IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

IDENTIFIKASI INDIKATOR KEKERINGAN MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH FERSELY GETSEMANI FELIGGI

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB III DATA DAN METODOLOGI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

ix

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 6. Peta Kecamatan di DAS Sunter.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Gambar 1. Peta Prakiraan Cuaca Hujan Mei 2018 (Sumber : Stasiun Klimatologi Karangploso Malang)

Angin Meridional. Analisis Spektrum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

Tahun Penelitian 2005

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

Gambar 1. Peta DAS penelitian

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ANALISIS CUACA TERKAIT KEJADIAN BANJIR DI PULAU BANGKA TANGGAL 07 FEBRUARI 2016

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

Transkripsi:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun satelit menangkap pantulan gelombang ini pada beberapa kanal sesuai dengan karakteristik satelit. Pada sensor satelit MODIS, ada tujuh kanal yang menangkap reflektansi gelombang elektromagnetik untuk kajian dan analisis permukaan tanah, yaitu kanal 1 sampai kanal 7. Nilai albedo diduga dari korelasi antara reflektansi gelombang elektromagnetik pada kanal 1 sampai 7 dan hasil pengukuran lapang. Analisis yang digunakan dalam pendugaan albedo ini adalah analisis regresi berganda. Pengukuran lapang dilakukan pada tiga tempat dengan tipe penutupan lahan yang berbeda-beda. Ketiga tempat itu adalah daerah perkotaan, daerah bervegetasi dan tambak (Tabel 1). Pengukuran dilakukan sekitar pukul 1 WIB menggunakan alat albedometer. Nilai reflektansi kanal 1 sampai 7 diperoleh dengan mengekstrak nilai piksel pada citra. Pengekstrakan dilakukan pada koordinat yang sama dengan koordinat hasil pengukuran lapang pada setiap tanggal. Tabel 1. Hasil pengukuran albedo. Tempat pengukuran Nilai albedo perkotaan 0,31 15 vegetasi 0,29 tambak 0,25 perkotaan 0,31 16 vegetasi 0,15 tambak 0,07 perkotaan 0,25 18 vegetasi 0,19 tambak 0,12 perkotaan 0,22 19 vegetasi 0,25 tambak 0,14 perkotaan 0,25 20 vegetasi 0,23 tambak 0,17 perkotaan 0,31 25 vegetasi 0,24 tambak 0,22 perkotaan 0,26 29 vegetasi 0,24 tambak 0,15 perkotaan 0,27 30 vegetasi 0,19 tambak 0,18 Sumber : LAPAN Nilai albedo dihitung menggunakan persamaan regresi berganda. Analisis regresi berganda dilakukan menggunakan Minitab 14. Persamaan regresi yang diperoleh adalah : Albedo = 0,0312 5,9 R1 + 1,02 R2 + 0,0425 R3 + 4,08 R4 2,56 R5 + 2,2 R6 + 2,51 R7 (23) Model pendugaan albedo (persamaan 23) merupakan signifikansi pengaruh reflektansi kanal cahaya tampak satelit MODIS dengan nilai albedo. Nilai R 2 persamaan regresi tersebut adalah 0,77 yang berarti reflektansi kanal 1 sampai kanal 7 (R1 sampai R7) pada satelit MODIS berpengaruh nyata terhadap nilai albedo permukaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai albedo berdasarkan model tersebut mendekati keadaan sebenarnya. Persamaan regresi ini adalah formula untuk memperoleh nilai albedo dari citra satelit MODIS dengan inputnya adalah reflektansi kanal 1 sampai kanal 7. Nilai albedo merupakan input dalam estimasi radiasi netto dan fluks bahang tanah. 4.1.2. Pendugaan Radiasi Surya Nilai radiasi surya ditentukan oleh nilai radiasi ekstraterrestrial dan ketinggian tempat. Estimasi nilai radiasi ekstraterrestrial dihitung berdasarkan persamaan (11), (12), (13), (14) dengan menggunakan Microsoft Excel. Nilai radiasi ekstraterrestrial dihitung pada setiap 0,5 derajat bujur dan lintang antara 109 o sampai 115 o BT dan 6 o sampai 9 o LS. Hasil penghitungan nilai radiasi ekstraterrestrial ini kemudian dirata-ratakan. Penghitungan nilai radiasi ekstraterrestrial rata-rata dilakukan pada setiap tanggal sehingga didapat persamaan untuk memperoleh nilai radiasi surya rata-rata pada setiap tanggal (Tabel 2). Persamaan pada Tabel 2 merupakan formula untuk menghitung nilai radiasi surya rata-rata menggunakan ERMapper 6.4 dengan DEM (z = ketinggian) sebagai inputnya. Tabel 2. Persamaan nilai radiasi surya rata-rata Persamaan (formula) 15 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,236 16 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,22 18 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,196 19 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,188 20 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,183 25 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,202 29 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,267 30 Rs rataan = (0,75 + 0,00002 z) 30,29

Estimasi radiasi surya pada pukul 1 WIB dilakukan menggunakan ERMapper 6.4 dengan inputnya adalah nilai radiasi surya rata-rata. Dengan mengasumsikan radiasi surya sebagai fungsi sinusoidal dan kondisi langit yang cerah saat pengambilan citra maka formula yang digunakan untuk menghitung nilai radiasi surya pada pukul 1 WIB adalah : Rs 10 = 1.36 Rs rataan (24) Keterangan : sin 60 o = 0,866 Nilai radiasi surya pada pukul 1 ini merupakan input dalam estimasi radiasi netto. 4.1.3. Pendugaan Suhu Udara Pengukuran suhu udara pada stasiun cuaca Karangploso dilakukan tiga kali dalam satu hari, yaitu pukul 0 GMT, 06.00 GMT dan 12.00 GMT. Selisih waktu antara Waktu Indonesia Barat dan Greenwich Mean Time adalah +7 jam. Jadi, pengukuran suhu udara di stasiun cuaca Karangploso dilakukan pada pukul 07.00 WIB, 13.00 WIB dan 19.00 WIB. Pengambilan citra dilakukan pada pukul 1 WIB. Oleh karena itu, untuk mendekati keadaan yang sebenarnya perlu diketahui nilai suhu udara pada pukul 1 WIB. Profil suhu udara harian dari pukul 07.00 sampai pukul 19.00 WIB dapat diketahui dari ketiga hasil pengukuran tersebut (Lampiran 3). Dari profil suhu tersebut diperoleh persamaan untuk menghitung suhu udara pada pukul 1 WIB (Tabel 3). Tabel 3. Persamaan profil suhu udara harian di stasiun cuaca Karangploso, Jawa Timur. Persamaan (formula) 15 Y = -0,1361 x 2 + 3,8222 x + 0,1139 16 Y = -0,125 x 2 + 3,4333 x + 3,2917 18 Y = -0,1472 x 2 + 4,2444 x - 2,2972 19 Y = -0,1708 x 2 + 4,9667 x - 8,8958 20 Y = -0,0472 x 2 + 1,3611 x + 13,586 25 Y = -0,1194 x 2 + 3,4889 x - 0,7694 29 Y = -0,1194 x 2 + 3,4222 x + 1,4972 30 Y = -0,1292 x 2 + 3,6667 x + 0,8375 Berdasarkan persamaan pada Tabel 3, jika x = jam maka dapat diperoleh nilai suhu udara (Y) pada pukul 1 WIB (x = 10) (Tabel 4). Tabel 4. Suhu udara ( o C) pada pukul 1 WIB di stasiun cuaca Karangploso, Jawa Timur. 15 16 18 19 20 25 29 30 Suhu udara ( o C) pada pukul 1 WIB 24,7 25,1 25,4 23,7 22,5 22,2 23,8 22,9 Untuk mengetahui sebaran nilai suhu udara di Propinsi Jawa Timur maka diasumsikan suhu udara berkurang 0,65 o C setiap ketinggian bertambah 1 Km. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data yang ada (hanya satu stasiun). Oleh karena itu suhu udara di stasiun cuaca Karangploso yang memiliki ketinggian 575 m dpl (di atas permukaan laut) dijadikan acuan untuk menghitung suhu udara di permukaan laut (0 m dpl) (Tabel 5). Tabel 5. Suhu udara ( o C) di permukaan laut (0 m dpl) pada pukul 1 WIB. Suhu udara ( o C) di permukaan laut pada pukul 1 WIB 15 28,5 16 28,9 18 29,2 19 27,4 20 26,2 25 25,9 29 27,5 30 26,6 Persamaan regresi antara suhu udara di stasiun cuaca Karangploso dan suhu udara di permukaan laut merupakan formula untuk memperoleh sebaran nilai suhu udara (Y) berdasarkan ketinggian (x) (Tabel 6, Lampiran 4). Suhu udara digunakan dalam penghitungan radiasi netto dan fluks bahang terasa. Tabel 6. Persamaan sebaran nilai suhu udara ( o C) berdasarkan ketinggian (m). 15 16 18 19 20 25 29 30 Persamaan (formula) Y = -0,0066x + 28,5 Y = -0,0066x + 28,9 Y = -0,0064x + 29,2 Y = -0,0064x + 27,4 Y = -0,0064x + 26,2 Y = -0,0064x + 25,9 Y = -0,0064x + 27,5 Y = -0,0064x + 26,6

4.1.4. Penentuan Nilai NDVI Nilai NDVI merupakan hubungan antara reflektansi gelombang inframerah dekat dengan reflektansi gelombang cahaya tampak (merah) (persamaan (7)). Pada sensor satelit MODIS, reflektansi gelombang inframerah dekat ditangkap oleh kanal 2 dan reflektansi gelombang cahaya tampak (merah) oleh kanal 1. Nilai NDVI di daerah pemukiman lebih kecil daripada nilai NDVI di daerah bervegetasi. NDVI merupakan input dalam penghitungan radiasi netto dan fluks bahang tanah. 4.2. Estimasi Komponen Neraca Energi 4.2.1. Estimasi Radiasi Netto Radiasi netto dihitung menggunakan persamaan (16) sebagai formula dalam pengolahan citra MODIS menggunakan ERMapper 6.4. Oleh karena itu, input yang diperlukan adalah albedo, suhu udara, radiasi surya, suhu permukaan dan emisivitas permukaan. Nilai emisivitas permukaan didapat dari nilai NDVI (persamaan (8)). Pada penelitian ini, nilai radiasi netto berkisar antara 17 sampai 32 MJ m -2 hari -1. Pada tanggal 25 Juni 2004, nilai radiasi netto di Propinsi Jawa Timur bagian utara relatif rendah. Hal ini menunjukan bahwa radiasi netto di daerah pemukiman relatif rendah karena sebagian besar wilayah di utara Jawa Timur merupakan daerah pemukiman. Sementara itu, nilai radiasi netto di daerah pegunungan relatif tinggi sehingga radiasi netto di daerah bervegetasi lebih tinggi daripada radiasi netto di daerah pemukiman (Gambar 4). Sebaran nilai radiasi netto dilampirkan pada Lampiran 5. tanggal dengan letak geografis yang sama dengan mengasumsikan setiap pixel (picture element) merupakan dominasi penutupan lahan (pemukiman atau vegetasi). (Tabel 7). Penelitian ini menggunakan delapan citra satelit MODIS sehingga jumlah sampelnya adalah 80. Tabel 7. Letak geografis sampel sebaran nilai komponen neraca energi di daerah pemukiman dan vegetasi. Pemukiman Vegetasi Bujur ( o BT) Lintang ( o LS) Bujur ( o BT) Lintang ( o LS) 112.6 7.43 111.78 7.45 112.9 7.72 111.8 7.8 112.76 7.32 111.95 7.44 112.48 7.27 114.17 8.2 112.02 7.8 114.29 8.07 111.61 7.5 113.62 8.02 112.21 7.42 112.84 8.13 113.85 7.95 113.1 8.08 113.8 8.14 112.64 7.84 114.13 7.76 111.88 7.06 Daerah yang memiliki kelengasan rendah (kering) seperti daerah pemukiman memiliki nilai albedo permu kaan yang tinggi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman rendah (Gambar 5). Sebaliknya, nilai radiasi netto tinggi pada daerah yang memiliki kelengasan tinggi (basah) seperti daerah bervegetasi. Dengan kata lain, radiasi netto berbanding terbalik dengan nilai albedo permukaan. Rn (MJ m -2 hari -1 ) 35.00 3 25.00 2 15.00 Rn pemukiman Rn vegetasi 1 Gambar 5. Rata-rata nilai radiasi netto (MJ m -2 hari 1 ) di daerah vegetasi dan pemukiman. Gambar 4. Sebaran nilai radiasi netto (MJ m -2 hari 1 ) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. Untuk mengetahui sebaran nilai radiasi netto di daerah vegetasi dan pemukiman maka diambil sepuluh titik (pixel) sebagai sampel. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap 4.2.2. Estimasi Fluks Bahang Terasa Input yang diperlukan untuk menghitung fluks bahang terasa adalah suhu udara dan suhu permukaan. Kecepatan angin pada ketinggian 2 m diasumsikan konstan (2 m s -1 ). Formula yang digunakan dalam penghitungan fluks bahang terasa adalah persamaan (17). Semakin tinggi suhu permukaan maka nilai fluks bahang terasa akan semakin tinggi

juga. Hal in i dikarenakan semakin besar perbedaan atau selisih antara suhu permukaan dan suhu udara yang mengakibatkan semakin besar transfer energi dari permukaan ke udara. Sebaliknya, semakin rendah suhu permukaan akan mengakibatkan semakin kecil perbedaan suhu antara suhu permukaan dan suhu udara sehingga nilai fluks bahang terasa akan semakin rendah juga. Pada tanggal 25 Juni 2004, daerah pemukiman memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Akibatnya, nilai fluks bahang terasa pada daerah pemukiman lebih tinggi dibandingkan dengan daerah bervegetasi (Gambar 6). 4.2.3. Fluks Bahang Tanah Persamaan (18) merupakan formula untuk menghitung fluks bahang tanah dengan albedo, suhu permukaan, radiasi netto dan NDVI sebagai inputnya. Lampiran 7 mendeskripsikan sebaran nilai fluks bahang tanah yang berkisar antara 0,5 sampai 5,5 MJ m -2 hari -1. Sama halnya dengan fluks bahang terasa, semakin rendahnya suhu permukaan akan mengakibatkan semakin kecilnya perbedaan antara suhu permukaan dan suhu udara. Hal ini mengakibatkan transfer energi dari permukaan tanah ke tanah bagian dalam akan semakin kecil juga sehingga fluks bahang tanah akan semakin rendah. Begitupun sebaliknya, semakin tinggi suhu permukaan akan mengakibatkan semakin tinggi pula nilai fluks bahang tanah. Pada penelitian ini, daerah yang memiliki suhu permukaan yang relatif tinggi yaitu daerah pemukiman daripada daerah bervegetasi. Sehingga, daerah pemukiman memiliki nilai fluks bahang tanah yang lebih besar daripada daerah bervegetasi (Gambar 8). Gambar 6. Sebaran nilai fluks bahang terasa (MJ m -2 hari 1 ) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 4.00 G pemukiman G vegetasi Pada penelitian ini, perbedaan suhu antara suhu permukaan dengan suhu udara relatif kecil karena waktu pengambilan citra yang relatif pagi (pukul 1 WIB). Akibatnya, suhu permukaan tidak pada keadaan maksimum atau relatif rendah sehingga nilai fluks bahang terasanya juga relatif rendah. Di beberapa tempat (sebagian besar di daerah bervegetasi) fluks bahang terasa bernilai negatif (Gambar 7). Fluks bahang terasa yang bernilai negatif disebabkan oleh suhu udara yang lebih tinggi daripada suhu permukaan di daerah tersebut. Kisaran nilai fluks bahang terasa pada penelitian ini adalah 5 sampai 10 MJ m -2 hari -1 (Lampiran 6). 1 8.00 H pemukiman H vegetasi G (MJ m -2 hari -1 ) 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 Gambar 8. Rata-rata nilai fluks bahang tanah (MJ m -2 hari 1 ) di daerah vegetasi dan pemukiman. Pada tanggal 25 Juni 2004, nilai fluks bahang tanah di pesisir pantai utara Jawa Timur (daerah pemukiman) relatif tinggi. Sementara itu, pada lintang 8 o LS yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan (vegetasi) nilai fluks bahang tanah relatif rendah (Gambar 9). H (MJ m -2 hari -1 ) 6.00 4.00 2.00-2.00-4.00 Gambar 7. Rata-rata nilai fluks bahang terasa (MJ m -2 hari 1 ) di daerah vegetasi dan pemukiman.

Gambar 9. Sebaran nilai fluks bahang tanah (MJ m -2 hari 1 ) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 4.2.4. Estimasi Fluks Bahang Penguapan Input yang diperlukan untuk menghitung fluks bahang penguapan adalah radiasi nettto, fluks bahang terasa dan fluks bahang tanah. Formula yang digunakan adalah persamaan (6). Nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini relatif besar karena nilai fluks bahang terasanya relatif kecil. Pada tanggal 19 Juni 2004, rata-rata nilai fluks bahang terasa yang negatif mengakibatkan nilai fluks bahang penguapan cukup tinggi. Nilai fluks bahang penguapan pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi (Gambar 10). LE (MJ m -2 hari -1 ) LE pemukiman 28.00 LE vegetasi 26.00 24.00 22.00 2 18.00 16.00 14.00 12.00 1 menguapkan air. Formula yang digunakan untuk menghitung EF adalah persamaan (19) dengan inputnya adalah radiasi netto, fluks bahang tanah dan fluks bahang penguapan. Nilai EF berbanding lurus dengan nilai fluks bahang penguapan sehingga jika nilai EF semakin tinggi maka sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk menguapkan air daripada memanaskan udara dan tanah. Nilai fluks bahang penguapan di daerah bervegetasi lebih tinggi daripada di daerah pemukiman. Akibatnya, nilai EF di daerah bervegetasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai EF di daerah pemukiman (Gambar 13). Daerah dengan nilai EF yang rendah, seperti daerah pemukiman, mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan (Gambar 12). Begitupun sebaliknya, daerah dengan nilai EF yang tinggi (daerah bervegetasi) mengindikasikan daerah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Sebaran nilai Evaporative Fraction dilampirkan pada Lampiran 9. Gambar 10. Rata-rata nilai fluks bahang penguapan (MJ m -2 hari 1 ) di daerah vegetasi dan pemukiman. Pada daerah pemukiman, radiasi netto lebih banyak digunakan untuk memanaskan tanah dan memanaskan udara daripada untuk menguapkan uap air. Hal ini menunjukan bahwa daerah pemukiman memiliki kelengasan tanah yang rendah dan uap air yang relatif lebih sedikit daripada daerah bervegetasi (Gambar 11). Kisaran nilai fluks bahang penguapan pada penelitian ini adalah 5 sampai 35 MJ m -2 hari -1 (Lampiran 8). Gambar 12. Sebaran nilai Evaporative Fraction di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 1.20 1.00 EF pemukiman EF vegetasi 0.80 EF 0.60 0.40 0.20 Gambar 13. Rata-rata nilai Evaporative Fraction di daerah vegetasi dan pemukiman. Gambar 11. Sebaran nilai fluks bahang penguapan (MJ m - 2 hari 1 ) di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. 4.3. Estimasi Indikator Kekeringan 4.3.1. Estimasi Evaporative Fraction Evaporative Fraction merupakan fraksi atau bagian energi yang digunakan untuk 4.3.2. Estimasi Bowen Ratio Dalam penghitungan nilai Bowen Ratio, input yang diperlukan adalah nilai fluks bahang terasa dan fluks bahang penguapan dengan persamaan (20) sebagai formulanya. Nilai Bowen Ratio berbanding terbalik dengan nilai fluks bahang penguapan. Jika nilai fluks

bahang penguapan semakin tinggi maka nilai Bowen Ratio akan semakin rendah. Sebaliknya, jika nilai fluks bahang penguapan semakin rendah maka nilai Bowen Ratio akan semakin tinggi. Nilai Bowen Ratio sebanding dengan nilai fluks bahang terasa. Daerah yang memiliki nilai fluks bahang terasa negatif menyebabkan nilai Bowen Ratio di daerah tersebut juga negatif (sebagian besar daerah bervegetasi). Sebaran nilai Bowen Ratio berkisar antara 0,2 sampai 1,3 (Lampiran 10). Nilai Bowen Ratio di daerah pemukiman lebih tinggi daripada di daerah bervegetasi (Gambar 15). Daerah yang memiliki nilai Bowen Ratio yang tinggi (daerah pemukiman) mengindikasikan daerah tersebut berpotensi terjadi kekeringan (Gambar 14). Gambar 16. Sebaran nilai Crop Water Stress Index di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. Pada penelitian ini, nilai Crop Water Stress Index pada daerah pemukiman lebih besar daripada daerah bervegetasi (Gambar 17). Jadi, daerah pemukiman lebih berpotensi terjadi kekeringan daripada daerah bervegetasi. Gambar 14. Sebaran nilai Bowen Ratio di Propinsi Jawa Timur, tanggal 25 Juni 2004. B 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20-0.20 B pemukiman B vegetasi Gambar 15. Rata-Rata nilai Bowen Ratio di daerah vegetasi dan pemukiman. 4.3.3. Estimasi Crop Water Stress Index Nilai Crop Water Stress Index merupakan kebalikan dari nilai Evaporative Fraction (persamaan 21). Jadi, jika semakin besar nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin besar juga. Sebaliknya, semakin kecil nilai Crop Water Stress Index maka potensi terjadinya kekeringan akan semakin kecil (Gambar 16). Lampiran 11 mendeskripsikan sebaran nilai Crop Water Stress Index. CWSI 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10-0.10-0.20 CWSI pemukiman CWSI vegetasi Gambar 17. Rata-rata nilai Crop Water Stress Index di daerah vegetasi dan pemukiman. V. KESIMPULAN Konsep neraca energi merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi potensi tidak terjadinya atau terjadinya kekeringan. Indikator-indikator kekeringan seperti Evaporative Fraction, Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index adalah indikator berbasis proses fisik yang merupakan turunan dari neraca energi. Faktor-faktor yang menentukan tinggi rendahnya komponen-komponen neraca energi adalah albedo permukaan, suhu udara, suhu permukaan dan indeks vegetasi (NDVI). Daerah pemukiman memiliki albedo permukaan yang lebih tinggi daripada daerah bervegetasi. Hal ini menyebabkan radiasi netto pada daerah pemukiman lebih rendah daripada daerah bervegetasi. Pada daerah pemukiman, perbedaan yang besar antara suhu permukaan dan suhu udara menyebabkan tingginya nilai fluks bahang terasa dan fluks bahang tanah sehingga nilai