Gambar 7. Lokasi Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

III. BAHAN DAN METODE

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

STUDI TENTANG IDENTIFIKASI LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DAN ASTER (STUDI KASUS : KABUPATEN JEMBER)

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Gambar 6. Peta Lokasi Kabupaten Majalengka (Sumber : PKSKL IPB 2012)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

IV. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGANN PARIWISATA DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT FELIK DWI YOGA PRASETYA

APLIKASI SIG DALAM MENENTUKAN LOKASI TPA DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Tabel 4 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

STUDI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (UKL) EKSPLORASI GEOTHERMAL DI KECAMATAN SEMPOL, KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

III. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. BAHAN DAN METODE

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... i. HALAMAN PERNYATAAN... iii. INTISARI... iii. ABSTRACT... iv. KATA PENGANTAR...

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode Penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemetaan Potensi Batuan Kapur Menggunakan Citra Satelit Landsat 8 di Kabupaten Tuban

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 hingga Maret 2014.

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INTERPRETASI LAHAN RAWA YANG BELUM DIALIH FUNGSI MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. Persiapan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra

STUDI TENTANG IDENTIFIKASI LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DAN ASTER (STUDI KASUS : KABUPATEN JEMBER)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN PERKEBUNAN DI KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

BAB III METODE PENILITIAN. Lokasi penelitian mengambil daerah studi di Kota Gorontalo. Secara

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

III. BAHAN DAN METODE

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8''-108 7'30'' Bujur Timur. Secara Administrasi Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Dalam penelitian ini persiapan dan pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengolahan data sebelum kerja lapangan dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai bulan Februari 2012, sedangkan kerja lapang dan wawancara dilaksanakan pada akhir Februari 2012. Untuk pengolahan data akhir dilaksanakan setelah kerja lapang sampai bulan Mei 2012. Gambar 7. Lokasi Penelitian

15 3.2 Jenis dan Sumber Data Untuk menunjang penelitian ini diperlukan beberapa jenis data primer dan sekunder seperti tersaji pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut: Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Primer No Jenis Data Primer Sumber Data 1 ASTER GDEM www.gdem.aster.ersdac.or.jp 2 3 Citra Landsat path/row: 121/65,122/65 di akuisisi tahun 2008 Data Hasil Pengamatan Penggunaan Lahan Tahun 2012 dan Kejadian Longsor USGS.glovis.gov Wawancara dan pengamatan langsung di lokasi Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Sekunder No Jenis Data Sekunder Sumber Data 1 Geologi Lembar Garut dan Pemeumpeuk Skala 1:100.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1992 2 Tanah Tinjau Jawa Barat Skala 1:250.000 3 Data Curah Hujan 4 Dasar Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1 : 25.000 5 Data Titik Longsoran Tahun 2000-2011 Kabupaten Garut PUSLITANAK tahun 1993 Data Landsystem (RePPProT 1987) Bakorsurtanal tahun 2000 www.garutkab.go.id 3.3 Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk penelitian lapangan antara lain adalah Abney Level, GPS Garmin 60Csx, dan Camera Digital. Sementara itu perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas Imagine 9.1, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Global Mapper 9, Microsoft Office Word, dan Microsoft Office Excell. 3.4 Metode Penelitian Penelitian secara umum dilakukan melalui 3 tahap, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap pengecekan lapangan, dan (3) tahap pengolahan data.

16 3.4.1 Tahap Persiapan Tahapan ini meliputi pekerjaan pengumpulan data dan pengolahan data awal. Pengumpulan data diawali dengan pencarian literatur yang terkait dengan tema penelitian. Hal ini diperlukan untuk mengetahui beberapa metode dan perkembangan akhir dari metode-metode yang digunakan terkait dengan tema longsor. Setelah menentukan rencana daerah penelitian dan topik penelitian, maka dilakukan pembuatan proposal penelitian. Selanjutnya setelah proposal disetujui maka dilakukan pengumpulan data yang terkait dengan daerah penelitian dan topik penelitian. a. Tahap Pengumpulan Data Pada dasarnya pengumpulan data dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi : peta jenis tanah, peta geologi, peta curah hujan, peta administrasi, peta topografi, dan data kejadian longsor yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Garut. Untuk data primer yang dikumpulkan meliputi : Citra Landsat (tahun 2008), data ASTER GDEM, dan data hasil observasi lapang. Citra Landsat digunakan untuk interpretasi penutupan/penggunaan lahan, Citra ASTER GDEM untuk membuat peta kemiringan lereng dan elevasi, sedangkan observasi lapangan untuk menentukan titik-titik longsor di lapangan dan wawancara dengan penduduk agar dapat diketahui lebih jauh tentang longsor di daerah penelitian (lokasi, frekuensi). b. Tahap Pengolahan Data Awal Proses pengolahan data awal meliputi (a) interpretasi citra secara visual untuk pemetaan penggunaan lahan dan (b) pembuatan peta kemiringan lereng serta elevasi daerah penelitian. Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan interpretasi citra untuk penggunaan lahan adalah: (1) penggabungan band (layer stacking), (2) pembuatan mosaik citra, (3) pemotongan citra (cropping), (4) koreksi geometrik, dan (5) interpretasi citra secara visual.

17 Berikut diuraikan secara singkat beberapa langkah tersebut di atas dengan menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6 : 1. Penggabungan band (layer stacking) Proses penggabungan kanal (band) Citra Landsat dilakukan terhadap semua kanal yang ada, kecuali band 6 (inframerah termal) karena kanal ini tidak digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan. Adapun kombinasi kanal yang akan digunakan dalam penelitian adalah kanal 542 (true color composit). Kombinasi kanal ini dipilih karena kombinasi tersebut menurut Lillesand dan Kiefer (1997) dapat membedakan antara vegetasi, jalan, tanah kosong, dan badan air secara jelas, sehingga kombinasi kanal ini dianggap sebagai kombinasi yang baik untuk melakukan interpretasi penggunaan lahan. 2. Penggabungan citra (mosaic) Proses menggabungkan citra adalah menggabungkan 2 scene atau lebih dari citra yang berurutan (lokasi dan akusisi) ke dalam 1 (satu) file untuk memperoleh citra yang utuh (bersambung). Hal ini disebabkan daerah penelitian terliput dalam 2 scene citra Landsat yang berurutan. 3. Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk menentukan titik-titik koordinat pada citra agar menjadi sama dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi. Koreksi dilakukan dengan metode GCP (Ground Check Point), yaitu memberikan minimal empat titik acuan pada image yang dikoreksi dengan image acuan sampai titik-titik koordinat pada citra yang pertama mempunyai koordinat yang sama dengan titik-titik acuan pada yang citra kedua. 4. Pemotongan citra (subset image) Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh cakupan citra Landsat sesuai dengan batas daerah penelitian, yaitu wilayah administrasi Kabupaten Garut. Pemotongan citra dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6. 5. Interpretasi visual Interpretasi citra visual bermaksud untuk melakukan kajian terhadap citra dalam bentuk melakukan identifikasi terhadap obyek-obyek pada citra dan menilai

18 maknanya. Dalam penelitian ini kunci interpretasi yang digunakan mengacu pada Sutanto (1986), yaitu meliputi warna, bentuk, rona, ukuran, tekstur, bayangan, pola, situs, dan asosiasi. Adapun untuk pemetaan kemiringan lereng dan elevasi digunakan citra GDEM dengan menggunakan software Global Mapper v. 9.0. Penentuan kelas lereng diawali dengan mengkonversi data kontur digital ke dalam bentuk tiga dimensi (TIN), kemudian hasil dari tahap ini dikonversi ke dalam bentuk grid, dan selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi kelas lereng. Dalam penelitian ini kelas lereng dibagi menjadi 6 kelas mengacu pada klasifikasi Van Zuidam (1983) untuk analisis terrain, yaitu: (a) 0-3%, (b) 3-8%, (c) 8-15%, (d) 15-25%, (e) 25-45%, dan (f) >45%. Hasil dari proses ini kemudian dikonversi menjadi bentuk vector (.shp) agar dapat digunakan untuk analisis SIG terkait dengan data spasial yang lain. 3.4.2 Observasi Lapang Sebelum melakukan observasi lapangan untuk pengumpulan data, hal yang perlu dilakukan adalah membuat peta kerja serta penentuan titik-titik observasi lapangan. Titik-titik ini ditentukan dengan pertimbangan aksesibilitas, lokasi yang mewakili setiap penggunaan lahan, dan sesuai dengan informasi data titik-titik longsor dari Pemda Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut). Tujuan observasi lapangan adalah untuk pengecekan hasil interpretasi, pengambilan data lapangan (titik longsor, kemiringan lereng, elevasi, pengambilan foto), dan mencatat hal-hal lain yang terkait dengan kejadian longsor, seperti wawancara dengan penduduk lokal untuk mengetahui lokasilokasi longsor lain serta frekuensi longsor di setiap titik yang ditemukan. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan alat abney level, sedangkan GPS (Garmin 60Csx) digunakan untuk menentukan titik-titik longsor (koordinat geografis) serta mengetahui elevasinya. Hasil dari observasi lapangan kemudian digunakan untuk mengkoreksi peta penggunaan lahan hasil interpretasi atau melakukan reinterpretasi jika ditemukan salah interpretasi atau perubahan penggunaan lahan dan data yang lain digunakan untuk analisis lebih lanjut yang akan diuraikan pada halaman berikut ini (pengolahan data).

19 3.4.3 Tahap Pengolahan Data Tahap pengolahan data meliputi pemetaan titik-titik longsor, analisis penyebab longsor, pemetaan bahaya longsor, dan pemetaan resiko a. Pemetaan titik-titik longsor Pemetaan titik-titik longsor ini dilakukan dengan software ArcGis v 9.3 dengan metode tumpang tindih (overlay), yaitu antara data titik-titik longsor hasil pengecekan lapang dengan peta administrasi wilayah Kabupaten Garut, atau dengan data DEM wilayah Kabupaten Garut. Dari hasil analisis ini diperoleh sebaran titik-titik longsor di daerah penelitian, baik dilihat dari kondisi topografinya (DEM) maupun dari wilayah administrasi (kecamatan), sehingga selanjutnya dapat dipelajari pola persebaran yang terbentuk di seluruh daerah penelitian terkait dengan topografi maupun wilayah administrasinya serta kaitannya dengan parameter-parameter yang lain. b. Analisis penyebab longsor Untuk melakukan analisis penyebab longsor, dalam penelitian ini digunakan beberapa parameter biogeofisik, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Parameterparameter ini merupakan beberapa parameter penting yang dianggap banyak berpengaruh terhadap kejadian longsor jika mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, seperti dari Alhasanah (2006) dan PUSLITANAK (2004). Dalam Alhasanah (2006) parameter longsor yang digunakan meliputi : morfologi permukaan bumi, litologi, geologi, penggunaan lahan, curah hujan, dan kegempaan, sedangkan menurut PUSLITANAK (2004) parameter longsor meliputi : kemiringan lereng, jenis tanah, tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas, formasi geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan. Untuk mengetahui penyebab longsor yang dominan di daerah penelitian, dalam penelitian ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) dengan software ArcGis v. 9.3 antara persebaran titik-titik longsor dan frekuensi kejadian longsor terhadap masing-masing parameter tersebut di atas. Frekuensi ini dihitung berdasarkan jumlah kejadian pada titik kejadian yang (relatif) sama selama sekitar 10 tahun, yaitu dari tahun 2001 sampai dengan 2012. Selanjutnya untuk mengetahui penyebab longsor ini dilakukan juga analisis terhadap kerapatan titik

20 longsor dan kerapatan frekuensi longsor yang dihitung berdasarkan jumlah titik longsor dan frekuensi kejadian terhadap luasan masing-masing kelas pada parameter biogeofisik seperti tersebut di atas. Satuan luasan yang digunakan untuk menghitung nilai kerapatan adalah 100 km². Hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya digit angka di bawah nol. c. Penetapan kelas bahaya longsor Bahaya longsor adalah suatu kondisi dimana proses longsor dapat terjadi dalam waktu dekat, bisa dalam hitungan harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sehingga mengindikasikan bahwa proses longsor dapat terjadi sewaktu-waktu dikarenakan oleh sifat biogeofisik yang dimiliki yang dapat mengancam jiwa manusia atau menimbulkan kerugian yang lain. Penilaian bahaya longsor dalam penelitian ini bersifat parametrik, dimana pada setiap parameter dikelaskan menjadi beberapa kelas yang menggambarkan besarnya kontribusi terhadap proses longsor. Adapun setiap kelas yang telah dibuat, dari kelas sangat rendah hingga kelas sangat tinggi, masing-masing diberi skor dari 1 hingga 5. Dalam penelitian ini bahaya longsor direpresentasikan sebagai penjumlahan skor dari masing-masing parameter pada suatu wilayah tertentu. Dengan demikian formulasi bahaya longsor dirumuskan sebagai berikut : Rumus KBL = L + E + G + T + L + CH Keterangan : KBL = Kelas Bahaya Longsor L = Lereng E = Elevasi G = Geologi T = Tanah L = Lahan CH = Curah Hujan Untuk skor dari masing-masing kelas setiap parameter disajikan pada Tabel 3, dimana skor 1 mencerminkan kontribusi yang sangat kecil terhadap proses longsor sebaliknya untuk skor 5 mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses terjadinya longsor. Untuk mengetahui kelas bahaya longsor berdasarkan formulasi di atas, maka diperlukan klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada kelas interval Kelas interval dirumuskan sebagai berikut :

21 Interval Kelas Bahaya Longsor = Nilai tertinggi Nilai terendah Dalam Penelitian ini kelas bahaya longsor selanjutnya dibagi menjadi lima, yaitu kelas bahaya sangat rendah, rendah, menengah, tinggi, dan sangat tinggi. Bedasarkan ketentuan-ketentuan ini dan nilai skor yang telah ditentukan dalam Tabel 3, maka besarnya kelas interval adalah : Interval Kelas Bahaya Longsor = 30-6 = 4,8 atau setara 5 5 Berdasarkan nilai interval tersebut, selanjutnya dapat dibuat klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada besarnya nilai yang diperoleh dan hasilnya disajikan pada Tabel 3. Jumlah Kelas Tabel 21. Parameter Longsor Berdasarkan Faktor Biogeofisik No Variabel Kriteria Skor Keterangan 0-8% 1 Sangat Rendah 1 2 3 Kelas Lereng Curah hujan mm/tahun Jenis Batuan 8-15% 2 Rendah 15-25% 3 Menengah 25-45% 4 Tinggi >45% 5 Sangat Tinggi 1500-2000 1 Sangat Rendah 2000-2500 2 Rendah 2500-3000 3 Menengah 3000-3500 4 Tinggi 3500-4000 5 Sangat Tinggi Batuan Aluvial 1 Sangat Rendah Batuan Kapur 2 Rendah Batuan sediment 3 Menengah Batuan Vulkanik 4 Tinggi

22 Batuan sediment dan Batuan Vulkanik 5 Sangat Tinggi Aluvial 1 Sangat Rendah Latosol dan Renzina 2 Rendah Regosol dan Litosol 3 Menengah 4 Jenis Tanah Andosol dan Regosol 4 Tinggi Podsolik dan Regosol 5 Sangat Tinggi < 1000m 1 Sangat Rendah 1000-1500m 2 Rendah 5 Elevasi 1500-2000m 3 Menengah 2000-2500m 4 Tinggi > 2500m 5 Sangat Tinggi Perairan,Perkebunan dan Sawah 1 Sangat Rendah 6 Penggunaan Lahan Semak belukar dan Lahan Terbuka Hutan dan Pemukiman 2 Rendah 3 Menengah Ladang 4 Tinggi Kebun Campuran 5 Sangat Tinggi

23 Tabel 4. Klasifikasi Kelas Bahaya Longsor Kelas Bahaya Interval Keterangan 1 6-10 Sangat rendah 2 11-15 Rendah 3 16-20 Menengah 4 21-25 Tinggi 5 26-30 Sangat Tinggi e. Penetapan kelas resiko longsor Resiko longsor adalah suatu konsekuensi yang dapat diterima oleh manusia atau obyek yang lain akibat adanya suatu proses longsor di suatu tempat. Pada umumnya proses longsor ini menghasilkan suatu kerugian baik berupa kerugian jiwa maupun harta benda/properti. Berdasarkan pemahaman ini, maka resiko longsor dapat dicerminkan dari besarnya nilai bahaya longsor dan besarnya nilai jiwa manusia dan properti. Namun demikian dalam penelitian ini untuk nilai jiwa manusia belum diperhitungkan karena keterbatasan data yang ada. Nilai properti selanjutnya dirumuskan sebagai berikut: Nilai Properti = Skor Penggunaan Lahan + Skor Infrastruktur Dalam penelitian ini properti dibagi menjadi 2 variabel, yaitu variabel penggunaan lahan dan variabel infrastruktur. Selanjutnya masing-masing variabel dibagi menjadi 5 kelas, dimana masing-masing kelas diberi skor 1 hingga 5 (Tabel 5). Jumlah kelas properti ini disamakan dengan jumlah kelas bahaya longsor agar memudahkan dalam mengklasifikasi resiko longsor. Adapun formula untuk mencari kelas interval sama dengan rumusan untuk mencari kelas interval pada bahaya longsor. Nilai properti yang digunakan untuk menilai resiko longsor adalah kombinasi dari kedua variabel tersebut, yaitu dalam bentuk penjumlahan sehingga berdasarkan penjumlahan kombinasi tersebut diperoleh nilai properti terendah

24 sebesar 1 dan nilai tertinggi sebesar 12. Dengan demikian besarnya kelas interval properti dapat ditentukan sebagai berikut : Kelas Interval Properti = 12-1 = 2,2 atau setara 2 5 Berdasarkan kelas interval tersebut, maka selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi properti seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Properti Kabupaten Garut No Variabel Kriteria Skor Tingkat Resiko Lahan Terbuka, Perairan, Sangat 1 dan Semak Belukar Rendah 1 Hutan 2 Rendah Penggunaan Ladang,Perkebunan, dan Lahan 3 Menengah Kebun Campuran Sawah 4 Tinggi Pemukiman 5 Sangat Tinggi Sungai 1 Sangat Rendah 2 Infrastruktur Jalur Kereta Api 2 Rendah Jalan Kabupaten 3 Menengah Jalan Provinsi 4 Tinggi Jalan Negara 5 Sangat Tinggi Tabel 6. Klasifikasi Kelas Properti Kelas Properti Interval Keterangan 1 1-2 Sangat rendah 2 3-4 Rendah 3 5-6 Menengah 4 7-9 Tinggi 5 10-12 Sangat Tinggi

25 Berdasarkan klasifikasi bahaya longsor (Tabel 4) dan klasifikasi properti (Tabel 6), maka selanjutnya dapat dinilai besarnya resiko longsor berdasarkan rumusan sebagai berikut : Resiko Longsor = Bahaya Longsor + Nilai Properti Adapun klasifikasi resiko dibuat berdasarkan kelas interval yang diperoleh, yaitu sebesar 1.5 seperti perhitungan di bawah ini, dan hasilnya disajikan pada Tabel 7. Interval Kelas Resiko Longsor = 10-2 =1,6 atau setara 1,5 5 Tabel 7. Klasifikasi Kelas Resiko Longsor Kelas Resiko Interval Keterangan 1 2-3,5 Sangat rendah 2 3,6-5,1 Rendah 3 5,2-6,9 Menengah 4 7-8,5 Tinggi 5 8,6-10 Sangat Tinggi

Input Data MozaickingCitra landsat 2008 Dasar Rupa Bumi Indonesia ASTER GDEM Daerah Longsor 2000-2011 Tanah Jawa Barat Digital Interpretasi Citra Penggunaan Lahan Sementara 2008 Admistrasi Garut TIN Elevasi Sementara Lereng Sementara Titik Longsor Geologi Lembar Garut dan Pemeungpeuk Data Curah Hujan Repprot Jawa Barat Cek Lapang Titik Longsor 2000-2012 Penggunaan Lahan 2012 Lereng Elevasi Administrasi Analisis Laboratorium Titik Longsor 2000-2012 Lereng Elevasi Tanah Geologi Garut Curah Hujan Penggunaan Lahan 2012 Administrasi Administrasi Overlay Titik Longsor Lereng Elevasi Curah Hujan Geologi Penggunaan Lahan Jenis Tanah Titik Longsor Lereng Elevasi Curah Hujan Geologi Penggunaan Lahan Jenis Tanah Penggunaan Lahan 2012 Skoring Infrastruktur Sebaran Titik Longsor Overlay Skoring Overlay Properti Mendeskripsikan distribusi Spasial titik longsor Kerapatan Longsor dengan faktor Biofisik Overlay Bahaya Longsor titik-titik longsor Kabupaten Garut Menganalisis penyebab bahaya longsor Kabupaten Garut Overlay Faktor Penyebab Dominan Longsor Resiko Longsor Gambar 8. Diagram Alir Penelitian