenderungan serta upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi tahun 2011, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat dicapai. Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggitingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan baik. Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada: Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, Wakil Menteri Negara PPN/Wakil Kepala Bappenas dan Dra. Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2011. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi

iv Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan data, informasi, dan penyiapan naskah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations Development Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs ini, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan datang. Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

v Daftar Isi Kata Pengantar iii Daftar Isi v Daftar Gambar vi Daftar Tabel vii Daftar Kotak Viii Daftar Foto Viii Daftar Singkatan ix Pendahuluan 1 Ringkasan Status Pencapaian MDGs di Indonesia 5 Tinjauan Status Pencapaian MDGs di Indonesia 9 TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN 15 Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat 17 pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 Target 1B: Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan 24 yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita 27 kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015 TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA 29 Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan 31 dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 37 Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan 39 lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 45 Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam 47 kurun waktu 1990-2015 TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 53 Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga-perempat dalam kurun 55 waktu 1990-2015 Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 55 TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA 67 Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru 69 HIV dan AIDS hingga tahun 2015 Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua 69 yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru 74 Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015

vi TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 83 Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan 85 dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses 93 terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak pada 2015 Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk 102 miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020 TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN 107 Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, 109 berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun 114 internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang Target 8F: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, 117 terutama teknologi informasi dan komunikasi Daftar Gambar Gambar 1.1. Persentase Penduduk Yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Nasional Tahun 17 2011 Gambar 1.2. Indeks Kedalaman Kemiskinan Tahun 2000-2011 17 Gambar 1.3. Proporsi Penduduk Miskin di Perdesaan dan Perkotaan, Menurut Provinsi 18 Tahun 2011 Gambar 1.4. Pencapaian Target Penyaluran KUR (Rp Miliar) 20 Gambar 1.5. Laju Pertumbuhan PDB Per Tenaga Kerja Tahun 2011 24 Gambar 1.6. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2011 25 Gambar 1.7. Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga 26 Terhadap Total Kesempatan Kerja Gambar 1.8. Prevalensi Kekurangan Gizi pada Balita 27 Gambar 1.9. Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal 28 Gambar 2.1. Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun 1992-2011 32 Gambar 2.2. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, Tahun 2011 33 Gambar 2.3. Gambar 2.4. Perkembangan Proporsi Melek Huruf Perempuan dan Laki-Laki Umur 15-24 Tahun, 2000-2011 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun Menurut Provinsi, 2011 33 34 Gambar 3.1. IPG/Rasio APM Perempuan Terhadap Laki-Laki, 2000-2011 40 Gambar 3.2. Keragaman Tingkat Keaksaraan Laki-Laki dan Perempuan, 2011 40 Gambar 3.3. Keragaman Kontribusi Perempuan dalam Pekerjaan Upahan di Sektor 41 Nonpertanian Antarprovinsi, 2011 Gambar 4.1. Penurunan Angka Kematian Balita, Bayi, dan Neonatal, 1991-2007 47 Gambar 4.2. Keragaman Pemberian Imunisasi Dasar Bagi Anak Usia 12-23 bulan, 2010 48 Gambar 4.3. Persentase anak usia 1 tahun yang pernah mendapatkan imunisasi campak, 49 2011 Gambar 5.1. Angka Kematian Ibu dari Tahun 1991-2007 dan Target MDG tahun 2015 56

vii Gambar 5.2. Kemajuan dalam penolong kelahiran oleh tenaga medis, 1995-2011 56 Gambar 5.3. Penolong Kelahiran di Perdesaan dan Perkotaan, 2011 57 Gambar 5.4. Penolong Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Terlatih dan Bukan-Tenaga 58 Kesehatan, 2011 Gambar 5.5. Pemakaian Kontrasepsi pada Perempuan Menikah Usia 15-49 tahun, 58 1991-2007 Gambar 5.6. Disparitas Angka Pemakaian dan Cara Kontrasepsi Antarprovinsi, 2011 59 Gambar 5.7. Keragaman Layanan Antenatal K1 dan K4 Antarprovinsi, 2010 60 Gambar 5.8. Data Cakupan K1, K4, dan Pn tahun 2009, 2010, 2011 Puskesmas Jembatan 64 Kembar Gambar 6.1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV, Desember 2011 70 Gambar 6.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS, Desember 2011 70 Gambar 6.3. AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan 2011 71 Gambar 6.4 Keragaman Angka Kejadian Malaria, 2011 74 Gambar 6.5. Kemajuan Penemuan Kasus dan Pengobatan 1996-2011 78 Gambar 6.6. Keragaman Angka Penemuan Kasus Baru Tuberkulosis, Keberhasilan 78 Pengobatan dan Kesembuhan, 2011. Gambar 7.1. Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan 86 Gambar 7.2. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum dan 93 Fasilitasi Sanitasi Dasar Layak Gambar 7.3. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan Terhadap Air Minum 95 Layak, Perkotaan, Perdesaan, serta perkotaan dan Perdesaan, 2011 Gambar 7.4. Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan Terhadap Sanitasi Layak, 95 Perkotaan, Perdesaan, serta Perkotaan Dan Perdesaan, 2011 Gambar 7.5. Proporsi Rumah Tangga Kumuh Perkotaan, 1993-2011 102 Gambar 7.6. Proporsi Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Per Provinsi, 2011 106 Gambar 7.7. Target Rencana Dan Alokasi PLP2K-BK Tahun 2010-2014 104 Gambar 8.1. Perkembangan Tingkat Keterbukaan Ekonomi, Ekspor dan Impor, serta GDP 110 Harga Berlaku, 1990-2011 Gambar 8.2. Model Kerjasama Apex-BPR 113 Gambar 8.3. Perkembangan Total Utang, Rasio Total Utang Terhadap PDB (Debt to GDP Ratio), dan Rasio Pembayaran Pokok Utang dan Bunga Utang Luar Negeri Terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (DSR) 115 Daftar Tabel Tabel 1.1. Lokasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan 21 Tabel 1.2. Perkembangan Program Raskin 2004-2011 22 Tabel 7.1. Ringkasan Emisi GRK Nasional Tahun 2000 (dalam Gg CO2e) 87 Tabel 7.2. Ringkasan Emisi GRK Tahun 2000-2005 untuk Semua Sektor (dalam 87 Gg CO2e) Tabel 7.3. Kawasan Konservasi Perairan Tahun 2011 89 Tabel 7.4. Capaian Pelaksanaan Program Penanganan Kawasan Permukiman 104 Kumuh Tabel 7.5. Pembangunan dan Rehabilitasi Infrastruktur Permukiman 105 Tabel 8.1. Beberapa Indikator Terpilih Kondisi Bank Umum di Indonesia, 2010-2011 110

viii Daftar Kotak Kotak 1.1. Program Keluarga Harapan (PKH) 21 Kotak 1.2. Program Subsidi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) 22 Kotak 1.3. Pelaksanaan Program Raskin oleh Pemerintah Kab. Boalemo, Provinsi 23 Gorontalo Kotak 2.1. SIPBM, Pendataan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Polewali 36 Mandar Kotak 3.1. Upaya percepatan Penerapan Pengarusutamaan Gender (PUG) di 42 Indonesia Kotak 4.1. Pelaksanaan MTBS di Puskesmas Sei Malang, Kab. Hulu Sungai Utara, 51 Provinsi Kalimantan Selatan Kotak 5.1. Kelas Ibu Hamil Puskesmas Jembatan Kembar, Lombok Barat, NTB 64 Kotak 5.2. Rumah Tunggu Kelahiran Mitra Sehat Desa Nilo Dingin, Kecamatan 65 Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi Kotak 5.3. Kesuksesan Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam Meningkatkan 65 Peserta KB Pria Kotak 6.1 Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV) 73 Kotak 6.2. Upaya Malaria Center di Maluku Utara Memerangi Malaria dalam 75 Rangka Percepatan Pencapaian Goal 6 MDG dan Menuju Eliminasi 2020 Kotak 6.3. Peran serta Masyarakat dalam Pengendalian TB melalui Pos TB Desa 81 Kotak 7.1. Indonesia HCFC Phase-Out Management Plan (HPMP) 90 Kotak 7.2. Terobosan Pendanaan bagi Penyediaan Air Minum 97 Kotak 7.3. Pelaksanaan STBM di Kabupaten Sumedang untuk Mencapai Target 99 MDGs 7C Kotak 7.4. Upaya Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman Kotak 7.5. Kontribusi PNPM Perkotaan dalam Pencapaian MDGs 105 Kotak 7.6. Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh 106 Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) Kotak 8.1. Generic Model Apex-BPR untuk Mengoptimalkan Peran BPR dalam 112 Pembiayaan UMKM Kotak 8.2. Desa Berdering dan Desa Pinter 119 Daftar Foto Foto 4.1. Kegiatan Puskesmas Sei Malang 52 Foto 5.1. Kelas Ibu Hamil di Puskesmas Jembatan Kembar, Lombok Barat, NTB 62 Foto 5.2. Rumah Tunggu Kelahiran Mitra Sehat, Desa Nilo Dingin, Kec. Lembah 63 Masurai, Kab. Merangin, Provinsi Jambi Foto 5.3. Pelayanan KB di Kabupaten Situbondo 66 Foto 6.1. Kegiatan Pencidukan Larva Anopheles (PLA) 76 Foto 6.2. Kader kesehatan di Kabupaten Maumere (Provinsi NTT) dan Kabupaten Sentani (Provinsi Papua) sedang Berdiskusi dengan Petugas Kesehatan untuk Kegiatan Layanan TB Desa yang Merupakan Bagian Kegiatan UKBM 81 Foto 7.1. Berbagai Kegiatan STBM dan Penandatanganan Deklarasi Stop BABS 99 oleh Bupati Sumedang Foto 7.2. Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan 105 Foto 8.1. Pusat Pelayanan Telekomunikasi dan Informasi Perdesaan 119

ix Daftar Singkatan ABAT AKBA APBD APBN APK APM APS ARG ART ARV ASEAN ASFR ASI Balita Bappenas BBLR BBM BCG BKKBN BLM BOK BOS BP3AKB BPD BPO BPR BPS Perum Bulog BUMN CAR CBEIS CDR CFCD CFCs CLTS CO 2 CPE CPR CSR CTU DAD DAK Desa Pinter DO DOTS DPR DPT-HB DSR Aku Bangga Aku Tahu Angka Kematian Balita Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi Sekolah Anggaran Responsif Gender Antiretroviral Treatment Antiretroviral Association of South-East Asia Nations Age Specific Fertility Rate Air Susu Ibu Bawah Lima Tahun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Berat Badan Lahir Rendah Bahan Bakar Minyak Bacillus Calmette Guerin Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Bantuan Langsung Masyarakat Bantuan Operasional Kesehatan Bantuan Operasional Sekolah Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Bank Pembangunan Daerah Bahan Perusak Ozon Bank Perkreditan Rakyat Badan Pusat Statistik Perusahaan Umum Bulog (Badan Urusan Logistik) Badan Usaha Milik Negara Capital Adequacy Ratio Community-Based Education Information System Case Detection Rate Corporate Forum for Community Development Clorofluorocarbons Comunity Led Total Sanitation Carbon dioxide Customer Premises Equipment Contraceptive Prevalence Rate Corporate Social Responsibility Contraceptive Technology Update Dana Alokasi Desa Dana Alokasi Khusus Desa Punya Internet Definisi Operasional Directly Observed Treatment Shortcourse Dewan Perwakilan Rakyat Diphteria-Pertusis-Tetanus Hepatitis B Debt Service Ratio

x Fasyankes FWT GBS GPI GRK GWM LDR HCFCs HIV dan AIDs HPB HPMP IIX IPG Jamkesda Jamkesmas Jampersal JPS K1 K4 KB Kemendagri Kemdikbud Kemenhut Kemenkes Kemenkeu Kemenkokesra Kemen PPN Kemen PU Kementan Kominfo KH KIA KIE KKP KLB KLH KPP&PA KPU KRR KS-1 KUR LDR LPA LSM LULUCF MDGs MDR-TB MI MKJP MOP MOW MP3EI Fasilitas pelayanan kesehatan Fixed Wireless Telephone Gender Budget Statement Gender Parity Index Gas Rumah Kaca Giro Wajib Minimum Loan to Deposit ratio Hydrochlorofluorocarbons Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome Harga pembelian beras HCFC Phase-Out Management Plan Indonesia Internet Exchange Indeks Paritas Gender Jaminan kesehatan daerah Jaminan kesehatan masyarakat Jaminan Persalinan Jaring Pengaman Sosial Kunjungan Kehamilan ke-1 Kunjungan Kehamilan ke-4 Keluarga Berencana Kementerian Dalam Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Kehutanan Kementerian Kesehatan Kementerian Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan rakyat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Pertanian Kementerian Komunikasi dan Informasi Kelahiran Hidup Kesehatan Ibu dan Anak Komunikasi, Informasi dan Edukasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Kejadian Luar Biasa Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Komisi Pemilihan Umum Kesehatan Reproduksi Remaja Keluarga Sejahtera I Kredit Usaha Rakyat Loan to Deposit Ratio Line Probe Assay Lembaga Swadaya Masyarakat Land Use, Land Use Change and Forestry Millennium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium) Multi-Drug Resistant Tuberculosis Madrasah Ibtidaiyah Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Medis Operasi Pria Medis Operasi Wanita Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

xi MRV MTBS MTs NPL NTRL NUSSP OJK Opsus P2DTK PAMSIMAS PAUD PBB PDB Perda PISEW PKBR PKH PKK PLIK PLP2K-BK PMK PMT PMT-AS PNPM PNPM-KP PONED PONEK Poskesdes Posyandu PPIP PPN PPP PPP PPRG Pra-KS PSK PT PUAP PUG PUGAR Puskesmas PUS PUMP Pustu RA RAD Raskinda Raskindes Measurable, Reportable dan Verifiable Manajemen Terpadu Balita Sakit Madrasah Tsanawiyah Non-Performing Loans National Tuberculosis Referral Laboratory Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project Otoritas Jasa Keuangan Operasi Pasar Khusus PNPM Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat Pendidikan Anak Usia Dini Perserikatan Bangsa-Bangsa Produk Domestik Bruto Peraturan Daerah PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja Program Keluarga Harapan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga Pusat Layanan Internet Kecamatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan Peraturan Menteri Keuangan Pemberian Makanan Tambahan Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Kelautan dan Perikanan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Dasar Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi Komprehensif Pos Kesehatan Desa Pos Pelayanan Terpadu PNPM Infrastruktur Perdesaan Perencanaan Pembangunan Nasional Public-Private Partnership Purchasing Power Parity Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Pra- Keluarga Sejahtera Pekerja Seks Komersial Perguruan TInggi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan Pengarus-utamaan Gender Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat Pusat Kesehatan Masyarakat Pasangan Usia Subur Pengembangan Usaha Mina Perdesaan Puskesmas Pembantu Raudlatul Afthal Rencana Aksi Daerah Beras Miskin Daerah Program Beras Miskin Desa

xii RDT Renstra Riskesdas Risti RK RKB ROA RPJMN RPJPN RPJMD RS RTS RTSM Sakernas SBI SBN SD SDKI SDLB SDM SIP SIPBM SKRRI SMA SMP SMPLB SPAM SR SSL STBM STBP STR Susenas TAC TB TPA TOMA TOGA UKBM ULN UMKM UNDP UNESCO UNFCCC UNICEF USO Valas VCT Wajar Dikdas WHO Rapid Diagnostic Test Rencana Strategis Riset Kesehatan Dasar Resiko Tinggi Ruang Kelas Ruang Kelas Baru Return on Assets Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rumah Sakit Rumah Tangga Sasaran Rumah Tangga Sangat Miskin Survei Angkatan Kerja Nasional Sertifikat Bank Indonesia Surat Berharga Negara Sekolah Dasar Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Sekolah Dasar Luar Biasa Sumber Daya Manusia Surat Ijin Praktek Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Sistem Penyediaan Air Minum Succes Rate Satuan Sambungan Layanan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Surat Tanda Register Survei Sosial Ekonomi Nasional Total Allowable Catch Tuberkulosis Tempat Pembuangan Akhir Tokoh Masyarakat Tokoh Agama Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat Utang Luar Negeri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah United Nations Development Programme United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization United Nations Framework Convention on Climate Change United Nations Children s Fund Universal Service Obligation Valuta Asing Voluntary Counseling and Testing Wajib belajar pendidikan dasar World Health Organization

1 Pendahuluan Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang semakin membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan yang semakin mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional. Capaian Tujuan MDGs 2011 Capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai. Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015. Ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: MDG 1, yaitu proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari. MDG 3, yaitu rasio APM perempuan terhadap laki-laki SMA/MA/Paket C dan rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki umur 15-24 tahun. MDG 6, yaitu pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (TB). Pencapaian ini diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian, serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program DOTS. Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah: MDG 1, yaitu terdapat kemajuan yang sangat besar dari indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi. MDG 2, yaitu APM SD, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki yang semuanya sudah mendekati 100 persen. MDG 3, yaitu rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD/MI/Paket A, SMP/MTs/Paket B, dan pendidikan tinggi yang hampir mendekati 100 persen serta kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR yang meningkat. MDG 4, yaitu penurunan yang sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal, bayi, dan balita serta proporsi anak usia 1 tahun yang mendapat imunisasi campak yang meningkat pesat. MDG 5, yaitu berupa peningkatan angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah dengan menggunakan cara modern, penurunan angka kelahiran remaja perempuan umur 15-19

2 tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan penurunan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need). MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa peningkatan proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV). Selain itu, pengendalian penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru malaria yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida belum memadai dalam rangka menurunkan jumlah kasus baru malaria. MDG 7, yaitu berupa penurunan konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang tidak melebihi batas biologis yang aman, serta rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial yang keduanya meningkat. MDG 8, yaitu berupa keberhasilan pengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif yang diindikasikan oleh rasio ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR yang semuanya meningkat pesat. Selain itu juga keberhasilan dalam menangani utang untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang yang diindikasikan oleh rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor yang menurun tajam. Keberhasilan selanjutnya adalah dalam hal pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap dan telepon seluler. Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya adalah: MDG 1, yaitu berupa penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional. MDG 5, yaitu berupa penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. MDG 6, yaitu mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah. MDG 7, yaitu berupa rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO 2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan. MDG 8, yaitu berupa peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai. Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh berbagai penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok negara-negara yang makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju, Indonesia telah masuk pada forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global menjadi sangat penting.

3 Upaya-Upaya Penting dalam Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia Untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs, Presiden telah menetapkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Salah satu amanat yang tercantum dalam Inpres tersebut adalah agar setiap Kementerian/Lembaga, Gubernur, dan Para Bupati/Walikota mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, antara lain meliputi program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals- MDGs). Implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Pengintegrasian tujuan, target, dan indikator MDGs ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota baik jangka menengah (5 tahunan) maupun jangka pendek (tahunan); 2. Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia 2010 2015 yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi berbagai program dan kegiatan dalam rangka percepatan pencapaian MDGs; 3. Pembentukan Tim Koordinasi MDGs Nasional di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan beranggotakan seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. Tugas pokok dari tim tersebut adalah bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi pencapaian sasaran MDGs; 4. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) percepatan pencapaian MDGs di 33 Provinsi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan pedoman teknis Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi tentang percepatan pencapaian tujuan MDGs untuk memberikan panduan bagi daerah, khususnya provinsi dalam menyusun dokumen rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional; b. Pelaksanaan fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi oleh Tim Koordinasi MDGs Nasional kepada Tim Koordinasi MDGs Provinsi untuk menyamakan persepsi dalam penyusunan target dan indikator MDGs di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, menyusun langkah-langkah penyusunan RAD MDGs Provinsi, dan melakukan exercise penyusunan draft RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs di Provinsi termasuk penyusunan target, sasaran dan indikator; c. Penyusunan pedoman teknis Definisi Operasional Indikator MDGs yang berisikan tentang daftar tujuan, target, dan indikator MDGs, konsep definisi, manfaat, metode perhitungan, dan sumber data yang digunakan untuk menyamakan persepsi sehingga data dan informasi MDGs dapat dibandingkan antarprovinsi; d. Penyusunan pedoman teknis Review RAD MDGs Provinsi sebagai acuan dalam mereview RAD MDGs Provinsi yang sejalan dengan kebijakan program, dan sasaran MDGs Nasional; e. Penyusunan pedoman teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan RAD MDGs Provinsi untuk memastikan pelaksanaan program dan kegiatan MDGs yang tertuang didalam RAD MDGs Provinsi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program percepatan pencapaian MDGs sehingga dapat diatasi, dan merumuskan langkah tindak lanjut percepatan pencapaian target MDGs;

4 5. Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) Tahun 2011-2015 antara lain untuk mendorong agar daerah menyusun program dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di masing-masing provinsi untuk percepatan pencapaian tujuan target dan indikator MDGs. 6. Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu : a. Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public Private Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah dalam upaya percepatan pencapaian MDGs; b. Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR) untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan pelaksanaan CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok masyarakat, (iii) keselarasan lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian MDG; dan, (iv) keselarasan indikator kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan kegiatan CSR; 7. Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan pemberian insentif daerah yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs. 8. Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh stakeholders meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya masyarakat, Kementerian/Lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD; 9. Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya mendorong percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan disinsentif berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian MDGs di Indonesia. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI untuk Millennium Development Goals; 10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk memperkuat sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs. Kegiatannya merupakan kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan KemenPPN/Bappenas. 11. Dalam lingkup regional, khususnya ASEAN, Indonesia juga berperan aktif dalam mendukung upaya peningkatan kerjasama MDGs dalam rangka mengurangi kesenjangan pembangunan di kawasan. Diadopsinya ASEAN Roadmap for the Attainment of the Millennium Development Goals selama Keketuaan Indonesia untuk untuk ASEAN pada tahun 2011 mencerminkan komitmen dan kontribusi signifikan Indonesia untuk turut mendukung penetapan kebijakan regional terkait dengan upaya percepatan pencapaian MDGs.

5 Ringkasan Pencapaian Status MDGs Di Indonesia TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia menunjukkan kemajuan yang berarti dan ini sudah sesuai dengan target MDGs yang ditunjukkan dengan menurunnya proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dari 15,10 persen (tahun 1990) menjadi 12,49 persen (2011) dan Indeks Kedalaman Kemiskinan dari 2,70 menjadi 2,08 pada periode yang sama. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 persen (tahun 1990) menjadi 5,04 persen (tahun 2011). Di samping itu, terjadi penurunan proporsi penduduk yang menderita kelaparan dari tahun 1989 ke tahun 2010 yang ditunjukkan dengan prevalensi balita dengan berat badan rendah dari 31,00 persen menjadi 17,91 persen, serta proporsi penduduk dengan asupan kalori kurang dari 1400 Kkal/kapita/hari dari 17,00 persen (tahun 1990) menjadi 14,65 persen (tahun 2011). TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Upaya pencapaian pendidikan dasar untuk semua telah sejalan dengan sasaran MDGs, hal ini ditunjukkan dengan sudah diterapkannya pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia. Pada tahun 2011, angka partisipasi murni SD telah mencapai 95,55 persen; proporsi murid kelas I yang berhasil mencapai kelas VI adalah 96,58 persen; dan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan sudah mencapai 98,75 persen dan laki-laki mencapai 98,80 persen. TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Upaya untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagian besar telah mencapai sasaran MDGs tahun 2015. Pada tahun 2011, Rasio APM perempuan/laki-laki di tingkat SD adalah 98,80; di tingkat SMP adalah 103,45; dan di tingkat pendidikan tinggi adalah 97,82. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 telah mencapai 99,95 persen pada tahun yang sama. Sementara sasaran yang sejalan dengan target MDGs adalah untuk rasio APM perempuan/laki-laki di SMA telah mencapai 101,40 pada tahun 2011. Di bidang ketenagakerjaan, terlihat adanya peningkatan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian, yaitu 36,67 persen pada tahun 2011. Di samping itu, proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR juga mengalami peningkatan, menjadi 18,4 persen (2011).

6 TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan dengan sasaran MDGs. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 44 per seribu kelahiran hidup (tahun 2007); penurunan angka kematian bayi dari 68 menjadi 34 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 87,30 persen (tahun 2011). TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih telah berhasil ditingkatkan dari 40,70 persen (tahun 1992) menjadi 81,25 persen (tahun 2011), namun di sisi lain angka kematian ibu baru dapat ditekan dari 390 (tahun 1991) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (tahun 2007). Sementara itu angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia 15-49 tahun dengan cara modern meningkat dari 47,10 persen (tahun 1991) menjadi 60,42 persen (tahun 2011). TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Upaya mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus baru dan mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS masih memerlukan upaya keras, inovatif, dan kreatif untuk mencapainya. Prevalensi HIV dan AIDS masih cukup tinggi yaitu 0,30 persen pada tahun 2011, selain itu akses terhadap ARV sudah mencapai 84,10 persen dari penduduk terinfeksi HIV dan AIDs lanjut. Angka kejadian malaria menurun pesat dari 4,68 (tahun 1990) menjadi 1,75 per 1.000 penduduk (tahun 2011). Sementara itu, angka kejadian Tuberkulosis sudah berhasil mencapai target MDGs 2015 pada tahun 2011 yaitu dari 343 (1990) menjadi 189 kasus per 100.000 penduduk/tahun.

7 TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sebagian besar sasaran untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan menurun dari 59,97 persen pada tahun 1990 menjadi 52,52 persen pada 2010, sedangkan jumlah emisi CO 2 meningkat dari 1.377.983 Gg CO2e (2000) menjadi 1.791.372 GgCO 2 e (2005). Lebih lanjut, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen (1993) menjadi 42,76 persen (2011), sedangkan untuk fasilitasi sanitasi dasar layak dari 24,81 persen (1993) menjadi 55,60 persen (2011). TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sistem keuangan dan perdagangan Indonesia kini semakin terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif. Hal ini diukur dari indikator keterbukaan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio ekspor dan impor terhadap PDB dari 41,60 persen tahun 1990 menjadi 45,00 persen tahun 2011. Sedangkan rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB menurun dari 24,59 persen pada tahun 1996 menjadi 8,28 persen pada tahun 2011. Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler meningkat dari 14,79 persen pada tahun 2004 menjadi 103,90 persen pada tahun 2010. Namun pada tahun 2011 proporsi rumah tangga dengan akses internet baru mencapai 26,21 persen dan proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi baru mencapai 12,30 persen pada tahun 2011.

8

9 Tinjauan Status Pencapaian MDGs di Indonesia Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Indikator Acuan Dasar Saat Ini TUJUAN 1. MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target MDGs 2015 Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 1.1 1.1a Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 20,60% (1990) 15,10% (1990) Status 5,90% (2008) 10,30% Sumber Bank Dunia dan BPS 12,49% (2011) 7,55% BPS, Susenas 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan 2,70% (1990) 2,08% (2011) Berkurang BPS, Susenas Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja 3,52% (1990) 5,04% (2011) - 1.5 1.7 Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 65% (1990) 63,85% (2011) - 71% (1990) 44,24% (2011) Menurun Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015 1.8 Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi 1.8a Prevalensi balita gizi buruk 1.8b Prevalensi balita gizi kurang 1.9 Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum: - 1400 Kkal/kapita/hari - 2000 Kkal/kapita/hari TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* 23,80% (1989)* 17,00% (1990) 64,21% (1990) 17,90% (2010)** 15,50% 4,90% (2010)** 3,60% 13,00% (2010)** 11,90% 14,65 % (2011) 8,50% 60,03 % (2011) 35,32% PDB Nasional dan Sakernas BPS, Sakernas *BPS, Susenas **Kemenkes Riskesdas BPS, Susenas Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah dasar 2.2. 2.3 Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki 88,70% (1992)* 62,00% (1990) 96,60% (1990) 95,55 % (2011)** 100,00% *BPS, Susenas **Kemdikbud 96,58 % (2011) 100,00% Kemdikbud 98,78 % (2011) Perempuan: 98,75 % Laki-laki: 98,80 % 100,00% BPS, Susenas

10 Indikator Acuan Dasar Saat Ini TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target MDGs 2015 Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 3.1 3.1a 3.2 3.3 Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi Rasio melek huruf perempuan terhadap lakilaki pada kelompok usia 15-24 tahun Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 100,27% (1993) 99,86% (1993) 93,67% (1993) 74,06% (1993) 98,44% (1993) 29,24% (1990) 12,50% (1990) Status 98,80% (2011) 100,00 103,45% (2011) 100,00 101,40% (2011) 100,00 97,82% (2011) 100,00 99,95% (2011) 100,00 Sumber BPS, Susenas 36,67% (2011) Meningkat BPS, Sakernas 18,40% (2011) Meningkat KPU Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015 4.1 4.2 4.2a 4.3 Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 97 (1991) 44 (2007) 32 68 (1991) 34 (2007) 23 32 (1991) 19 (2007) Menurun 44,50% (1991) 87,30% (2011)* Meningkat Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 5.1 5.2 Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih BPS, SDKI 1991, 2007; *BPS, Susenas 2011 390 (1991) 228 (2007) 102 BPS, SDKI 40,70% (1992) Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 5.3 5.3a 5.4 5.5 5.6 Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, cara modern Angka kelahiran remaja (perempuan usia 15-19 tahun) per 1000 perempuan usia 15-19 tahun Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya satu kali kunjungan dan empat kali kunjungan) 49,70% (1991) 47,10% (1991) 81,25% (2011) Meningkat BPS, Susenas 61,34% (2011)* Meningkat 60,42% (2011)* Meningkat 67 (1991) 35 (2007) Menurun - 1 kunjungan: 75,00% 92,70% (2010)** - 4 kunjungan: Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 56,00% (1991) 12,70% (1991) Meningkat 61,40% (2010)** 9,10% (2007) Menurun BPS, SDKI 1991, 2007 *BPS, Susenas 2011 **Kemenkes Riskesdas 2010

11 Indikator Acuan Dasar Saat Ini TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target MDGs 2015 Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015 6.1 6.2 6.3 Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS Status - 0,30% (2011) Menurun 12,80% (2002/03)* Perempuan : 35,00% (2011)** Meningkat Laki-laki: 14,00% (2011)** - 11,40% (2010) Meningkat Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 6.5 Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan antiretroviral - 84,10% (2011) Meningkat Sumber Kemenkes 2011 *BPS, SKRRI 2002/2003 **STBP, Kemenkes 2011 Kemenkes, Riskesdas 2010 Kemenkes, 2011 Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.6 66.a 6.7 6.8 Angka kejadian dan tingkat kematian akibat Malaria Angka kejadian Malaria (per 1,000 penduduk): Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Proporsi anak balita dengan demam yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat 4,68 (1990) 1,75% (2010) Menurun - 16,50% (2010) Rural: 13.5% Urban: 11.4% - 34,70% (2010) Meningkat Kemenkes, 2010 Kemenkes, Riskesdas 2010 Kemenkes, Riskesdas 2010 Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.9 6.9a 6.9b 6.9c 6.10 6.10a 6.10b Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis Angka kejadian Tuberkulosis (semua kasus/100,000 penduduk/tahun) Tingkat prevalensi Tuberkulosis (per 100,000 penduduk) Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per 100,000 penduduk) Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 343 (1990) 189 (2011) Dihentikan, 443 (1990) 289 (2011) mulai berkurang 2011 92 (1990) 27 (2011) 20,00% (2000)* 87,00% (2000)* 83.48% (2011)** 70,00% 90,30% (2011)** 85,00% Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang 7.1 Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2) 59,97% (1990) 1.377.983 Gg CO2e (2000) 52,52% (2010) Meningkat 1.791.372 Gg CO2e (2005) Berkurang 26% pada 2020 Laporan TB Global WHO, *Laporan TB Global WHO **Laporan Kemenkes, 2011 Kementerian Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup

12 7.2a. 7.2b. Indikator Acuan Dasar Saat Ini Jumlah konsumsi energi primer (per kapita) Intensitas Energi 2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/ USD 1,000 (1990) 4,95 BOE (2010) 4,61 SBM/USD 1,000 (2010) Target MDGs 2015 Menurun dari kondisi BAU 6,99 Menurun 7.2c. Elastisitas Energi 0,98 (1991) 1,6 (2010) Menurun 7.2d. Bauran energi untuk energi terbarukan 3,50% (2000) 5,00% (2010) - 7.3 7.4 7.5 7.6 Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 8.332,7 metric tons (1992) 66,08% (1998) 26,40% (1990) 0,14% (1990)* 0 CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida 6.689,21 metrik ton HCFC (2010) 96,86% (2011) 0 CFCs dengan mengurangi HCFCs tidak melebihi batas Status 27,54% (2010) Meningkat 4,97% (2011)** Meningkat Sumber Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kelautan & Perikanan Kementerian Kehutanan *Kementerian Kehutanan ** Kementerian Kelautan & Perikanan Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak hingga tahun 2015 7.8 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan 7.8a Perkotaan 7.8b Perdesaan 7.9 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan perdesaan 7.9a Perkotaan 7.9b Perdesaan 37,73% (1993) 50,58% (1993) 31,61% (1993) 24,81% (1993) 53,64% (1993) 11,10% (1993) 42,76% (2011) 68,87% 40,52% (2011) 75,29% 44,96% (2011) 65,81% 55,60% (2011) 62,41% 72,54% (2011) 76,82% 38,97% (2011) 55,55% BPS, Susenas Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020 7.10 Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) TUJUAN 8: MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN 12,57% (2011) 6% (2020) BPS, Susenas Target 8A: Mengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a 8.6b Rasio Ekspor + Impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum 8.6c Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 41,60% (1990)* 45,80% (2000)* 101,30% (2003)* 45,00% (2011)** Meningkat 78,80% (2010)** Meningkat 107,60% (2011)** Meningkat *BPS dan Bank Dunia **BPS dan Kemendag *Laporan Perekonomian BI 2008, 2009 **Statistik Perbankan Indonesia, (2011) BI

13 Indikator Acuan Dasar Saat Ini Target MDGs 2015 Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12 Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB 8.12a Rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR) 24,59% (1996) 51,00% (1996)* Status 8,28% (2011) Berkurang 21,10% (2011)** Berkurang Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi Sumber Kementerian Keuangan *Laporan Tahunan 2009 BI **Statistik Utang Luar Negeri, BI (2011) 8.14 8.15 Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk) Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler 4,02% (2004) 14,79% (2004) 3,60% (2010) Meningkat 103,90% (2010) 100,00% 8.16 Proporsi rumah tangga dengan akses internet - 26,21% (2011) 50,00% 8.16a Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi - 12.30% (2011) Meningkat Kementerian Komunikasi dan Informatika 2010 BPS, Susenas 2011

14

TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN 15 Sumber : PNPM Support Facility

16

TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN 17 TARGET 1A MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK DENGAN TINGKAT PENDAPATAN KURANG DARI USD 1,00 (PPP) PER HARI DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 1.1 1.1a Indikator Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Acuan dasar 20,60% (1990) 15,10% (1990) 2,70% (1990) Saat ini 5,90% (2008) 12,49 (2011) 2,08 (2011) Target MDGs 2015 Status 10,30% Sumber Bank Dunia dan BPS 7,55% BPS, Susenas Berkurang BPS, Susenas 3.5 3 2.5 2.99 2.77 2.5 2.21 2.08 2 1.5 1 0.5 Gambar 1.1. Persentase penduduk yang hidup Gambar 1.2 Indeks Kedalaman Kemiskinan di bawah garis kemiskinan nasional Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun Upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia menunjukkan kemajuan yang berarti. Kemajuan ini ditunjukkan oleh dua indikator, yaitu persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional dan Indeks Kedalaman Kemiskinan. Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional terus berkurang, yaitu dari 13,33 persen pada tahun 2010 menurun menjadi 12,49 persen pada tahun 2011. Tingkat kesejahteraan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan oleh adanya penurunan indeks kedalaman kemiskinan nasional pada tahun 2010, yaitu dari 2,21 persen menurun menjadi 2,08 persen pada tahun 2011. Namun demikian, tingkat kemiskinan di daerah perdesaan masih lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan sehingga memerlukan peningkatan pembangunan perdesaan. Tingkat kemiskinan di daerah perdesaan Indonesia adalah 15,72 persen pada tahun 2011 sedangkan di wilayah perkotaan hanya 9,23 persen (Gambar 1.1.). 0 2007 2008 2009 2010 2011

Papua Papua Barat Maluku NTT NTB NAD Gorontalo Bengkulu Lampung DI Yogyakarta Sulawesi Tengah Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Sumatera Selatan Jawa Timur Sulawesi Barat INDONESIA Sumatera Utara Jawa Barat Sulawesi Selatan Maluku Utara Sumatera Barat Jambi Kalimantan Barat Sulawesi Utara Riau Kepulauan Riau Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Banten Bangka Belitung Kalimantan selatan Bali DKI Jakarta 23,00 21,23 19,73 19,57 18,75 17,50 16,93 16,08 15,83 15,76 14,56 14,24 14,23 13,89 12,49 11,33 10,65 10,29 9,18 9,04 8,65 8,60 8,51 8,47 7,40 6,77 6,56 6,32 5,75 5,29 4,20 3,75 4,60 0,00 6,05 4,61 2,80 5,37 4,80 31,98 31,92 10,24 9,46 9,87 9,23 4,65 17,39 18,54 17,89 15,72 13,57 11,58 7,53 12,50 13,69 12,27 10,75 6,33 7,46 6,37 7,35 3,91 4,11 3,84 3,91 7,42 4,06 4,61 3,75 13,16 9,59 9,37 9,83 7,65 11,21 7,89 9,75 7,35 6,34 13,73 10,77 9,26 18,24 18,19 11,89 10,07 11,19 14,12 13,32 23,36 16,90 21,87 21,82 15,15 14,83 25,65 17,74 17,14 30,54 23,67 41,58 39,56 18 Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan masih beragam, baik antarprovinsi maupun antarperdesaan dan perkotaan di dalam provinsi (Gambar 1.2). Papua, Papua Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat merupakan lima provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Namun demikian, tingginya tingkat kemiskinan di Papua, Papua Barat, Maluku, dan NTT hanya terjadi di perdesaan. Proporsi penduduk miskin perkotaan di Papua dan Papua Barat lebih rendah dan di Maluku kurang lebih sama dengan nilai rata-rata nasional, namun di NTT proporsi penduduk miskin perkotaan justru lebih besar dibandingkan dengan perdesaan. Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo memang merupakan provinsi tertinggi dalam kesenjangan proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Selanjutnya, keragaman proporsi kemiskinan perdesaan antarprovinsi juga sangat besar, yaitu dari 4,65 sampai 41,58 persen. Proporsi tertinggi penduduk perdesaan yang hidup dibawah garis kemiskinan berada di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Gorontalo. 50 40 Perkotaan & perdesaan Perdesaan Perkotaan 30 20 10 0 Gambar 1.3. Proporsi Penduduk Miskin di Perdesaan dan Perkotaan, Menurut Provinsi Tahun 2011 Sumber : BPS, Susenas 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Upaya-upaya affirmative telah dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan yang dilanjutkan dengan Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Program penanggulangan Kemiskinan dilakukan melalui empat klaster program penanggulangan kemiskinan, yaitu klaster (1) kegiatan yang bersifat bantuan dan perlindungan sosial (Jamkesmas, bantuan siswa miskin, Program Keluarga Harapan, dan Raskin); klaster (2) pemberdayaan masyarakat miskin (PNPM Mandiri); klaster (3) pemberdayaan usaha kecil dan menengah (KUR dan program UKM lainnya; serta klaster (4) program-program pro rakyat yang diarahkan untuk memberikan subsidi dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas dasar pada wilayah-wilayah khusus (masyarakat nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan/PPI, masyarakat miskin perkotaan dan masyarakat daerah tertinggal).

19 Pada tahun 2011 telah diberikan bantuan siswa miskin untuk 4.666.220 siswa SD/MI/SDLB, 1.995.100 siswa SMP/MTs/SMPLB, 1.292.374 siswa SMA/SMK/MA, dan 126.538 mahasiswa PT/PTA. Selanjutnya, pada tahun 2012 akan diberikan bantuan siswa miskin untuk 4.390.780 siswa SD/MI/SDLB, 1.946.020 siswa SMP/MTs/SMPLB, 1.489.813 siswa SMA/SMK/MA, dan 303.856 mahasiswa PT/PTA. Selanjutnya, hasil pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) telah mencakup sebesar 59,1 persen penduduk miskin pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 63,1 persen pada tahun 2011. Jamkesmas dasar dan rujukan telah meningkatkan cakupan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) dari 34.397.878 pasien tahun 2010 menjadi 61.790.618 pasien pada tahun 2011. Sementara itu, cakupan rawat inap tingkat pertama (RITP) meningkat dari 1.268.294 pasien tahun 2010 menjadi 1.690.618 tahun 2011. Untuk cakupan rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) meningkat dari 4.743.591 pasien tahun 2010 menjadi 5.244.215 pasien tahun 2011. Cakupan rawat inap tingkat lanjut (RITL) meningkat dari 1.189.885 pasien tahun 2010 menjadi 1.194.419 tahun 2011. Selain itu, cakupan jaminan persalinan (Jampersal) sebanyak 1.572.751 Persalinan (496 kabupaten/kota dari 497 kabupaten/kota) pada tahun 2011. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri inti telah dilaksanakan di 6.622 kecamatan yang terdiri dari 5.020 kecamatan PNPM Perdesaan, 1.153 kecamatan PNPM Perkotaan, 215 kecamatan PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), 237 kecamatan PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) dan 7 kabupaten untuk Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang bersumber dari APBN dan APBD untuk tahun 2011 adalah sebesar Rp13,14 triliun dengan proporsi Rp9,58 triliun untuk PNPM Perdesaan, Rp1,67 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp1,01 miliar untuk PPIP/RIS, Rp527,8 miliar untuk PISEW dan Rp345,9 miliar untuk P2DTK. Pada tahun 2011 juga telah disetujui untuk penambahan dana PNPM melalui dana APBN-P sebesar Rp1,82 triliun yang ditujukan untuk PNPM perdesaan sebesar Rp1,29 triliun dan PNPM perkotaan sebesar Rp524 miliar. Anggaran ini dialokasikan sebagai penambahan untuk memenuhi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) bagi lokasi-lokasi PNPM Perkotaan dan Perdesaan, serta untuk meningkatkan kesempatan kerja melalui usaha ekonomi produktif terutama di kecamatan-kecamatan dengan tenaga kerja Indonesia yang tinggi. Sedangkan pada tahun 2012, PNPM Mandiri inti dilaksanakan di 6.680 kecamatan yang terdiri dari 5.100 kecamatan PNPM Perdesaan, 1.151 kecamatan PNPM Perkotaan, 187 kecamatan PNPM

20 Infrastruktur Perdesaan (PPIP/RIS), dan 237 kecamatan PNPM Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). Total alokasi dana PNPM Mandiri Inti yang bersumber dari APBN dan APBD untuk tahun 2012 adalah sebesar Rp13,60 triliun dengan proporsi Rp10,49 triliun untuk PNPM Perdesaan, Rp1,71 triliun untuk PNPM Perkotaan, Rp862,5 miliar untuk PPIP/RIS, dan Rp536,5 miliar untuk PISEW. Pelaksanaan PNPM Mandiri juga didukung oleh pelaksanaan PNPM Penguatan (pendukung) yaitu diantaranya: (i) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan generasi penerus, yang pada tahun 2011 dilakukan di 120 kecamatan di 25 kabupaten pada 5 provinsi; (ii) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) pada tahun 2011 telah dilaksanakan di KP 351 kabupaten/kota melalui pemberian BLM dengan capaian 1.106 kelompok nelayan di 132 kabupaten/kota, 2.070 kelompok pembudidaya di 300 kabupaten/kota, 408 kelompok pengolah di 53 kabupaten/kota, dan 1.670 kelompok usaha garam rakyat di 40 kabupaten/kota; (iii) Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP) yang pada tahun 2011 dilaksanakan di 10.000 gapoktan (gabungan kelompok tani), ditujukan agar usaha agribisnis berkembang dan meningkat kualitasnya; (iv) PNPM Pariwisata dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan, pada tahun 2011 telah melaksanakan kegiatannya di 569 desa pada 83 kabupaten/kota. Pelaksanaan program-program pemberdayaan koperasi dan UMKM pada klaster 3 program penanggulangan kemiskinan untuk tahun 2011 menunjukkan pencapaian target yang cukup signifikan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi selama tahun 2011 dapat disalurkan sebesar Rp 29,0 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1,9 juta serta rata-rata kredit pembiayaan sebesar Rp 15,12 juta. Sebagian besar KUR merupakan KUR mikro, yaitu sebesar 47,3 persen dan diterima oleh usaha skala mikro sebesar 89,1 persen dari debitur KUR yang pada umumnya tergolong kelompok masyarakat miskin. Sementara itu, tingkat pengembalian KUR juga cukup baik dengan non performing loan (NPL) hanya sebesar 2,1 persen. Program KUR ini ditujukan untuk memfasilitasi masyarakat yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, namun masih memerlukan bantuan untuk akses permodalan dalam rangka mendukung stabilitas tingkat pendapatan dan peningkatan kesejahteraannya melalui pengembangan usahausaha produktif skala mikro dan kecil. Kelompok sasarannya yaitu usaha-usaha masyarakat yang layak namun belum bankable, serta Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Gambar 1.4. Pencapaian Target Penyaluran KUR (Rp Miliar) Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Selain itu, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat, yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat tahun 2011-2014. Kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang diambil, antara lain meliputi: (a) Program penanggulangan kemiskinan, dengan memprioritaskan pada pemberian bantuan jaminan sosial, pengembangan kapasitas dan pemberian modal usaha bagi masyarakat tertinggal; (b) Program pelayanan pendidikan, dengan memprioritaskan pada peningkatan pelayanan pendidikan dasar terutama untuk memastikan kegiatan belajar mengajar dapat berjalan di seluruh kampung dengan fasilitas dan jumlah guru yang memadai, serta menyiapkan pendidikan kejuruan; (c) Program pelayanan kesehatan, dengan memprioritaskan pada peningkatan pelayanan pos pelayanan terpadu, pusat kesehatan masyarakat pembantu, dan pusat kesehatan masyarakat dalam peningkatan pelayanan pos kesehatan di tingkat kampung. 21 Kotak 1.1. Program Keluarga Harapan (PKH) PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan kewajiban melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Program ini, dalam jangka pendek bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi, sehingga generasi berikutnya dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Persyaratan yang harus dipenuhi berupa kewajiban dalam bidang kesehatan dan pendidikan. RTSM merupakan penduduk dengan berpendapatan terendah yang diperoleh melalui pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pelaksanaan PKH diharapkan juga mampu mengurangi kemiskinan serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terdapat lima komponen MDGs yang secara tidak langsung terbantu pencapaiannya jika PKH dilaksanakan optimal, yaitu: pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, peningkatan akses pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu karena melahirkan. Pada awal pelaksanaan, tahun 2007, program PKH hanya dicakup 387.928 RTSM di 7 provinsi, 48 kabupaten/ kota, dan 337 kecamatan. Untuk tahun 2011 direncanakan dicakup 1.116.000 RTSM di 25 provinsi, 119 kabupaten/kota dan 1.379 kecamatan. Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tabel 1.1. Lokasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Pelaksanaan awal di 7 provinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, NTT), 48 kabupaten/kota, dan 337 kecamatan. Jumlah penerima sebanyak 387.928 RTSM Dikembangkan di 6 provinsi (Banten, Aceh, Sumatera Utara, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan NTB) sehingga menjadi 13 provinsi, 70 kabupaten/kota, dan 629 kecamatan. Jumlah penerima sebanyak 620.484 RTSM Pengembangan di 150 kecamatan di 12 provinsi dan 43 kabupaten/kota (lokasi PKH 2007-2008) dengan tambahan penerima sebanyak 105.892 RTSM, sehingga menjadi 726.376 RTSM Dikembangkan di 7 Provinsi (Bengkulu, Kep. Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Te-ngah, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan), sehingga menjadi 20 Provinsi, 88 kabupaten/kota, 954 kecamatan, sebanyak 816.376 RTSM Dikembangkan di 5 Provinsi (Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Maluku Utara), sehingga menjadi 25 Provinsi, 119 Kabupaten/Kota, 1.379 kecamatan. Jumlah penerima sebanyak 1.116.000 RTSM

22 Kotak 1.2. Program Subsidi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin) Program Raskin diawali dengan pelaksanaan Operasi Pasar Khusus (Opsus) Beras tahun 1998. Pada waktu itu, opsus beras merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi dampak krisis moneter/ekonomi. Peningkatan harga beras akibat krisis ekonomi sejak Mei 1997 berdampak pada penurunan tingkat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Penurunan daya beli, kenaikan biaya hidup, hilangnya sumber pendapatan, dan penurunan produksi pangan menimbulkan terjadinya rawan pangan yang bila tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan sejumlah upaya diantaranya membentuk Tim Pemantau Ketahanan Pangan dan program bantuan pangan (melalui Opsus beras). Opsus beras merupakan mekanisme penyaluran bantuan pangan kepada masyarakat rawan pangan. Selanjutnya, program Opsus beras ini menjadi rintisan program bantuan sosial lainnya dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang saat ini menjadi Program Raskin. Karena berbagai kendala, upaya untuk membuat program Raskin terus dapat mencakup seluruh rumah tangga miskin baru dapat diwujudkan sejak tahun 2008 (Tabel 1.1), ketika persentase Rumah Tangga Sasaran (RTS) Program Raskin mampu mencapai seluruh rumah tangga miskin (100 persen). Tahun 2009, pada awalnya, Program Raskin dialokasikan mencakup seluruh rumah tangga miskin (100 persen) sejumlah 18,5 juta RTS, 15 kg/rts, selama 15 bulan, dan harga tebus Rp 1.600, dan total subsidi sebesar Rp 12,987 triliun. Tabel 1.2. Perkembangan Program Raskin 2004-2011 URAIAN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah RT miskin [juta KK] 15,75 15,79 15,50 19,10 19,10 18,50 17,50 17,50 Rumah tangga sasaran 8,59 8,30 10,83 15,78 19,10 18,50 17,50 17,50 (RTS) [juta KK] Persentase RTS [%] 54,56 52,56 69,86 82,62 100,0 100,0 100,0 100,0 Alokasi beras/rts/ 20 20 15 10 15 15 13 (5 bln) 15 bulan[kg] 15 (7 bln) Durasi [bulan] 12 12 10 11 12 12 12 12 Harga pembelian beras (HPB) [Rp/kg] Harga tebus masyarakat [Rp] 3.549 3.351 4.275 4.275 4.619 5.500 6.285 6.450 1.000 1.000 1.000 1.000 1.600 1.600 1.600 1.600 Subsidi harga beras (Rp) 2.549 2.351 3.275 3.275 3.019 3.900 4.685 4.850 Jumlah subsidi/th. [Rp Trilyun] 5,3 4,7 5,3 5,7 10,1 12,99 13,9 15,27 Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Bulog (2011) Pada tahun 2011, Program Raskin mencakup seluruh keluarga miskin sebagai rumah tangga sasaran (RTS). Total dana sebesar Rp 15,27 triliun dipergunakan untuk menyalurkan beras sebanyak 3,15 juta ton kepada sebanyak 17,5 juta keluarga miskin. Setiap keluarga miskin mendapatkan beras sebanyak 15 kg selama 12 bulan dengan jumlah pagu beras 3.147 juta ton. Harga yang harus dibayarkan oleh RTS adalah sebesar Rp 1.600 per kg.

Kotak 1.3. Pelaksanaan Program Raskin oleh Pemerintah Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo 23 Program Raskin dipandang sebagai amanah oleh Pemerintah Kabupaten Boalemo, sehingga Bupati beserta jajarannya menjalankannya dengan sepenuh hati. Program Raskin dijadikan sebagai entry point dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan secara menyeluruh, termasuk Program Dusun Terpadu Mandiri, yaitu pembangunan kawasan perumahan sehat dan murah bagi RTM yang layak huni. Tujuan pemanfaatan program raskin sebagai entry point ini adalah untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan masyarakat. Optimalisasi ini dilakukan dengan menyinergikan dan mengkoordinasikan seluruh program lintas SKPD dari berbagai sumber pendanaan untuk pemberdayaan masyarakat. Sasaran Program Dusun Terpadu Mandiri adalah dusun yang dipilih tergolong dusun yang rawan sosial dan ekonomi, dengan kriteria: jumlah penduduk relatif miskin, tingkat pendidikan rendah, sarana/prasarana sosial dan ekonomi belum memadai, serta kondisi perumahan belum layak huni. Untuk optimalisasi tersebut Pemerintah Kabupaten Boalemo juga mendukung Program Raskin dengan APBD, melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk rumah tangga sasaran (RTS), mengembangkan mekanisme pengelolaan yang dikelola oleh RTS, menyelenggarakan musyawarah kerja ketua-ketua Forum RTS se-kabupaten, dan membuka layanan Pengaduan Langsung Masyarakat ke nomor ponsel Bupati. Dukungan anggaran daerah tersebut dialokasikan untuk: (i) bantuan biaya transport ke dusun terpencil dan sulit dijangkau, agar Raskin tepat harga, (ii) subsidi harga tebus Raskin bagi penerima manfaat yang terdaftar dalam RTS-BPS, (iii) Program Beras Miskin Daerah (Raskinda) dan Program Beras Miskin Desa (Raskindes) bagi rumah tangga di luar data RTS-PM Raskin APBN, namun kondisinya masih miskin sesuai data PKK/Dasawisma, dan (iv) penguatan modal bagi RTS Cerdas melalui Program POSDAYA (beras Raskin diolah sebagai Modal Usaha). Dana Raskindes ini, diperoleh dari donatur yang antara lain terdiri dari anggota DPRD dan DPR RI, PNS, pengusaha, kalangan perbankan, dan wartawan. Untuk meningkatkan komitmen para kepala desa, Bupati berinisiatif mengadakan Penganugerahan Raskin Award tingkat Kabupaten. Prosedur seleksi mengikuti mekanisme yang dilaksanakan oleh Kemenko Kesra yang melibatkan unsur perguruan tinggi dan LSM. Para nominator melakukan presentasi di hadapan Tim Penilai yang dipimpin oleh Bupati. Berkat kepedulian dan fokus dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditunjukkan atas prestasi termasuk penganugerahan gelar best practice, Kabupaten Boalemo telah menerima berbagai penghargaan termasuk dari World Bank atas penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui program P2TPD sebesar Rp 18 milyar sejak tahun 2007-2010, dan atas Komitmen Pemda terhadap anak usia dini tahun 2008-2009 sebesar Rp 5,96 milyar, dan dari UNICEF atas kepedulian terhadap pendidikan dasar tahun 2008-2009 sebesar Rp 4,9 milyar.

24 TARGET 1B MENCIPTAKAN KESEMPATAN KERJA PENUH DAN PRODUKTIF DAN PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA, TERMASUK PEREMPUAN DAN KAUM MUDA Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 1.4 Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja 3,52% (1990) 5,04% (2011) - PDB Nasional dan Sakernas 1.5 1.7 Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja 65,00% (1990) 71,00% (1990) 63,85% (2011) 44,24% (2011) - Menurun BPS, Sakernas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Secara umum, pencapaian target ini menunjukkan perkembangan yang baik. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat menjadi 5,04 persen pada tahun 2011 dari yang hanya 3,52 persen pada tahun 1990. Jika dilihat per sektor, PDB per tenaga kerja sektor pertanian tumbuh dengan laju tertinggi yaitu 8,62 persen, sektor industri 0,99 persen, dan sektor jasa 1,72 persen. Produktivitas tenaga kerja yang diukur dari PDB per tenaga kerja yang meningkat ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia yang baik telah mendukung penciptaan dan mempertahankan kesempatan kerja yang baik dengan pendapatan dan kondisi yang layak. Pertumbuhan produktivitas ini perlu disertai dengan perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan untuk menjamin kesiapan tenaga kerja dalam memasuki pasar kerja. Catatan: Angka PRDB sangat sementara Gambar 1.5. Laju Pertumbuhan PDB Per Tenaga Kerja Tahun 2011 Sumber: PDB Nasional dan Sakernas 2011

Perkembangan indikator rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja selama 20 tahun (antara 1990 2011) menunjukkan perubahan yang relatif kecil, yaitu berada pada kisaran 60 65 persen. Untuk laki-laki, rasio mencapai sekitar 80 persen, sedangkan untuk perempuan, rasio berada pada kisaran 40-50 persen. Angka tersebut menunjukkan bahwa proporsi penduduk laki-laki yang bekerja lebih banyak dari proporsi perempuan. Jika dilihat lebih dalam, pertumbuhan penduduk usia kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angkatan kerja mengindikasikan adanya preferensi yang lebih tinggi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya dibandingkan untuk mencari pekerjaan setelah lulus sekolah. Hal ini juga terlihat dari pertumbuhan bukan angkatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan angkatan kerja, untuk kelompok usia 15-19 tahun, serta turunnya rasio tingkat partisipasi angkatan kerja. 25 Gambar 1.6. Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Tahun 2011 Sumber: BPS, Sakernas 2011 Kerentanan dalam lapangan kerja ditunjukkan oleh indikator proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri (termasuk berusaha dibantu buruh tidak tetap), pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga terhadap total kesempatan kerja tenaga kerja. Proporsi tersebut telah menurun secara signifikan, yaitu dari 71,00 persen pada tahun 1990 menjadi 46,89 persen pada tahun 2010, dan 44,24 persen pada tahun 2011. Pekerja rentan adalah orang yang bekerja di bawah kondisi yang tidak pasti dan cenderung tidak memiliki aturan kerja formal, akses kepada benefit atau program perlindungan sosial, dan lebih beresiko dalam siklus ekonomi. Indikator ini sangat sensitif gender karena pekerja tak dibayar, terutama pekerja keluarga, cenderung merupakan status yang didominasi oleh perempuan. Lapangan kerja rentan juga berhubungan dengan kemiskinan. Proporsi pekerja rentan terhadap total kesempatan kerja menurut provinsi juga mengikuti pola yang sama. Hampir seluruh provinsi mengalami penurunan proporsi pekerja rentan, meskipun penurunannya tidak merata. Jika dibandingkan antarprovinsi, pada tahun 2011 terlihat bahwa masih terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antarprovinsi dengan proporsi pekerja rentan terbesar (Papua) dan terkecil (Kepulauan Riau).

26 Gambar 1.7. Proporsi Tenaga Kerja yang Berusaha Sendiri dan Pekerja Bebas Keluarga Terhadap Total Kesempatan Kerja Sumber: BPS, Sakernas 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Untuk mempercepat pencapaian tujuan, Pemerintah telah menetapkan penciptaan kesempatan kerja khususnya tenaga kerja muda sebagai salah satu isu strategis dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013. Upaya ini dilakukan untuk mempercepat pencapaian target penurunan tingkat pengangguran terbuka nasional tahun 2013 yaitu menjadi sekitar 5,8 6,1 persen. Strategi penciptaan lapangan kerja bagi kaum muda adalah: 1. Mengurangi angkatan kerja berpendidikan rendah, dengan memberikan kesempatan kedua kepada mereka yang meninggalkan sekolah lebih awal dan memberikan insentif kepada kaum muda untuk tetap berada di sekolah. Mereka yang masih bersekolah dipersiapkan dengan kurikulum sesuai dengan kebutuhan industri. 2. Tenaga kerja muda yang sudah berada di pasar kerja diberikan pelatihan berbasis kompetensi, praktek kerja (internship), program magang (apprenticeship), dan pengembangan karir di dalam perusahaan. 3. Keterbatasan keahlian manajerial dan profesional diatasi dengan kurikulum dalam pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan di tempat kerja. Jumlah lembaga pelatihan berbasis kompetensi ditingkatkan bekerjasama dengan industri, asosiasi para profesional, dan lembaga sertifikasi yang difasilitasi oleh Pemerintah. 4. Menyiapkan anak-anak putus sekolah atau yang tidak mampu melanjutkan untuk kembali ke sekolah atau ditawarkan pendidikan siap kerja, pelatihan, magang, dan praktek kerja. 5. Kaum muda yang berminat diberikan akses pelatihan kewirausahaan. Pendekatan kewirausahaan difokuskan kepada keterampilan praktis dan perencanaan untuk memulai bisnis, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi manajemen usaha, serta memberikan stimulasi keterampilan dan cara-cara berpikir yang berwawasan kewirausahaan. 6. Kaum muda, terutama mereka yang berada di perdesaan, diberikan program-program pemberdayaan, seperti membangun kelompok usaha bersama atau pelatihan-pelatihan praktis. Sasaran yang ingin dicapai antara lain: (1) 502.880 kaum muda mendapat pelatihan berbasis kompetensi, (2) 600.000 orang mendapat sertifikat kompetensi yang diakui industri, (3) 34.750 kaum muda menjadi peserta magang dan memperoleh sertifikat kompetensi, (4) 52.080 kaum muda diberikan akses berusaha dan berwirausaha serta memperluas jaringan bagi kaum muda untuk memperoleh layanan informasi pasar kerja. Upaya ini akan dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga yang melaksanakan program/kegiatan tersebut. Dengan menajamkan program-program penciptaan lapangan kerja kepada kaum muda diharapkan penurunan jumlah penganggur usia muda dapat menjadi lebih cepat.

5.4 4.9 3.6 7.2 8.1 8.4 8.6 9.7 12.3 11.3 15.4 14.8 13.2 13.0 13.0 11.9 14.6 14.8 21.7 23.8 27 TARGET 1C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK YANG MENDERITA KELAPARAN DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 1.8. 1.8.a. 1.8.b. Prevalensi balita dengan berat badan rendah / kekurangan gizi Prevalensi balita gizi buruk Prevalensi balita gizi kurang 31,00% (1989)* 7,20% (1989)* 23,80% (1989)* 17,90% (2010) ** 4,90% (2010) ** 13,00% (2010) ** 15,50% 3,60% 11,90% * BPS, Susenas ** Kemenkes, Riskesdas 1.9 Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum - 1.400 Kkal/kapita/hari 17,00% (1990) 14,65% (2011) 8,50% BPS, Susenas - 2.000 Kkal/kapita/hari 64,21% (1990) 60,03% (2011) 35,32% Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0-31.0 29.8 27.7 26.1 21.6 Gambar 1.8. Prevalensi Kekurangan Gizi Pada Balita Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun dan Kemenkes, Riskesdas, 2007, 2010 23.2 24.5 18.4 17.9 Gizi Kurang Gizi Buruk Kekurangan Gizi 15.5 1989 1992 1995 1998 2000 2002 2005 2007 2010 2013 2015 Penanganan pangan dan gizi merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional. Pangan dan gizi terkait langsung dengan status kesehatan masyarakat. Perwujudan ketahanan pangan dan gizi tidak dapat dilepaskan dari upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan individu dan masyarakat, serta peningkatan daya saing SDM, yang selanjutnya menjadi daya saing bangsa. Indonesia telah berada dalam jalur yang benar (on track) untuk mencapai MDGs khususnya target 1C, yaitu telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak di bawah lima tahun (balita) dari 24,50 persen pada tahun 2005 menjadi 17,90 persen pada tahun 2010 (Riskesdas 2010). Penurunan angka kekurangan gizi pada anak balita harus terus dilakukan agar Indonesia dapat mencapai target MDG pada tahun 2015, yaitu 15,50 persen. Namun demikian, Indonesia dihadapkan pada tantangan pembangunan pangan dan gizi yang lain, yaitu masih tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting). Data Riskesdas tahun 2010, menunjukkan prevalensi stunting 35,60 persen.

Bali Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Sumatera Barat Sulawesi Selatan Kalimantan Tengah Sumatera Selatan Sulawesi Tengah Riau Sumatera Utara Sulawesi Utara Jawa Barat Bengkulu Lampung Jambi Sulawesi Barat Banten Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Aceh INDONESIA Sulawesi Tenggara Maluku Kepulauan Riau Jawa Tengah Jawa Timur DKI Jakarta Papua Barat Gorontalo DI Yogyakarta Bangka Belitung Papua Maluku Utara Kalimantan Timur 7.6 9.59 9.74 11.44 11.05 8.67 14.57 14.79 16.17 14.41 13.59 14.34 13.82 15.02 13.68 15.98 14.74 12.84 15.16 14.65 16.09 23.45 20.9 15.16 13.68 17.49 19.26 17.84 18.92 26.28 28.16 25.56 34.43 35.74 45.28 49.94 50.54 50.78 51.62 52.3 54.55 56 56.36 57.05 57.62 57.67 57.99 58.06 58.44 58.59 58.88 59.22 59.48 59.76 60.03 62.08 62.68 64.04 64.29 65.35 65.55 66.58 66.71 66.83 68.37 70.33 70.48 70.97 28 Dari sisi lain, meskipun telah menunjukkan penurunan proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum, namun upaya yang lebih keras dan cerdas masih harus dilakukan untuk mempercepat penurunan proporsi tersebut pada tahun 2015. Proporsi penduduk dengan asupan kalori harian di bawah 2.000 Kkal. dan 1.400 Kkal. per hari secara nasional masing-masing adalah 60,03 persen dan 14,65 persen berdasarkan Susenas 2011. Mengingat bahwa kekurangan asupan gizi ini sangat berdampak pada tingkat kesehatan dan produktifitas penduduk, maka upaya tersebut perlu difokuskan pada peningkatan asupan kalori bagi penduduk yang selama ini hanya memiliki asupan harian di bawah 1.400 Kkal. per kapita per hari. Berdasarkan kenyataan bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori serendah ini sangat beragam, maka perhatian perlu lebih difokuskan pada daerah-daerah dengan proporsi penduduk dengan asupan gizi dibawah 1.400 Kkal. per kapita per hari yang masih tinggi, seperti provinsi Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Maluku. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Konsumsi Kalori < 1400 Kkal Konsumsi Kalori < 2000 Kkal Gambar 1.9. Proporsi Penduduk dengan Asupan Kalori < 1.400 Kkal dan < 2.000 Kkal Tahun 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Negara-negara yang tergabung dalam PBB dalam sidang tahun 2010 telah sepakat bahwa untuk mencapai tujuan MDGs 1, percepatan dan kelestarian pencapaian tujuan pembangunan pangan dan gizi perlu difokuskan pada upaya-upaya sebagai berikut: (i) Peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian secara simultan akan berdampak tidak saja pada penurunan kelaparan tetapi juga pada penurunan kematian ibu dan anak melalui perbaikan gizi, serta peningkatan pendapatan keluarga dan pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan upaya ini petani penggarap perlu akses langsung pada pupuk, bibit unggul, peralatan pertanian, irigasi air setempat, dan lumbung pasca panen; (ii) Ketahanan pangan diarahkan pada pemerataan akses pangan yang beragam mengacu pada konsumsi makanan berbahan baku lokal dan kebutuhan gizi yang berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Wilayah sangat rawan dan rawan pangan mendapat prioritas utama untuk distribusi pangan termasuk makanan pendamping ASI bagi keluarga miskin dan distribusi makanan berfortifikasi; (iii) Paket intervensi dengan pendekatan pelayanan berkelanjutan difokuskan pada ibu pra-hamil, ibu hamil, bayi dan anak baduta (bawah dua tahun); (iv) Implementasi program standar emas makanan bayi dengan inisiasi menyusu dini, pemberian ASI eksklusif sampai usia bayi 6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI sejak anak berusia 6-24 bulan, baik pada kondisi stabil maupun dalam keadaan darurat akibat bencana.

TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

30

TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA 31 TARGET 2A MENJAMIN PADA 2015 SEMUA ANAK-ANAK, LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN DI MANAPUN DAPAT MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DASAR Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar 88,70% (1992)* 95,55 % (2011)** 100,00% *BPS, Susenas **Kemdikbud 2.2. 2.3 Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan dan lakilaki 62,00% (1990) 96,60% (1990) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 96,58 % (2011) 98,78 % (2011) F: 98,75 % M: 98,80 % 100,00% Kemdikbud 100,00% BPS, Susenas KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Sebagai perwujudan komitmen dalam memberikan kesempatan memperoleh pendidikan, pada tahun 1994 pemerintah Indonesia mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar bagi anak-anak usia 7-15 tahun, yang mencakup pendidikan pada tingkat SD/MI dan tingkat SMP/MTs. Untuk melihat pencapaian layanan pendidikan dasar diukur dengan menggunakan tiga indikartor: (i) APM SD/MI; (ii) proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan SD/MI/setara; dan (iii) angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun. Upaya untuk memberikan kesempatan kepada semua anak-anak usia sekolah agar dapat menyelesaikan pendidikan dasar menunjukkan hasil yang mengembirakan. Dari sisi akses, partisipasi pendidikan anak-anak usia sekolah pada tingkat SD/MI/setara mengalami peningkatan signifikan sebagaimana terlihat dalam indikator APM dan APK. Namun, APM dan APK saja belum sepenuhnya dapat menjelaskan kenyataan yang ada. Untuk tingkat SD/MI/setara dan anak-anak umur 7-12 tahun, walaupun peningkatannya tidak setajam tingkat pendidikan SMP/setara, namun peningkatan yang dialami masih cukup baik mengingat angkanya telah mencapai 90 persen. Pada proporsi ini sasaran peserta didik yang tersisa tergolong anak-anak yang mengalami berbagai kesulitan untuk menempuh pendidikan, seperti jarak ke sekolah yang jauh dipadu dengan tidak adanya angkutan umum dan ketidakmampuan ekonomi orang tua. Angka Partisipasi Murni (APM) pada tingkat nasional mengalami peningkatan. APM pada jenjang SD/MI meningkat secara signifikan dari 88,70 persen pada tahun 1992 menjadi 95,55 persen pada tahun 2011 dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) telah melampaui 100 persen (Gambar 2.1). Jika tingkat kemajuan saat ini dipertahankan maka Indonesia diperkirakan berhasil mencapai tujuan MDGs pendidikan pada tahun 2015. Peningkatan yang terjadi pada indikator APM SD/MI mencerminkan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan untuk meningkatkan akses ke jenjang pendidikan dasar.

32 Fenomena early entry yang telah berlangsung beberapa tahun belakangan ini berkontribusi pada sulitnya pencapaian target APM 100 persen pada jenjang SD/MI karena terdapat sebagian anak usia 6 tahun ke bawah sudah mulai bersekolah di SD/MI dan bahkan sebagian anak usia 12 tahun sudah berada di jenjang SMP/MTs. Untuk itu, dalam mengukur pencapaian partisipasi pendidikan penduduk usia 7-12 tahun digunakan juga indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS). Menurut data Susenas 2011 (BPS), APS usia 7-12 tahun telah mencapai 97,58 persen. Capaian ini menunjukkan hanya 2,42 persen penduduk usia 7-12 tahun yang belum bersekolah. Gambar 2.1. Perkembangan APM dan APK Jenjang SD/MI dan SMP/MTs tahun 1992-2011 Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sangat tajamnya perbedaan antara APK dan APM untuk SD/MI/setara apalagi untuk SMP/MTs./setara menunjukkan banyaknya murid-murid yang terlambat menyelesaikan sekolah di SD/MI/setara, karena sekali terlambat menyelesaikan SD/MI/setara dampaknya akan sampai ke tingkat SMP/MTs/setara. Namun demikian, selain keterlambatan tersebut ada juga masalah lain, dalam kadar yang lebih serius, yaitu anak-anak yang putus sekolah, terutama di SD/MI/setara, karena sekali berhenti di jenjang ini maka pendidikan anak tersebut tidak akan sampai ke SMP/MTs/setara. Selain itu, indikator proporsi murid kelas I yang berhasil menamatkan sekolah dasar juga menunjukkan capaian yang berarti. Pada tahun 2011, 96,58 persen murid kelas I mampu bertahan dan berhasil menamatkan jenjang SD/MI, yang mengalami peningkatan dari 62,00 persen pada tahun 1990. Data menurut provinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2011 disparitas capaian antara provinsi sudah semakin menyempit, yaitu berkisar antara 95,11 persen di Provinsi Papua sampai dengan 96,88 persen di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Capaian tersebut menggambarkan terjadinya perbaikan efisiensi internal pendidikan, yang ditandai dengan menurunnya angka putus sekolah dan meningkatnya angka melanjutkan. Namun demikian, masih ada upaya yang perlu dilaksanakan untuk meningkatkan angka bertahan terutama pada provinsi-provinsi yang masih berada di bawah rerata nasional.

98.70 98.20 98.50 98.10 98.80 98.60 98.70 98.40 98.90 98.50 98.78 98.71 98.80 98.73 98.92 98.76 99.54 99.38 99.55 99.40 99.53 99.46 98.80 98.75 Papua Barat Aceh Sulawesi Barat Papua Maluku Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Sumatera Selatan Nusa Tenggara Timur Gorontalo Riau Sumatera Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Lampung Indonesia Jambi Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Jawa Timur Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Banten Kalimantan Tengah Jawa Barat Bengkulu Kalimantan Timur Sumatera Barat Kep. Riau DI Yogyakarta Maluku Utara DKI Jakarta Bangka Belitung Bali 100.00 96.58 33 80.00 60.00 40.00 20.00 - Gambar 2.2. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, Tahun 2011 Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Di pihak lain, kemampuan keberaksaraan juga terus membaik yang dapat dilihat melalui indikator angka melek huruf. Perkembangan angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun perempuan dan laki-laki menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun. Menurut data Susenas, angka melek huruf meningkat dari 96,60 persen pada tahun 1990 menjadi 98,78 persen pada tahun 2011, yaitu laki-laki 98,80 persen dan perempuan 98,75 persen (Gambar 2.3). 100 75 50 25 Laki-laki Perempuan 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Gambar 2.3. Perkembangan proporsi melek huruf perempuan dan laki-laki umur 15-24 tahun, 2000-2011 Sumber: BPS, Susenas 2000-2011 Keberhasilan pencapaian ini didukung oleh dua upaya penting. Upaya pertama adalah penyediaan layanan pendidikan di tingkat SD/MI yang telah mencapai angka partisipasi kasar setinggi 102,58 persen pada tahun 2011. Penyediaan layanan pendidikan dasar secara besar-besaran melalui program wajib belajar tersebut telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam membaca, menulis, dan berhitung. Upaya kedua adalah peningkatan angka bertahan, yaitu proporsi murid kelas I SD yang mampu bertahan sampai dengan kelas VI dalam sistem pendidikan.

Papua Papua Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Gorontalo Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tenggara Maluku Utara Bali Maluku INDONESIA Sumatera Utara Bengkulu Bangka Belitung Sumatera Barat Sumatera Selatan Jawa Timur Kalimantan Selatan Jambi Sulawesi Utara Lampung Jawa Tengah Kalimantan Timur Riau Kalimantan Tengah Aceh Jawa Barat DI Yogyakarta Kepulauan Riau DKI Jakarta Banten 344 Masih tersisanya setengah persen penduduk umur 15-24 tahun terjadi karena pada waktu mereka berumur antara 7-12 tahun, yaitu antara tahun 1993-2002 penyediaan kesempatan memperoleh pendidikan di tingkat SD/MI/setara belum sebesar sekarang dan juga angka bertahan kasar masih rendah. Dengan demikian penduduk umur 15-24 tahun yang masih buta huruf pada tahun 2011 tersebut sebagian memang tidak pernah bersekolah sama sekali dan sebagian lainnya putus sekolah yang karena tidak ada upaya pemeliharaan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menjadi buta huruf kembali (relapse illiteracy). Kondisi pada tingkat wilayah menunjukkan disparitas antarprovinsi untuk kemampuan keberaksaraan yang ditandai oleh angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun relatif merata, kecuali di Provinsi Papua yang baru mencapai 74,57 persen pada tahun 2011 (Gambar 2.4). Dengan demikian, peningkatan partisipasi pada jenjang pendidikan dasar telah mendorong peningkatan kemampuan penduduk dalam membaca dan menulis. 120 100 98.78 80 60 40 20 0 Gambar 2.4 : Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun Menurut Provinsi, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Dalam rangka menyediakan layanan pendidikan yang merata, pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan dasar yang terjangkau dan berkualitas, yang ditempuh antara lain melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2005 dan dirancang untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa tidak mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain. Penyediaan BOS untuk seluruh siswa SD/MI/Salafiyah Ula dan SMP/MTs/Salafiyah Wustha pada tahun 2011 mencakup lebih dari 42,1 juta orang. Untuk mendukung penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, mulai tahun 2012 pemerintah telah menaikkan satuan biaya program BOS pada jenjang SD/MI/Salafiyah Ula dari Rp 397 ribu (kabupaten) dan Rp 400 ribu (kota) pada periode 2009-2011. Sementara pada jenjang SMP/MTs/Salafiyah Wustha, satuan biaya naik dari Rp 570 ribu (kabupaten) dan Rp 575 ribu (kota) menjadi Rp 710 ribu/siswa/tahun, yang mencakup 13,38 juta siswa. Program BOS ini secara nyata telah menjadi instrumen yang sangat efektif untuk menekan angka putus sekolah dan menurunkan angka tidak melanjutkan, serta dapat meringankan biaya pendidikan terutama bagi orang tua siswa yang tidak mampu.

Untuk mendorong agar siswa miskin dapat terus bersekolah, pemerintah juga telah menerapkan kebijakan pro-poor secara penuh melalui pemberian subsidi siswa miskin di semua jenjang pendidikan yang pada tahun 2011 hampir mencapai 8,2 juta siswa. Sekitar 6,67 juta diantaranya merupakan siswa jenjang SD/MI dan SMP/MTs masing-masing sebesar 4.553.604 siswa dan 2.124.657 siswa. Melalui program ini, diharapkan tidak saja dapat membantu meringankan biaya pendidikan siswa miskin tetapi juga dapat menarik kembali siswa miskin yang terlanjur putus sekolah. 35 Untuk menunjang peningkatan mutu dan pemerataan kesempatan belajar yang adil, merata, dan terjangkau bagi seluruh anak Indonesia, pemerintah juga memberikan dukungan sarana dan prasarana pendidikan melalui program Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi jenjang SD/SDLB dan SMP/SMPLB yang dilaksanakan sejak tahun 2003. Dengan total anggaran sebesar Rp10.041,3 milyar pada tahun 2011, kegiatan DAK bidang pendidikan antara lain mencakup pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) beserta pengadaan meubelair, pembangunan perpustakaan dan pengadaan meubelair, rehabilitasi Ruang Kelas (RK) rusak berat dan sedang, pembangunan ruang belajar lainnya dan peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan di 491 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun 2011, melalui alokasi APBN telah dibangun 450 SD-SMP satu atap khususnya di daerah terpencil, tertinggal, dan perbatasan untuk menjangkau siswa yang selama ini belum terjangkau oleh layanan pendidikan. Selain itu, pada bulan September yang lalu atas arahan Bapak Presiden telah diluncurkan Gerakan Nasional Penuntasan Rehabilitasi Gedung SD dan SMP Tahun 2011 dengan jumlah sasaran 21.500 sekolah jenjang SD/SMP dan 3.030 sekolah jenjang MI/MTs. Dengan adanya inisiasi ini, diharapkan sudah tidak ada lagi ruang kelas rusak berat di jenjang SD/SMP pada tahun 2012 dan jenjang MI/MTs pada tahun 2014. Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2011 telah dilaksanakan sertifikasi bagi 1.020.824 guru sekolah umum. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang bertugas di daerah terpencil pemerintah juga telah menyediakan tunjangan khusus bagi 44.000 guru pada tahun 2011 untuk semua jenjang pendidikan. Melalui upaya peningkatan kompetensi dan kesejahteraan guru ini diharapkan dapat diikuti dengan peningkatan kinerja, profesionalisme guru, dan perbaikan proses belajar mengajar. Selanjutnya dalam rangka memperbaiki asupan gizi peserta didik, pemerintah melalui Inpres No. 1 Tahun 2010 telah berupaya melaksanakan kegiatan Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang melibatkan lintas sektoral. Pada tahun 2011, jumlah sasaran kegiatan ini adalah sebesar 1.200.000 siswa TK dan SD dan 180.000 siswa RA dan MI yang diprioritaskan pada 27 kabupaten di daerah tertinggal, terisolir, terpencil, perbatasan, di pulau-pulau kecil, dan/atau terluar, serta di daerah pedalaman. Melalui program PMT-AS ini diharapkan mampu menjadi jembatan dalam upaya meningkatkan kecukupan gizi dan ketahanan fisik anak sekolah.

36 Kotak 2.1. SIPBM, Pendataan Berbasis Masyarakat di Kabupaten Polewali Mandar Dalam rangka mendukung penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pemerintah terus berupaya melaksanakan berbagai program kebijakan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan, menurunkan angka putus sekolah dan angka buta aksara. Agar program kebijakan dapat tepat sasaran, maka diperlukan data mengenai kondisi pendidikan yang akurat dan dapat menggambarkan jumlah penduduk menurut usia sekolah dan status sekolah serta alasan dan keberadaan anak-anak yang tidak bersekolah (lagi). Sehubungan dengan itu, pada tahun 2003 sebuah model pendataan yang dapat dikatakan terbilang baru, diperkenalkan di Sulawesi Selatan. Atas kerjasama antara Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), UNICEF, dan UNESCO, Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) atau Community Base Education Information System (CBEIS) diperkenalkan. Melalui program ini, dapat dilakukan pendataan terhadap anak berusia 0-18 tahun, menjaring informasi pendidikan secara akurat dengan melibatkan masyarakat, terutama masyarakat di daerah terpencil yang kurang terakses secara baik, sehingga dapat memberikan gambaran jelas bagi perencanaan pembangunan pendidikan khususnya wajib belajar 9 tahun. Kabupaten Bantaeng merupakan salah satu dari 5 kabupaten binaan UNICEF yang pertama kali mendapat kesempatan untuk menerapkan program SIPBM. Kemudian diikuti oleh kabupaten Bone dan Polewali Mandar pada tahun yang sama. Implementasi program tersebut baru dilaksanakan pada tahun 2004. Sementara di kabupaten Takalar dan Mamuju, program SIPBM baru dikembangkan pada awal tahun 2005. Melalui dukungan pendanaan dari Kemdikbud, kabupaten Polewali Mandar dapat melakukan penuntasan pendataan di 13 kecamatan lainnya sehingga pada tahun 2007 dapat dihasilkan profil pendidikan kabupaten secara utuh. Hasil pendataan SIPBM secara nyata mampu memberikan gambaran jelas mengenai persoalan pendidikan di tingkat desa/ kelurahan bahkan dusun/ lingkungan. Program ini juga terbukti mampu menstimulasi partisipasi masyarakat dan para pengambil kebijakan di daerah setempat untuk ikut serta menyelesaikan persoalan pendidikan di desanya. Pada tahun 2004, salah satu rencana aksi yang di susun di 11 desa pilot di kabupaten Polewali Mandar adalah pengembalian 11 anak SD yang putus sekolah ke bangku sekolah di SDN No. 030 Tapango. Atas kerjasama Camat Tapango, Kepala Desa Tapango, Kepala Sekolah SDN No. 030 Tapango, komite sekolah dan fasilitator SIPBM Kabupaten, pada tanggal 28 Desember 2004 semua anak yang putus sekolah tersebut diserahkan oleh pihak komite sekolah kepada Sekolah. Melalui data SIPBM, aparat dan pemerintah daerah setempat juga berupaya menerapkan kebijakan pembukaan kelas jauh jenjang SD di desa Kurrak dan desa Pallata, pemberian beasiswa bagi siswa kurang mampu melalui Dana Alokasi Desa (DAD) di desa Batu, dan pemberian beasiswa melalui dana Amil Zakat tingkat desa di desa Bussu, kecamatan Tapango. Data SIPBM tercatat juga menjadi rujukan penting bagi pencanangan gerakan kembali ke sekolah melalui program Tuntas Wajar Dikdas, Tuntas Buta Aksara, dan Tuntas PAUD pada tahun 2007 oleh pemerintah kabupaten Polewali Mandar. Tercatat sebanyak 418 anak putus sekolah telah berhasil dikembalikan ke dalam sistem pendidikan yang ada.

TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 37 Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

38 LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 39 TARGET 3A MENGHILANGKAN KETIMPANGAN GENDER DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN LANJUTAN PADA TAHUN 2005, DAN DI SEMUA JENJANG PENDIDIKAN TIDAK LEBIH DARI TAHUN 2015 Indikator 3.1 Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber - Rasio APM perempuan/laki-laki di SD 100,27 (1993) 98,80 (2011) 100,00 - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP - Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA 99,86 (1993) 93,67 (1993) 103,45 (2011) 101,40 (2011) 100,00 100,00 BPS, Susenas - Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi 74,06 (1993) 97,82 (2011) 100,00 3.1a Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun 98,44 (1993) 99,95 (2011) 100,00 3.2 Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian 29,24% (1990) 36,67 % (2011) Meningkat BPS, Sakernas 3.3 Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR 12,50% (1990) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 18,40% (2011) Meningkat KPU KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Salah satu tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah mencapai kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan, pekerjaan, dan politik. Pencapaian kesetaraan gender tersebut akan mendukung upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Di bidang pendidikan, upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender dilakukan dengan memberikan akses dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dan upaya tersebut telah menunjukkan berbagai kemajuan. Kemajuan ini antara lain ditunjukkan dengan membaiknya Indeks Paritas Gender (Gender Parity Index, GPI) Angka Partisipasi Murni (APM) atau rasio APM perempuan terhadap laki-laki pada berbagai jenjang pendidikan, di mana kesetaraan gender ditunjukkan oleh rasio 1 atau mendekati 1. Data Susenas periode tahun 1993 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa IPG APM pada pendidikan dasar dan menengah berkisar pada angka 95-105, sementara IPG APM pada perguruan tinggi berfluktuasi dengan kecenderungan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011, IPG APM pada SD/MI/Paket A sebesar 98,80; pada jenjang SMP/MTs/Paket B sebesar 103,45; pada jenjang pendidikan SMA/MA/Paket C sebesar 101,40; dan pada jenjang perguruan tinggi sebesar 97,82. LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

Nusa Tenggara Timur Bengkulu Sulawesi Selatan Bali Gorontalo Kalimantan Tengah DI Yogyakarta Kalimantan Barat Jambi Lampung Sumatera Selatan Kepulauan Riau Maluku Jawa Barat Sulawesi Utara Banten Aceh Sumatera Barat Jawa Tengah Riau INDONESIA Jawa Timur DKI Jakarta Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Kalimantan Selatan Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Maluku Utara Bangka Belitung Sulawesi Tengah Papua Barat Papua 79.46 Angka melek huruf 15-24 th. 95.57 98.45 96.99 98.35 97.26 99.27 99.4 97.85 99.13 99.25 99.03 99.49 98.67 99.46 99.23 99.68 99.42 99.08 99.39 99.45 98.8 99.22 99.7 99.44 98.63 99 99.42 96.54 98.58 98.83 99.35 97.97 97.25 69.04 96.66 99.49 97.9 98.94 97.75 99.59 99.69 98.14 99.42 99.47 99.23 99.68 98.82 99.59 99.34 99.79 99.46 99.12 99.4 99.41 98.75 99.14 99.63 99.35 98.47 98.7 99.05 96.14 98.08 98.25 98.53 97.02 94.09 Rasio melek huruf perempuan/laki-laki 15-24 th. 86.88 101.15 101.06 100.94 100.61 100.51 100.32 100.3 100.3 100.29 100.22 100.21 100.19 100.15 100.13 100.12 100.11 100.04 100.04 100.01 99.96 99.95 99.93 99.92 99.91 99.84 99.69 99.63 99.59 99.5 99.42 99.17 99.03 96.75 40 110 100 103.7 97.1 104.2 102.6 101.6 100.3 100.1 99.98 98.9 95.6 103.51 100.37 99.3 99.51 102.02 102.11 99.86 96.04 103.45 98.8 97.82 101.4 100 100 100 92.8 90 89.9 Rasio APM perempuan /laki-laki di SD, MI & Paket A Rasio APM perempuan /laki-laki di SMP, MTs & Paket B Rasio APM perempuan /laki-laki di SMA Rasio APM perempuan /laki-laki di perguruan tinggi 80 2000 2002 2005 2007 2010 2011 2013 2015 Gambar 3.1. IPG/Rasio APM perempuan terhadap laki-laki, 2000-2011 Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun Sementara itu, sasaran MDGs untuk rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki di Indonesia pada kelompok umur 15-24 tahun juga telah tercapai. Rasio melek huruf perempuan terhadap lakilaki di tingkat nasional mencapai 99,95 pada tahun 2011 (Gambar 3.2). Keragaman IPG melek huruf antarprovinsi berkisar antara 86,88 (Papua) sampai 101,15 (Nusa Tenggara Timur). Keberhasilan pencapaian sasaran di bidang ini ditunjang oleh pemilihan strategi penghapusan buta aksara yang tepat, yaitu pendidikan keaksaraan fungsional. Melalui pendidikan keaksaraan fungsional, warga diajarkan kemampuan keaksaraan yang berfungsi untuk menunjang kehidupannya sehari-hari. 125 100 100 80 75 60 50 40 25 Angka melek huruf penduduk laki-laki usia 15-24 tahun Angka melek huruf penduduk perempuan usia 15-24 tahun Rasio melek huruf perempuan /laki-laki usia 15-24 tahun 20 0 0 Gambar 3.2. Keragaman tingkat keaksaraan laki-laki dan perempuan, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

Di bidang ketenagakerjaan, Indonesia telah mengikuti sasaran MDG untuk meningkatkan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian telah meningkat dari 29,24 persen pada tahun 1990 menjadi 36,67 persen pada tahun 2011. Walaupun demikian, perhatian nasional masih dicurahkan pada keragaman antarprovinsi pada tingkat kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian tersebut. Terdapat 20 provinsi dengan kontribusi perempuan di sektor nonpertanian yang lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi dengan kontribusi perempuan terendah adalah Kalimantan Timur (26,50 persen), Papua Barat (28,41 persen) dan Papua (29,67 persen); sedangkan kontribusi perempuan tertinggi adalah Gorontalo sebesar 44,62 persen (Gambar 3.3). 41 Gambar 3.3. Keragaman kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian antarprovinsi, 2011 Sumber: BPS, Sakernas 2011 Selain itu, upaya ke arah kesetaraan gender di bidang politik yang dilaksanakan selama ini juga telah menampakkan hasilnya. Peran serta perempuan dalam bidang politik, sebagaimana ditunjukkan oleh proporsi kursi DPR yang diduduki oleh perempuan, telah meningkat secara signifikan.proporsi ini telah meningkat dari 12,50 persen pada tahun 1990 menjadi 18,40 persen pada tahun 2011. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Keberhasilan upaya peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia ini secara umum dicapai karena gencarnya upaya pengarusutamaan gender (PUG) yang dilakukan sejak tahun 1999. Terkait rasio melek huruf, kesetaraan gender juga tercapai berkat pemilihan strategi pendidikan yang tepat, yaitu keaksaraan fungsional. Dengan strategi ini,kemampuan keaksaraan yang dipelajari adalah kemampuan yang berfungsi dalam mendukung kehidupan sehari-hari, baik laki-laki maupun perempuan. Di samping itu, khusus pada jenjang pendidikan SMP, perlu diperhatikan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong peningkatan APM laki-laki. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan PUG,maka perspektif gender tidak hanya diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan tetapi juga penganggaran. Inisiatif ini dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. Kep.30/M.PPN/HK/03/2009 tentang Tim Pengarah dan Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG), untuk mengoordinasikan pelaksanaan PPRG lintassektor dan lintaskementerian. Upaya mempercepat pelaksanaan PUG dilakukan melalui uji coba pelaksanaan anggaran responsif gender (ARG). Untuk pertama kalinya dalam RPJMN 2010-2014, kebijakan pengarusutamaan gender diintegrasikan ke LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

42 dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah gender dari berbagai kementerian dan lembaga. Hal ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2010, dan dilanjutkan dengan PMK No. 104/PMK.02/2010 tentang perihal yang sama untuk Tahun Anggaran 2011, serta PMK No. 93/PMK.02/2011, yang turut mempercepat pelaksanaan PPRG. Pada tahun 2010, ARG diujicobakan pada tujuh kementerian dan lembaga pilot. Setiap kementerian/lembaga pelaksana menyusun kerangka acuan kegiatan (TOR) dan gender budget statement (GBS), yang merupakan dokumen akuntabilitas spesifik-gender yang disusun oleh K/L untuk menginformasikan bahwa suatu kegiatan sudah responsif gender. Pada tahun 2011, ARG diperluas penerapannya di berbagai bidang prioritas pembangunan, dan diarahkan pula untuk mendukung Rencana Aksi Daerah dalam rangka Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium (RAD MDGs). Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasikan isu gender di seluruh tujuan MDGs (tidak hanya pada Tujuan 3 saja), dan mengintegrasikan perspektif gender dalam rangka perencanaan dan penganggaran daerah, yang mendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan daerah tersebut dalam rangka percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Di samping itu, sejak pertengahan tahun 2011 telah disusun Strategi Nasional (Stranas) Percepatan PUG melalui PPRG. Stranas tersebut disusun oleh 4 Kementerian/Lembaga, yaitu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Dalam Negeri, yang merupakan motor penggerak PPRG. Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG ini dimaksudkan untuk percepatan pelaksanaan Pengarusutamaan Gender sesuai RPJMN 2010-2014, yang sekaligus menunjang pencapaian kepemerintahan yang baik (good governance), pembangunan yang berkelanjutan, serta pencapaian target-target MDGs. Di samping itu, Stranas ini disusun agar pelaksanaan PPRG menjadi lebih terarah, sistematis, dan sinergis, baik di tingkat nasional maupun di tingkat provinsi. Kotak 3.1. Upaya Percepatan Penerapan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia Sebagai tindak lanjut dari penerapan PPRG, pada tahun 2011 Bappenas telah melaksanakan Evaluasi Ujicoba Pelaksanaan PPRG 2009-2010, pada 7 K/L uji coba (Kemkeu, Bappenas, KPP&PA, Kemendikbud, Kemenkes, Kementan, dan Kementerian PU) dan 4 pemerintah provinsi yang telah menerapkan PPRG atas inisiatif sendiri, yaitu: Banten, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lingkup evaluasi meliputi enam prasyarat PUG, yaitu: dasar hukum; komitmen dan kelembagaan; instrumen PPRG, termasuk di dalamnya program dan kegiatan; kapasitas SDM; data dan informasi; dan pendanaan. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan bahwa ke-7 K/L uji coba dan setiap SKPD di 4 provinsi telah berhasil menyusun minimal 1 GBS, seperti yang ditargetkan. Bahkan beberapa K/L telah melebihi target yang ingin diujicobakan, seperti Kementerian PU. Kementerian PU tergolong pendatang baru dalam pengadopsian kesetaraan gender dan pelaksanaan PUG, dengan komitmen yang cukup kuat. Komitmen ini tercermin dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PU Tahun 2010-2014 yang telah mengedepankan aspek kesetaraan gender, serta dalam tataran implementasi telah diatur melalui SK Menteri PU No. 363/KPTS/M/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarusutamaan Gender Departemen PU. SK ini telah diperbaharui melalui SK Menteri PU No. 134/KPTS/M/2011 tentang Perubahan Keputusan Menteri PU No. 363/KPTS/M/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarusutamaan Gender Kementerian PU. Komitmen yang sama tercermin pada tingkat eselon 1 dengan disusunnya Panduan Pengintegrasian Aspek Gender dalam LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

Perencanaan Program dan Anggaran di Kementerian PU, oleh Sekretariat Jenderal PU pada tahun 2009. Kemudian, idealnya, pelaksanaan PPRG dilaksanakan oleh setiap unit perencana teknis, dan dikoordinasi langsung oleh Biro Perencanaan dan KLN, bukan oleh Sekretariat PUG. Hal ini telah diakomodasi dalam SK Menteri PU No. 134/KPTS/M/2011. Anggota Pokja PUG dapat memberikan dukungan dalam hal pembekalan konsep gender dan PUG, termasuk dalam rangka penyusunan analisis dan/atau GBS. Hal ini memudahkan pengintegrasian perspektif gender secara meluas di lingkungan Kementerian PU. 43 Sementara itu, PUG juga telah dilaksanakan di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah. Pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Provinsi Jawa Tengah mulai dilaksanakan secara intensif dan berkelanjutan sejak tahun 2002 hingga saat ini. Program yang dilaksanakan adalah peningkatan kapasitas Pengarusutamaan Gender (PUG) bagi seluruh pemangku kepentingan dan uji coba implementasi PUG pada satuan pendidikan formal, informal, maupun nonformal di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Tengah. Keberhasilan implementasi PUG pendidikan di Jawa Tengah didukung oleh beberapa hal, antara lain adalah sebagai berikut: (i) Peningkatan kapasitas dan advokasi PUG pendidikan yang dilakukan secara terus-menerus, mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota; (ii) Regulasi percepatan pelaksanaan PUG di Jawa Tengah yang dituangkan dalam RPJMD 2008-2013, dan kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya SE Gub No. 903/13113 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD, RKA-PPKD dan RBA-RSD Provinsi Jawa Tengah TA 2011 dan tahun-tahun selanjutnya; (iii) Sinergi antara Dinas Pendidikan sebagai implementor PUG dengan Pusat Studi Wanita/Gender sebagai pusat kepakaran gender di Jawa Tengah dan LSM serta lembaga driver PUG, yaitu Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) dan Bappeda; (iv) Optimalisasi pemanfaatan dana block-grant PUG pendidikan dari Kemdikbud dengan dana APBD tingkat provinsi; dan (v) Tersedianya block-grant dana PUG dari provinsi ke kabupaten/kota, dilanjutkan dengan fasilitasi dan monitoring pelaksanaan PUG pada tingkat satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Saat ini, beberapa satuan pendidikan sudah mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender, baik di lingkungan sekolah, pada visi dan misi sekolah, pada materi bahan ajar, maupun fasilitas pendidikan yang memperhatikan perbedaan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Bahkan kini PUG pendidikan tidak hanya dikelola melalui Pokja PUG Pendidikan, tetapi sudah terintegrasi di dalam Program Pendidikan Dasar melalui Program Uji Coba Anggaran Responsif Gender Bidang Pendidikan. LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

44 LaporanPencapaianTujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011

TUJUAN 4 MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 45 Sumber: Pusat Komunikasi Publik, Kementerian Kesehatan

46

TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK 47 TARGET 4A MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BALITA (AKBA) HINGGA DUA PER TIGA DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber 4.1 Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000 kelahiran hidup 97 (1991) 44 ( 2007) 32 4.2 Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup 68 (1991) 34 (2007) 23 BPS, SDKI 4.2a Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup 32 (1991) 19 (2007) Menurun 4.3 Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak 44,50% (1991)* 87,30 % (2011)** Meningkat *BPS, SDKI **BPS, Susenas Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN 120 100 80 60 40 20 0 97 68 81 32 30 57 AKB AKBa AK-Neonatal 58 46 26 46 44 35 34 20 19 1991 1995 1999 2003 2007 2015 Gambar 4.1. Penurunan angka kematian balita, bayi, dan neonatal, 1991-2007 Sumber: SDKI (BPS), berbagai tahun 32 23 Status kesehatan anak Indonesia semakin membaik. Hal ini ditunjukkan oleh semakin rendahnya angka kematian neonatal, bayi, dan balita (Gambar 4.1). Angka kematian balita menurun dari 97 per seribu kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2007. Angka kematian bayi turun dari 68 per seribu kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi hanya 34 per seribu kelahiran hidup (2007). Angka kematian neonatal juga menurun dari 32 per seribu kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 19 per seribu kelahiran hidup pada tahun 2007. Namun demikian, jika dibandingkan hasil SDKI 2002-2003 dengan SDKI 2007 penurunan kematian neonatal, bayi maupun balita cenderung stagnan. Penyebab utama kematian balita adalah masalah neonatal (asfiksia, berat badan lahir rendah, dan infeksi neonatal), penyakit infeksi (utamanya diare dan pneumonia) serta terkait erat dengan masalah gizi (gizi buruk dan gizi kurang). Masalah lain adalah disparitas angka kematian neonatal, kematian bayi dan angka kematian balita yang cukup tinggi, antarprovinsi. Kondisi ini disebabkan oleh masalah akses dan kualitas pelayanan kesehatan, masalah sosial ekonomi dan budaya, pertumbuhan infrastruktur serta kerterbukaan wilayah tersebut akan pembangunan ekonomi dan pendidikan.

Papua Sulawesi Barat Sumatera Utara Kalimantan Barat Riau Sulawesi Tengah Aceh Maluku Maluku Utara Sumatera Barat Sulawesi Tenggara Gorontalo Banten Kalimantan Selatan Jambi Jawa Barat Bengkulu Sumatera Selatan Papua Barat INDONESIA Nusa Tenggara Timur Bangka Belitung DKI Jakarta Sulawesi Selatan Kalimantan Timur Jawa Timur Kalimantan Tengah Lampung Bali Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Kepulauan Riau DI Yogyakarta 30,5 35,7 43,3 44,6 40,2 44,9 45,5 41,9 50,0 51,6 57,7 56,7 57,1 52,2 51,6 57,7 53,9 60,0 65,7 61,4 61,9 62,5 57,8 62,8 59,2 53,6 60,7 56,9 63,9 63,3 60,0 57,3 72,4 70,5 74,2 72,9 72,7 70,0 77,5 64,3 65,3 65,2 79,5 71,8 76,7 72,2 76,3 76,3 78,6 74,2 72,1 75,2 80,9 77,9 77,6 87,1 83,3 83,0 81,0 80,6 96,4 83,6 89,3 90,1 90,1 86,7 89,7 100,0 48 Upaya membaiknya tingkat kesehatan anak dipengaruhi oleh meningkatnya cakupan pelayanan yang diterima sejak anak berada dalam kandungan melalui: pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas, persalinan oleh tenaga kesehatan utamanya di fasilitas kesehatan, pelayanan neonatal (melalui kunjungan neonatal), cakupan imunisasi utamanya cakupan imunisasi campak, penanganan neonatal, bayi dan balita sakit sesuai standar baik di fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas kesehatan rujukan dan meningkatnya pengetahuan keluarga dan masyarakat akan perawatan pada masa kehamilan, pada masa neonatal, bayi dan balita, serta deteksi dini penyakit dan care seeking behaviour ke fasilitas kesehatan. Membaiknya tingkat kesehatan anak tersebut terkait dengan upaya-upaya pencegahan penyakit, termasuk pemberian imunisasi. Imunisasi dasar lengkap bagi anak meliputi BCG sebanyak 1 kali, DPT-HB 3 kali, polio 4 kali, dan campak 1 kali. Secara rerata 77,90 persen anak umur 12-23 bulan telah memperoleh imunisasi BCG, 74,40 persen memperoleh imunisasi campak, 66,70 persen memperoleh imunisasi polio, dan 61,90 persen memperoleh imunisasi DPT-HB (Riskesdas 2010). Keragaman pemberian jenis imunisasi bagi anak usia 12-23 bulan menurut provinsi (Gambar 4.2) adalah BCG dari 53,60 persen (Papua) sampai 100 persen (DI Yogyakarta); campak dari 47,10 persen (Papua) sampai 96,40 persen (DI Yogyakarta); polio dari 40,50 persen (Papua) sampai 96,40 persen (DI Yogyakarta), dan DPT- HB dari 35,70 persen (Sulawesi Barat) sampai 96,40 persen (DI Yogyakarta). Gambar 4.2 menunjukkan keragaman pemberian imunisasi. Pertama, pemberian imunisasi DPT-HB di masingmasing provinsi merupakan yang terendah di antara keempat imunisasi dasar, disusul secara berurutan oleh imunisasi polio, kemudian imunisasi campak, dan yang tertinggi adalah pemberian imunisasi BCG. Kedua, kecenderungan pemberian imunisasi berbeda antara imunisasi DPT-HB, polio, dan BCG di satu sisi dan campak di sisi yang lain. Ketiga, sesuai dengan kecenderungan pertama dan ke dua tersebut, terdapat 17 provinsi dengan proporsi anak usia 12-23 bulan adalah di bawah rerata nasional dalam penerimaan imunisasi. Selanjutnya terdapat 4 provinsi yang memiliki proporsi cakupan imunisasinya jauh lebih rendah dari rerata nasional, bahkan merupakan yang terendah di seluruh Indonesia, yaitu Papua, Sulawesi Barat, Aceh, dan Sumatera Utara. 125 100 75 50 25 0 BCG DPT-HB Polio Campak Gambar 4.2. Keragaman pemberian imunisasi dasar bagi anak usia 12-23 bulan, 2010 Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2010, Kementerian Kesehatan

Papua Sulawesi Barat Sumatera Utara Aceh Sumatera Barat Maluku Sulawesi Tengah Banten Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Riau Jambi Kalimantan Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Papua Barat Maluku Utara Jawa Barat INDONESIA Sumatera Selatan Bangka Belitung Jawa Timur Lampung Sulawesi Utara DKI Jakarta Gorontalo Nusa Tenggara Timur Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Bengkulu Jawa Tengah Kepulauan Riau Bali DI Yogyakarta 69.62 76.02 78.29 78.58 79.16 79.7 80.02 80.56 81.81 82.56 82.67 83.54 84.28 84.95 85.14 86.01 86.76 86.77 87.3 87.4 87.45 89.62 90.1 90.37 90.53 92 92.01 92.92 94.26 94.27 94.54 95.22 96.05 98.31 Dengan memperhatikan keragaman tersebut, pemberian imunisasi kepada anak, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu ketersediaan vaksin dan faktor orang tua. Pendidikan kepala keluarga dan tingkat kemampuan ekonomi keluarga menunjukkan korelasi positif yang sangat jelas, di mana makin tinggi jenjang pendidikan kepala keluarga dan makin tinggi kemampuan ekonomi keluarga maka cenderung makin tinggi pula kemungkinan si anak memperoleh imunisasi. Selanjutnya, secara nasional terdapat kecenderungan bahwa anak-anak yang tinggal di perkotaan mempunyai kemungkinan memperoleh imunisasi yang lebih tinggi dibanding dengan yang tinggal di perdesaan. 49 Selanjutnya data Susenas tahun 2011 menunjukkan persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak 87,30 persen. Acuan dasar indikator tersebut adalah SDKI tahun 1991 (44,50 persen), namun demikian data SDKI terakhir adalah tahun 2007 (67,00 persen). Untuk tahun 2007 juga terdapat data Susenas (BPS) yaitu 84,67 persen. Analisis tingkat provinsi menunjukkan terdapat 18 provinsi dengan cakupan imunisasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi yang cakupan imunisasinya terendah adalah Papua (69,62 persen), Sulawesi Barat (76,02), dan Sumatera Utara (78,29). Sedangkan provinsi dengan cakupan imunisasi tertinggi adalah DI Yogyakarta dengan cakupan 98,31 persen (Gambar 4.3). 120 100 80 60 40 20 0 Gambar 4.3. Persentase anak usia 1 tahun yang pernah mendapatkan imunisasi campak, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Berbagai upaya yang dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesehatan anak Indonesia, yakni melalui continuum of care berdasarkan siklus hidup, continuum of care berdasarkan pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), continuum of care pathway sejak anak di rumah, di masyarakat (pelayanan posyandu dan poskesdes), di fasilitas pelayanan kesehatan dasar, dan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Upaya percepatan penurunan kematian balita fokus pada penyebab kematian. Mengingat 56 persen kematian bayi terjadi pada masa neonatal dan 46 persen kematian balita terjadi di periode neonatal maka dalam upaya percepatan penurunan angka kematian bayi dan balita fokus utama pada peningkatan akses dan kualitas pelayanan neonatal, menurunkan prevalensi dan kematian yang

50 disebabkan oleh diare dan pneumonia, mengurangi dan menanggulangi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatkan cakupan imunisasi campak. Upaya menurunkan angka kematian neonatal dilakukan dengan meningkatkan persalinan oleh tenaga kesehatan dan utamanya di fasilitas kesehatan, meningkatkan pelayanan kunjungan neonatal oleh tenaga kesehatan menjadi 3 kali (6-48 jam setelah persalinan, hari ke-3 sampai ke-7 serta hari ke-8 sampai ke-28), ketersediaan pelayanan obstetrik neonatal emergensi dasar di Puskesmas PONED (minimal 4 Puskesmas PONED per kabupaten/kota), serta pelayanan obstetrik neonatal emergensi komprehensif di RS PONEK (minimal 1 RS PONEK perkabupaten/kota). Sejak tahun 2010 pemerintah mencanangkan program Jampersal (jaminan persalinan nasional) merupakan salah satu terobosan untuk percepatan menurunkan kematian ibu dan neonatal. Jaminan persalinan bertujuan melindungi dan menyelamatkan ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir dari komplikasi dan resiko kematian. Jaminan persalinan ini memberikan jaminan pelayanan pemeriksaan kehamilan, persalinan, pelayanan ibu nifas dan bayi baru lahir bagi semua ibu dan bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan. Untuk mengendalikan kasus dan kematian karena diare sebagai penyebab terbanyak kematian setelah masalah neonatal maka ketersedian dan distribusi oralit dan zinc yang merata baik di level masyarakat maupun fasilitas pelayanan kesehatan menjadi penting disamping keberhasilan ASI Eksklusif, ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban keluarga, hygiene dan sanitasi serta tatalaksana diare sesuai standar. Untuk mengendalikan kasus dan kematian karena pneumonia sebagai penyebab ketiga kematian pada bayi dan balita maka ketersedian dan distribusi antibiotika di fasilitas pelayanan kesehatan menjadi penting disamping keberhasilan ASI Eksklusif, imunisasi dasar lengkap, hygiene dan sanitasi, mencegah indoor dan outdoor polution serta tatalaksana pneumonia sesuai standar. Upaya meningkatkan cakupan imunisasi campak selain ketersediaan dan distribusi yang merata vaksin dan rantai dingin maka meningkatkan sosialisasi terkait imunisasi menjadi sangat penting melalui media baik media elektrolik maupun media cetak, serta dilakukan pendekatan khusus pada daerah sulit akses karena masalah geografi maupun masalah cuaca dengan pendekatan Sustainable Outreach Services (SOS). Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk menurunkan kematian neonatal, bayi, dan balita adalah intervensi baik di tingkat keluarga dan masyarakat, di tingkat pelayanan kesehatan dasar maupun di tingkat pelayanan kesehatan rujukan. Adapun intervensi di tingkat keluarga dan masyarakat antara lain; penerapan Buku KIA bahkan hingga di fasilitas kesehatan rujukan, penguatan Posyandu, meningkatkan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi dan balita, imunisasi dasar lengkap, pemberian Vitamin A pada bayi dan balita, pemberian besi folat ibu hamil, pemberian oralit dan zinc bila diare, penyuluhan PHBS termasuk cuci tangan dengan sabun, kegiatan kelas ibu balita, deteksi dini bayi dan balita sakit termasuk deteksi dini bayi dan balita gizi kurang dan gizi buruk, community feeding centre serta kunjungan rumah. Adapun intervensi di tingkat pelayanan dasar dan rujukan meliputi pemeriksaan kehamilan yang berkualitas dan terintegrasi, persalinan ditolong tenaga kesehatan utamanya di fasilitas pelayanan kesehatan, penanganan kasus emergensi melalui Puskesmas PONED dan RS PONEK, pelayanan pasca salin bagi ibu nifas dan bayi baru lahir, pelayanan KB dan pelayanan rujukan KB, penanganan neonatal, bayi dan balita sakit sesuai standar (antaralain Manajemen Terpadu Balita Sakit), penanganan balita gizi kurang dan buruk (Terapeutik Feeding Centre) dan pelayanan rujukan kasus gizi buruk dengan komplikasi, serta pelayanan rujukan bayi dan balita sakit.

Agar pelayanan tersebut di atas dapat terlaksana maka ketersediaan tenaga kesehatan menjadi sangat penting baik dari segi jenis dan kompetensi yang dimiliki (bidan, perawat, tenaga gizi lapangan dan nutrisionist, dokter, dr Spesialis Anak, dr Spesialis Obgyn serta dr Spesialis Anestesi). Bagi daerah yang memiliki masalah dengan ketersediaan dan kesinambungan keberadaan tenaga kesehatan tersebut maka dilakukan beberapa strategi antara lain; program (program pendidikan dokter spesialis (PPDS), dokter dengan kewenangan tambahan, penempatan resident senior, penugasan khusus perorangan (resident dan D3 tenaga kesehatan), penugasan khusus tim (contracting in dan contracting out). Bagi daerah yang sulit akses maka perlu pendekatan khusus untuk memberikan pelayanan, metode Sustainable Out Services (SOS), peningkatan komptensi kader tidak hanya dalam deteksi dini tapi juga memberikan pertolongan pertama atau pendekatan lain yang dianggap lebih sesuai mulai diujicobakan di daerah Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Buru. 51 Tidak kalah pentingnya ketersediaan dan distribusi obat-obatan dan peralatan medis yang lengkap dan siap digunakan sangat mendukung pelayanan sesuai standar disamping supervisi fasilitatif yang dilaksanakan secara berkala. Keberhasilan pelayanan kesehatan juga tidak terlepas dari membaiknya infrastruktur, transportasi yang semakin membaik, peran dari profesi dan perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat dan donor agencies dalam mendukung pelayanan kesehatan yang berkualitas. Kotak 4.1. Pelaksanaan MTBS di Puskesmas Sei Malang Kabupaten Hulu Sungai Utara, Provinsi Kalimantan Selatan Penyebab utama kematian balita di Indonesia adalah karena masalah pada neonatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah dan infeksi), penyakit infeksi (diare dan pneumonia) serta masalah gizi kurang dan gizi buruk. Bank Dunia melaporkan bahwa Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bilamana diterapkan secara benar dan luas merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut, diare, campak, malaria, kurang gizi, atau kombinasi dari keadaan-keadaan tersebut. Sebagian besar penyebab kematian tersebut dapat dicegah dengan teknologi sederhana di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Manajemen Terpadu Balita Sakit merupakan pemberian pelayanan kepada balita sakit secara komprehensif dan integratif yang meliputi: menilai, membuat klasifikasi, menentukan tindakan, memberi pengobatan, konseling bagi ibu dan pelayanan tindak lanjut. Beberapa keuntungan dari MTBS: balita sakit dinilai disemua aspek termasuk kelengkapan layanan essensial balita (pemberian ASI ekslusif, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), vitamin A, status imunisasi), pemantauan status gizi, pemberian obat rasional, serta follow up sampai bayi dan balita sembuh.

52 Puskesmas Sei Malang menerapkan MTBS sejak tahun 2003 dan sampai saat ini, pelaksanaannya telah dilakukan setiap hari untuk semua balita sakit. Puskesmas Sei merupakan puskesmas induk yang memiliki 5 pustu dan 4 poskesdes, 49 orang tenaga. Luas wilayah kerja 64,5 km 2, yang terdiri dari 2 kelurahan dan 19 desa (2 desa termasuk kategori sangat tertinggal) dan jumlah penduduk 31.214 jiwa. Tenaga terlatih MTBS di puskesmas ini bertambah dari 1 dokter dan 1 bidan pada tahun 2003 menjadi 2 dokter umum, 3 bidan, dan 1 perawat. Untuk membantu penerapan MTBS di wilayah kerjanya, puskesmas telah melakukan kalakarya bagi bidan, bidan desa, dan perawat pustu. Foto 4.1. Kegiatan Puskesmas Sei Malang Sumber: Kementerian Kesehatan Hasil penerapan MTBS di Puskesmas Sei Malang tahun 2009 dan 2010; grafik di atas menunjukan cakupan penemuan penderita pneumonia meningkat, untuk diare meskipun menurun tetapi penemuan penderita juga masih tinggi. Kasus kematian penderita diare menurun dari tahun 2009 (1 kematian) dan tahun 2010 tanpa kematian, demikian juga tidak ada kasus kematian penderita pneumonia tahun 2009 dan 2010. Dampak MTBS terhadap pemberian imunisasi pada balita, menunjukkan terjadinya peningkatan cakupan UCI Desa dari 38 persen pada tahun 2009 menjadi 57 persen pada tahun 2010. Kemudian untuk program gizi balita, menunjukkan terjadinya peningkatan temuan kasus balita kurus dan sangat kurus, yaitu; dari 66 kasus pada tahun 2009 menjadi 72 kasus balita kurus pada tahun 2010; dan dari 0 kasus pada tahun 2009 menjadi 1 kasus balita sangat kurus pada tahun 2010. Hasil ini menunjukkan bahwa penerapan MTBS memberikan dampak positif dalam peningkatan deteksi dini, penanganan dan rujukan segera sehingga apabila MTBS diterapkan secara kontinyu dengan baik dan benar diharapkan dapat memberikan dampak penurunan kesakitan dan kematian balita.

TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Sumber: Kementerian Kesehatan

54

TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU 55 TARGET 5A MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU HINGGA TIGA PER EMPAT DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 TARGET 5B MEWUJUDKAN AKSES KESEHATAN REPRODUKSI BAGI SEMUA PADA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 5.1 Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup 390 (1991) 228 (2007) 102 BPS, SDKI 5.2 Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih 40,70% (1992) 81,25 % (2011) Meningkat BPS, Susenas Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 5.3 5.3a Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, cara modern 49,70% (1991) * 47,10% (1991) * 61,34 % (2011) ** 60,42 % (2011) ** Meningkat Meningkat *BPS, SDKI **BPS, Susenas 5.4 Angka kelahiran remaja (perempuan usia 15-19 tahun) per 1000 perempuan usia 15-19 tahun 67 (1991) 35 (2007) Menurun BPS, SDKI 5.5 Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya 1 kali kunjungan dan 4 kali kunjungan) 5.6-1 kunjungan: - 4 kunjungan: Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/kb yang tidak terpenuhi) 75,00% (1991) * 56,00% (1991) * 12,70% (1991) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 92,70 % (2010) ** 61,40 % (2010) ** 9,10 % (2007) Meningkat *BPS, SDKI **Kemenkes, Riskesdas Menurun BPS, SDKI

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 56 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 390 334 307 228 102 1991 1997 2003 2007 2011 2015 Gambar 5.1. Angka kematian ibu dari Tahun 1991-2007 dan target MDG tahun 2015 Sumber: BPS, SDKI berbagai tahun Angka kematian ibu merupakan salah satu sasaran MDGs yang memerlukan upaya keras untuk mencapai target 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Angka kematian ibu menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Gambar 5.1). WHO memperkirakan bahwa sekitar 15-20 persen ibu hamil, baik di negara maju maupun berkembang akan mengalami risiko tinggi (risti) dan/atau komplikasi. Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematian adalah dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. 90 80 70 60 50 46.13 50.01 53.87 51.81 60.17 64.1 67 71.52 70.46 72.41 72.53 74.86 77.34 79.82 81.25 40 30 20 10 0 Gambar 5.2. Kemajuan dalam penolong kelahiran oleh tenaga kesehatan, 1995-2011 Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun Proporsi persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan terlatih meningkat dengan signifikan (Gambar 5.2). Persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan terlatih secara nasional meningkat dari 46,13 persen pada tahun 1995 menjadi 81,25 persen pada tahun 2011. Data Riskesdas 2010 menunjukkan proporsinya 82,20 persen. Namun demikian, persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu 55,40 persen (Riskesdas, 2010). Fasilitas kesehatan yang mampu melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi dasar (PONED) dan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi komprehensif (PONEK) terus ditingkatkan. Persentase Puskesmas perawatan yang melaksanakan PONED

54,00 persen (Profil Kesehatan 2010) sedangkan rumah sakit kabupaten/kota yang telah melaksanakan PONEK mencapai 87,61 persen (Kemenkes, 2011). 57 70 60 50 40 30 20 10 0 24.86 9.15 Perkotaan 65.48 62.00 Perdesaan 0.54 0.78 9.12 28.07 Dokter Bidan Tenaga Medis Bukan Tenaga Lain Kesehatan Gambar 5.3. Penolong kelahiran di perdesaan dan perkotaan, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 Persalinan dengan pertolongan tenaga medis terlatih, yaitu dokter, bidan, dan tenaga medis lainnya beragam antara perdesaan dan perkotaan. Pembandingan penolong persalinan di antara ibu hamil di perdesaan dan perkotaan menunjukkan keadaan yang berbeda (Gambar 5.3). Baik di perdesaan dan perkotaan, bidan merupakan penolong persalinan dengan proporsi tertinggi dan tenaga medis lainnya menduduki proporsi terendah, baik di perdesaan maupun perkotaan. Proporsi bidan sebagai penolong persalinan di perdesaan 62,00 persen sedangkan di perkotaan 65,48 persen. Untuk tenaga medis lainnya 0,78 persen di perdesaan dan 0,54 persen di perkotaan. Selanjutnya, dokter merupakan penolong persalinan dengan proporsi kedua tertinggi di perkotaan, namun proporsi kedua tertinggi di perdesaan adalah bukan-tenaga kesehatan. Seperempat dari persalinan di perkotaan ditolong oleh dokter, sementara itu hampir sepertiga dari persalinan di perdesaan ditolong oleh bukan-tenaga kesehatan, seperti dukun beranak, keluarga, dan lainnya. Disparitas pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan antardaerah masih besar. Hasil Susenas 2011 menunjukkan bahwa keberadaan bidan dan dokter merupakan dua tenaga penting dalam pertolongan persalinan. Pada gambar 5.3. menunjukkan bahwa proporsi pertolongan persalinan oleh dokter di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di daerah perdesaan, yaitu 24,86 persen di perkotaan dan 9,15 persen di perdesaan. Selanjutnya, sebagian besar pertolongan persalinan (di atas 60,00 persen) dilakukan oleh bidan. Tidak terdapat perbedaan proporsi yang cukup besar antara perdesaan dan perkotaan.

P a p u a Maluku Utara Sulawesi Barat Maluku Nusa Tenggara Timur Gorontalo Sulawesi Tengah Papua Barat Sulawesi Utara Sulawesi Tenggara B a l i Kalimantan Barat Banten DKI Jakarta DI Yogyakarta Sulawesi Selatan Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Jawa Barat J a m b i Kalimantan Timur INDONESIA R i a u Kepulauan Bangka Belitung Lampung Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Kalimantan Selatan Bengkulu Jawa Timur Sumatera Barat Jawa Tengah Sumatera Utara Aceh 16.88 63.71 58 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Dokter Bidan Tenaga Medis Lain Bukan Tenaga Kesehatan 0.66 18.75 Gambar 5.4. Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih dan bukan-tenaga kesehatan, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 Selanjutnya data Susenas tersebut juga menunjukkan bahwa tingginya tingkat pertolongan persalinan oleh bukan-tenaga kesehatan, termasuk oleh dukun bersalin dan bahkan anggota keluarga sendiri, cenderung disebabkan oleh tidak adanya tenaga kesehatan terlatih. Proporsi pertolongan persalinan oleh bukan-tenaga kesehatan terlatih yang tertinggi terjadi di Sulawesi Barat dan Maluku Utara. Pada kedua provinsi ini lebih dari separuh persalinan ditolong oleh bukan-tenaga kesehatan terlatih. Peran bukan-tenaga kesehatan terendah dalam pertolongan persalinan terjadi di DI Yogyakarta, Bali, dan DKI Jakarta. 70 60 50 40 30 20 10 0 49.7 47.1 54.7 52.1 57.4 54.7 60.3 61.4 56.7 57.4 Semua Cara Cara Modern Cara Tradisional 2.6 2.7 2.7 3.6 4 1991 1994 1997 2002/3 2007 Gambar 5.5. Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, 1991-2007 Sumber: BPS, SDKI berbagai tahun Perawatan kesehatan ibu, bayi, dan anak menggunakan strategi perawatan berkelanjutan (continuum care), yaitu pencapaian tingkat kesehatan yang dilakukan melalui serangkaian upaya terpadu sejak periode prakehamilan. Salah satu layanan penting pada periode ini adalah pelayanan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49 dengan semua cara menunjukkan peningkatan dari 49,70 persen pada tahun 1991 menjadi 61,40 persen pada tahun 2007 sedangkan CPR dengan cara modern meningkat dari 47,10 persen pada tahun 1991 menjadi 57,40 persen pada tahun 2007 (Gambar 5.5). Selanjutnya, data Susenas 2011 menunjukkan peningkatan CPR 61,34 persen untuk semua cara dan 60,42 persen untuk cara modern.

Papua Papua Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Sulawesi Barat Aceh Sumatera Utara Kepulauan Riau Sulawesi Selatan Maluku Utara Sulawesi Tenggara Sumatera Barat DKI Jakarta Riau Nusa Tenggara Barat Sulawesi Tengah DI Yogyakarta Kalimantan Timur INDONESIA Gorontalo Banten Jawa Tengah Bali Jawa Barat Jawa Timur Bangka Belitung Lampung Sumatera Selatan Kalimantan Barat Jambi Sulawesi Utara Kalimantan Selatan Bengkulu Kalimantan Tengah 15.53 35.38 39.91 39.76 48.19 49.47 48.95 49.7 49.86 50.75 51.15 52.98 53.64 56.32 58.86 59.34 57.81 60.3 60.42 62.48 63 63.28 63.18 64.55 64.12 64.93 66.57 66.34 67.05 67.58 68.36 69.97 70.63 70.61 24.57 38.1 41.59 41.89 49.2 50.25 50.66 50.74 51 51.49 53.71 53.95 55.21 57.25 59.32 60.52 60.9 61.12 61.34 63.13 63.45 63.95 64.52 64.88 64.89 66.07 66.91 67.03 67.45 68.05 69.12 70.41 71.33 71.79 Angka pemakaian kontrasepsi juga bervariasi antarprovinsi (Gambar 5.6), yaitu dari 24,57 persen (Papua) sampai 71,79 persen (Kalimantan Tengah). Selanjutnya, proporsi pemakaian kontrasepsi cara modern yang jauh lebih rendah dibanding semua cara di Papua, menunjukkan bahwa angka proporsi pemakaian kontrasepsi cara tradisional adalah yang tertinggi dibandingkan dengan 32 provinsi lainnya. Sangat rendahnya tingkat pemakaian kontrasepsi cara modern dan tingginya proporsi pemakaian kontrasepsi tradisional menjadikan provinsi ini memerlukan perhatian khusus. 59 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Semua Cara Cara Modern Gambar 5.6. Disparitas angka pemakaian kontrasepsi antarprovinsi, 2011 Sumber: BPS, Susenas 2011 Di samping itu, masih terdapat kebutuhan ber-kb yang tidak terpenuhi (unmet need). Pemenuhan atau sebaliknya ketidakterpenuhan kebutuhan alat kontrasepsi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu ketersediaan sesuai dengan tingkat jangkauan masing-masing dan kebutuhan. Suatu hal yang positif adalah kebutuhan KB yang tidak terpenuhi cenderung menurun selama 16 tahun sejak tahun 1991, yaitu dari 12,07 persen menjadi 9,10 persen pada tahun 2007 (BPS, SDKI). Selanjutnya, unmet need juga berhubungan erat dengan kemampuan ekonomi dan usia baik di perdesaan maupun di perkotaan (Riskesdas 2010). Semakin rendah kemampuan ekonomi semakin tinggi unmet need. Keadaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan ekonomi maka semakin tinggi pula kemampuan untuk memperoleh alat tersebut. Unmet need pada perempuan menikah juga berhubungan dengan umur. Semakin tua usia perempuan maka semakin tinggi pula unmet need, kecuali pada perempuan menikah umur 10-14 tahun. Mengingat kecenderungan tersebut berlaku juga untuk kelompok umur produktif secara ekonomi, maka dapat ditafsirkan bahwa faktor tingkat kebutuhan atau tingkat kesadaran juga menentukan dalam hal ini. Proporsi unmeet need yang relatif sama antara wilayah perdesaan dengan perkotaan menunjukkan hal yang positif yaitu tingkat kesadaran penduduk perdesaan akan pentingnya KB yang sudah sama dengan penduduk perkotaan.

DI Yogyakarta DKI Jakarta Bali Kepulauan Riau Jawa Timur Jawa Tengah Bangka Belitung Jawa Barat INDONESIA Aceh Lampung Kalimantan Timur Bengkulu Banten Sumatera Barat Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Riau Sumatera Utara Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Jambi Papua Kalimantan Tengah Maluku Papua Barat Maluku Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Gorontalo 89,5 84,5 77,7 77,1 74,4 73,7 67,4 67,4 61,3 61,2 59,7 58,3 56,1 54,8 54,6 53,5 52,8 52,4 50,7 50,4 48,4 46,6 44,4 44,1 41,8 39,4 35,6 35,1 34,2 32,6 28,5 24,6 21,7 19,8 76,9 75,7 100,0 98,0 96,4 98,4 96,6 98,1 94,6 95,5 92,8 93,5 94,7 91,9 92,1 89,8 93,7 93,2 91,7 88,8 88,2 89,8 85,5 79,0 77,2 72,0 85,1 81,3 83,1 94,9 93,1 88,3 82,1 77,9 60 Penurunan angka kelahiran pada remaja perempuan umur 15-19 tahun juga menunjukkan perkembangan positif. Remaja perempuan pada kelompok umur ini merupakan kelompok yang rawan terhadap keselamatan bayi yang dilahirkan. Riskesdas 2010 menemukan bahwa perempuan menikah umur 15-19 tahun memiliki tingkat kematian bayi tertinggi, yaitu 3,30 persen sementara rerata status anak terakhir yang dilahirkan oleh perempuan umur 10-59 tahun hanya 1,30 persen (yaitu status anak terakhir yang dilahirkan lima tahun sebelum survai). Perkembangan positif tersebut ditunjukkan oleh angka kelahiran remaja perempuan untuk setiap seribu perempuan pada kelompok umur tersebut. Angka kelahiran ini menurun tajam hampir separuhnya dalam kurun waktu 16 tahun sejak tahun 1991 (SDKI 2007). Ibu hamil memerlukan pelayanan antenatal, yaitu pelayanan kesehatan kepada ibu selama masa kehamilannya yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan sesuai standar. Indikator yang digunakan adalah kunjungan pertama (K1) dan kunjungan ke empat (K4). Layanan antenatal kepada ibu-ibu selama masa kehamilannya meningkat (Gambar 5.7). Layanan 1 kunjungan meningkat dari 75,00 persen pada tahun 1991 menjadi 92,70 persen pada tahun 2010. Sedangkan ibu-ibu yang mendapat layanan paling sedikit 4 kali juga meningkat, yaitu dari 56,00 persen pada tahun 1991 menjadi 61,40 persen pada tahun 2010. 120 100 K1 K4 80 60 40 20 0 Gambar 5.7. Keragaman layanan antenatal K1 dan K4 antarprovinsi, 2010 Sumber: Riskesdas (Kemenkes), 2010 Namun demikian gambaran positif tentang layanan antenatal tersebut beragam antarprovinsi dengan tingkat keragaman yang cukup tinggi, terutama untuk layanan empat kali atau lebih. Proporsi ibu hamil yang memperoleh layanan minimal satu kali beragam dari yang terendah 72,00 persen (di Papua Barat) sampai 100,0 persen (di Yogyakarta). Sementara itu proporsi ibu hamil yang mendapat layanan empat kali atau lebih beragam dari serendah 19,80 persen (di Gorontalo) sampai 89,50 persen (di Yogyakarta). Selanjutnya, proporsi layanan ibu hamil, baik K1 maupun K4, pada 25 provinsi ternyata lebih rendah dibanding rerata nasional.

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN 61 Dalam rangka mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi ibu-ibu dalam persalinan antara lain dikembangkan tiga program penting, yaitu Jaminan Persalinan, Kelas Ibu Hamil, dan Rumah Tunggu Ibu Hamil. Selain itu penurunan angka kematian ibu diperkuat oleh program keluarga berencana. Jaminal Persalinan (Jampersal) Jampersal adalah jaminan pembiayaan untuk ibu melahirkan dan bayinya. Jaminan ini dimaksudkan untuk mengurangi hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan, yang didalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Dengan demikian jaminan ini ditujukan untuk mencegah kematian bayi dan ibunya. Layanan untuk ibu melahirkan meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan, dan pelayanan persiapan rujukan ketika terjadi komplikasi pada masa-masa tersebut. Sasaran program ini adalah ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas sampai dengan 42 hari pasca persalinan dan untuk bayinya meliputi pelayanan bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari. Cakupan Jampersal adalah seluruh Indonesia, namun tidak dibatasi menurut wilayah administrasi pemerintahan dan ini menjadi salah satu dari keistimewaan program yaitu layanan berdasarkan prinsip portabilitas. Jaminan persalinan tidak mengenal batas wilayah, dengan keluwesan layanan kepada sasaran Jaminan Persalinan dari luar wilayah, tetapi klaim diajukan kepada Dinas Kesehatan setempat, bukan pada daerah asal sasaran. Dasar hukum layanan ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 2562 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Jampersal. Pendanaan Jampersal merupakan bagian dari pendanaan Jamkesmas. Dengan demikian pengelolaan Jampersal adalah Tim Pengelola/ Dinas Kesehatan Kab/Kota. Pendanaan Jampersal di pelayanan dasar dan pelayanan rujukan merupakan belanja bantuan sosial (bansos) bersumber APBN yang diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan dan rujukan pelayanan dasar peserta Jamkesmas, layanan persalinan serta rujukan risiko tinggi (risti) persalinan peserta Jamkesmas dan masyarakat sasaran yang belum memiliki jaminan persalinan sebagai penerima manfaat jaminan. Dana Jampersal di pelayanan kesehatan dasar disalurkan ke rekening Dinas Kesehatan kabupaten/ kota, menjadi satu kesatuan dengan dana Jamkesmas. Setelah dana tersebut disalurkan Kemenkes ke rekening Dinas Kesehatan sebagai penanggung jawab program (melalui SP2D) dan rekening Rumah Sakit, maka status dana tersebut berubah menjadi dana peserta Jamkesmas dan masyarakat penerima manfaat Jaminan Persalinan. Dana Jamkesmas dan Jampersal ini bukan bagian dari dana transfer daerah ke pemerintah kabupaten/kota, sehingga penggunaan dana tersebut tidak melalui kas daerah (Perdirjen Perbendaharaan No. PER-21/PB/2011 Pengelolaan kegiatan Jampersal dilaksanakan bersama-sama oleh pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pemilihan cara ini dimaksudkan agar pelaksanaan manajemen kegiatan ini dapat berjalan secara efektif dan efisien. Untuk mengelola Jampersal dibentuk Tim Pengelola di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pengelolaan kegiatan Jampersal ini terintegrasi dengan kegiatan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Biaya Operasional Kesehatan (BOK). Pengorganisasian manajemen Jamkesmas dan BOK terdiri dari: (i) Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK (lintas sektor); dan (ii) Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK (lintas program), keduanya sampai ke tingkat kabupaten/kota.

62 Kelas Ibu Hamil Kelas ini dikembangkan untuk meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku ibu dan keluarga. Dengan itu semua diharapkan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan selama kehamilan, bersalin dan nifas menjadi meningkat dan mereka mengetahui upaya peningkatan kesehatan. Kelas ini adalah kelompok belajar ibu-ibu hamil yang dilakukan mulai dari awal kehamilan dengan jumlah peserta 10 orang. Selain ibu hamil, suami atau anggota keluarga lain diharapkan dapat mengikuti kelas ini minimal satu kali pertemuan sehingga dapat memahami berbagai materi penting, misalnya persiapan persalinan. Tujuan umum kelas ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, merubah sikap dan perilaku ibu agar memahami tentang kehamilan, perubahan tubuh dan keluhan selama kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, KB pasca persalinan, perawatan bayi baru lahir, mitos/kepercayaan/adat istiadat setempat, penyakit menular dan akte kelahiran. Foto 5.1. Kelas Ibu Hamil di Puskesmas Jembatan Kembar, Kab. Lombok Barat, Prov. NTB Sumber: Kementerian Kesehatan Di kelas ini ibu-ibu hamil belajar bersama, diskusi dan tukar pengalaman tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) secara menyeluruh dan sistimatis dan dilaksanakan secara terjadwal dan berkesinambungan. Kelas ibu hamil difasilitasi oleh bidan/tenaga kesehatan, menggunakan paket Kelas Ibu Hamil yaitu Buku KIA, lembar balik, Pedoman Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil, Pegangan Fasilitator Kelas Ibu Hamil, dan Buku senam Ibu Hamil. Program ini dilaksanakan di seluruh provinsi dan diharapkan dapat dilakukan oleh seluruh bidan desa. Rumah Tunggu Ibu Hamil Rumah Tunggu ini ditujukan untuk memudahkan akses terhadap petugas dan layanan kesehatan dengan lebih cepat bagi ibu hamil menjelang persalinan. Di sebagian wilayah Indonesia, yaitu daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan akses masih menjadi persoalan karena keterbatasan infrastruktur dan transportasi, kondisi geografis dan cuaca yang sulit, serta masih kurangnya tenaga kesehatan. Ini semua akan menyulitkan proses rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat ketika ada ibu hamil atau bersalin yang mengalami komplikasi. Pada daerah-daerah yang sulit terjangkau dan pada kasus kehamilan risiko tinggi yang jelas memerlukan penanganan di fasyankes yang memadai, maka ibu hamil diupayakan harus sudah berada di dekat fasyankes beberapa hari sebelum bersalin. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya suatu tempat di dekat fasyankes dasar atau rujukan (rumah sakit) dimana ibu hamil dapat tinggal sementara sebelum saat persalinan tiba. Rumah Tunggu Kelahiran dapat berupa rumah atau ruangan yang merupakan bagian dari rumah atau bangunan lain. Rumah Tunggu Kelahiran dapat juga dipilih dari rumah keluarga atau kerabat ibu hamil, asalkan jaraknya dekat dengan fasyankes serta memiliki akses dan transportasi mudah. Adanya Rumah Tunggu Kelahiran diharapkan dapat meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasyankes, serta meningkatkan deteksi dan penanganan dini komplikasi maternal, yang pada akhirnya berperan dalam upaya percepatan penurunan angka kematian ibu.

Berdasarkan lokasi dan fungsinya, Rumah Tunggu Kelahiran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut: (i) Rumah Tunggu Poskesdes, yaitu rumah tunggu yang berada dekat Poskesdes, digunakan bagi ibu hamil yang non-risiko; (ii) Rumah Tunggu Puskesmas, yaitu rumah tunggu yang berada dekat Puskesmas, digunakan bagi ibu hamil yang non-risiko atau yang memiliki risiko yang dapat ditangani sesuai kemampuan Puskesmas; (iii) Rumah Tunggu Rumah Sakit, yaitu rumah tunggu yang berada dekat rumah sakit, digunakan bagi ibu hamil dengan risiko tinggi. 63 Foto 5.2. Rumah Tunggu Kelahiran Mitra Sehat, Desa Nilo Dingin, Kec. Lembah Masurai, Kab. Merangin, Provinsi Jambi Sumber: Kementerian Kesehatan Program Keluarga Berencana Upaya menurunkan angka kematian ibu diperkuat oleh program KB melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi serta peningkatan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) KB. Dengan meningkatnya pemahaman dan kesadaran tentang KB dan kesehatan reproduksi, pasangan usia subur/pus akan dapat merencanakan kehamilannya dengan baik sehingga kesehatan dan kesejahteraan ibu dan anak akan dapat ditingkatkan. Selain itu, peningkatan pemahaman akan kesehatan reproduksi pada kelompok remaja juga akan meningkatkan usia perkawinan dan menurunkan angka kelahiran pada kelompok remaja. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan prevalensi pemakaian kontrasepsi/contraceptive prevalence rate (CPR), menurunkan kebutuhan ber-kb yang tidak terpenuhi/unmet need, menurunkan angka kelahiran pada kelompok remaja/asfr 15-19 tahun; serta menurunkan disparitas CPR, unmet need, dan ASFR 15-19 tahun antarprovinsi, antarwilayah desa kota, dan antarstatus sosial ekonomi, berbagai upaya strategis yang dilakukan mencakup antara lain sebagai berikut: (i) pemberian alat dan obat kontrasepsi gratis bagi PUS yang berasal dari keluarga miskin (keluarga pra-sejahtera/pra-ks dan keluarga sejahtera I/KS-1) di seluruh Indonesia; (ii) pelayanan KB dalam Jampersal, termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pasca keguguran di seluruh Indonesia; (iii) pelayanan KB di daerah kepulauan dan galciltas (tertinggal, terpencil, dan perbatasan) serta sasaran khusus melalui peningkatkan akses layanan KB jangka panjang/mkjp dan pengembangan jaringan pelayanan kesehatan reproduksi terpadu, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi remaja dan pelayanan KB berkualitas. Layanan ini diselenggarakan di 18 provinsi; (iv) peningkatan kompetensi tenaga medis, melalui pelatihan contraceptive technology update (CTU) bagi dokter dan bidan di seluruh Indonesia dalam rangka meningkatkan pelayanan KB yang berkualitas bagi masyarakat; (v) pelaksanaan program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR)/generasi berencana di seluruh Indonesia. Melalui program PKBR, diharapkan akan terwujud Tegar Remaja yakni remaja yang berperilaku sehat dan terhindar dari risiko Triad KRR (seksualitas, napza dan HIV/AIDS) serta remaja yang paham akan kesehatan reproduksi dan pentingnya menunda usia perkawinan.

64 Data Mini Survey BKKBN tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi peserta KB aktif cara modern telah mencapai 67,5 persen. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan dan strategi RPJMN 2010-2014 yang mengarahkan revitalisasi program KB pada pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk yang responsif gender. Pelaksanaan kebijakan ini telah berhasil dilaksanakan oleh Kabupaten Situbondo dalam meningkatkan kesertaan KB pada pria. Kotak 5.1. Kelas Ibu Hamil Puskesmas Jembatan Kembar, Lombok Barat, NTB Kelas ibu hamil di Puskesmas ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2009. Didasari oleh masih adanya kasus-kasus komplikasi maternal yang terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan, masih rendahnya persalinan di tenaga kesehatan, dan tingginya kasus kematian ibu pada tahun 2010, Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat membuat kebijakan bahwa semua ibu hamil wajib mengikuti kegiatan kelas ibu hamil. Kegiatan ini dilaksanakan disemua desa dengan lokasi pelaksanaan beragam seperti di Puskesmas, Poskesdes, rumah kader, kantor desa, balai dusun, berugak dan lain-lain yang mudah diakses oleh ibu hamil. Kegiatan dilakukan dalam 4 kali pertemuan, lama pertemuan disepakati selama 2 jam, dan diakhiri dengan senam ibu hamil. Sumber dana yang digunakan bermacam-macam yaitu dari Jamkesmas, BOK, NICE dan Indocement. Jumlah kelas ibu yang terbentuk pada tahun 2009 sebanyak 60, tahun 2010 sebanyak 100 kelas, dan tahun 2011 sebanyak 102 kelas. Salah satu hasil yang terlihat dari pelaksanaan kelas ibu hamil di Lombok Barat adalah meningkatnya cakupan program dan turunnya angka kematian ibu, dari 131/100.000 kelahiran hidup (tahun 2010) menjadi 74/100.000 kelahiran hidup (tahun 2011). Kelas Ibu Hamil ini memerlukan dukungan lintas sektor terkait supaya tujuan yang diharapkan menjadi lebih optimal. 105% 100% 95% 90% 85% 80% 75% K1 K4 Pn 2009 97% 91.80% 95.20% 2010 100.50% 95.80% 87.00% 2011 103.00% 100.00% 96.30% PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DINAS KESEHATAN PUSKESMAS JEMBATAN KEMBAR JL. Raya Lembar, Jembatan Kembar Kec. Lembar, Kode Pos. 83364 Telp. (0370) 681055 Sertifikat No : 445.1 / PKM-JK / / 2011 Dengan ini Kepala Puskesmas Jembatan Kembar Kecamatan Lembar, memberikan penghargaan kepada : Nama :.. Alamat :.. Dusun :.. TELAH MENGIKUTI KEGIATAN KELAS IBU DESA SEKOTONG TIMUR KECAMATAN LEMBAR Yang dilaksanakan pada tanggal 3 s/d 6 Mei 2011 di POSKESDES DESA SEKOTONG TIMUR. DI KELUARKAN DI JEMBATAN KEMBAR Kepala Puskesmas Jembatan Kembar SARJIYANTO, SKM. MM NIP. 19640101 1988031 060 Sertifikat yang diberikan kepada ibu yang mengikuti kelas ibu hamil di Puskesmas Jelambar Gambar 5.8. Data Cakupan K1, K4 dan Pn tahun 2009, 2010, dan 2011 Puskesmas Jembatan Kembar Sumber: Kementerian Kesehatan

Kotak 5.2. Rumah Tunggu Kelahiran Mitra Sehat Desa Nilo Dingin, Kecamatan Lembah Masurai, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi Desa yang memiliki luas wilayah 10.000 km 2 dengan kepadatan penduduk 35 jiwa/km 2 ini memiliki kondisi geografis yang cukup sulit berupa bukit dan lembah dan terletak sekitar 27 km. dari ibukota Kecamatan Lembah Masurai dan 85 km. dari ibukota Kabupaten Merangin. Untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan terdekat harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 1-6 jam. Menyadari kondisi yang menyulitkan ibu hamil tersebut pemerintah bersama masyarakat Desa Nilo Dingin berinisiatif menyediakan Rumah Tunggu yang pada awalnya dilakukan dengan menyewa rumah penduduk di sekitar Polindes. Selanjutnya didirikan bangunan rumah khusus menggunakan dana mandiri atas persetujuan rapat desa. Kapasitas rumah tunggu ini adalah 20 kamar untuk 20 ibu hamil. Jumlah ibu hamil yang memanfaatkan rumah tunggu ini meningkat dari tahun ke tahun. 65 Kotak 5.3. Kesuksesan Pemerintah Sitobondo dalam Meningkatkan Peserta KB Pria Kabupaten Situbondo tercatat mampu meningkatkan jumlah peserta KB baru MOP secara fenomenal dan luar biasa pada tahun 2010. Pada tahun 2009 jumlah peserta KB MOP hanya mencapai 248 peserta, meningkat signifikan menjadi 1.552 peserta (2010), dan mencapai 1.848 peserta (2011). Peningkatan yang spektakuler ini tidak terlepas dari komitmen, upaya, dan kerja keras dari Kepala SKPD KB beserta seluruh mitra kerja terkait. Berbagai permasalahan yang menghambat pencapaian KB MOP di Kab. Situbondo meliputi (1) terbatasnya akses informasi mengenai efek samping KB, efektifitas, tempat pelayanan, dan manfaat KB; (2) terbatasnya tenaga medis dan tempat untuk pelayanan KB MOP; (3) belum optimalnya kondisi sosial budaya masyarakat termasuk Toga dan Toma; (4) adanya penafsiran agama (halal dan haram) penggunaan MOP; dan (5) rendahnya motivasi kerja petugas KB di lini lapangan pasca otonomi daerah. Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, strategi yang dilakukan meliputi (1) pemetaan dan analisis terhadap kondisi pencapaian KB, meliputi data program, dukungan APBN-APBD, SDM dan tenaga lini lapangan KB (PLKB, PPLKB, dan PPKBD); (2) pendekatan kultur sosial kepada Toga dan Toma; (3) membangun dan memperkuat kemitraan yang berkesinambungan baik dengan individu maupun institusi lainnya (Pemerintah, Toga/Toma, LSM); (4) meningkatkan kemampuan SDM pelaksana KB mencakup petugas medis dan penyuluh KB dalam rangka melakukan pelayanan dan KIE KB, khususnya MOP; (5) menggerakkan individu dan komunitas yang telah menjadi peserta MOP untuk menjadi ujung tombak dalam menarik akseptor baru MOP; (6) menjalin kerja sama dengan media massa baik cetak maupun elektronik untuk meningkatkan KIE program MOP; dan (7) menyusun mekanisme penyelesaian komplikasi pasca pelayanan. Upaya tersebut berhasil menggerakkan komitmen berbagai pihak terhadap KB MOP sehingga berdampak pada suksesnya KB pria di Situbondo, mencakup antara lain (1) meningkatnya komitmen Bupati, Camat, Koramil dan Ramil dalam meningkatkan peserta KB MOP dengan dikeluarkannya surat Wakil Bupati yang menetapkan target sebanyak 50 akseptor MOP/kecamatan; (2) meningkatnya dukungan APBD dengan dibangunnya gedung pelayanan KB; (3) meningkatnya komitmen camat untuk selalu mensosialisasikan MOP di setiap forum pertemuan masyarakat; (4) meningkatnya dukungan TOGA dan TOMA dengan dikeluarkannya keputusan ulama tentang KB MOP dalam pandangan hukum Islam; (5) meningkatnya ketersediaan SDM pelayanan KB MOP; dan (6) meningkatnya akses Informasi dan pelayanan program KB MOP melalui radio.

66 Foto 5.3 Pelayanan KB di Kabupaten Situbondo Sumber: Kementerian PPN/Bappenas

TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Peresmian Malaria Center di Maluku Utara oleh dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR.PH (alm.), 2010 Sumber: Kementerian Kesehatan

68

TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA 69 TARGET 6A TARGET 6B MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU HIV DAN AIDS HINGGA TAHUN 2015 MEWUJUDKAN AKSES TERHADAP PENGOBATAN HIV DAN AIDS BAGI SEMUA YANG MEMBUTUHKAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun 2015 6.1 Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi 6.2 Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir 6.3 Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS - 0,30% (2011) Menurun Kemenkes 2011 12,80% (2002/03)* Perempuan: 35% (2011)** Laki-laki: 14% (2011) ** Meningkat - 11,40 % (2010) Meningkat *BPS, SKRRI ** Kemenkes, Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kemenkes, Riskesdas 2010 Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 6.5 Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti-retroviral - 84,10% (2011) Meningkat Kemenkes Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Prevalensi HIV dan AIDs di Indonesia dilakukan melalui pemodelan matematika yang menyebutkan bahwa estimasi prevalensi HIV dan AIDs di Indonesia sebesar 0,3 persen pada tahun 2011 dan survei prevalensi yang dilakukan di Papua dan Papua Barat. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan tahun 2011 yang terlaporkan sebanyak 77.779 kasus dengan kasus HIV tertinggi yakni di Provinsi DKI Jakarta (19.899 kasus), Jawa Timur (9.950 kasus), Papua (7.085 kasus), dan Jawa Barat (5.741 kasus). Berdasarkan laporan kasus AIDS sampai dengan Desember 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sampai dengan tahun 2011 sebanyak 29.879 kasus dengan kasus AIDS tertinggi yakni Provinsi DKI Jakarta (5.117 kasus), Jawa Timur (4.598 kasus), Papua (4.449 kasus), dan Jawa Barat (3.939 kasus).

70 Gambar 6.1. Jumlah Kumulatif kasus HIV, Desember 2011 Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes 2011 6000 5000 5117 4598 4449 KASUS AIDS SAMPAI 2011 4000 3939 3000 2428 2000 1602 1269 1000 874 705 536 515 428 408 404 361 338 290 260 219 195 192 156 149 122 94 90 58 27 17 14 13 12 0 0 Gambar 6.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS, Desember 2011 Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes 2011

16 14 13 12 10 10 9 9 8 6 6 5 5 5 5 4 4 4 3 3 2 2 2 2 1 0 0 0 0-11 71 136 AIDS CASE RATE sd 2011 AIDS CASE RATE NASIONAL sd 2011 47 42 Gambar 6.3. AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan 2011 Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes 2011 Berdasarkan angka kumulatif kasus per 100.000 penduduk (AIDS case rate) dibandingkan dengan jumlah kumulatif kasus AIDS menunjukkan keadaan yang berbeda karena sebaran jumlah penduduk per provinsi yang sangat beragam. Papua menduduki urutan pertama, sedangkan DKI Jakarta dengan angka kumulatif yang jauh lebih besar menduduki urutan ke dua setelah Papua. Sementara itu Sulawesi Utara dengan hanya 261 kasus kumulatif menduduki urutan ke sembilan, lebih tinggi dibanding dengan Jawa Tengah dengan 1.602 kasus. Untuk mengendalikan laju penularan kasus HIV dan AIDS, telah dilakukan berbagai upaya pencegahan. Salah satu upaya tersebut yakni penggunaan kondom pada hubungan seksual yang berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS. Namun demikian, upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Berdasarkan hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2011 menunjukkan bahwa penggunaan kondom baru mencapai 35 persen pada pekerja seks komersial (PSK) dan 14 persen pada pelanggan PSK. Survei tersebut dilakukan di 16 Kabupaten/Kota di 10 provinsi dengan responden PSK dan dilakukan di 12 Kabupaten/Kota di 10 provinsi dengan responden pelanggan PSK. Upaya pencegahan lainnya yakni peningkatan pengetahuan penduduk melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) terkait dengan pencegahan penularan HIV dan AIDS. Upaya ini masih perlu ditingkatkan mengingat capaian persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS masih cukup rendah, yakni 11,40 persen. Dalam rangka upaya pengobatan terhadap penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut, telah diberikan pengobatan antiretroviral (ARV). Pada tahun 2009, proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang tercakup dalam Antiretroviral Theraphy (ART) sebesar 76,50 persen (19.572 ODHA) dan meningkat menjadi 84,10 persen (24.410 ODHA) pada tahun 2011. Jumlah ODHA yang mendapatkan ART semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah fasilitas Konseling dan Tes (KT) serta layanan pengobatan ARV.

72 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun. Dengan memperhitungkan masa inkubasi sejak terinfeksi hingga berkembang menjadi AIDS sekitar 5-10 tahun dan persentase pengetahuan komprehensif terkait HIV dan AIDS yang dimiliki remaja pada kelompok umur 15-24 tahun baru mencapai 11,40 persen (Riskesdas, 2010), maka kelompok remaja merupakan kelompok usia yang paling berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV dan AIDS. Dalam rangka mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS, diperlukan upaya khusus yang difokuskan pada kelompok remaja. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan remaja terkait HIV dan AIDS melalui kampanye "Aku Bangga Aku Tahu" (ABAT). Kampanye ABAT merupakan sosialisasi mengenai perilaku seksual yang harus dihindari sebelum ada komitmen yaitu pernikahan dan penyadaran tentang cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Kegiatan kampanye untuk tahap pertama dilaksanakan di 10 provinsi terpilih, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi dan Papua. Selanjutnya, akan diperluas untuk seluruh Provinsi di Indonesia. Dengan demikian diharapkan, pemerintah, dunia usaha, masyarakat, khususnya generasi muda, dapat lebih mengenal HIV dan AIDS, dapat melindungi diri dan orang lain dari risiko penularan HIV dan AIDS. Upaya lainnya yakni peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan terpadu/komprehensif HIV dan AIDS. Dengan upaya penyediaan layanan terpadu tersebut, upaya pencegahan, perawatan, dan pelayanan kasus HIV dan AIDS termasuk layanan konseling dan tes, layanan perawatan, dukungan dan pengobatan, serta pengurangan dampak buruk dapat dilakukan di satu titik layanan. Upaya terpadu ini disepakati akan diterapkan di seluruh ASEAN. Di Indonesia, pilot percontohan untuk menerapkan upaya terpadu ini telah diterapkan di Bogor, Tangerang dan Singkawang. Selain itu, jumlah layanan kesehatan untuk konseling dan tes telah ditingkatkan dari 156 pada tahun 2009 menjadi 500 layanan pada tahun 2011. Perawatan, dukungan dan pengobatan (care, support and treatment) telah ditingkatkan dari 163 menjadi 303 rumah sakit yang terdiri dari 235 RS indukdan 68 rumah sakit satelit. Penguatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS telah dilakukan melalui penerbitan berbagai peraturan daerah tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Hingga awal tahun 2011, telah terbit 10 Peraturan Daerah tingkat provinsi, 1 Peraturan Gubernur, 13 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait penanggulangan HIV dan AIDS. Peraturan-peraturan di tingkat provinsi tersebut antara lain : Perda Provinsi Jawa Timur No. 05 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Timur, Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2005 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi Riau No. 4 Tahun 2006, Perda Provinsi NTT No. 03 Tahun 2007, Perda Provinsi DKI No. 05 Tahun 2008, Peraturan Gurbernur DKI Jakarta No. 78 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi NTB No. 11 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi Kalimantan Barat No. 2 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat, Perda Provinsi Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Provinsi Sulawesi Selatan No. 04 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Sulawesi Selatan, dan Perda Provinsi DI Yogjakarta No. 12 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS serta Perda No. 8 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS. Selanjutnya, untuk peraturan daerah di tingkat Kabupaten/Kota antara lain : Perda Kabupaten Merauke No. 05 Tahun 2003, Perda Kabupaten Jayapura No. 20 Tahun 2003, Perda Kabupaten Nabire No. 18 Tahun 2003, Perda Kota Sorong No. 41 Tahun 2006, Perda Kabupaten Banyuwangi No. 06 Tahun 2007, Perda Kabupaten Gianyar No. 15 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,

Perda Kabupaten Buleleng No. 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kota Tarakan No. 06 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kabupaten Jembrana No. 01 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kabupaten Badung No. 01 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Perda Kabupaten Malang No. 14 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang, Perda Kabupaten Indramayu No. 08 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Indramayu, dan Perda Kota Cirebon No. 1 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. 73 Kotak 6.1. Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV) Desentralisasi obat ARV saat ini sedang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan obat ARV yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat, serta didukung oleh kualitas pelaporan yang baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, dinas kesehatan provinsi bertanggung jawab terhadap manajemen pelaporan rumah saki dan distribusi obat ARV didaerahnya. Stok obat dan buffer obat akan ditempatkan di dinas kesehatan provinsi sehingga mempermudah proses distribusi dan redistribusi ARV di dalam wilayah provinsi. Model desentralisasi yang dikembangkan di setiap daerah berbeda tergantung karakteristik masingmasing daerah. Desentralisasi obat ARV dimulai tahun 2010 dan saat ini ada 5 provinsi yang telah melakukan desentralisasi obat ARV antara lain; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua. Melalui desentralisasi, dinas kesehatan provinsi mengetahui dan mampu mengatur distribusi ARV di wilayahnya. Selain itu, pelaksanaan desentralisasi jugameningkatkan akurasi laporan di RS, mencegah terjadinya stock out, serta mengurangi waktu lead time distribusi ARV dari 5 hari menjadi 2-3 hari. Desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan koordinasi antara institusi terkait dan mempermudah evaluasi provinsi terhadap masalah-masalah yang ada di daerahnya khususnya dalam masalah manajemen pelaporan dan pengelolaan logistik obat ARV.

Nusa Tenggara Timur Papua Papua Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Maluku Kalimantan Tengah Sumatera Utara Bengkulu Sulawesi Utara Jambi Kalimantan Timur Lampung Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bangka Belitung Maluku Utara Nusa Tenggara Barat Kepulauan Riau Sulawesi Barat Gorontalo Aceh Sumatera Selatan Riau Sumatera Barat Jawa Barat Jawa Tengah Banten Jawa Timur DI Yogyakarta Bali DKI Jakarta 74 TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.6 6.7 6.8 66.a Angka kejadian dan tingkat kematian akibat malaria Angka kejadian malaria (per 1,000 penduduk) Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Proporsi anak balita dengan demam yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat 4,68 (1990) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN - - 1,75 (2011) 16,50% (2010) 34,70% (2010) Menurun Meningkat Kementerian Kesehatan 2011 Kemenkes, Riskesdas 2010 Meningkat Riskesdas 2010 Upaya pengurangan angka kejadian malaria sudah menunjukkan keadaan yang positif. Terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 1990 sampai 2011, yaitu dari 4,68 per 1.000 penduduk beresiko menjadi 1,75 per 1.000 penduduk. Menurut hasil Riskesdas 2010 Angka Kejadian Malaria sebesar 2,40 persen yang diperoleh dengan wawancara. Namun demikian, dalam angka mutlak cukup besar, yaitu 256.592 orang penderita dan hanya Provinsi DKI Jakarta yang tidak ditemukan kejadiannya. Keragaman angka kejadian malaria sangat besar, namun terkonsentrasi pada 3 provinsi endemik, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Angka kejadian malaria berkisar dari yang terendah, yaitu Bali dengan hanya 7 kejadian dan tertinggi adalah 3 provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat dengan masing-masing 69.645, 66.577, dan 25.287 kejadian. Pada ketiga provinsi ini proporsinya sudah mencakup hampir 63 persen dari seluruh kejadian pada tahun 2011. 75.000 69.465 66.577 50.000 25.000 0 25.287 8.613 8.613 7.914 6.663 6.661 6.356 6.355 6.175 5.028 3.744 3.523 3.140 3.136 2.667 2.450 2.352 2.331 2.247 2.045 1.973 1.430 957 743 517 196 88 45 14 7 0 Gambar 6.4. Keragaman Angka Kejadian Malaria, 2011 Sumber : Kementerian Kesehatan, 2011

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN 75 Di Indonesia kejadian penyakit malaria dan Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria sangat berkaitan erat dengan beberapa hal sebagai berikut: yaitu (i) Adanya perubahan lingkungan yang berakibat meluasnya tempat perindukan nyamuk penular malaria; (ii) Mobilitas penduduk yang cukup tinggi; (iii) Perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan lebih panjang dari musim kemarau; (iv) Situasi ekonomi yang berkepanjangan memberikan dampak pada daerah-daerah tertentu dengan adanya masyarakat yang mengalami masalah gizi sehingga lebih rentan untuk terserang malaria; (v) Tidak efektifnya pengobatan karena terjadi resisten klorokuin dan meluasnya daerah resisten; (vi) Menurunnya perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap upaya penanggulangan malaria secara terpadu. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada tahun 2030 terdapat delapan kegiatan utama. Kegiatan pertama adalah peningkatan kualitas dan akses terhadap penemuan dini dan pengobatan malaria. Kedua, menjamin kualitas diagnosis malaria melalui pemeriksaan laboratorium maupun Rapid Diagnostic Test (RDT). Ketiga, perlindungan terhadap kelompok rentan terutama ibu hamil dan balita di daerah endemis tinggi. Keempat, penguatan penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan surveilans kasus malaria. Kelima,intervensi vektor termasuk surveilans vektor. Keenam, penguatan sistem pengelolaan logistik Malaria. Ketujuh, penguatan SDM. Kedelapan, penelitian operasional. Dalam upaya mengurangi angka kejadian malaria terutama di daerah endemis tinggi,upaya pencegahan dan pengobatan merupakan kunci utama. Salah satu upaya pencegahan penyebarluasan malaria adalah mengurangi penularan malaria melalui perlindungan kepada kelompok usia rentan, yaitu bayi, anak-anak usia balita, serta ibu hamil dari gigitan nyamuk penular malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Berdasarkan data yang ada proporsi balita pada kelompok ini mengalami peningkatan menjadi 16,50 persen. Sedangkan upaya penyembuhan anak balita dengan positif malaria yang diobati dengan obat anti-malaria yang tepat mencapai 34,70 persen pada tahun 2010. Kotak 6.2. Upaya Malaria Center di Maluku Utara memerangi malaria dalam rangka percepatan pencapaian Goal 6 MDG dan menuju eliminasi 2020 Wilayah Maluku Utara 76,27 persen berupa perairan dan sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir, yang kebanyakan adalah bekas rawa dengan banyak genangan air. Situasi ini ideal bagi kembang biak nyamuk malaria. Tak heran bila banyak daerah di Maluku Utara, termasuk Halmahera Selatan menjadi daerah endemis Malaria. Malaria merupakan permasalahan utama kesehatan masyarakat di Maluku Utara khususnya Halmahera Selatan. Kejadian Luar Biasa akibat serangan malaria di Halmahera Selatan terjadi pada tahun 2003 hingga 2007 dengan jumlah kematian sebesar 268 jiwa. Bahkan pada tahun 2005, Halmahera Selatan mengalami angka insiden tahunan malaria tertinggi, yaitu 80,2 permil. Masalah malaria tersebut telah menjadi masalah sosial kemasyarakatan sehingga menjadi tanggung jawab lintas sektor dan seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, diperlukan wadah untuk menghimpun dan menggerakkan, mengkoordinasikan serta mensinergikan segenap potensi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menanggulangi malaria yang melahirkan ide pembentukan Malaria Center atau Pusat Pengendalian Malaria. Ide pembentukan Malaria Center dicetuskan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara, yang langsung ditindaklanjuti dengan dukungan Instruksi Gubernur Maluku Utara No. 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Pusat Pengendalian

76 Malaria (Malaria Center) di wilayah Provinsi Maluku Utara. Malaria Center merupakan lembaga koordinatif dibawah koordinasi Kepala Daerah/Bupati untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang terbebas dari penularan malaria. Di Halmahera Selatan, Malaria Center dibentuk pada tanggal 8 Desember 2004 dengan Keputusan Bupati Halmahera Selatan No. 168 Tahun 2004, Peresmian gedung Malaria Centre dilakukan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 24 April 2010. Dalam melakukan kegiatan pengendalian malaria maka pendekatan yang dilakukan di Malaria Center menuntut keterlibatan dari masyarakat pada seluruh proses dengan berasaskan partisipasi merupakan kunci untuk memenangkan perang terhadap malaria. Program ini melatih dua kader pejuang malaria dari setiap desa untuk mengenal apa itu malaria, melakukan musyawarah penyusunan Rencana Kegiatan Masyarakat dalam memerangi malaria dan membentuk Komite Malaria Desa. Dengan cara ini masyarakat desa mendapatkan edukasi tentang malaria dan selanjutnya dapat melakukan pemberantasan malaria berbasis masyarakat sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan mereka menjadi lebih sehat. Selain itu pemerintah daerah juga memberi dukungan melalui Alokasi Dana Desa Khusus Malaria. Selain itu, Malaria Center juga difungsikan sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi balita. Bekerjasama dengan posyandu di tingkat desa dan dibantu oleh kader-kader posyandu, center ini melakukan pemeriksaan berkala dan diagnosis cepat malaria bagi ibu hamil dan balita, memasyarakatkan penggunaan kelambu berinsektisida bagi ibu hamil dan anak yang telah menerima imunisasi lengkap. Integrasi pencegahan dan pengobatan malaria dengan layanan kesehatan ibu dan balita adalah keunikan Malaria Center. Di Maluku Utara terjadi penurunan kesakitan malaria yang cukup signifikan. Angka insiden malaria tahunan turun dari 80 per 1.000 (tahun 2005) menjadi 40,2 per 1.000 pada tahun 2010. Selain itu angka parasit malaria pada anak usia kurang dari 9 tahun (parasite rate) juga mengalami penurunan dari 58,70 persen (2007) menjadi 41,50 persen (2010). Selanjutnya kematian akibat malaria turun dari 205 orang (2003) menjadi 1 orang korban meninggal pada tahun 2010. Foto 6.1 Kegiatan pencidukan larva Anopheles ( PLA) Sumber : Kemenkes

TARGET 6C MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015 77 Indikator Acuan dasar Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.9 6.9a 6.9b 6.9c 6.10 6.10a 6.10b Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis Angka kejadian Tuberkulosis(semua kasus/100.000 penduduk/tahun) Tingkat prevalensi Tuberkulosis(per 100.000 penduduk) Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per 100.000 penduduk) Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS 343 (1990) 443 (1990) 92 (1990) 20,0% (2000)* 87,0% (2000)* 289 (2011) 27 (2011) 83,48% (2011)** 90,3% (2011)** 189 (2011) Dihentikan, mulai berkurang Laporan TB Global WHO, 2011 70,0% *Laporan TB Global WHO, 2009 **Laporan Kemenkes 85,0% 2011 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Hasil Program Pengendalian TB menunjukkan peningkatan capaian. Terlihat peningkatan Angka penemuan kasus (Case Detection Rate, CDR) dari 20,0 persen pada tahun 2000 menjadi 83,48 persen pada tahun 2011. Usaha untuk mencapai hasil ini dimulai sejak tahun 1996, dimana pada tahun itu CDR hanya mencapai 4,6 persen (Gambar 6.3). Pengobatan TB memerlukan waktu sekitar 6-8 bulan, sehingga untuk mendapatkan angka keberhasilan pengobatan Succes Rate (SR) diperlukan waktu untuk evaluasi selama 9-12 bulan, maka pasien yang berobat pada tahun 2010 baru dapat dilaporkan pada tahun 2011. SR pada tahun 2000 mencapai 87,0 persen dan terjadi peningkatan sampai dengan 90,3 persen pada tahun 2011. Kedua indikator tersebut merupakan sasaran dari MDGs, dan telah melampaui target MDGs (masing-masing 70 dan 85 persen). Indonesia adalah negara pertama dari 22 High Burden TB Countries di wilayah Asia Tenggara yang mencapai target global yaitu CDR 70 persen dan SR 85 persen pada tahun 2005. Selain itu keberhasilan pengendalian TB ini juga ditunjukkan oleh penurunan angka kejadian TB yang diukur dengan jumlah kasus per 100.000 penduduk per tahun, tingkat prevalensi dan tingkat kematian TB. Angka kejadian TB menurun drastis dari 343 kejadian per 100.000 penduduk pada tahun 1990 menjadi hanya 189 kejadian 20 tahun kemudian. Tingkat prevalensinya juga menurun dari 443 kejadian per 100.000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 289 pada tahun 2010. Sementara itu tingkat kematian karena penyakit ini juga menurun dari 92 kejadian per 100.000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 27 pada tahun 2010.

Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Riau Nusa Tenggara Barat Maluku Utara Papua Barat Kepulauan Riau Nusa Tenggara Timur Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Lampung DI Yogjakara Aceh Kalimantan Barat Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Bangka Belitung Papua Bengkulu Jawa Tengah Sumatera Barat Sulawesi Barat Jawa Timur Jambi Bali Jawa Barat Sumatera Utara Banten Gorontalo Sulawesi Tenggara Indonesia Maluku DKI Jakarta Sulawesi Utara 33.07 35.25 35.58 38.18 39.10 39.14 42.20 40.44 41.49 44.10 46.04 48.70 49.33 50.15 50.73 51.95 52.45 54.98 56.83 57.00 57.70 57.83 59.74 64.66 67.43 68.38 75.94 77.67 77.93 79.17 80.56 83.47 84.31 86.20 111.04 47.30 53.30 76.60 73.30 66.00 63.80 77.40 75.80 78.00 89.00 86.40 88.50 87.40 90.90 88.00 87.30 79.50 88.80 82.90 81.60 74.00 72.60 70.00 56.90 85.80 85.60 89.40 85.80 89.30 88.30 87.40 85.70 83.70 92.10 87.20 82.30 76.80 80.90 75.90 69.50 92.00 83.40 93.60 84.60 94.60 94.30 93.10 92.90 93.90 88.90 89.10 90.60 87.80 89.10 91.50 90.60 93.50 87.60 92.30 94.40 94.40 96.20 93.20 90.30 89.80 82.60 94.90 78 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 CDR & Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, Indonesia 1996-2011*) 91.00 87.00 89.50 91.00 91.00 91.00 91.00 91.20 86.00 86.10 86.70 90.3 81.00 73.80 83.5 78.3 75.7 58.00 72.8 73.1 54.00 68 69.8 54 37.6 30.6 19 20 21 12 7.5 4.6 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011*) SR CDR Gambar 6.5. Kemajuan penemuan kasus dan pengobatan 1996-2011 Sumber: Kementerian Kesehatan Hasil kegiatan TB di tingkat provinsi sangat beragam (Gambar 6.4). Keragaman ini terjadi pada baik pada tingkat penemuan kasus baru maupun pada keberhasilan pengobatan dan kesembuhannya antarprovinsi. Angka penemuan kasus baru pada tahun 2011 beragam dari 33,1 persen (terjadi di Kalimantan Tengah) sampai tiga kali lipat yaitu 111,0 persen di Sulawesi Utara. Selanjutnya, angka keberhasilan pengobatan beragam dari 56,9 persen (Papua Barat) sampai hampir semuanya berhasil, yaitu 96,2 persen (Gorontalo). Sementara itu, angka kesembuhan berkisar dari 42,2 persen (Papua Barat) sampai lebih dari dua kali lipat, yaitu 92,2 persen (Sulawesi Utara). 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 New Cases of pulmonary TB BTA positive Cured Rate Succed Rate Gambar 6.6. Keragaman angka penemuan kasus baru Tuberkulosis, keberhasilan pengobatan dan kesembuhan, 2011. Sumber : Laporan Kementerian Kesehatan 2011

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN 79 Berbagai upaya penting telah dilaksanakan dalam menurunkan angka kesakitan TB, yaitu dengan peningkatan penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang ditemukan tersebut. Upaya-upaya tersebut diwujudkan dalam upaya terobosan, antara lain: (i) Memasukkan strategi DOTS dalam Akreditasi Rumah Sakit dan pelaksanaan Surat Tanda Register (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai unsur penilaian, untuk 33 provinsi; (ii) Inisiasi penggunaan Rapid Diagnostic Test dalam pemeriksaan TB, dengan Implementasi metode Line Probe Assay (LPA)/HAIN test di Laboratorium Mikrobiologi FKUI dan Laboratorium Mikrobiologi RS Dr. Soetomo serta RS Labuang Baji Makassar; (iii) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium National Tuberculosis Referral Laboratory (NTRL (iv) Pengajuan prakualifikasi obat TB ke WHO; (v) Inisiasi penerapan tes tuberkulin untuk mendukung diagnosis TB pada anak di 33 provinsi; (vi) Penggunaan 17 GeneXpert sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di RS Adam Malik, Lab Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS Moewardi Solo, RS Karjadi, Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS Labuan Baji, BBLK Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (vii) Kerjasama dengan Asuransi Kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB dengan DOTS bagi seluruh pasien TB yang ditangani serta pengembangan skema pembiayaan berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3 BUMN; (viii) Pelaksanaan Survei Nasional Prevalens TB di 33 provinsi; (ix) Perluasan pelayanan Pasien TB resistan obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap; (x) Penyusunan exit strategy program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap dana donor. Selain itu, ditetapkan juga Strategi Nasional Pengendalian TB yang merupakan upaya untuk mencapai semua tujuan dengan penjabaran strategi pada Rencana Aksi Nasional. Pertama, meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani TB, MDR-TB, TB anak, dan masyarakat miskin serta rentan lainnya. Ketiga, melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat, dan swasta mengikuti International Standards of TB Care. Keempat, memberdayakan masyarakat dan pasien TB. Kelima, memperkuat sistem kesehatan, termasuk pengembangan SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategik. Pada dasarnya upaya pengendalian penyakit menular khususnya TB di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan dana APBN dan APBD, akan tetapi seringkali dana yang tersedia tidak mencukupi. Oleh karena itu, dana tersebut ditambah atau dilengkapi dengan dana bantuan luar negeri yang berupa hibah (grant) atau pinjaman (loan). Pada masa bakti Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009) dan Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), kebijakan Kementerian Kesehatan adalah tidak menerima bantuan berupa pinjaman, hal tersebut didasarkan dengan beberapa pertimbangan yang dirasakan akan memberatkan pemerintah jika pinjaman tersebut diterima. Untuk bantuan hibah ada beberapa yang diterima di Indonesia untuk mendukung pelaksanaan Program Pengendalian TB diantaranya adalah dari The Global Fund ATM, Pemerintah Amerika (USAID), Pemerintah Canada (CIDA) dll. Sampai dengan saat ini The Global Fund (TGF) merupakan salah satu donor yang mendukung pendanaan kegiatan pengendalian TB, dan manfaat dukungan dari TGF tersebut terlihat dalam pencapaian hasil kegiatan. Pencapaian CDR tahun 2000 hanya 20 persen dan meningkat seiring dengan adanya dukungan dana dari TGF ataupun donor yang lain (USAID dan CIDA), dukungan dana yang komprehensif tersebut untuk mendukung kegiatan penemuan dan pengobatan kasus TB sesuai strategi DOTS, CDR bisa meningkat cukup signifikan sampai mencapai target global yaitu diatas 70 persen pada tahun 2005. Adanya dukungan dana tersebut juga secara perlahan mendorong peningkatan kontribusi pendanaan pemerintah, sehingga

80 pada tahun 2010 pemerintah pusat mampu menyediakan dana 100 persen kebutuhan obat lini pertama, tahun 2011 mulai ada alokasi dukungan untuk pengadaan reagensia Ziehl Neelsen yang mengcover sekitar 20 persen dari total kebutuhan nasional. Hibah TGF-ATM untuk Pengendalian TB di Indonesia dimulai pada tahun 2003. Indonesia telah mendapat dana hibah TGF-ATM komponen TB untuk 3 proyek yaitu (1) Ronde 1 : Strengthening DOTS Expansion in Indonesia (tahun 2003); (2) Ronde 5 : Equitable Quality DOTS for all (tahun 2007); (3) Ronde 8 : Consolodating Progress and Ensuring DOTS for All(tahun 2009). Total dana yang didapatkan dari 3 ronde tersebut adalah USD 113,858,142. Untuk Ronde 8, penerima dana hibah GF- ATM Komponen TB terdiri dari : Kementrian Kesehatan RI, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) sebesar USD 6,200,769 dan Aisyiyah sebesar USD 5,816,935. Pemanfaatan dana hibah GF ATM Komponen TB : Ronde 1. Kegiatan utama adalah : (1) Mempromosikan Strategi DOTS; (2) Memperkuat sistem manajemen di tingkat provinsi dan kab/kota; (3) Meningkatkan kapabilitas unit kesehatan untuk mengimplementasikan DOTS; (4) Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM; (5) Memperkuat kemitraan; (6) Mengembangkan laboratorium TB dan jejaringnya; (7) Memperkuat manajemen OAT; (8) Membangun kemitraan dan memperkuat CBA; (9) Membangun hubungan antar fasyankes; (10) Mendukung implementasi survei resistensi obat (DRS); (11) Memperluas PPM untuk meningkatkan aksesibilitas pasien ke pelayanan DOTS; (12) Memperbaikin pencatatan dan pelaporan dengan meningkatkan supervisi dan monitoring; (13) Mengembangkan kolaborasi TB HIV; dan (14) Mendukung riset operasional. Ronde 5. Kegiatan utama adalah : (1) Memperkuat sistem manajemen di tingkat provinsi dan kab/kota; (2) Pengembangan Rencana kerja tahunan dan anggaran; (3) Meningkatkan program HDL; (4) Supervisi dan monitoring terhadap semua kegiatan prgram; (5) Perbaikan dan peningkatan manajemen kasus; (6) Penguatan jejaring laboratorium; (7) DRS; (8) Memperluas DOTS ke area terpencil dan kelompok rentan; (9) Tatalaksana TB anak; (10) Penanganan TB Resistan Obat dan pelaksanaan DOTS Plus; (11) Meningkatkan kegiatan Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial (AKMS); (12) Melakukan survei seroprevalens; (13) Meningkatkan kolaborasi TB HIV; dan (14) Mengembangkan koordinasi dan kemitraan. Ronde 8. Kegiatan utama adalah : (1) Penguatan Manajemen program di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota; (2) Pertemuan Monitoring dan Evaluasi program di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota; (3) Kunjungan supervisi; (4) Penilaian jaga mutu eksternal untuk lab TB; (5) Pelatihan supervisor TB dan petugas kesehatan di semua fasyankes; dan (6) Survey pengetahuan, sikap dan perilaku.

Kotak 6.3. Peran serta masyarakat dalam pengendalian TB melalui Pos TB desa 81 Foto 6.2. Kader kesehatan di Kabupaten Maumere (Provinsi NTT) dan Kabupaten Sentani (Provinsi Papua) sedang berdiskusi dengan petugas kesehatan untuk kegiatan layanan TB Desa yang merupakan bagian kegiatan UKBM. Beberapa tahun terakhir ini, pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya banyak indikator penting dalam pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses pelayanan kesehatan semakin baik, pendanaan semakin memadai, dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, serta semakin banyak upaya inovatif yang dilakukan. Salah satu upaya inovatif adalah Integrasi layanan TB pada Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM). Kegiatan ini merupakan salah satu sarana mendekatkan akses pelayanan TB yang berkualitas untuk masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat di desa. Kegiatan dilaksanakan di Poskesdes, sebagai koordinator UKBM, dan menjadi bagian dari kegiatan Desa Siaga/Desa Sehat. Kegiatan-kegiatan pelayanan TB yang dapat dilakukan melalui UKBM, diantaranya adalah: penyuluhan TB, identifikasi suspek TB, rujukan suspek TB ke fasilitas pelayanan kesehatan, pengawasan pengobatan pasien TB, pelacakan kasus mangkir, pemberian (penyimpanan obat TB), pencatatan dan pelaporan sederhana, pemetaan pasien TB di wilayah Desa Siaga, serta pemitraan, pelibatan sektor lain, dll. Saat ini integrasi pelayanan TB melalui UKBM telah dilaksanakan di Provinsi Lampung, Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat, Jambi dan Papua. Pada tahun 2012 ini diperluas ke Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, NTT, dan Gorontalo.

82

TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 83 Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum

84 Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP 85 TARGET 7A MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan 7.1 Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan 7.2 Jumlah emisi karbon dioksida (CO 2 ) 7.2a Jumlah konsumsi energi primer (per kapita) 7.2b Intensitas energi 59,97% (1990) 1.377.983 Gg CO2e (2000) 2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/ USD 1,000 (1990) 52,52% (2010) 1.791.372 GgCO 2 e (2005) 4,95 (2010) 4,61 SBM/ USD 1,000 (2010) Meningkat Berkurang 26% dari BAU (2020) Menurun dari kondisi BAU 6,99 Menurun 7.2c Elastisitas energi 0,98 (1991) 1,6 (2010) Menurun 7.2d 7.3 7.4 7.5 7.6 Bauran energi untuk energi terbarukan Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial 3,5% (2000) 5,00 % (2010) - 8.332,7 metrik ton BPO (1992) 66,08% (1998) 26,40% (1990) 0,14% (1990) * Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 0 CFC, Halon, CTC, TCA, me-til bromida 6.689,21 metrik ton HCFC (2010) 98,86 % (2011) 27,54% (2010) 4,97% (2011)** 0 CFCs dengan mengurangi HCFCs Tidak melebihi batas Meningkat Meningkat Kementerian Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kelautan & Perikanan Kementerian Kehutanan * Kementerian Kehutanan ** Kementerian Kelautan & Perikanan - Pada laporan MDGs 2010, acuan dasar dan data terbaru dari indikator jumlah emisi karbon dioksida merupakan data sementara, yaitu acuan dasar 1.416.074 Gg CO 2 e (2000) dan data terbarunya 1.711.626 Gg CO 2 e (2008). Pada laporan MDGs 2011 ini, acuan dasar yang paling baru adalah 1.377.983 Gg CO 2 e (2000) dan data terbarunya adalah 1.791.372 GgCO 2 e (2005). - Pada tahun 1992 BPO meliputi CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida. Target 2015: mengurangi konsumsi HCFC hingga 10% dari acuan dasar (tingkat konsumsi 2009-2010)

86 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Kelestarian lingkungan hidup merupakan prasyarat utama bagi kesejahteraan dan keberlangsungan kehidupan manusia. Kesejahteraan manusia dipenuhi melalui pembangunan, namun pembangunan itu harus dilaksanakan dengan tidak merusak lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dapat mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan yang dapat berdampak pada menurunnya kapasitas pemenuhan kebutuhan manusia untuk kesejahteraan. Untuk menjaga keberlanjutan kesejahteraan manusia, diperlukan upaya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan tiga pilar pembangunan (sosial, ekonomi, dan lingkungan). Dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan berbagai kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang selaras dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Melalui kebijakan tersebut diharapkan pembangunan yang dilaksanakan pada saat ini tetap dapat memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Untuk itu, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah diarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014. Selain itu, upaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik juga terus diupayakan. Salah satunya melalui pendidikan lingkungan untuk generasi muda melalui Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development). Keberhasilan dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan nasional antara lain ditunjukkan oleh indikator-indikator seperti luas kawasan yang masih tertutup pepohonan, intensitas penangkapan ikan, emisi karbon dioksida, pemakaian energi dan bahan perusak ozon. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan diindikasikan oleh rasio luas kawasan tersebut terhadap luas daratan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara. Pemakaian energi diindikasikan oleh jumlah konsumsi energi primer per kapita, intensitas energi, elastisitas energi, dan bauran energi untuk energi terbarukan. 75% 50% 25% 0% 59,97% 48,97% 49,98% 1990 2002 (citra satelit 1999/2000) 2005 (citra satelit 2002/03) 52,43% 52,52% 2008 (citra satelit 2005/06) 2010 Gambar 7.1. Persentase tutupan hutan dari luas daratan Sumber: Kementerian Kehutanan Rasio luas kawasan yang masih tertutup pepohonan terhadap luas daratan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara telah diupayakan kembali ke acuan dasar tahun 1990 namun masih diperlukan upaya yang keras untuk mencapainya. Penurunan drastis rasio dari keadaan pada tahun dasar 1990 diupayakan dinaikkan kembali sejak tahun 2002. Upaya pelestarian dan pemulihan hutan telah ditingkatkan sejak tahun 2002, antara lain melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Rasio tutupan hutan telah meningkat secara signifikan dari 48,97 persen pada tahun 2002 menjadi 52,52 persen pada tahun 2010 (Gambar 7.1). Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Selain berbagai upaya tersebut telah dilakukan pula pengetatan standar gas buang dan berbagai upaya penyadaran para pemangku kepentingan dan masyarakat terhadap pentingnya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) utamanya karbon dioksida. Upaya-upaya tersebut telah berhasil menurunkan intensitas pemakaian energi secara bertahap. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio pemakaian energi terhadap PDB dari 5,28 SBM per US$ 1.000 PDB pada tahun 1990 menjadi 4,61 SBM per US$ 1.000 pada tahun 2010. Walaupun Indonesia telah berhasil meningkatkan efisiensi pemakaian energi dalam pembangunan, namun jumlah pemakaian energi primer per kapita ternyata telah meningkat hampir dua kali lipat. Konsumsi energi primer tersebut meningkat pesat dari 2,64 BOE per kapita pada tahun 1991 menjadi 4,95 BOE pada tahun 2010. Hasil inventarisasi emisi GRK menunjukkan peningkatan emisi dari 1.377.983 Gg CO 2 e pada tahun 2000, menjadi 1.791.372 GgCO 2 e di tahun 2005. Sementara itu, dengan tanpa memasukkan emisi dari sektor kehutanan (Land use, land use change and forestry LULUCF), total emisi GRK dari tiga jenis GRK utama (CO 2, CH 4, N 2 O) pada tahun 2000 telah mencapai 556.728,78 Gg CO 2 e. Emisi GRK terdistribusi tidak merata antara ketiga jenis GRK utama. Emisi CO 2 sebesar 1.112.878,82 Gg, mewakili 80,80 persen emisi GRK nasional; emisi metana (CH 4 ) sebesar 236.617,97 Gg (CO 2 e) atau 17,20 persen, dan emisi dinitro oksida (N 2 O) sebesar 28.341,02 Gg (CO 2 e) atau 2,00 persen. Sektor pengemisi GRK utama adalah alih guna lahan dan kehutanan, diikuti oleh energi, emisi dari kebakaran gambut, limbah, pertanian dan industri. Upaya penurunan emisi GRK ini terus diupayakan di tahun-tahun mendatang dengan pelaksanaan pembangunan rendah karbon berdasarkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) yang telah ditetapkan berdasarkan Perpres No. 61 Tahun 2011. Tabel 7.1 Ringkasan emisi GRK nasional tahun 2000 (dalam Gg CO 2 e) CO 2 CH 4 N 2 O PFC Total Energy 247.522,25 30.174,69 3.240,64 NO 280.937,58 Industrial Process 40.342,41 2.422,73 133,22 145,15 43.043,52 Agriculture 2.178,30 50.800,18 22.441,25 NO 75.419,73 LUCF 1 821.173,35 56,35 24,47 NO 821.254,17 Waste 1.662,49 153.164,02 2.501,45 NO 157.327,96 Total 1.112.878,82 236.617,97 28.341,02 145,15 1.377.982,95 Sumber: Indonesia Second National Communication under the UNFCCC (KLH, 2010) Tabel 7.2 Ringkasan emisi GRK tahun 2000-2005 untuk semua sector (dalam Gg CO 2 e) Sumber 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Energy 280.937,58 306.774,25 327.910,62 333.950,21 372.123,28 369.799,88 Industrial Process 43.043,52 49.810,15 43.716,26 47.901,63 47.985,20 48.733,38 Agriculture 75.419,73 77.500,80 77.029,94 79.828,80 77.862,54 80.179,31 LUCF 649.254,17 560.546,00 1.287.494,79 345.489,33 617.423,23 674.828,00 Peat Fire 172.000,00 194.000,00 678.000,00 246.000,00 440.000,00 451.000,00 Waste 157.327,96 160.817,76 162.800,37 164.073,89 165.768,82 166.831,32 Total With LUCF & Peat Fire 1.377.982,95 1.349.448,96 2.576.951,98 1.217.243,86 1.721.193,07 1.791.371,89 Total Without LUCF & Peat Fire 556.728,78 594.902,96 611.457,19 625.754,53 663.769,84 665.543,89 Sumber: Indonesia Second National Communication under the UNFCCC (KLH, 2010) 87 Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

88 Konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO) diatur dalam kesepakatan internasional melalui Konvensi Wina dan Protokol Montreal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada Juni 1992. Indonesia diklasifikasikan sebagai Article-5 pada Protokol Montreal berdasarkan perhitungan Konsumsi BPO hanya 0,3 kg per kapita. Sebagai Negara Article-5, Indonesia memiliki kewajiban menghapuskan penggunaan BPO sesuai jadwal yang telah ditetapkan oleh Protokol Montreal. Indonesia telah berhasil memenuhi komitmen untuk menghapus impor beberapa BPO, yaitu Chlorofluorocarbons (CFCs), Halon, Carbon tetrachloride (CTC), Methyl chloroform (TCA), Methyl bromide (untuk nonkarantina dan pra-pengapalan) pada akhir 2007, atau dua tahun lebih awal dari jadwal penghapusan negara Article-5. Negara pihak Protokol Montreal melalui sidang Negara Pihak ke-19 sepakat untuk mempercepat jadwal penghapusan konsumsi Hydrochlorofluorocarbons (HCFCs) yang merupakan bahan alternatif pengganti CFCs sesuai dengan keputusan XIX/6. Negara Article-5 memiliki kewajiban untuk memenuhi target pembekuan pada tahun 2013 yaitu kembali ke angka baseline. Angka baseline merupakan rata-rata konsumsi tahun 2009 dan 2010, diikuti dengan pengurangan konsumsi HCFCs 10,00 persen pada tahun 2015, pengurangan 35,00 persen pada tahun 2020, pengurangan 67,50 persen pada tahun 2025 dan penghapusan konsumsi 97,50 persen pada tahun 2030 serta diperbolehkan untuk mengkonsumsi HCFCs 2,50 persen jika diperlukan untuk kegiatan servis peralatan yang masih menggunakan HCFCs sampai dengan tahun 2040. Dari sisi lain, dalam kerangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan pada pembangunan nasional, proporsi tangkapan ikan harus dipertahankan untuk berada dalam batasan biologis yang aman. Walaupun proporsi tersebut mengalami kenaikan, namun masih dapat dikendalikan untuk tidak melebihi 100 persen dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC). Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) sumber daya perikanan tangkap tahun 2011 diperkirakan 6,4 juta ton per tahun, sedangkan potensi yang dapat dimanfaatkan (Total Allowable Catch/jumlah tangkapan yang diperbolehkan/jtb)) adalah 80 persen dari MSY atau sebesar 5,12 juta ton. Proporsi tangkapan ikan tersebut meningkat dari 66,08 persen pada tahun 1992 menjadi 98,86 persen pada tahun 2011. Dalam pengelolaan sumber daya ikan, wilayah perairan Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Walaupun secara total produksi perikanan tidak melampaui TAC, ada beberapa WPP telah mengalami over exploitation, sehingga prinsip kehati-hatian tetap akan menjadi pedoman dalam setiap pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya di laut. Pemastian kelestarian lingkungan hidup juga harus dilakukan dengan terus meningkatkan rasio kawasan lindung baik di darat maupun di perairan laut. Hal ini dilakukan untuk selain melindungi kawasan dari perubahan penggunaan ke arah eksploitasi namun juga untuk melestarikan fungsi ekosistem kawasan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kelestarian lingkungan hidup di darat diindikasikan oleh rasio luas kawasan hutan lindung terhadap total luas kawasan hutan untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, sedangkan di laut diindikasikan oleh rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup telah menunjukkan hasil yang nyata. Di tengah gempuran upaya untuk mengubah hutan lindung menjadi kawasan yang lebih produktif untuk kepentingan saat ini, rasio luas kawasan hutan lindung terhadap total luas kawasan hutan telah meningkat. Rasio tersebut meningkat dari 26,40 persen pada tahun 1990 menjadi 27,54 persen pada tahun 2010. Angka 27,54 persen tersebut adalah rasio luas kawasan lindung terhadap total luas daratan, bukan terhadap total luas kawasan hutan Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Sementara itu, rasio kawasan konservasi/lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial juga meningkat dengan cepat. Rasio tersebut yang semula 0,14 persen pada tahun 1990 meningkat menjadi 4,97 persen pada tahun 2011 atau menjadi seluas 15,41 juta hektar. Tabel luasan kawasan konservasi perairan dapat dilihat dalam tabel 7.3. Peningkatan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi perairan ini merupakan bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk mendukung MDGs dan pembangunan berkelanjutan. Tabel 7.3. Kawasan Konservasi Perairan Tahun 2011 No Kawasan Konservasi Jumlah Kawasan Luas (Ha) A Inisiasi Kementerian Kehutanan 32 4.694.947,55 Taman Nasional laut 7 4.043.541,30 Taman Wisata Alam Laut 14 491.248,00 Suaka Margasatwa Laut 5 5.678,25 Cagar Alam Laut 6 154.480,00 B Inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan 71 10.720.117,91 Taman Nasional Perairan 1 3.521.130,01 Suaka Perairan 3 453,23 Suaka Alam Perairan 3 445.630,00 Taman Wisata Perairan 6 1.541.040,20 Daerah Perlindungan Laut/Mangrove 2 2.085,90 C Pemerintah Daerah 56 5.209.778,57 Jumlah Total 103 15.415.065,46 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan 89

90 Kotak 7.1. Indonesia HCFC Phase-Out Management Plan (HPMP) Konvensi Wina dan Protokol Montreal merupakan kesepakatan internasional yang mengatur konsumsi Bahan Perusak Ozon (BPO). Setelah Negara Pihak berhasil menghapuskan CFCs, penggunaan CFCs digantikan dengan bahan kimia Hydrocholorfluorocarbons (HCFCs). Salah satu BPO yang diatur produksi dan konsumsinya saat ini adalah HCFCs karena bahan kimia ini selain memiliki dampak merusak lapisan ozon juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Proposal HCFC Phase-out Management Plan Stage-1 Indonesia telah disetujui pada pertemuan Executive Committee for the Implementation of the Montreal Protocol yang ke 64 bulan Juli 2011. Dalam proposal tersebut telah disepakati strategi penghapusan HCFCs pada sektor Air Conditioning, refrigerasi, dan foam untuk tahap pertama tahun 2011-2018. Jenis HCFC yang menjadi prioritas penghapusan di Indonesia adalah HCFC-22 dan HCFC-141b. Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan upaya yang signifikan untuk menekan lajunya pertumbuhan konsumsi HCFCs yang dapat mendukung pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26,00 persen dari level business as usual pada tahun 2020. Berbagai upaya yaitu menetapkan regulasi dan kebijakan dengan interaksi reguler dengan kementerian terkait, perwakilan industri, dan lembaga pelaksana untuk pengawasan dan pengendalian jumlah BPO yang masuk ke Indonesia dapat diimplementasikan dengan menetapkan kuota impor BPO. Indonesia telah mengatur kuota impor bahan perusak ozon jenis CFCs, yaitu dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/M-DAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon. Dengan adanya target baru yaitu penghapusan konsumsi HCFCs pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia kemudian memperbaiki ketentuan yang ada untuk dapat mengendalikan impor HCFCs ke Indonesia yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/M-DAG/PER/1/2012 dan telah diimplementasikan mulai 15 Januari 2012. Perubahan mendasar pada peraturan menteri perdagangan ini adalah ditetapkannya Harmonised System Code (HS Code) yang lebih rinci untuk bahan perusak ozon kategori HCFC, sehingga pada tahun 2012 masuknya HCFC melalui impor dapat dipantau dan diawasi dengan lebih baik untuk meminimalkan perdagangan ilegal dan melakukan pelatihan sebagai upaya peningkatan kapasitas petugas bea cukai. Pengaturan kuota merupakan salah satu cara untuk mencapai target penghapusan BPO secara bertahap. Dalam upaya penghapusan HCFC ini, Indonesia juga akan melakukan alih teknologi HCFC menjadi non-hcfc dengan bantuan dana hibah dari Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol (MLF) untuk memastikan pencapaian target penghapusan BPO yang telah ditetapkan oleh Protocol Montreal. Selain itu, langkah yang dilakukan juga mencakup beberapa kegiatan penyadaran masyarakat dan kampanye untuk mempromosikan perlindungan lapisan ozon ditingkat konsumen, pemerintah daerah dan insitusi pemerintah lainnya yang terkait. Strategi penghapusan HCFCs juga perlu memperhatikan upaya peningkatan efisiensi penggunaan energi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pada akhirnya memiliki kontribusi kepada Ekonomi Hijau. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN 91 Dalam rangka meningkatkan rasio luas kawasan tertutup pepohonan dan rasio luas kawasan lindung, Pemerintah Indonesia telah melakukan kegiatan prioritas rehabilitasi hutan dan lahan kritis, termasuk hutan mangrove, pantai, gambut dan rawa pada Daerah Aliran Sungai prioritas di seluruh Indonesia dengan target pada periode 2010-2014 seluas 2,5 juta hektar. Selain itu, dilakukan pula berbagai upaya perbaikan pengelolaan kawasan hutan di tingkat tapak berupa percepatan penyelesaian tata batas kawasan hutan dan percepatan beroperasinya Kesatuan Pengelolaan Hutan. Lebih lanjut, berbagai upaya penurunan jumlah titik api (hotspot) dan luas kawasan hutan yang terbakar terus dilakukan untuk menekan laju kebakaran hutan. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan bauran energi untuk energi terbarukan yang bersumber dari panas bumi, upaya penting yang dilakukan adalah melakukan nota kesepahaman bersama Kementerian Kehutanan dengan tujuan mempercepat proses perijinan pengusahaan panas bumi di kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, serta mempersiapkan langkah-langkah agar kegiatan panas bumi dapat dilakukan di kawasan hutan konservasi dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi. Selain itu, juga dilakukan upaya revisi harga pengusahaan panas bumi melalui penyempurnaan Permen ESDM No. 2 Tahun 2011 untuk penerapan feed-in tariff dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi untuk pembangkit listrik yang ada di suatu daerah dan daya dukung lingkungannya. Angka intensitas dan elastisitas energi menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan energi. Semakin kecil intensitas dan elastisitas energi maka semakin efisien penggunaan energi yang ada. Untuk mencapai penggunaan energi yang semakin efisien, upaya yang dilakukan adalah melalui konservasi energi dengan menerapkan penghematan energi dan audit energi. Upaya-upaya tersebut dilakukan melalui: (i) peningkatan kesadaran publik; (ii) bimbingan teknis penghematan energi; (iii) pelaksanaan program kemitraan konservasi energi melalui layanan audit energi kepada industri dan bangunan; (iv) penerapan manajer energi menjadi standar kompetensi kerja nasional; (v) pemberian labelisasi tanda tingkat hemat energi; (vi) pemantauan pelaksanaan Inpres No. 13 Tahun 2011; dan (vii) penerapan SNI konservasi energi di bidang bangunan gedung. Pemerintah Indonesia menempatkan perhatian yang sangat tinggi terhadap isu perubahan iklim. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada bulan September 2009, mencetuskan komitmen target sukarela Indonesia untuk menurunkan emisi GRK, beragam persiapan terus bergulir, termasuk penyiapan instrumen regulasi sebagai infrastruktur kebijakan dalam pencapaian target tersebut. Presiden telah menerbitkan Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Dalam Perpres tersebut, diamanatkan pula kepada Pemerintah Daerah Provinsi untuk menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) sebagai kontribusi daerah dalam menurunkan emisi GRK dan memberikan arah pembangunan rendah karbon di daerah. Untuk itu, telah diterbitkan Pedoman Penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang ditujukan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah dalam menyusun rencana aksi daerah pada 5 (lima) sektor, yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah. Selain itu, sejalan dengan Perpres No. 61 Tahun 2011 mengenai RAN-GRK, Presiden juga telah menerbitkan Perpres tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca melalui Perpres No. 71 Tahun 2011. Melalui Perpres ini maka Kementerian/Lembaga terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota ditugaskan untuk menyelenggarakan inventarisasi GRK di lingkup atau wilayahnya masing-masing. Kedua Perpres tersebut sangat penting dalam mewujudkan target sukarela Indonesia untuk menurunkan emisi 26,00 persen di bawah tingkat business as usual pada tahun 2020, dengan memenuhi prinsip yang diakui secara internasional, yaitu measurable, reportable dan verifiable (MRV).

92 Dalam rangka kegiatan perlindungan lapisan ozon, pemerintah Indonesia memiliki strategi pelaksanaan penghapusan penggunaan BPO yaitu: (i) Pengembangan regulasi dan kebijakan, meliputi: a. Penetapan sistem kuota impor HCFC untuk pengendalian impor HCFC oleh ImportirTerdaftar dan Importir Produsen BPO; b. Regulasi pelarangan impor barang yang mengandung HCFC ; c. Regulasi pelarangan penggunaan HCFC pada industri manufaktur; d. Pengawasan penggunaan dan impor BPO untuk meminimalkan perdagangan ilegal. (ii) Melakukan kegiatan penghapusan BPO dengan bantuan dana hibah dari Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol, meliputi: a. Pelaksanaan alih teknologihcfc menjadi non-hcfc pada industri manufaktur sektor Air Conditioning (AC), refrigerasi dan foam; b. Pelaksanaan regulasi pelarangan impor bahan perusak ozon jenis CFCs, CTC, TCA, Methyl bromide (non karantina dan pra-pengapalan) sejak akhir tahun 2007; c. Pelaksanaan pelarangan impor barang yang mengandung CFCs dan Halon ke Indonesia sejak tahun 1998; d. Pelaksanaan Sertifikasi teknisi dan kompetensi pelaksanaan retrofit dan recycle pada sistem pendingin; e. Peningkatan efektifitas penggunaan fasilitas destruksi BPO, daur ulang bahan pendingin dan pengelolaan Halon; serta f. Melakukan pengawasan dan peredaran penggunaan Methyl bromide untuk keperluan karantina dan pra-pengapalan. (iii) Peningkatan kapasitas dan kesadaran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, meliputi: a. Melakukan pelatihan, penyebaran informasi dan interaksi regularterkait program perlindungan lapisan ozon kepada pemerintah daerah, kementerian/terkait, industripengguna, konsumen dan masyarakat; b. Melakukan workshop alih teknologi pengganti BPO kepada pada industri pengguna; c. Mempromosikan penggunaan barang, bahan non BPO dan teknologi ozone-friendly kepada pemerintah daerah, kementerian/terkait, industri pengguna, konsumen dan masyarakat. Pada tahun 2011 pemerintah Indonesia telah melaksanakan serangkaian kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya ikan dan lingkungannya, antara lain Penebaran Benih Ikan di Laut Teritorial dan Perairan Kepulauan melalui kegiatan One Man One Thousand Fries yang dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Selain itu, dilakukan Pembangunan Rumah Ikan yang merupakan bagian dari strategi pemulihan sumberdaya ikan dan pengkayaan stock. Kawasan Konservasi Perairan direncanakan akan diperluas menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020. Indonesia juga akan bekerja sama dengan 6 negara yang tergabung dalam Coral Triangle Initiative/CTI, yaitu : Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor-Leste, sebagai sebuah upaya untuk melestarikan kekayaan sumber daya laut di kawasan ini. Upaya-upaya untuk meningkatkan kelestarian lingkungan pesisir dan laut terus dilakukan baik melalui kegiatan rehabilitasi maupun konservasi untuk habitat dan peningkatan status dan upaya perlindungan untuk spesies atau jenis biota perairan. Peningkatan luasan kawasan konservasi tersebut juga dibarengi dengan upaya menuju pengelolaan yang efektif. Pada tahun 2011 telah disusun rancangan alat penilaian efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan Indonesia. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

1993 38,0 37,7 37,7 1995 42,7 41,3 1997 42,2 42,0 1999 37,5 2001 47,7 48,3 48,7 2003 48,8 2005 47,8 47,6 2007 24,8 21,9 27,5 25,2 27,5 28,9 32,6 32,7 34,3 35,6 35,6 35,0 38,1 44,2 68,9 48,3 44,2 47,7 46,5 2009 2011 42,8 2013 2015 55,5 51,2 48,6 62,4 55,6 TARGET 7C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA TAHUN 2015 93 Target 7C: 7.8 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan dan perdesaan 7.8a Perkotaan 7.8b Perdesaan 7.9 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan dan perdesaan 7.9a Perkotaan 7.9b Perdesaan Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN 37,73% (1993) 50,58% (1993) 31,61% (1993) 24,81% (1993) 53,64% (1993) 11,10% (1993) 42,76% (2011) 40,52% (2011) 44,96% (2011) 55,60 % (2011) 72,54 % (2011) 38,97 % (2011) 68,87% 75,29% 65,81% 62,41% 76,82% 55,55% BPS, Susenas 75 50 25 0 Akses terhadap air minum layak Akses terhadap sanitasi layak Gambar 7.2. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum dan fasilitas sanitasi dasar layak Sumber: BPS, Susenas berbagai tahun. Kelestarian lingkungan antara lain dapat diindikasikan oleh adanya akses berkelanjutan terhadap sumber air minum dan fasilitas sanitasi dasar yang layak di perkotaan dan perdesaan. Akses rumah tangga terhadap sumber air minum yang layak di perkotaan dan perdesaan terus meningkat, namun disparitas antarprovinsi cukup nyata. Data Susenas menunjukkan akses terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen pada tahun 1993 menjadi 42,76 persen pada tahun 2011 (Gambar 7.2). Namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu 47,71 persen. Akses terhadap sumber air minum layak di perkotaan menurun dari 49,82 persen pada tahun 2009 menjadi 40,52 persen pada tahun 2011, sedangkan di perdesaan dari 45,72 persen pada tahun 2009 menjadi 44,96 persen pada tahun 2011.

94 Kecenderungan penurunan ini disebabkan karena meningkatnya penggunaan air kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air minum yaitu dari 10,35 persen pada tahun 2009 menjadi 19,37 persen pada tahun 2010 (BPS, 2011). Sementara itu, air kemasan dan air isi ulang tidak termasuk sebagai sumber air minum layak. Peningkatan penggunaan air kemasan dan air isi ulang menjadi salah satu penyebab turunnya akses terhadap sumber air minum layak pada tahun 2011. Hal ini dikarenakan pendataan yang dilakukan saat ini hanya memotret akses terhadap sumber air yang dipergunakan untuk minum belum memperhatikan kondisi ketika rumah tangga memiliki lebih dari satu sumber air yang layak untuk diminum. Rumah tangga di Indonesia, khususnya di perkotaan, menggunakan air kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air minum karena mudah didapatkan, praktis dan tidak perlu dimasak. Sementara itu, untuk keperluan masak dan mandi, cuci, kakus (MCK), umumnya masyarakat menggunakan air yang bersumber dari ledeng (perpipaan), sumur bor/pompa, atau sumur dangkal. Hal ini menyebabkan belum utuhnya potret yang dihasilkan dalam mengukur upaya yang telah dilakukan dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber air minum layak terutama melalui penyediaan air ledeng (perpipaan) dan sumber air minum terlindungi lainnya. Penyediaan infrastruktur air minum yang belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, baik karena faktor urbanisasi maupun peningkatan konsumsi juga menjadi penyebab turunnya akses terhadap sumber air minum layak. Selain itu, permasalahan pada tingkat operator air minum yang berkontribusi terhadap penurunan akses adalah minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, rendahnya tarif air minum, terbatasnya SDM yang kompeten dan pengelolaan yang kurang efisien. Di perdesaan, peningkatan akses terhadap sumber air minum layak utamanya dilakukan melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Berdasarkan olahan data BPS oleh Kementerian Pekerjaan Umum, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak pada tahun 2011 adalah 55,04 persen. Angka tersebut merupakan kondisi yang telah memperhitungkan (i) rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber air minum yaitu kombinasi antara rumah tangga yang mempergunakan air kemasan, air isi ulang dengan ledeng meteran, sumur bor/pompa dan/atau sumur terlindung dan (ii) jarak aman antara sumur bor/pompa dan sumur terlindung dengan tangki septik yaitu lebih atau sama dengan 10 meter. Dari hasil analisa tersebut, diketahui terdapat 12,28 persen rumah tangga yang memiliki alternatif sumber air minum selain air kemasan dan air isi ulang. Dengan demikian, akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak 42,76 persen dapat dikoreksi capaiannya pada tahun 2011 menjadi 55,04 persen. Dengan menggunakan data dasar akses terhadap sumber air minum layak tahun 2009 (47,71 persen) dan angka koreksi tahun 2011 (55,04 persen), maka terdapat penambahan akses terhadap sumber air minum layak 7,33 persen dalam periode tahun 2010 dan 2011. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Bali DI Yogyakarta Kepulauan Riau Bangka Belitung Sulawesi Utara Kalimantan Timur Banten Sulawesi Selatan Jawa Tengah Sumatera Utara INDONESIA Jawa Timur Riau Maluku Utara Jawa Barat Sulawesi Tenggara Maluku Jambi Aceh Sulawesi Tengah Kalimantan Selatan Sumatera Selatan Nusa Tenggara Barat Gorontalo Sumatera Barat Lampung Kalimantan Barat Sulawesi Barat Papua Barat Bengkulu Kalimantan Tengah Papua Nusa Tenggara Timur 83,26 82,15 73,01 67,64 67,23 66,56 64,15 62,02 59,42 56,47 55,6 54,21 53,29 52,53 52,5 51,43 50,75 50,65 50,1 48,39 48,38 47,36 47,34 46,68 44,67 44,33 43,81 43,4 39,23 39,22 8,73 23,82 18,57 17,82 29,09 24,31 36,22 33,72 41,27 41,64 38,97 38,92 35,42 32,52 39,42 37,48 39,4 37,27 34,35 31,88 30,69 29,89 26,84 34,63 35,33 32,2 40,45 40,01 40,13 39,93 48,92 52,91 49,36 48,63 54,62 60,84 58,08 56,61 66,09 67,23 72,51 72,78 72,54 71,5 72,59 75,16 75,8 75,01 70,7 68,12 64,59 71,45 72,43 74,16 74,43 72,38 73,36 80,62 77,86 83,12 82,37 82,1 81,3 84,41 81,94 84,09 90,73 89,35 89,47 DI Yogyakarta Jawa Tengah Sulawesi Tenggara Jawa Timur Kalimantan Barat Maluku Bali Nusa Tenggara Timur Kalimantan Selatan Maluku Utara Sumatera Selatan Jambi Nusa Tenggara Barat INDONESIA Sulawesi Selatan Sumatera Utara Sulawesi Tengah Gorontalo Papua Barat Sulawesi Utara Lampung Riau Sumatera Barat Kalimantan Timur Kalimantan Tengah Jawa Barat Sulawesi Barat Bangka Belitung Aceh Bengkulu Papua DKI Jakarta Banten Kepulauan Riau 25,92 23,86 23,64 23,53 23,31 21,56 30,48 25,89 30,05 24,29 22,39 18,31 33,18 38,04 40,8 46,81 46,11 46,61 42,81 43,31 41,61 42,18 38,82 40,37 37,35 34,27 32,29 32,19 40,13 40,52 38,5 35,81 44,64 37,15 34,6 49,71 46,76 45,39 42,54 44,94 41,87 46,2 41,54 38,16 35,64 56,93 56,72 52,86 49,07 36,47 34,47 30,62 41,15 40,2 40,19 44,96 45,76 58,05 55,96 56,84 62 57,52 75,42 66,74 64,73 61,33 66,5 95 80 Perkotaan + perdesaan Perkotaan 60 Perdesaan 40 20 0 62,66 57,32 53,69 53,19 51,22 50,47 50,44 50,11 49,86 46,18 45,17 44,32 43,15 42,76 42,31 41,73 40,72 40,45 40,39 38,2 37,82 37,44 37,05 34,44 34,23 33,72 30,24 29,3 28,65 26,85 26,28 24,29 22,12 20,86 Gambar 7.3. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan, Tahun 2011 Sumber: BPS, Susenas, 2011 Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum yang layak antarprovinsi pada tahun 2011 memiliki disparitas dari 20,86 sampai 62,66 persen (Gambar 7.3). Sebanyak 13 dari 33 provinsi memiliki proporsi di atas rerata nasional dan provinsi dengan proporsi tertinggi adalah DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan provinsi dengan proporsi terendah adalah Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, dan Papua. 100 Perkotaan + perdesaan Perkotaan Perdesaan 75 50 25 0 Gambar 7.4. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan), Tahun 2011 Sumber : BPS, Susenas 2011

96 Akses rumah tangga terhadap fasilitas sanitasi dasar layak secara nasional terus meningkat, tapi secara umum masih terdapat variasi antar provinsi. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak beragam dari 22,97 persen hingga 84,57 persen, dengan rerata nasional 55,60 persen pada tahun 2011 (Gambar 7.4). Peningkatan terjadi jauh lebih tinggi di perdesaan dibandingkan perkotaan. Pada tahun 2011, proporsi rumah tangga di perkotaan yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak meningkat dari 53,64 persen pada tahun 2009 menjadi 72,54 persen, sedangkan di perdesaan meningkat dari 11,10 persen pada tahun 2009 menjadi 38,97 persen. Pada Gambar 7.4, terlihat sebanyak 10 dari 33 provinsi memiliki proporsi rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak di atas rerata nasional dan provinsi dengan proporsi tertinggi adalah Bali, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau. Sedangkan provinsi dengan proporsi terendah adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Kalimantan Tengah. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Upaya yang dilaksanakan sesuai dengan prioritas pembangunan dalam meningkatkan layanan infrastruktur adalah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal, yang diprioritaskan bagi penyediaan infrastruktur dasar untuk mendukung peningkatan kesejahteraan melalui peningkatan aksesibilitas terhadap infrastruktur, peningkatan pengelolaan pelayanan infrastrukur serta peningkatan SDM dan Kelembagaan. Upaya tersebut dilakukan melalui dua program besar, yaitu (i) peningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat terhadap penyediaan layanan air minum dan sanitasi yang layak melalui (a) penyediaan perangkat peraturan; (b) memastikan ketersediaan air baku air minum; (c) meningkatkan kinerja manajemen penyelenggara penyedia/operator; (d) mengembangkan alternatif sumber pendanaan seperti pelaksanaan hibah berbasis kinerja (output based aid) dan penyediaan pinjaman perbankan bagi lembaga operator air minum; dan (e) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta; dan (ii) penyediaan air minum dan sanitasi layak sesuai target MDGs melalui (a) pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga terutama di daerah rawan air, tertinggal, dan strategis; (b) peningkatan pembangunan tampungan dan saluran pembawa air baku; serta (c) penyediaan prasarana, sarana dasar, dan utilitas umum yang memadai dan terpadu dengan pengembangan kawasan perumahan dalam rangka mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Penyediaan air bersih untuk rakyat merupakan salah satu fokus percepatan pembangunan infrastruktur dalan RPJMN 2010-2014. Penyediaan air minum dengan mengembangkan inovasi pendanaan juga disesuaikan dengan modalitas proyek melalui pengembangan bundling untuk Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), seperti pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), transmisi, dan distribusi khususnya dalam skala kawasan komersial, dan sistem unbundling untuk penyediaan air minum yang nonkomersial, seperti penyediaan water meter. Peningkatan pelayanan air minum melalui penyediaan SPAM pada tahun 2012 akan dilakukan di 894 desa (melalui PAMSIMAS), 249 kawasan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di perkotaan, dan 124 SPAM Ibukota Kecamatan (IKK) serta 140 kawasan khusus, dan 3 kawasan regional. Sementara itu, penyediaan infrastruktur air limbah dilaksanakan di 136 kawasan, peningkatan pengelolaan sampah perkotaan melalui peningkatan/pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di 94 kabupaten/kota dan penyediaan infrastruktur tempat pengolah sampah terpadu/3r di 95 kawasan dan penanganan drainase perkotaan di 49 kabupaten/kota. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Kotak 7.2 Terobosan Pendanaan bagi Penyediaan Air Minum Saat ini telah dikembangkan beberapa opsi pendanaan diluar mekanisme APBN dalam rangka mendukung penyediaan air minum bagi masyarakat khususnya MBR, yaitu : 1. Program Hibah Air Minum: Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat yang paling rentan dengan tidak adanya akses air minum adalah MBR. Hal ini terutama disebabkan karena keterbatasan keuangan untuk membayar biaya Sambungan Rumah (SR) baru yang relatif mahal. Mengingat hal tersebut, Pemerintah mengupayakan berbagai program subsidi air minum dalam rangka meringankan biaya pemasangan SR bagi MBR yang dikenal dengan Program Hibah Air Minum. Program ini diberikan sebagai kompensasi atas dasar kinerja (output based aid) Pemerintah Daerah dalam menyediakan SR kepada MBR dengan nilai penggantian yang diberikan sebesar Rp.2-3 juta per SR. Pemasangan SR tersebut dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan biaya dari Pemerintah Daerah melalui mekanisme penyertaan modal. Penggantian dana kepada Pemerintah Daerah kemudian diberikan setelah SR berfungsi baik selama 2 (dua) bulan yang dilakukan melalui verifikasi teknis dan rekening pembayaran air. Program ini telah meningkatkan jumlah SR bagi MBR sebanyak 77.000 SR dari kurun waktu 2010-2011 di 34 kabupaten/kota. Program ini akan dilanjutkan hingga tahun 2014 dengan target subsidi kurang lebih 280.000 SR. 2. Pinjaman Perbankan bagi PDAM: Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2009 Tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat merupakan kebijakan alternatif pendanaan melalui lembaga perbankan nasional dalam rangka pengembangan SPAM. Jaminan Pemerintah Pusat diberikan 70,00 persen dari jumlah pokok kredit investasi yang telah jatuh tempo kepada Perbankan dan pemberian subsidi bunga oleh Pemerintah setinggi-tingginya 5 persen atas bunga kredit investasi. PDAM yang dapat memanfaatkan fasilitas ini adalah PDAM yang tidak memiliki tunggakan utang kepada Pemerintah dan memiliki kinerja sehat berdasarkan hasil audit BPKP serta telah menerapkan full cost recovery tariff. Terdapat 5 Bank Nasional dengan total alokasi kredit investasi Rp.4,22 Trilyun yang telah menandatangani Perjanjian Kerjasama Pendanaan (PKP) dengan Kementerian PU, yaitu BRI, BNI, Bank Jabar Banten, Bank Mandiri dan Bank Kalsel. Hingga saat ini terdapat 3 PDAM yang telah melakukan penandatangan perjanjian kredit dengan Menteri Keuangan yaitu PDAM Kabupaten Bogor dengan BRI, PDAM Kabupaten Ciamis dengan Bank Jabar dan PDAM Kabupaten Lombok Timur dengan BNI, dengan total pinjaman Rp.50 Milyar. 3. Program Nasional-Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS): PAMSIMAS bertujuan untuk meningkatkan akses layanan air minum dan sanitasi serta meningkatkan praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat di perdesaaan atau pinggiran kota (peri-urban) melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk memahami permasalahan air minum dan sanitasi, menumbuhkan prakarsa dalam merencanakan, melaksanakan, mengoperasikan dan memelihara sarana yang akan dibangun serta kemampuan dalam melanjutkan dan memperluas layanan sarana air minum dan sanitasi secara mandiri oleh masyarakat. PAMSIMAS dimulai sejak tahun 2008 dengan target sasaran hingga tahun 2013 sebanyak 5.500 desa di 110 kabupaten/kota di 15 provinsi. Hingga tahun 2011 telah terjadi peningkatan terhadap akses air minum layak bagi 3,82 juta penduduk dan terhadap akses sanitasi layak bagi 2,65 juta jiwa. 4. Corporate Social Rensponsibility (CSR): Pembiayaan lainnya yang saat ini juga tengah dikembangkan adalah melalui Bina Usaha Swasta (BUS) yang saluran pembiayaannya dapat dilakukan melalui program seperti CSR. Potensi CSR diharapkan dapat dimanfaatkan dengan optimal dalam bentuk kerjasama kemitraan multi pihak dimana berbagai pihak berkomitmen memberikan kontribusinya sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk mencapai target MDGs 2015. Pada 10 Februari 2012 lalu telah ditandatangani perjanjian pembangunan prasarana dan sarana Bidang Cipta Karya melalui Kerjasama Kemitraan Multi Pihak di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan oleh para Bupati, 97

98 Presiden Direktur PT. Adaro Indonesia, Direktur Bina Program, Ditjen Cipta Karya- Kementerian PU dan Ketua Umum Corporate Forum for Community Development (CFCD) dengan total dana CSR bagi sektor air minum hingga tahun 2014 sebesar Rp. 21,3 Milyar. Dana tersebut selanjutnya diusulkan untuk mendanai kegiatan potensial pembangunan air minum baik untuk pembangunan SPAM-IKK, pembuatan menara sumur bor, pembangunan intake dan IPA di PDAM, pemasangan SR dan pembangunan SPAM di desa rawan air dan desa tertinggal di KAT. Kotak 7.3 Pelaksanaan STBM di Kabupaten Sumedang untuk mencapai target MDGs 7C Dalam upaya pencapaian target RPJMN dan Renstra 2010 2014, Kementerian Kesehatan meluncurkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) sebagai kegiatan prioritas nasional dalam upaya preventif dan promotif pengendalian penyakit berbasis lingkungan. Kegiatan ini menjadi salah satu program yang mendukung pencapaian target MDGs sesuai Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 dan dipantau secara periodik oleh UKP4. Kabupaten Sumedang merupakan salah satu dari 221 Kabupaten/Kota di 31 provinsi yang melaksanakan STBM tahun 2010-2014. Berdasarkan Peraturan Bupati No. 10 Tahun 2008 tentang Forum Delegasi Musrenbang, Peraturan Bupati No. 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda, dan Peraturan Bupati No. 30 Tahun 2010 tentang STBM, PNPM Perdesaan yang bersifat open menu disinergikan dengan program 5 pilar STBM dalam rangka mencapai target Sumedang Sehat 2013, yang salah satu implementasinya disebut Program Sauyunan (Sasarengan Urang Guyubkeun Pangwangunan). Program yang dilaksanakan sejak tahun 2010 tersebut merupakan upaya untuk mengintegrasikan sistem pembangunan partisipatif ke dalam sistem pembangunan daerah dan mendorong penyelarasan perencanaan teknokratik, politis dengan partisipatif yang dilakukan melalui dua agenda besar yaitu peningkatan kapasitas masyarakat dan penguatan pemerintah lokal dalam penyelenggaraan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat. Dari pagu indikatif SKPD per program yang biasanya hanya berkisar Rp.5 juta/tahun untuk monitoring kualitas air sederhana di 32 Puskesmas, naik menjadi Rp.28 juta, dan terus meningkat menjadi sekitar Rp.200 juta sampai Rp 300 juta, hingga pada tahun 2012 mencapai Rp 1,8 M. Anggaran tersebut dialokasikan untuk percepatan STBM bagi 175 desa/kelurahan yang belum mencapai Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) serta penguatan implementasi 4 pilar STBM lainnya di 104 desa yang telah Stop BABs di tahun 2011. Pelaksanaan STBM juga didukung dengan dana BOK Puskesmas dimana STBM telah dijadikan sebagai salah satu indikator capaian pengembangan manajemen faktor resiko/klinik sanitasi di Puskesmas yang tertuang dalam Petunjuk Teknis BOK 2012. Saat ini dana BOK kurang lebih Rp.100 juta tersebar di 32 Puskesmas. Pada tataran operasional, disyaratkan adanya perencanaan pembangunan mulai dari tingkat desa/kelurahan (RPJM Desa dan RKP Desa) melalui Musrenbang hingga tingkat kecamatan dan kabupaten. Dengan demikian, dibutuhkan fasilitasi efektif untuk memastikan pemerintah desa membentuk peraturan desa, menetapkan APBDesa partisipatif dan pertanggungjawaban Kepala Desa (LKPj Desa). Dalam memastikan hal tersebut, Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) sebagai lembaga ad-hoc pelaku pembangunan air minum dan sanitasi berkoordinasi mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pengawasan dan pertanggungjawaban, sehingga tercapai optimalisasi manajemen pembangunan. Melalui STBM yang menerapkan prinsip Comunity Led Total Sanitation (CLTS) masyarakat terus dipicu kesadarannya untuk mau berubah perilakunya dari tidak sehat menjadi sehat. Selain itu, pembenahan dan penguatan kelembagaan internal baik SDM maupun dukungan kelembagaan lainnya seperti regulasi dan juga sistem (manajemen) juga terus dilakukan. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

99 Foto 7.1. Berbagai kegiatan STBM dan penandatanganan Deklarasi Stop BABS oleh Bupati Sumedang Sumber: Kementerian Kesehatan Dalam implementasi Pilar 1 (stop BABs), telah terdapat 104 desa dan 4 kecamatan pada tahun 2011 yang telah mencapai Stop BABS (SBS) atau Open Defecation Free (ODF). Selain bersinergi dengan PNPM, dalam pelaksanaan Pilar 4, Kabupaten Sumedang juga melakukan pelatihan Biogreen untuk komposting sampah organik di Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong dan desa Cipaku Kecamatan Darmaraja. Kotak 7.4 Upaya Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman Permasalahan sanitasi permukiman di Indonesia masih terlihat dari masih rendahnya kualitas dan tingkat pelayanan sanitasi - baik di perkotaan maupun di perdesaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan suatu terobosan di sektor sanitasi. Terobosan tersebut adalah melalui suatu strategi dan program pembangunan yang komprehensif, terintegrasi, jangka panjang, dan melibatkan berbagai pihak. Dalam rangka memperbaiki kualitas sanitasi permukiman sekaligus mengejar ketertinggalan pembangunan di sektor sanitasi, Pemerintah Indonesia melaksanakan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) melalui: 1. Advokasi dan kampanye ke seluruh stakeholder pembangunan sanitasi permukiman 2. Koordinasi dan sinergi antar instansi, stakeholder dan antar tingkatan pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota) 3. Pembentukan regulasi pendukung pembangunan sanitasi permukiman 4. Pendampingan pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota 5. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia stakeholder 6. Peningkatan kapasitas perencanaan, implementasi dan monitoring evaluasi pembangunan sanitasi permukiman 7. Harmonisasi program pembangunan sanitasi permukiman Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) diselenggarakan dengan 2 (dua) tahapan kegiatan, yaitu: 1. Tahap Pertama yang utamanya merupakan penyiapan kebijakan program PPSP secara keseluruhan, dan sekaligus untuk meraih dukungan dari berbagai pihaknya, seperti untuk dukungan politis dan administratif, serta persiapan pendanaan dari berbagai sumber. Tahapan ini dilaksanakan pada tahun 2009. 2. Tahap Kedua merupakan tahapan pelaksanaan program PPSP, yang meliputi kegiatan persiapan dan pelaksanaan selama periode 2009-2014. Kegiatan ini meliputi: Kegiatan Persiapan yang meliputi penyelenggaraan Lokarya Nasional dalam rangka penjaringan kabupaten/kota peserta Program PPSP, Road Show di beberapa wilayah (regional), penyiapan fasilitator, Lokakarya Pembentukan Pokja (Kelompok Kerja), pengembangan kelembagaan dan peraturan. Kegiatan Pelaksanaan yang meliputi penyusunan Strategi Sanitasi Kota/Kab (SSK), penyusunan Memorandum Program, implementasi, pemantauan, pembimbingan, evaluasi dan pembinaan.

100 Program PPSP yang dilaksanakan dalam kurun waktu tahun 2010-2014 diharapkan dapat menambah layanan jaringan air limbah terpusat sampai dengan 5 persen dari jumlah penduduk perkotaan (5 juta penduduk, 16 kota) dan pembangunan Sanimas di 226 kota prioritas serta dapat terlaksananya pelaksanaan praktek 3R untuk mengurangi timbulan sampah sebesar 20 persen dan perbaikan manajemen pelayanan persampahan di 240 kota prioritas. Pelaksanaan Program PPSP ini ditargetkan pada kota-kota metropolitan, besar, dan sedang; kota-kota yang merupakan ibukota provinsi, kota-kota yang berstatus otonom, serta kawasan perkotaan di wilayah kabupaten/kota yang kondisi sanitasinya rawan. Diharapkan pada akhir tahun 2014, 330 kabupaten/kota telah mempunyai Strategi Sanitasi dan 160 kabupaten/kota di antaranya telah mulai melaksanakan pembangunan fisiknya. Hingga kini, tercatat sejumlah 120 kabupaten/kota telah berhasil menyusun SSK nya selama tahun 2010-2011. Sementara pada tahun 2012 sejumlah 103 kabupaten/kota kini tengah menyusun SSK dan sejumlah 181 kabupaten/kota lainnya kini tengah bersiap untuk mengikuti program PPSP pada tahun 2013 nanti. Sejak tahun 2010, telah dilakukan pembangunan fisik di kabupaten/kota dengan dana dari berbagai sumber. Dari data yang ada, hingga tahun 2012 telah terbangun sejumlah 13 Instalasi Pengolah Air Limbah off-site skala kota, 66 lokasi Sanimas pada tahun 2011 dan 75 lokasi Sanimas diharapkan dapat terbangun pada tahun 2012. Lewat PPSP ini kabupaten/kota telah berhasil meningkatkan peluangnya untuk mendapatkan pendanaan sanitasi permukiman melalui APBN maupun APBD hingga sumber pendanaan lainnya seperti dari donor, Corporate Social Resposibility (CSR) dan Dana Alokasi Khusus, dimana salah satu produk PPSP yaitu Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) telah menjadi satu prasyarat dalam penilaian kelayakan untuk mendapatkan dana-dana tersebut. Adapun sumber-sumber pendanaan dimaksud antara lain : 1. Program Hibah Sanitasi: saiig (Australia Indonesia Infra-Structure Grants for Sanitation) dan Sanitation Hibah. saiig merupakan program hibah untuk kegiatan sektor air limbah dan persampahan dengan didasarkan pada kinerja yang terukur (output-based) dari Pemerintah Daerah untuk pekerjaan di Tahun 2012 hingga 2014. Lingkup kegiatannya adalah penerusan hibah dari Pemerintah Australia melalui Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk sektor air limbah dan persampahan. Sanitation Hibah merupakan program hibah dengan fokus kepada pengembangan Sambungan Rumah (SR) pelayanan air limbah sistem terpusat skala kota bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Program ini juga didasarkan pada kinerja yang terukur (output-based) dari Pemerintah Daerah dengan nilai penggantian sebesar Rp 5 juta / SR. Penggantian dana kepada Pemerintah Daerah kemudian diberikan setelah SR berfungsi baik selama 2 (dua) bulan yang dilakukan melalui verifikasi teknis dan rekening pembayaran pelayanan sambungan air limbah. 2. Pinjaman Luar Negeri: Solusi pembiayaan lain bagi penyediaan infrastruktur sanitasi adalah melalui pinjaman luar negeri. Alternatif ini ditujukan terutama untuk pengembangan pengelolaan air limbah terpusat skala kota yang membutuhkan dana yang relatif besar. Pinjaman luar negeri untuk kegiatan air limbah digunakan untuk kegiatan Metropolitan Sanitation Management and Health Project (MSMHP) dan Denpasar Sewerage Development Project (DSDP). Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan tersebut, dapat terbangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan jaringan perpipaan skala kota yang dapat melayani kebutuhan pelayanan air limbah bagi penduduk perkotaan. 3. Corporate Social Rensponsibility (CSR): Pembiayaan lainnya yang saat ini juga tengah dikembangkan adalah melalui Bina Usaha Swasta (BUS) yang saluran pembiayaannya dapat dilakukan melalui program seperti CSR. Potensi CSR diharapkan dapat dimanfaatkan dengan optimal dalam bentuk kerjasama kemitraan multi pihak dimana berbagai pihak berkomitmen memberikan kontribusinya sesuai dengan peran dan kemampuannya untuk mencapai target MDGs 2015. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

4. Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK diselenggarakan dalam rangka memenuhi standar pelayanan minimum di dalam penyediaan infrastruktur, DAK juga dialokasikan untuk pemenuhan targettarget MDGs, air minum dan sanitasi selain pembangunan infrastruktur jalan. Hal tersebut sesuai dengan PP No. 14 Tahun 2009, dimana ada persyaratan atau sasaran minimum yang harus di layani oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pelayanan masyarakat, terutama di bidang PU maupun permukiman. PPSP akan menjadi prasyarat untuk mendapatkan pendanaan dari DAK. Kabupaten/kota yang tidak/belum mengikuti program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) akan berkurang peluangnya dalam mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK) sanitasi. 101

102 Target 7D: Mencapai Peningkatan yang Signifikan Dalam Kehidupan Penduduk Miskin di Permukiman Kumuh (Minimal 100 Juta) Pada Tahun 2020 Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs Status Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020 7.10 Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 20,75% (1993) Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus KEADAAN DAN KECENDERUNGAN 12,57% (2011) 6% (2020) Sumber BPS, Susenas 1) Pencacahan Susenas tidak dilakukan di Provinsi Aceh dan Maluku 2) Pencacahan di Provinsi Aceh, Maluku, Maluku Utara, dan Papua hanya dilaksanakan di ibukota provinsi Gambar 7.5. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan, 1993-2011 Sumber : BPS, Susenas 2011 6,00 Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan1 telah menurun 8,18 persen dari 20,75 persen pada tahun 1993 menjadi 12,57 persen pada tahun 2011 (Gambar 7.5). Gambaran tersebut memberikan indikasi besaran laju rata-rata penurunan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan 0,50 persen per tahun. Tanpa suatu terobosan yang berarti, target 6 % akan sulit dicapai pada waktu yang telah ditetapkan, yaitu pada tahun 2020. Kesenjangan daerah berdasarkan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan masih cukup besar. Dalam Gambar 7.6 terlihat bahwa provinsi dengan proporsi tertinggi untuk rumah tangga kumuh perkotaan adalah Papua Barat. Sementara itu, Jawa Timur merupakan provinsi dengan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan terendah. Penurunan proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan lingkungan tidak layak di perkotaan akan sejalan dengan penurunan jumlah rumah tangga miskin. Namun demikian, dari sisi ekonomi, peningkatan pendapatan rumah tangga miskin tidak akan serta merta mendorong mereka untuk segera memperbaiki kondisi hunian yang ditempati mengingat sangat besarnya biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan luasan hunian yang ditempati. Rumah tangga miskin akan lebih memprioritaskan peningkatkan pendapatan mereka untuk konsumsi lainnya seperti makanan dan pakaian. Untuk memperbaiki kondisi huniannya, rumah tangga miskin, khususnya di perkotaan, memerlukan lompatan pendapatan yang besar dalam hidupnya. Pada sisi lainnya, peningkatan harga bahan bangunan dan keterbatasan lahan di perkotaan turut mempersulit masyarakat miskin untuk menempati hunian yang layak tanpa intervensi pemerintah. 1 Indikator yang digunakan untuk mengestimasi rumah tangga kumuh perkotaan adalah tidak adanya akses sumber air minum layak, tidak adanya akses sanitasi dasar yang layak, luas minimal lantai hunian per kapita dan daya tahan material hunian. Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Jawa Timur D.I. Yogyakarta Sumatera Selatan Kalimantan Barat Lampung Banten Kepulauan Riau Kalimantan Selatan Maluku Utara Kalimantan Timur R i a u Sumatera Barat Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Indonesia Aceh Sulawesi Selatan Kalimantan Tengah B a l i Sulawesi Barat Jawa Barat Sulawesi Utara Bangka Belitung Jawa Tengah Gorontalo Sulawesi Tengah Bengkulu J a m b i Nusa Tenggara Barat Maluku Papua Nusa Tenggara Timur DKI Jakarta Papua Barat 103 30 25 20 15 10 5 0 Gambar 7.6. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan per propinsi 2011 Sumber : Susenas (BPS), 2011 UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN Untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan status lahan yang mereka tempati. Secara umum rumah tangga kumuh perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, masyarakat miskin yang menempati hunian di lahan legal baik bangunan milik sendiri maupun sewa. Kelompok kedua, rumah tangga miskin yang menempati lahan illegal (squatter) yang umumnya ditandai dengan kondisi bangunan yang tidak permanen. Untuk masyarakat di kelompok pertama, pemerintah melaksanakan berbagai intervensi berupa bantuan pembangunan dan perbaikan perumahan serta penyediaan sarana dan sarana dasar permukiman seperti jalan, air minum dan sanitasi. Beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan pemerintah yang mendukung penanganan rumah tangga kumuh perkotaan melalui pemberdayaan masyarakat adalah: Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Program (NUSSP), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Community Based Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan serta Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK). Untuk masyarakat di kelompok kedua, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan relokasi mengingat keberadaan mereka di lahan tersebut selain membahayakan dirinya sendiri juga masyarakat umum. Sebagai contoh, masyarakat yang menempati baik bantaran maupun badan sungai berpotensi selain menyebabkan banjir karena mengganggu aliran air juga membahayakan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, keberadaan mereka yang menempati lahan milik publik ataupun swasta juga rawan terhadap konflik social. Salah satu program pemerintah untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan yang menempati lahan illegal adalah dengan menyediakan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Untuk mempercepat penanganan rumah tangga kumuh perkotaan, pemerintah telah menyusun strategi untuk menjamin keterpaduan, effektifitas, dan effisiensi, antara lain berupa pembentukan Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Slum Alleviation Policy And Action Plan/SAPOLA. Dengan keduanya, penanganan permukiman kumuh di perkotaan diharapkan tidak hanya fokus untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan yang ada juga mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru.

104 Tabel 7.4. Capaian Pelaksanaan Program Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh PROGRAM P2KP / PNPM Mandiri Perkotaan Pada 33 Provinsi, 268 Kota/Kabupaten dan 10.923 Kelurahan/Desa USSP Pada 32 Kota/Kabupaten 1353 Kelurahan Co BILD TAHUN PELAKSANAAN KOMPONEN KEGIATAN 1999 saat ini A. Peningkatan kualitas lingkungan (Infrastruktur) B. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan Kesehatan C. Peningkatan aksesibilitas terhadap kegiatan usaha 2005 2010 A. Peningkatan kualitas lingkungan (Infrastruktur) B. Peningkatan aksesibilitas terhadap sumber daya keuangan 2000 2003 C. Peningkatan kualitas hunian 12 Kota D. Peningkatan akses masyarakat terhadap kepastian kepemilikan lahan Pembangunan Rusunawa 2003 saat ini E. Pembangunan unit Rusunawa (TB) PLP2K-BK Pada 20 Provinsi 31 kota/kabupaten 33 lokasi PENCAPAIAN Penerima Manfaat: 14.805.923 KK Penerima Manfaat: 1.226.817 KK Luas: 7.608 Ha Penerima Manfaat: 10.000 KK Penerima Manfaat: 13.720 KK F. Pembangunan PSD penunjang Rusunawa 2010-2011 D. Peningkatan Prasarana, Sarana dan utilitas umum (PSU) lingkungan Luas: E. Peningkatan kualitas 165 Ha lingkungan F. Peningkatan aksesibiltas kegiatan perekonomian. Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat, 2011 Penerima Manfaat: 33.000 KK Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

Kotak 7.5 Kontribusi PNPM Perkotaan dalam Pencapaian MDGs Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) yang telah dilakukan sejak tahun 2007 menjadi salah satu cluster dari empat cluster strategi penanggulangan kemiskinan untuk pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2009-2014. Untuk wilayah perkotaan, pemerintah menetapkan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) sebagai PNPM Mandiri Perkotaan. 105 PNPM Mandiri Perkotaan, berbasis pendekatan pemberdayaan masyarakat, diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDGs) mengurangi penduduk miskin 50,00 persen di tahun 2015. Sesuai prinsip Pendekatan Pemberdayaan, Melalui PNPM Mandiri Perkotaan, masyarakat didorong untuk mampu merumuskan sendiri kebutuhan pembangunan wilayahnya melalui proses perencanaan partisipatif. Masyarakat kemudian juga membentuk Organisasi Masyarakat, yang secara generik disebut dengan Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM), yang diharapkan menjadi motor penggerak masyarakat untuk membangun wilayahnya secara mandiri dan berkelanjutan. Foto 7.2 Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan Dalam kurun 2007-2011, Dana BLM PNPM Mandiri Perkotaan yang disalurkan ke masyarakat adalah sejumlah Rp 6,36 Trilyun. Dana tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pemukiman telah dirasakan manfaatnya oleh hampir 11 juta KK, dengan perincian sebagai berikut : Tabel 7.5 Pembangunan dan Rehabilitasi Infrastruktur Permukiman No Jenis Kegiatan Volume Pemanfaat (KK) 1 Jalan 23.755.722 meter 8.678.900 2 Jembatan 220.439 meter 737.178 3 Perbaikan/Pembangunan 92.976 unit 215.467 Rumah Tidak Layak 4 MCK 64.377 unit 729.660 5 Air Bersih A. Perpipaan B. Bangunan Air Bersih 6 Irigasi C. Saluran irigasi D. Bangunan irigasi 1.282.505 27.755 meter unit 199.125 577.758 179.372 227 meter unit 83.249 8.888 7 Sarana kesehatan 5.182 unit 292.344 8 Sarana pendidikan 5.868 unit 97.470 Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum, 2011

106 Kotak 7.6 Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) Meluasnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh khususnya di perkotaan telah menimbulkan banyak dampak antara lain bencana kebakaran dan banjir, konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat serta kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman. Kondisi ini perlu segera ditangani untuk mewujudkan permukiman yang layak huni dalam suatu lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Oleh karena itu, mulai tahun 2010 dilaksanakan program Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan kawasan yang terpadu. Target PLP2K-BK sampai akhir 2014 adalah 655 hektar. 300 Rp. 240 M Rp. 280 M Rp. 288 M 200 100 Rp. 75 M Rp. 160 M 0 50 ha 100 ha 150 ha 175 ha 180 ha 2010 2011 2012 2013 2014 Gambar 7.7 Target Rencana dan ALokasi PLP2K-BK Tahun 2010 2014 PLP2K-BK pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk menata dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan kumuh dan permukiman kumuh secara berkelanjutan dengan pendekatan tridaya melalui perbaikan dan penyediaan prasarana, sarana dan ulitilitas umum (PSU) yang memadai untuk mendukung penghidupan dan kehidupan lingkungan menjadi layak dan produktif. Objek penanganan PLP2K-BK adalah perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang sesuai dengan peruntukkannya sebagai perumahan dalam rencana tata ruang wilayah kota/kabupaten setempat, dengan kriteria lokasi: 1) mengelompok minimal 10 hektar; 2) ditetapkan oleh pemerintah daerah sebagai lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan 3) memiliki intensitas kekumuhan dan permasalahan sosial kemasyarakatan. PLP2K-BK memiliki beberapa komponen kegiatan utama yang satu dengan yang lainnya saling terintegrasi, antara lain: 1) penyusunan rencana PLP2K-BK; 2) pembentukan tenaga penggerak masyarakat (TPM); 3) penyusunan rencana tindak komunitas; 4) penyusunan detailed engineering design; 5) pembangunan stimulan fisik; 6) supervisi pembangunan stimulan fisik; dan 7) monitoring dan evaluasi. Seluruh kegiatan tersebut diawali dengan verifikasi lokasi berdasarkan usulan lokasi dari pemerintah daerah, dengan melakukan pengecekan kesesuaian lokasi dengan kriteria lokasi PLP2K-BK, hingga kemudian pembangunan stimulan fisik PSU sesuai dengan kebutuhan masyarakat (parcipatory planning) melalui rembug warga. Kabupaten/kota yang telah mendapat bantuan penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuhnya melalui PLP2K-BK pada tahun 2010-2011, yaitu sebanyak 33 lokasi pada 31 kabupaten/kota. Wilayah perencanaan pada masing-masing lokasi memiliki luasan yang berbedabeda, tergantung dengan permasalahan dan interaksi dengan sistem perkotaannya. Hingga tahun 2011 perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang telah ditangani oleh PLP2K-BK seluas 165 hektar atau sekitar 25 persen dari target Rencana Strategis Kementerian Perumahan Rakyat, dengan jumlah penduduk yang mendapatkan manfaat ± 33.000 kepala keluarga (KK). Sumber : Kementerian Perumahan Rakyat, 2011 Laporan Pencapaian Tujuan Milenium di Indonesia 2011

TUJUAN 8 MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sumber: Kementerian PPN/Bappenas

108

TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN 109 TARGET 8A MENGEMBANGKAN SISTEM KEUANGAN DAN PERDAGANGAN YANG TERBUKA, BERBASIS PERATURAN, DAPAT DIPREDIKSI DAN TIDAK DISKRIMINATIF Indikator Acuan dasar Saat ini Target MDGs 2015 Status Sumber Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a 8.6b 8.6c Rasio ekspor dan impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi) Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR 41,60% (1990)* 45,80% (2000)* 101,30% (2003)* Status : Sudah Tercapai Akan Tercapai Perlu Perhatian Khusus 45,00% (2011)** 78,80% (2011)** 107,60 % (2011)** Meningkat Meningkat Meningkat * BPS & Bank Dunia ** Kemendag & BPS *Laporan Perekonomian BI 2008, 2009 **Statistik Perbankan Indonesia, BI (2011) KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Fenomena saling ketergantungan dan saling keterkaitan antar negara adalah merupakan implikasi dari hubungan internasional. Hal ini tercermin dari pembentukan kelompok kerjasama yang semakin meluas baik yang berlandaskan pada kedekatan geografis maupun fungsional dalam tataran multilateral, regional (subregional), maupun bilateral. Fenomena globalisasi tersebut berimplikasi pada perekonomian Indonesia yang menunjukkan kecenderungan untuk semakin terbuka dalam jangka panjang. Dengan dukungan berbagai upaya pembenahan kerangka peraturan perdagangan, keterbukaan tersebut berdampak pada peningkatan kinerja perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami peningkatan tajam pada periode pasca krisis tahun 1998. Peningkatan yang sama juga terjadi pada nilai ekspor dan impor nasional. Peningkatan surplus perdagangan juga terjadi seiring dengan pertumbuhan ekspor yang rata-rata lebih tinggi daripada impornya.

Persentase Tingkat Keterbukaan Ekonomi) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Miliar USD 110 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 41.4% 45.0% 900 800 700 600 500 400 300 200 100 - Tingkat Keterbukaan Ekonomi Impor Gambar 8.1. Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB Indikator keterbukaan ekonomi yang dihitung sebagai rasio ekspor dan impor nasional terhadap PDB menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan (lihat Gambar 8.1). Pengkajian data indikator keterbukaan mengungkapkan bahwa selama dekade terakhir indikator ini tercatat berkisar 45,00 persen. Namun demikian, dalam jangka panjang, ada peningkatan dari 41,30 persen pada tahun 1990 menjadi 41,40 persen pada tahun 2010, dan 45,00 persen pada tahun 2011. Krisis keuangan di negara maju yang berdampak pada daya beli dan semakin menguatnya proteksionisme di beberapa negara memberi tantangan ke depan pada pencapaian indikator ini. Pertumbuhan perekonomian nasional juga perlu didukung dengan sistem keuangan yang handal. Berbagai upaya pembenahan menyeluruh sektor keuangan terutama perbankan setelah krisis ekonomi berdampak pada membaiknya ketahanan perbankan yang pada gilirannya berhasil menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Ketahanan perbankan tercermin pada beberapa indikator antara lain adalah kondisi rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio CAR) yang menunjukkan bahwa secara umum perbankan nasional memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menghadapi potensi risiko ke depan. Membaiknya ketahanan perbankan berdampak pada terjaganya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya dana pihak ketiga dan penyaluran pinjaman (kredit) kepada pihak ketiga. Ketahanan perbankan juga dapat dilihat dari fungsi intermediasi perbankan yang tetap menjaga prinsip kehatihatian dengan pengelolaan kualitas kredit yang tercermin dari peningkatan rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loans/NPL) selama 2 tahun terakhir (lihat Tabel 8.1). Ekspor GDP Harga Berlaku (billion USD) Tabel 8.1. Beberapa Indikator Terpilih kondisi Bank Umum di Indonesia, 2010-2011 Indikator 2010 2011 Total Aset (triliun Rp) 3.008,90 3.652,80 Dana PihakKetiga (triliun Rp) 2.338,90 2.784,90 Kredit kepada Pihak Ketiga (triliun Rp) 1.765,80 2.200,10 Loan to Deposit Ratio - LDR (%) 75,20 78,80 Return on Assets - ROA (%) 2,90 3,00 Non-Performing Loans - NPL (%) 2,40 2,00 Capital Adequacy Ratio - CAR (%) 17,20 16,00 Sumber: Bank Indonesia

111 Rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) di bank umum dan BPR meningkat secara signifikan pascakrisis ekonomi 1998. Peningkatan LDR bank umum ditunjukkan oleh pertumbuhan kredit selama tahun 2011 sebesar 24,50 persen serta pertumbuhan dana pihak ketiga dalam beberapa tahun terakhir. Selain dipengaruhi kondisi perekonomian Indonesia yang kondusif, pesatnya pertumbuhan kredit juga merupakan hasil dari kebijakan GWM LDR 1 oleh Bank Indonesia yang efektif mulai Maret 2011, dimana LDR perbankan ditetapkan dalam suatu kisaran yang dipandang mampu mendorong fungsi intermediasi (batas bawah 78,00 persen dan batas atas 100,00 persen). Dengan perkembangan tersebut, maka LDR bank umum terus meningkat menjadi 75,20 persen pada akhir tahun 2010 dan 78,80 persen pada akhir tahun 2011. Sementara rasio pinjaman BPR juga meningkat menjadi 107,60 persen pada 2011. Dari sisi pembiayaan, tercatat pertumbuhan kredit BPR 21,44 persen pada 2011 dengan nilai nominal saat ini mencapai Rp 41 triliun. UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs Berbagai langkah dilakukan untuk meningkatkan rasio besarnya ekspor dan impor terhadap PDB, antara lain melalui kebijakan peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas melalui diversifikasi pasar serta peningkatan keberagaman dan kualitas produk, yang didukung oleh strategi, mendorong upaya diversifikasi pasar tujuan ekspor untuk mengurangi tingkat ketergantungan kepada pasar ekspor tertentu; meningkatkan keberagaman dan kualitas produk terutama untuk produk-produk manufaktur yang bernilai tambah lebih besar, berbasis pada sumber daya alam, dan permintaan pasarnya besar; dan meningkatkan kualitas perluasan akses pasar, promosi, dan fasilitasi ekspor nonmigas di berbagai tujuan pasar ekspor melalui pemanfaatan skema kerjasama perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral; serta melakukan pengendalian impor produk-produk yang berpotensi menurunkan daya saing produk domestik di pasar dalam negeri. Untuk menjaga stabilitas sektor keuangan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan, Pemerintah melakukan beberapa kebijakan yaitu: (i) peningkatan daya saing dan ketahanan sektor keuangan antara lain dengan pendirian lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK); (ii) peningkatan fungsi intermediasi perbankan antara lain melalui penetapan suku bunga dasar kredit; dan (iii) peningkatan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan (financial inclusion) antara lain melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yaitu pemberian kredit dengan model penjaminan bagi masyarakat yang unbankable dan program TabunganKu yang mengenalkan tabungan tanpa Biaya Administratif dan deposit awal yang cukup ringan (hanya Rp 20.000), serta program edukasi keuangan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai produk dan jasa perbankan. Disamping itu, Pemerintah dan Bank Indonesia terus mengupayakan pemberdayaan lembaga keuangan mikro untuk melayani masyarakat di pedesaan dan kelompok usaha mikro, melalui optimalisasi peran Bank Perkreditan rakyat (BPR). 1 GWM LDR merupakan kebijakan mengenai simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh Bank dengan LDR target.

112 Kotak 8.1 Generic Model Apex BPR untuk Mengoptimalkan Peran BPR dalam Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Model Apex BPR, yang telah diterapkan di Jerman, Hungaria, Ghana, Brazil, dan India, ini diadopsi untuk menguatkan pertumbuhan perekonomian melalui optimalisasi kontribusi perbankan dalam membiayai seluas mungkin pelaku usaha terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). UMKM, yang jumlahnya mencapai 51,3 juta, merupakan unit bisnis yang mendominasi dunia usaha di Indonesia, namun baru sekitar 40,00 persen yang terlayani oleh perbankan. Pelaku perbankan yang selama ini mengutamakan layanan pembiayaan usaha mikro dan kecil adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan terbatasnya kemampuan BPR dibandingkan dengan bank umum, maka keberadaan BPR perlu dilindungi. Untuk itu diperlukan kerjasama antar-bpr dan sinergi antara BPR - dengan bank umum guna mengoptimalkan pembiayaan kepada UMKM. Kerjasama Apex-BPR, yang merupakan kerjasama Bank Umum yang berperan sebagai bank induk dengan BPR sebagai anggota, dapat menjadi solusi terhadap hal itu (Apex, bahasa Yunani berarti pengayom). Apex-BPR berfungsi untuk, (i) mengelola pooling of funds dan membantu BPR dalam mengatasi kesulitan likuiditas akibat mismatch; (ii) melakukan kerjasama pembiayaan (seperti linkage program); (iii) memfasilitasi BPR dalam mencari sumber-sumber dana lain, dan (iv) memberikan bantuan teknis pengembangan Teknologi Informasi (TI), pengembangan produk, pelatihan, dan jasa sistem pembayaran. Apex terdiri dari tiga bagian yaitu Bank Umum sebagai Apex (mempersiapkan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan operasional Apex), BPR (anggota Apex), dan Komite Apex (beranggotakan perwakilan bank umum, serta DPD dan dewan pengurus komisariat Perbarindo). Dengan kerjasama ini BPR (anggota Apex) memiliki lembaga pendukung finansial (khususnya dalam kondisi mismatch) dan bantuan teknis, dimilikinya layanan jasa sistem pembayaran dalam pemindahan dana antar nasabah BPR anggota Apex, kerjasama pemanfaatan produk/jasa berbasis TI (seperti ATM) dan pemasaran produk/jasa lainnya, serta layanan lain seperti pendampingan dan pelatihan. Bank umum (Apex-BPR) dapat menjadikan BPR sebagai perpanjangan tangan untuk melayani wilayah dan masyarakat, menciptakan produk dan jasa bersama untuk menjangkau nasabah yang lebih luas, memanfaatkan pooling idle funds BPR sebagai sumber dana kelolaan, dan peluang untuk menghasilkan fee-based income dari pemanfaatan transaksi oleh BPR melalui jaringan ATM bank umum. Pada tahap awal, Model Apex BPR diterapkan pada interaksi BPR dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang bertindak sebagai Apex. Ini sebagai tindak lanjut atas pencanangan program BPD Regional Champion (BRC) pada tanggal 21 Desember 2010 dimana peran BPD terus ditingkatkan untuk menjadi agent of regional development dimana salah satu kriterianya BPD menjadi Apex BPR.

113 Gambar 8.2 Model Kerjasama Apex BPR