TINJAUAN PUSTAKA. Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. Jenis makanan basah ataupun kering memiliki perbedaan dalam hal umur simpan

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. berjalan berdampingan. Kedua proses ini menjadi penting karena dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. bawang putih, dan asam jawa. Masing-masing produsen bumbu rujak ada yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: Latar belakang, Identifikasi masalah,

I. PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LOGO BAKING TITIS SARI

BAB I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK PANGAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah jenis tanaman sayur umbi

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Bahan Alat

III. TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Wortel segar

HASIL DAN PEMBAHASAN. yang optimum untuk gum arabika dan tapioka yang kemudian umur simpannya akan

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pangan Instan dan Penyimpangan Mutunya. sertifikat produksi pangan industri rumah tangga, mendefinisikan bahwa pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

PENENTUAN UMUR SIMPAN BAHAN PANGAN

PROSES PRODUKSI ROTI MANIS DI VIRGIN CAKE & BAKERY SEMARANG

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Indonesia kaya akan sumber daya tanaman umbi-umbian, termasuk aneka

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kerupuk bawang merupakan makanan ringan/snack yang terbuat dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beras bahan makanan yang dihasilkan oleh padi. Meskipun sebagai bahan

PENYIMPANAN DAN PENGGUDANGAN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penyangraian bahan bakunya (tepung beras) terlebih dahulu, dituangkan

METODOLOGI PENELITIAN

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gemuk untuk diambil dagingnya. Sepasang ceker yang kurus dan tampak rapuh,

PENENTUAN KADALUWARSA PRODUK PANGAN

I PENDAHULUAN. (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu. dan termasuk ke dalam famili Solanacea. Buahnya merupakan sumber vitamin

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KOPI INSTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kue Bolu. Kue bolu merupakan produk bakery yang terbuat dari terigu, gula,

ABSTRAK. Keripik pisang merupakan makanan ringan yang mudah mengalami ketengikan. Salah

PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Volume Pengembangan Roti Manis

II. TINJAUAN PUSTAKA. membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

UMUR SIMPAN. 31 October

Peranan a w dalam Pendugaan dan Pengendalian Umur Simpan

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

SUB TOPIK PENGERTIAN TEORI PERALATAN PENGARUH PADA MAKANAN BAHAN DAN PROSES NILAI GIZI BREAD STALLING 3/21/2016 3

I PENDAHULUAN. Umumnya dalam sebuah penelitian diawali dengan identifikasi masalah. hipotesis dan sekaligus untuk menjawab permasalahan penelitian.

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Karakteristik teh hijau No Parameter SNI Menurut Nasution dan Tjiptadi (1975) 1 Keadaan - Rasa

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Teknologi

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN UMUR SIMPAN COOKIES NENAS DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

TINJAUAN PUSTAKA. kata terigu dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Portugis trigo yang. proteinnya, tepung terigu dapat dibagi menjadi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Waktu dan Tempat Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kue bolu merupakan kue berbahan dasar tepung terigu dengan penambahan

TINJAUAN PUSTAKA. pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya

PENDAHULUAN. sebagai bahan baku atau bahan tambahan untuk membuat berbagai jenis makanan.

CARA PEMBUATAN ROTI MANIS

Written by Administrator Sunday, 06 September :45 - Last Updated Sunday, 06 September :56

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengeringan Untuk Pengawetan

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

SKRIPSI PENDUGAAN UMUR SIMPAN PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS. Oleh : MONA FITRIA F

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Bab I Pendahuluan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Sutomo, B

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

LAPORAN AKHIR PKM-P PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

Gambar 1 Komponen jagung (Geochembio 2009)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

Mentega dan Es Krim. Materi 13 TATAP MUKA KE-13 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Bakso ikan Sumber: Dokumentasi Junide (2009)

II. TINJAUAN PUSTAKA. tegak yang tingginya mencapai 0,9-1,8m hingga 3m. Umbinya dapat mencapai

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dan beta-karoten (provitamin A) (Suarni dan Firmansyah, 2005).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Nenas Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal dari Brasilia. Pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke Filipina dan Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia pada abad ke-15. Di Indonesia pada mulanya hanya sebagai tanaman pekarangan, dan meluas dikebunkan di lahan kering di seluruh wilayah nusantara. Nenas sejenis tumbuhan tropikal, biasanya berwarna hijau sebelum masak dan berubah menjadi hijau kekuningan apabila masak (Juansyah, dkk., 2009). Tanaman nenas banyak dibudidayakan di negara Indonesia. Buah nenas merupakan buah klimakterik yang mudah diperoleh dan harganya pun relatif murah. Kandungan gizinya yang tinggi, rasa, serta aroma daging buahnya yang tajam juga merupakan kelebihan buah nenas, menjadikannya sebagai bahan baku olahan potesial (Yustina dan Yuniarti, 2013). Adapun kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan) Kandungan gizi Jumlah Air (g) 86,00 Energi (kkal) 50,00 Kalsium (mg) 13,00 Vitamin C (mg) 47,80 Karbohidrat (g) 13,12 Serat (g) 1,40 Protein (g) 0,54 Lemak (g) 0,12 Sumber : USDA (2012). 5

6 Cookies Cookies merupakan kue kering manis yang memiliki kadar air 1-5% dan kadar lemak serta gula yang tinggi (Pareyt dan Delecour, 2008). Cookies merupakan salah satu jenis biskuit. Semua jenis terbuat dari tepung lemah dengan kandungan protein rendah. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras (hard biscuit), crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang terbuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongnya bertekstur padat. Crackers komposisinya serupa dengan cookies, tetapi dari segi rasa lebih dominan rasa asin daripada rasa manis, tetapi ada juga crackers tidak berasa asin. Crackers dibuat melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih, renyah, dan bila dipatahkan penampang potongnya berlapis-lapis. Wafer adalah cookies yang terdiri dari lapisan tipis berisi (filling). Wafer adalah jenis biskuit yang berpori-pori kasar, dan bila dipatahkan penampang potongannya beronggarongga. Cookies terbuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, bersifat renyah, bila dipatahkan penampang potongan bertekstur kurang padat (Manley, 2001). Persyaratan Mutu Cookies Mutu cookies merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan daya terima masyarakat. Mutu cookies dipengaruhi oleh komposisi yang digunakan serta proses pembuatannya. Komposisi yang tidak sesuai akan menyebabkan penyimpangan mutu pada produk cookies yang dihasilkan. Menurut Widjayanti (2005), penyimpangan yang dapat terjadi pada cookies seperti halnya pada biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.

7 Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya Jenis penyimpangan Penyebab Keras Kurang lemak dan kurang air. Pucat Proporsi bahan kurang tepat, oven kurang panas. Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata, penanganan tidak hati-hati serta panas yang tidak merata. Warna coklat tidak merata Bentuk tidak seragam dan panas tidak merata. Hambar dan berat Proporsi bahan penyusun tidak seimbang. Kasar dan kering Pencampuran tidak tepat, adonan terlalu keras dan kenyal. Permukaan keras Penanganan dan pemanggangan yang terlalu lama. Berminyak dan rapuh Suhu terlalu tinggi dan terlalu banyak lemak. Sumber : Widjayanti (2005). Mutu dari cookies nenas mengacu pada persyaratan cookies dalam SII-0177-178 yang dapat dilihat pada Tabel 3. SII adalah Standar Industri Indonesia yang dikeluarkan oleh departemen perindustrian. Tabel 3. Syarat mutu cookies Parameter Syarat mutu Keadaan (Bau, warna, rasa, dan tekstur) Normal Kadar Air (%b/b) Maksimum 5 Protein (%b/b) Maksimum 6 Kadar Abu (%b/b) Maksimum 2 Bahan tambahan pangan Pewarna dan pemanis buatan Yang tidak diizinkan tidak boleh ada Cemaran logam Tembaga (Cu) (mg/kg) Maksimum 10 Timbal (Pb) (mg/kg) Maksimum 1 Seng (Zn) (mg/kg) Maksimum 40 Merkuri (Hg) (mg/kg) Maksimum 0,5 Arsen (As) (mg/kg) Maksimum 1,5 Cemaran mikroba Angka komponen total (koloni/g) Koliform (APM/g) E. coli (APM/g) Kapang (Koloni/g) Sumber : (SII-0177-178) Maksimum 1 x 10 6 Maksimum 20 Kurang dari 3 Maksimum 10

8 Bahan Penyusun Cookies Menurut Ashwini, dkk., (2009), pada pembuatan cookies diperlukan bahan-bahan yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pelembut dan bahan pengikat. Bahan pelembut adalah gula, kuning telur, lemak, dan baking powder. Bahan pengikat adalah tepung, air, padatan, susu, dan putih telur. Selain itu, bahan bahan penyusun cookies juga dapat dibagi menjadi bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama pembuatan cookies adalah terigu, telur, gula, dan lemak, sedangkan susu, bahan pengembang (leaving agent), dan flavor merupakan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan cookies. Bahan utama - Tepung Tepung adalah struktur pokok dari semua jenis biskuit yang dapat mengikat bahan baku lain pada cookies. Salah satu contohnya adalah terigu. Terigu memiliki kelebihan yaitu mengandung protein tidak larut air yang disebut gluten yang bersifat kenyal dan elastis. Pada adonan roti, gluten berfungsi untuk menahan adonan pada saat dikembangkan sehingga bentuknya kokoh dan tidak mengecil kembali (Hadinezhad dan Butler, 2009). Terigu yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit, bolu, cookies, dan crackers adalah terigu berprotein rendah. Terigu protein rendah adalah terigu yang mengandung protein 7,5-8%. Terigu ini memiliki kemampuan menyerap air yang kecil, menghasilkan adonan yang kurang elastis sehingga menghasilkan remah roti yang padat serta tekstur yang tidak sempurna (Manley, 2001). Tepung protein rendah membutuhkan lebih banyak gula dan lemak agar menghasilkan tekstur yang diinginkan yaitu tidak keras dan kasar seperti yang

9 terjadi pada penggunaan tepung keras. Penambahan tepung dilakukan harus sesuai takaran. Apabila penambahan tepung terlalu sedikit, lemak yang berasal dari margarin menjadi berlebih sehingga biskuit (termasuk cookies) akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Supriadi, dkk., 2004). - Gula Pengunaan gula dalam pembuatan cookies bertujuan untuk memberikan rasa manis dan mempengaruhi tekstur cookies. Gula bergabung dengan udara akan masuk ke dalam lemak selama pembuatan adonan. Selama pemanggangan, gula yang tidak larut menjadi larut dan menyebabkan penyebaran bentuk cookies. Kekerasan cookies, kerenyahan, warna dan volume merupakan parameter lain yang dipengaruhi oleh formula gula (Pareyt dan Delcour, 2008). Gula juga dapat memperpanjang umur simpan cookies, karena gula mempunyai sifat higroskopis (menarik air). Penambahan gula terlalu banyak menyebabkan cookies kurang lezat dan kurang lembut karena terjadinya penyebaran gluten tepung (Supriadi, dkk., 2004). - Telur Telur digunakan dalam pembuatan cookies disebabkan oleh daya emulsi yang dimiliki oleh telur. Telur berfungsi untuk mempertahankan kestabilan adonan, sebagai pengaerasi dengan kemampuan dalam menangkap udara saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan dan membuat adonan menjadi lembut (Supriadi, dkk., 2004). - Lemak Bahan penyusun yang juga penting dalam pembuatan cookies adalah lemak. Lemak berperan sebagai shortening, pelembut, pemberi rasa lemak,

10 penambahan kelezatan dan intensitas citarasa, dan penerimaan. Lemak pun berperan dalam penyebaran dan penampakan cookies, peningkatan aerasi untuk pengembangan volume serta menyebabkan cookies lebih mudah dipatahkan (Pareyt dan Delcour, 2008). Jenis dan jumlah lemak yang ditambahkan ke dalam adonan memiliki pengaruh yang kuat terhadap karakteristik viskoelastisitas. Syarat lemak yang digunakan adalah memiliki sifat plastis (berbentuk padat tetapi dapat dioles) (Jacob dan Leelavathi, 2007). Plastisitas lemak berguna pada saat pembentukan krim. Lemak plastis dapat menangkap udara dengan baik karena mempunyai fraksi lemak padat dan cair yang seimbang. Selama pengadukan suatu adonan, lemak akan menyelubungi terigu sehingga jaringan gluten di dalamnya diputus dan setelah menjadi cookies teksturnya akan lebih lembut dan tidak terlalu keras. Jenis lemak yang dapat digunakan antara lain margarin (lemak nabati), minyak tumbuhan, mentega (lemak susu), dan lemak hewan seperti lemak sapi dan lemak babi (Pareyt dan Delcour, 2008). Bahan tambahan - Susu Penambahan susu dalam pembuatan cookies adalah sebagai sumber protein karena susu mengandung kasein. Susu juga mengandung laktosa yang dapat berfungsi membantu pembentukan aroma, menahan penyerapan air dan juga berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi cookies yang dihasilkan. Penggunaan susu skim dapat memperbaiki penerimaan (warna, aroma, dan rasa), sebagai bahan pengisi, meningkatkan volume cookies, memperbaiki

11 butiran dan susunan serta memperpanjang umur simpan dari produk cookies (Supriadi, dkk., 2004). - Bahan pengembang (leaving agent) Leaving agent merupakan senyawa kimia yang bila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan sehingga dapat membentuk volume dan produk yang dihasilkan menjadi lebih ringan dan porous karena dihasilkan gas CO 2. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah ammonium bikarbonat, sodium bikarbonat (NaHCO 3 ), dan baking powder. Pengunaan sodium bikarbonat (soda kue) lebih banyak digunakan, sebab memiliki harga dan toksisitas yang rendah, mudah ditangani, cepat larut pada suhu ruang, serta tidak meninggalkan rasa pada produk dan lebih murni (Sitanggang, 2008). - Flavor (citarasa) Penambahan flavor pada cookies bertujuan memberi rasa tertentu yang berguna untuk meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai pembentuk flavor adalah kayu manis, vanila, keju almond, coklat, kopi dan karamel, dan flavor buah. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Aroma atau bau pada bahan makanan dapat menentukan kelezatan dari bahan makanan tersebut (Sitanggang, 2008). Tekstur Cookies dan Penurunan Mutu Cookies Tekstur pada biskuit termasuk cookies meliputi kekerasan, kemudahan untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya. Tekstur pada makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya (Fellows, 2000).

12 Beberapa sifat cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah hardness atau firmness, brittleness, crumbly, dan sticky. Kekerasan (hardness atau firmness) menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuk bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness) yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah bila dikenai suatu gaya, sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur menjadi partikel-partikel kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookies yang lengket di mulut (Gainess, 1994). Kekerasan terbagi menjadi tiga yaitu kerenyahan termasuk kerapuhan kelembaban termasuk kering dan kelengketan, dan keliatan termasuk lunak. Kekerasan dimiliki oleh produk kue, coklat, es krim beku, sayur keras, keripik jagung, dan buah keras (deman, 1997). Menurut Manley (2001), kerenyahan merupakan mutu utama produk cookies. Cookies memiliki kadar air 1-5% dan a w yang rendah (Pareyt dan Delcour, 2008) sehingga teksturnya dapat menjadi renyah. Menurut Arpah (2001), kerusakan produk jenis biskuit seperti cookies, lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Produk pangan akan mengalami perubahan mutu selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi produk pangan. Produkproduk kering pada dasarnya mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air. Kerusakan produk pangan kering merupakan akibat dari interaksi antara produk pangan dengan berbagai faktor, terutama interaksi antara lingkungan, bahan pengemas, dan bahan pangan (Hariyadi, 2006). Penyimpangan suatu produk pangan dari mutu awalnya disebut deteriorasi (Arpah, 2001). Reaksi deteriorasi dimulai dengan interaksi produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, dan akibat perubahan suhu. Data tentang interaksi-

13 interaksi yang mungkin terjadi tersebut sebaiknya diketahui dengan baik sehingga dapat dilakukan perhitungan umur simpan, kebutuhan pelabelan, serta usahausaha meminimalisasi kerusakan dan memaksimumkan masa simpan (Nugroho, 2007). Robertson (1993) menyatakan bahwa secara umum deteorisasi yang terjadi pada produk pangan kering selama penyimpanan adalah penyerapan uap air yang menyebabkan produk menjadi lembab atau kehilangan kerenyahan, oksidasi lipid yang menyebabkan ketengikan, kehilangan vitamin sehingga produk tidak disukai dan kehilangan aroma. Pengemasan Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk. Pengemasan harus dilakukan dengan benar, karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk menjadi tidak memenuhi syarat mutunya (Buckle, dkk., 1987). Kemasan yang ideal adalah apabila secara kimia inert total, dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya namun pada kenyataannya jarang sekali bahan pengemas yang benar-benar inert. Beberapa reaksi tidak dapat dihindari atau dicegah tergantung pada sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang diawetkan (Agus, 2004). Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan pengangkutan, dan distribusi; memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; dan menambah daya tarik produk. Pengemasan dapat mempengaruhi mutu dari produk seperti perubahan fisik dan

14 kimia dikarenakan adanya migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan serta perubahan aroma, warna dan tekstur yang dipengaruhi oleh uap air dan oksigen. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan kemasan, sifat bahan pangan dan keadaan lingkungan. Gangguan paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat adanya peningkatan kadar air pada produk, maka akan tumbuh jamur dan bakeri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering (Syarief dan Irawati, 1988). Bahan pangan memiliki sifat kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyerapan dan pengeluaran gas (udara) dan uap air. Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Buckle, dkk., 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Produk harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah (Syarief, dkk., 1989). Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antara lain adalah permeabilitas terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak bereaksi dengan produk sehingga merusak citarasa, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah diperoleh dan harganya yang murah (Winarno dan Jennie, 1983). Plastik merupakan salah satu kemasan yang sering digunakan dalam industri pangan. Kelebihan plastik diantaranya adalah harga relatif rendah, dapat

15 dibentuk menjadi berbagai bentuk seperti tunggal, komposit atau multi lapis, dan mengurangi biaya transportasi (Syarief, dkk., 1989). Kemasan plastik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 kemasan yaitu kemasan OPP (Oriented Polypropylene), PE (Polietilen) dan MP (Metalized Plastic). Pemilihan kemasan ini didasarkan pada ketersediannya di pasaran. Oriented Polypropylene (OPP) Kemasan PP sering digunakan karena memiliki sifat-sifat antara lain : Mudah untuk proses pembentukan, memiliki bobot yang ringan, tembus pandang, jernih dalam bentuk film, namun tidak dalam bentuk kemasan kaku; Memiliki daya/kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen; Tidak gampang sobek dan kaku sehingga memudahkan penanganan dan distribusi; Permeabilitas terhadap uap air rendah dan permeabilitas terhadap gas sedang; Tahan terhadap asam kuat, suhu tinggi, basa, dan minyak; Memiliki titik lebur tinggi sehingga susah dibuat kantung. Sifat-sifat Polypropylene (PP) dapat diperbaiki dengan memodifikasi menjadi OPP (Oriented Polyprophylene), yaitu pembuatannya dilakukan dengan menarik ke satu arah, atau menjadi BOPP (Biaxial Oriented Polypropylene), jika ditarik dari dua arah (Syarief, dkk., 1989). Polietilen (PE) Kemasan plastik polietilen sangat banyak digunakan di masyarakat. Kemasan plastik polietilen memiliki sifat mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik; tahan terhadap berbagai bahan kimia; penampakan bervariasi; daya rentang tinggi tanpa sobek; mudah dikelim panas sehingga digunakan sebagai bahan laminasi; dan memiliki sifat kedap air dan udara (Syarief, dkk., 1989).

16 Metalized Plastic (MP) Metalized plastic merupakan kemasan kombinasi antara plastik dan aluminium. Metallizing adalah teknik untuk membentuk membran tipis dengan menyalurkan logam melalui permukaan kertas atau plasik film dalam kondisi vakum. Walaupun lapisan logam ini sangat tipis, sekiar 300-1000 Å (0,03-0,1 μm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau, memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999). Pendugaan Umur Simpan Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Speigel, 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Metode ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat, namun pelaksanaannya lama dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak. Metode ASLT adalah penentuan waktu kadaluarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat (Arpah dan Syarief, 2000).

17 Menurut Syarief, dkk., (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemasan antara lain: 1. Kondisi atmosfer ruangan (terutama suhu dan kelembaban) dimana produk pangan dapat bertahan selama perpindahan dan sebelum digunakan. 2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia dan fisik. 3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen (Larasati, 2013). Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan

18 keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Herawati, 2008). Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis, 1994). Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan (metode akselerasi). Penentuan umur simpan produk dengan metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi dengan menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa, serta dengan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius (Koswara, 2004). Pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan hanya pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas

19 yang tidak dapat diterima secara sensori. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara sensori disebut kadar air kritis. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis antara lain biskuit, cookies, wafer, produk konfeksioneri, makanan ringan (snack dan chips), dan produk instan (Larasati, 2013). Menurut Latief (2012), kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luas kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isotermis sorpsi air. Faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi model matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan yang memiliki kurva isotermis sorpsi air berbentuk sigmoid. Labuza (1982) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut. t = Me Mi ln Me Mc k A x Ws Po b Keterangan : t = Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari)

20 Me = Kadar air kesetimbangan produk (g H 2 O/g padatan) Mi = Kadar air awal produk (g H 2 O/g padatan) Mc = Kadar air kritis produk (g H 2 0/g padatan) k/x = Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m 2.hari.mmHg) A = Luas permukaan kemasan (m 2 ) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g) Po = Tekanan uap jenuh (mmhg) b = Kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara Mi dan Mc) Kadar Air dan Aktivitas Air (a w ) Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 % (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karena itulah muncul istilah aktivitas air (water activity, a w ) yang digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid, 1993). Aktivitas air (a w ) merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba

21 dalam bahan pangan yang pada akhirnya berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan selama penyimpanan (Deman, 2007). Secara matematis Labuza (1982) mendefinisikan bahwa aktivitas air (a w ) dari suatu bahan pangan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (P f ) dengan tekanan uap air murni (P o ) pada suhu yang sama: a w Pf = (1) Po Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relatif keseimbangan (Equilibrium Relatif Humidity, ERH) dibagi dengan 100 (Labuza, 1982). ERH a w = (2) 100 Aktivitas air (a w ) menunjukkan sifat bahan, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan sekitar yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air atau a w sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak (Sianipar, 2008). Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya (Dasa, 2011). Kadar Air Kesetimbangan (Moisture Equilibrium, M e ) Kadar air keseimbangan suatu bahan didefinisikan sebagai tingkat kadar air dari bahan tersebut setelah berada pada suatu kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker, dkk., 1982). Sedangkan menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan saat tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi seimbang dengan

22 lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar kesetimbangan tersebut disebut kelembaban relatif kesetimbangan. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan bahan maka bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dibandingkan bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Sianipar, 2008). Kadar air kesetimbangan produk pangan digunakan untuk menentukan dan menggambarkan kurva sorpsi isotermis. Penentuan kadar air kesetimbangan memerlukan termodinamika udara (suhu dan kelembaban relatif) dalam keadaan tetap (konstan). Kondisi setimbang diperoleh jika produk sudah tidak lagi mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk (Rachatanapun, 2007). Sorpsi Isotermis Air Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara sekitarnya. Secara umum, kondisi tersebut digambarkan dengan kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau a w pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Andrade, dkk., (2011) juga menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermis bahan pangan menggambarkan hubungan termodinamika antara aktivitas air dan kelembaban relatif kesetimbangan dari suatu produk pangan pada suhu dan tekanan yang konstan.

23 Model Persamaan Sorpsi Isotermis Model matematika mengenai sorpsi isotermis telah banyak ditemukan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi isotermis. Kesesuaian tiap model sorpsi isotermis produk pangan tergantung pada kisaran a w dan bahan penyusun produk (Arpah, 2001). Penggunaan model sorpsi isotermis juga sangat bergantung dari tujuan pemakaian, jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982). Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie, Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang a w 0,0-0,85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen Clayton berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81% (Arpah, 2001). Adapun persamaan dari model-model tersebut disajikan pada Tabel 4.

24 Tabel 4. Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan Model Persamaan Henderson Caurie Oswin Chen Clayton Hasley Sumber: Labuza (1982). 1-a w = exp (-KMe n ) ln Me = ln P 1 P 2 *a w Me =P 1 [a w /(1-a w )] P2 a w = exp [-P 1 /exp(p 2 *Me)] a w =exp [-P 1 /(Me) P2 ] Keterangan: a w = aktivitas air Me= kadar air kesetimbangan P 1 = nilai a hasil regresi dari y=a+bx P 2 = nilai b hasil regresi dari y=a+bx