Prosedur RSPO untuk Remediasi dan Kompensasi Terkait Pembukaan Lahan tanpa didahului Kajian NKT

dokumen-dokumen yang mirip
Konsultasi Publik Prosedur Remediasi & Kompensasi RSPO

Prosedur Kompensasi RSPO Terkait dengan Pembukaan Lahan yang Dilakukan Tanpa Didahului oleh Identifikasi NKT

Prosedur Remediasi dan Kompensasi RSPO Terkait Pembukaan Lahan yang Tidak Didahului Kajian NKT

Catatan Penjelasan untuk Konsultasi Publik September 2015

PROSEDUR PENANAMAN BARU RSPO

Prosedur dan Daftar Periksa Kajian Sejawat Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi

Pertanyaan Umum (FAQ):

PROSEDUR PENANAMAN BARU RSPO Panduan bagi Petani dalam Sertifikasi Kelompok RSPO untuk Produksi TBS. Agustus 2017 Versi 1

Sorot warna hijau: Perubahan teks berdasarkan persyaratan-persyaratan baru yang ditambahkan RSPO.

RSPO will transform markets to make sustainable palm oil the norm

Final - disetujui pada Juli 2010

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

Konsultasi Publik mengenai Prosedur RSPO untuk Remediasi & Kompensasi Rangkuman

Pedoman bagi Manajer Kelompok Versi 2.4, 09 Desember 2015

Forest Stewardship Council

Pertanyaan Yang Sering Ditanyakan (FAQ) Prosedur Penilaian GHG untuk Penanaman Baru

Disusun oleh: BIOCert Indonesia dan ProForest. RSPO will transform markets to make sustainable palm oil the norm

SUSTAINABILITY STANDARD OPERATING PROCEDURE. Prosedur Penyelesaian Keluhan

Prosedur dan Daftar Periksa Evaluasi Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi

Proses Penyelesaian Perselisihan

Bumitama Agri Ltd. Excellence Through Discipline. Sustainability Policy (Kebijakan Berkelanjutan)

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

Update - Laporan Assurance KPMG Rencana Aksi Final

Kebijakan APRIL Group dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Juni 2015

SKEMA LISENSI PENILAI NKT: KEMAJUAN SELAMA DUA TAHUN

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Persyaratan dan Panduan Sistem Manajemen RSPO untuk Sertifikasi Kelompok dalam Produksi TBS

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

Rangkuman dari isu isu yang dijabarkan dalam laporan studi tersebut dalam kaitannya dengan komitmen kebijakan FCP APP adalah:

FORMULIR PENGAJUAN KELUHAN BAGIAN A DATA PELAPOR

Kajian Nilai Konservasi Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

Kebijakan Asosiasi. Tanggal Berlaku PfA berlaku secara efektif sejak menerima dukungan dari Stakeholder Advisory Committee (SAC)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Respon Pemantauan IFC ke. Audit CAO mengenai investasi IFC di

21 Maret Para Pemangku Kepentingan yang Terhormat,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

(APP) (5 2013) RENCANA EVALUASI TANGGAL DIKELUARKAN:

Pedoman Penilaian NKT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RSPO Outreach Program Jakarta, 20 th June 2014

Prosedur Penilaian GHG untuk Penanaman Baru

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Indikator Kinerja untuk Evaluasi APP FCP dan Komitmen Tambahan Version 2.0, 12 Mei 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Inisiatif Accountability Framework

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

Silabus Kursus Pelatihan Penilai NKT

Komitmen APP dalam Roadmap menuju kepatuhan terhadap Kebijakan Asosiasi FSC (Policy for Association / PfA)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pedoman Pemasok Olam. Dokumen terakhir diperbarui. April Pedoman Pemasok Olam April

Silabus Kursus Pelatihan Penilai NKT

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

Persyaratan ISPO Untuk Bahan Baku Energi Terbarukan (Bioenergi)

Anti-Suap dan Korupsi (ABC) Prosedur ini tidak boleh diubah tanpa persetujuan dari kantor Penasihat Umum dan Sekretaris Perusahaan Vesuvius plc.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 36/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kode etik bisnis Direvisi Februari 2017

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS

Administrative Policy Bahasa Indonesian translation from English original

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

RINGKASAN EKSEKUTIF. Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO

LAMPIRAN 6. PERJANJIAN KERJASAMA UNTUK MELAKSANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA (Versi Ringkas)

CODES OF PRACTICE. Dokumen: Codes of Practice Edisi / Rev: 1 / 2 Tanggal: 03 April 2017 Hal : Hal 1 dari 7

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

Komite Akreditasi Nasional

PERATURAN BADAN NASIONAL SERTIFIKASI PROFESI NOMOR : 3 / BNSP / III / 2014 TENTANG PEDOMAN KETENTUAN UMUM LISENSI LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah b

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Pedoman untuk Petani Independen yang berada di bawah naungan Sertifikasi Grup

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan

PELAKSANAAN PARTICIPATORY MAPPING (PM) ATAU PEMETAAN PARTISIPATIF

Pedoman Perilaku dan Etika Bisnis

Sustainability Policy

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

Skema Penilai berlisensi (ALS): Introduksi untuk pengusaha (grower) Kelapa Sawit. 8, 9 dan 10 Agustus

Prinsip-Prinsip Perilaku Korporasi

KEBIJAAKAN ANTI-KORUPSI

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

Komite Penasihat Pemangku Kepentingan (SAC) terhadap Kebijakan Pengelolaan Hutan Keberlanjutan (SFMP 2.0) APRIL

Dokumen final disetujui oleh Dewan Eksekutif RSPO

KUALA LUMPUR KEPONG BERHAD. PELATIHAN MENGENAI KEBIJAKAN KEBERLANJUTAN KLK (KLK Sustainability Policy)

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 33 TAHUN 2014 T E N T A N G

KEBIJAKAN ANTIKORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dokumen ini menggantikan "Peraturan RSPO tentang Komunikasi & Klaim" yang diadopsi oleh Dewan Eksekutif pada 31 Maret, 2011

CODES OF PRACTICE. 1. Pendahuluan

Stakeholder Advisory Committee (SAC) untuk Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (SFMP 2.0) APRIL

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Prosedur RSPO untuk Remediasi dan Kompensasi Terkait Pembukaan Lahan tanpa didahului Kajian NKT Latar belakang - Konteks pengembangan dokumen ini Sesuai dengan Prinsip & Kriteria (selanjutnya dalam dokumen ini disebut "P&C") Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), anggota yang merupakan produsen minyak kelapa sawit diwajibkan untuk menyelesaikan kajian Nilai Konservasi Tinggi (NKT) terhadap lahan yang dikelolanya untuk penanaman baru sejak bulan November 2005. Tujuannya adalah agar kawasan-kawasan atau lahan yang berada di bawah kendali pekebun anggota RSPO dan mengandung atau mendukung nilai NKT tidak dibuka untuk tujuan penanaman setelah tanggal tersebut. Di awalnya telah diberikan toleransi bagi para produsen anggota RSPO untuk kegiatan penanaman yang dilakukan pada waktu antara akhir tahun 2005 dan akhir tahun 2007 sehubungan dengan adanya sejumlah faktor (terutama periode uji coba awal di lapangan untuk pelaksanaan P&C yang berlangsung hingga tahun 2007, persyaratan-persyaratan Interpretasi Nasional P&C yang masih baru dikembangkan, sifat panduan kajian NKT yang pada saat itu masih sangat sederhana, hampir tidak adanya penilai NKT yang memenuhi kualifikasi, pembelian perkebunan dari pihak-pihak yang non-anggota RSPO, dan masalah-masalah komunikasi). Bahkan pasca tahun 2007 sekalipun, dengan dilatarbelakangi pelbagai alasan termasuk yang telah disebutkan di atas, masih ada pekebun anggota RSPO yang meneruskan kegiatan pembukaan lahan untuk penanaman tanpa kajian NKT. Untuk membantu memastikan agar tidak ada lagi produsen anggota RSPO yang terus melakukan kegiatan pembukaan lahan tanpa didahului kajian NKT, maka dilaksanakanlah Prosedur Penanaman Baru (New Planting Procedure atau NPP) mulai tanggal 1 Januari 2010, sebelum pekebun melakukan perluasan lebih lanjut bagi penanaman kelapa sawit. Ada tiga opsi utama untuk menyikapi bentuk pelanggaran terhadap persyaratan bagi anggota RSPO ini, yaitu (a) mencabut status keanggotaan; (b) menangguhkan keanggotaan yang bersangkutan hingga dilakukannya tindakan perbaikan atau penggantian kompensasi yang dilakukan secara khusus (ad hoc); atau (c) mengatur prosedur yang jelas, formal dan transparan serta disetujui untuk melakukan remediasi dan kompensasi. Dengan adanya keinginan RSPO untuk meningkatkan standarstandar lingkungan dan sosial di sektor industri minyak kelapa sawit secara global dan komitmennya terhadap perbaikan berkelanjutan serta demi menghindari terpecah belahnya sektor minyak kelapa sawit menjadi kita dan mereka, maka opsi (a) dinilai paling sedikit membawa manfaat. Sementara opsi (b) akan membuat kita terjebak pada sifatnya yang khusus atau ad hoc tanpa menyelesaikan persoalan secara jangka panjang. Adapun untuk opsi (c), maka opsi inilah yang dianggap sebagai yang terbaik. Tulisan ini menjelaskan rinci opsi (c) yang diajukan. Pada tanggal 6 Maret 2014, Dewan Gubernur RSPO menyetujui rekomendasi yang diajukan Gugus Tugas Kompensasi (Compensation Task Force atau CTF) untuk memulai pelaksanaan bertahap Prosedur Remediasi dan Kompensasi terkait Pembukaan Lahan yang Tidak Didahului Kajian NKT sebagaimana dijelaskan dalam dokumen ini. Pelaksanaan bertahap ini mewajibkan semua anggota RSPO yang memiliki dan/atau mengelola lahan untuk produksi kelapa sawit agar mematuhi semua

bagian dokumen ini hingga (dan termasuk) Bagian 8 tentang Penghitungan Tanggung Jawab Konservasi. Pelaksanaan bertahap ini mulai dilaksanakan tanggal 9 Mei 2014. Semua anggota RSPO yang bersangkutan diberikan waktu satu tahun untuk menyelesaikan pemenuhan persyaratan ini. Anggota yang tidak mematuhi ketentuan ini dalam jangka waktu yang diberikan dijatuhi penangguhan hingga pihaknya mampu mengajukan penghitungan tanggung jawab kompensasi. Jangka waktu pelaksanaan bertahap dirancang untuk dapat mengumpulkan informasi dan pengalaman lanjutan yang ada guna mengembangkan suatu prosedur lengkap. Sejak bulan Mei 2015, CTF telah bekerja secara aktif untuk mengintegrasikan apa saja hasil pembelajaran yang telah didapatkan dari tahap pertama sebagaimana dijelaskan di atas untuk menyusun versi terbaru Prosedur Remediasi dan Kompensasi. Draf hasil pembaharuan ini telah disetujui CTF pada bulan Agustus 2015 pada saat mempersiapkan konsultasi publik yang selanjutnya. Tahap lanjutan dalam pelaksanaan Prosedur pasca konsultasi yang telah diperbaharui (terkait Bagian 9 dan selanjutnya), jika disetujui Dewan Gubernur, akan dimulai bulan November 2015. Catatan Penting 1. Tujuan dari penerapan Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini hanyalah untuk mendorong pelestarian keanekaragaman hayati beserta jasa lingkungan dan nilai-nilai sosial dan budaya serta melindungi kawasan-kawasan yang penting untuk dipelihara dalam konteks perluasan budi daya kelapa sawit. RSPO mengusulkan agar hal ini dilakukan dengan cara mendorong kepatuhan anggota terhadap standar-standar yang diharapkan oleh RSPO untuk dipenuhi sesuai dengan apa yang diatur dalam P&C. 2. Prosedur dan P&C berikut ini merupakan serangkaian standar untuk kelompok sendiri yang diharapkan RSPO agar dipenuhi para anggotanya dan tidak bersifat mewakili hukum atau aturan negara manapun tempat anggota menjalankan kegiatan operasinya. 3. Istilah 'pelanggaran' tidak dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa anggota RSPO telah melakukan pelanggaran hukum atau kewenangan negara manapun ataupun kesalahan apapun terhadap segala pihak ketiga baik dalam bentuk perorangan, perusahaan, organisasi atau badan hukum lainnya dan tidak dapat pula mengindikasikan demikian. Istilah ini hanya mengacu pada ketidakpatuhan anggota terhadap serangkaian prinsip dan standar yang diberlakukan RSPO. 4. Segala kompensasi (dalam bentuk dana proyek atau konservasi) yang diberikan oleh anggota terkait standar ini bukanlah disebabkan oleh (dan tidak pula dimaksudkan sebagai) adanya kerusakan atas segala kesalahan oleh anggota yang bersangkutan sebagaimana diatur oleh hukum atau kewenangan manapun tempat dilaksanakannya pemberian kompensasi tersebut (dalam bentuk dana proyek atau konservasi) dan semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi standar dan kriteria yang diberlakukan untuk kelompok sendiri oleh RSPO untuk tujuan memperoleh sertifikat RSPO. Demikian pula pelaksanaan kompensasi berdasarkan Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini tidak akan membebaskan siapa pun anggota RSPO dari segala kesalahan (jika ada) sebagaimana diatur oleh ketentuan hukum negara manapun serta tidak pula menganjurkan agar hukum yang berlaku di 2

negara tempat anggota yang bersangkutan menjalankan kegiatan operasinya tidak perlu dilaksanakan. 5. Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini juga tidak dimaksudkan untuk mendorong anggota untuk tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. 3

1. Pembukaan Standar RSPO untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, sebagaimana yang dijelaskan dalam P&C, mengidentifikasi potensi kehilangan hutan primer atau NKT 1 yang muncul dari pembangunan penanaman baru sebagai persoalan kunci yang harus diselesaikan. Versi pertama P&C tahun 2007 (Prinsip dan Kriteria RSPO serta indikator wajib terkait) menyatakan bahwa: Kriteria 7.3 Penanaman baru sejak November 2005 tidak menggantikan kawasan hutan primer atau kawasan lain yang dibutuhkan untuk memelihara atau meningkatkan sedikitnya salah satu dari Nilai Konservasi Tinggi (NKT) Suatu kajian NKT, termasuk di dalamnya dialog/konsultasi bersama pemangku kepentingan, harus dilakukan sebelum dilakukannya konversi apapun. Tanggal persiapan lahan dan tanggal mulai harus dicatat. Tujuan dari keberadaan ketentuan ini dalam standar RSPO adalah untuk melestarikan nilai-nilai penting keanekaragaman hayati, jasa lingkungan dan sosial budaya serta menjaga kawasan-kawasan yang memiliki fungsi penting untuk memelihara nilai-nilai tersebut dalam konteks perluasan budi daya kelapa sawit. Oleh karena itu, ketentuan ini merupakan unsur utama dalam sistem RSPO. Jika diinterpretasikan secara ketat dan menggabungkannya dengan ketentuan-ketentuan RSPO yang menolak sertifikasi sebagian, 2 maka persyaratan-persyaratan ini benar-benar akan menghilangkan kesempatan pekebun yang mengendalikan kawasan yang dibuka untuk perluasan tanpa didahului kajian NKT pasca November 2005 untuk mengikuti sertifikasi RSPO. Dikarenakan RSPO mengetahui bahwa pemahaman dan pelaksanaan persyaratan-persyaratan ini dilakukan secara bertahap dan bahwa terjadinya ketidaksesuaian disebabkan oleh berbagai sebab, khususnya di lahan yang belum bersertifikat RSPO, maka Dewan Gubernur RSPO menyetujui NPP untuk mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Prosedur ini mewajibkan semua anggota RSPO yang terlibat di dalam produksi minyak kelapa sawit untuk menunjukkan (sebagaimana nantinya akan diverifikasi oleh badan sertifikasi terakreditasi RSPO) bahwa pihaknya telah melaksanakan kajian dampak sosial dan lingkungan secara independen, komprehensif dan partisipatif (termasuk di dalamnya identifikasi adanya kawasan hutan primer yang diperlukan untuk mengelola nilai NKT, kawasan gambut, dan lahan masyarakat setempat) sebelum membuka lahan baru. P&C ini kemudian direvisi pada tahun 2013. Perbedaan utama antara versi tahun 2007 dan 2013 sehubungan dengan Kriteria 7.3 adalah metode yang mewajibkan pekebun untuk menunjukkan tidak adanya pembukaan lahan terhadap kawasan NKT semenjak tahun 2005. Jika pembukaan lahan 1 NKT didefinisikan dalam Panduan Umum NKT dan Interpretasi Nasional (jika ada). Informasi yang telah diperbaharui tentang panduan dan definisi NKT tersedia di laman situs HCV Resource Network di www.hcvnetwork.org/. 2 Klausul 4.2.4 Sistem Sertifikasi mewajibkan pekebun untuk terikat kepada jadwal untuk mengikuti proses sertifikasi untuk semua lahan yang berada dalam kendalinya. 4

dilakukan pada waktu antara tahun 2005 dan 2013, maka tidak ada kewajiban untuk melakukan kompensasi jika pekebun yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pihaknya telah melakukan suatu kajian NKT sebelum melakukan konversi dan bahwa tidak ada kawasan NKT atau hutan primer yang telah dibuka. Namun jika pembukaan lahan dilakukan setelah dipublikasikannya P&C versi tahun 2013, maka pekebun diwajibkan untuk menunjukkan bahwa kajian NKT dan analisis Perubahan Pemanfaatan Lahan (Land Use Change atau LUC ) telah dilaksanakan sebelum melakukan pembukaan lahan. Prinsip dan Kriteria RSPO 2013 serta Indikator wajib terkait menyatakan bahwa: (Kriteria 7.3) Penanaman baru sejak November 2005 tidak menggantikan kawasan hutan primer atau kawasan lain yang dibutuhkan untuk memelihara atau meningkatkan sedikitnya salah satu dari Nilai Konservasi Tinggi (NKT). 7.3.1 Harus ada bukti bahwa tidak ada penanaman baru yang menggantikan kawasan hutan primer atau kawasan lain yang dibutuhkan untuk memelihara atau meningkatkan salah satu (atau lebih) Nilai Konservasi Tinggi (NKT) sejak November 2005. Penanaman baru harus dirancang dan dikelola sebaik mungkin untuk menjamin dipertahankan dan/atau ditingkatkannya kualitas NKT yang telah diidentifikasi (lih. Kriteria 5.2). 7.3.2 Analisis NKT secara komprehensif yang melibatkan konsultasi dengan pemangku kepentingan harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan konversi atau penanaman baru. Analisis ini mencakup analisis perubahan pemanfaatan lahan untuk menentukan perubahan pada vegetasi sejak November 2005. Analisis ini harus digunakan dengan proksi untuk menunjukkan adanya perubahan terhadap status NKT. 7.3.3 Tanggal persiapan dan tanggal mulai harus dicatat. Panduan Spesifik untuk Indikator 7.3.1: Jika lahan telah dibuka sejak November 2005 dan tidak didahului Kajian NKT dengan sebagaimana mestinya, maka lahan tersebut akan dikecualikan dari program sertifikasi RSPO hingga rencana kompensasi NKT selesai dikembangkan dan mendapatkan persetujuan dari RSPO. Anggota pekebun juga harus mengetahui bahwa kajian NKT yang dilakukan berdasarkan NPP 2010 harus menggunakan penilai berlisensi NKT dan mengikuti Skema Lisensi Penilai (Assessor Licencing Scheme atau ALS). 3 Selain itu, semua kajian NKT juga harus dilaksanakan sesuai dengan Panduan NKT Nasional jika ada. Persyaratan baru dalam Kriteria 7.3 P&C 2013 tidak akan berlaku surut/mundur bagi kajian-kajian NKT yang sudah pernah dilakukan. Akan tetapi dengan mengakui bahwa pembukaan lahan yang tidak didahului oleh kajian NKT dapat terjadi disebabkan berbagai faktor (termasuk ketidaktahuan akan adanya persyaratan RSPO pada waktu itu, kegiatan yang dilakukan pemilik kebun sebelumnya, serta kesalahan atau prosedur operasional yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya), maka alih-alih memaksakan persyaratan yang akan selamanya menghalangi kesempatan pekebun tertentu untuk mengikuti sertifikasi (atau bahkan mengajukan keanggotaan) RSPO, Dewan Gubernur RSPO memilih agar RSPO mengembangkan Prosedur Remediasi dan Kompensasi. 3 http://www.rspo.org/news-and-events/news/what-you-need-to-know-about-the-hcv-assessor-licensingscheme 5

Kompensasi diwajibkan bagi segala pembukaan setelah tahun 2005 yang dilakukan tanpa didahului kajian NKT terhadap lahan yang berada di bawah kendali perusahaan pemilik aset teratas (top asset) dan/atau pihak pengelolanya beserta semua anak perusahaannya yang dimiliki dan/atau dikelola berdasarkan kepemilikan saham mayoritas, yang menghasilkan kelapa sawit. Hal ini terlepas dari apakah pembukaan dilakukan sebelum atau sesudah lahan tersebut diakuisisi atau disewagunakan (lihat Catatan Penjelasan). Sebagaimana dijelaskan dalam Dokumen Sistem Sertifikasi RSPO tahun 2007, mayoritas kepemilikan saham didefinisikan sebagai kepemilikan dengan porsi terbesar. Dalam hal kepemilikan saham adalah sama besarnya (contohnya 50-50), maka prosedur ini berlaku bagi pihak pemegang kendali manajemen. Prosedur Remediasi dan Kompensasi juga berlaku bagi lahan yang disewagunakan atau diakuisisi oleh anggota RSPO dan lahan yang masih dalam kendali pihak pemegang saham mayoritas. Prosedur Remediasi dan Kompensasi juga berlaku bagi petani terasosiasi (juga disebut petani plasma) beserta semua pemasok dari luar yang terikat kontrak eksklusif dan memasok Tandan Buah Segar (TBS) bagi semua unit yang dimiliki anggota, terlepas dari apakah pemasok dari luar ini adalah petani atau bukan, karena hal ini telah dijelaskan oleh RSPO sebagai bagian dari basis pasokan dari unit sertifikasi. Prosedur Remediasi dan Kompensasi sebagaimana dijelaskan dalam dokumen ini tidak berlaku pada petani mandiri yang hendak mengikuti proses sertifikasi. CTF memahami bahwa ada beberapa kasus pembukaan lahan oleh petani mandiri yang telah dilakukan sejak November 2005 akan tetapi tidak didahului oleh kajian NKT. CTF bekerja dengan Kelompok Kerja Petani (Smallholder Working Group atau SWG) RSPO untuk mendalami persoalan ini dan kemudian mengajukan prosedur praktis untuk remediasi dan kompensasi untuk diberlakukan pada petani mendiri yang hendak mengikuti proses sertifikasi dan/atau menjual TBS kepada anggota RSPO yang telah bersertifikat. CTF menghendaki agar semua petani mandiri yang hendak mengikuti proses sertifikasi berdiskusi dengan RSPO mengenai apa saja keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan ketidakpatuhan. Sebagai langkah pertama, CTF menghendaki dilaksanakannya Analisis LUC dalam keadaan-keadaan dimaksud untuk lebih memahami persoalan yang ada dan membantu mengembangkan prosedur yang sesuai untuk petani mandiri. Prosedur Remediasi dan Kompensasi di bawah ini membantu para anggota RSPO untuk mematuhi Kriteria 7.3 dan/atau unsur-unsur NKT yang ada dalam NPP ketika hendak mengikuti proses sertifikasi (atau menjaga status sertifikat yang telah diperoleh), dengan ketentuan bahwa: i. pihaknya menunjukkan adanya perubahan pada prosedur operasi standar (SOP) yang dijalankannya; ii. menyetujui remediasi/kompensasi untuk segala kehilangan NKT 4, 5 dan 6 dengan masyarakat terdampak; dan iii. merencanakan dan melaksanakan tindakan-tindakan konservasi keanekaragaman hayati sebagaimana diatur dalam Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini. Pendekatan ini memiliki dua tujuan sekaligus. Membantu RSPO agar dapat lebih baik dalam mencapai misinya memajukan produksi, penyediaan, pembiayaan dan pemanfaatan produk minyak kelapa sawit dengan cara melibatkan lebih banyak lagi pekebun yang memiliki komitmen. 6

Membantu para pekebun yang bertanggung jawab dapat memenuhi standar-standar dalam kegiatan operasi yang telah menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan di masa lalu sehingga pihaknya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat atau menjaga keberlakuan sertifikat yang mereka sudah dapatkan sebagai sarana untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan. 2. Pendahuluan Dokumen ini berisi Prosedur Remediasi dan Kompensasi RSPO yang berlaku bagi ketidakpatuhan dengan segala ketentuan dalam Prinsip 7.3 P&C dan/atau prosedur NPP RSPO. Dokumen ini disusun berdasarkan kerja dan rekomendasi CTF selaku sub-unit di bawah Kelompok Kerja Keanekaragaman Hayati dan NKT ( BHCV-WG ) RSPO yang didirikan pada tahun 2011, dan juga turut dikembangkan dari pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Dewan Gubernur di masa-masa awal, ide yang dikembangkan Kelompok Kerja NKT RSPO Indonesia (HCV-RIWG), dan hasil lokakarya yang telah diselenggarakan bersama anggota pada forum Roundtable RSPO ke-8 di Jakarta (RT8) bulan November 2010 lalu. 4 Prosedur ini juga berdasarkan pengalaman dari dua kasus awal mengenai penyampaian keluhan (grievance). Kedua kasus ini jelas menunjukkan bahwa usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai kehilangan nyata NKT melalui analisis NKT yang bersifat retrospektif (mundur ke waktu yang telah lalu) dan historis adalah hal yang sulit untuk dilakukan, menyita waktu dan hasilnya pun jauh dari apa yang bisa diterima. CTF juga menyimpulkan bahwa pemulihan (restorasi) kawasan ekosistem alam yang luas di atas lahan yang telah ditanami kelapa sawit sering kali kurang efektif ketimbang tindakan-tindakan konservasi yang dilaksanakan di luar perkebunan. Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini mempertimbangkan poin-poin hasil pembelajaran tersebut dengan menetapkan suatu pendekatan berbasis proksi untuk menghitung kewajiban kompensasi berdasarkan analisis citra satelit terhadap tutupan vegetasi yang ada di masa lalu pada kawasan-kawasan yang telah dibuka, dengan disertai pelaksanaan tindakan-tindakan konservasi yang dapat diterima di luar ataupun di dalam lokasi operasi. Meskipun ada unsur-unsur dalam dokumen ini yang dapat direvisi seiring dengan bertambahnya pengalaman yang didapatkan, rencana kompensasi yang diasumsikan untuk diikuti adalah versi dokumen yang berlaku pada saat pembukaan proses kompensasi formal, dan dapat berubah hanya jika disepakati bersama oleh pekebun dan RSPO. Dalam hal terjadinya perbedaan penafsiran Prosedur Remediasi dan Kompensasi ini, maka keputusan akhir berada di tangan Panel Kompensasi RSPO. 3. Persyaratan Kunci dan Prinsip yang Dijadikan Panduan 4 Lih. Catatan Penjelasan untuk informasi lebih rinci mengenai sejarah CTF dan pengembangan prosedur ini. 7

Prosedur Remediasi dan Kompensasi mencakup sejumlah disklosur/pengungkapan kunci terhadap informasi (Bagian 4 dan 6). Disklosur pembukaan lahan yang menyalahi aturan RSPO. Pengembangan prosedur operasi standar (SOP ) yang dirancang untuk menghindarkan terjadinya kembali pembukaan lahan yang menyalahi aturan RSPO. i. Penilaian tanggung jawab (Bagian 7, 8 dan 12) Analisis dan laporan LUC sejak bulan November 2005. Identifikasi kawasan yang diperuntukkan untuk remediasi dalam rangka mematuhi P&C RSPO (contohnya zona riparian/tepian sungai, kawasan dengan bentuk yang curam, tanah ringkih dan kawasan gambut). Penghitungan kewajiban kompensasi konservasi. Identifikasi kebutuhan tanggung jawab kompensasi sosial. ii. Pengembangan dan Persetujuan terhadap Rencana Remediasi dan Kompensasi (Bagian 9, 10, 11, 13, 14 dan 15). Pengembangan rencana remediasi dan kompensasi sosial dan lingkungan. Evaluasi masing-masing kasus kompensasi oleh Panel Kompensasi. Remediasi kawasan dalam rangka mematuhi P&C RSPO (contohnya zona riparian/tepian sungai, kawasan dengan bentuk yang curam, tanah ringkih dan kawasan gambut). Melakukan remediasi/memberikan kompensasi bagi para pemangku kepentingan terdampak sehubungan dengan terjadinya kehilangan nilai-nilai NKT Sosial (NKT 4, 5 dan 6). Pelaksanaan proyek-proyek konservasi dan pemantauan hasilnya. Paket kompensasi secara keseluruhan dapat meliputi persyaratan yang diatur oleh hukum nasional untuk kompensasi berdasarkan jumlah hektar (hectare-for-hectare basis) jika ketentuan demikian sesuai dengan tujuan RSPO. Panel Kompensasi harus menentukan dapat tidaknya suatu kegiatan kompensasi dilakukan untuk mematuhi hukum yang berlaku secara kasus demi kasus serta memantau pemenuhan persyaratan sesuai hukum yang berlaku. 3.2 Prosedur Remediasi dan Kompensasi berisi prinsip panduan tertentu sebagai berikut. i. Kasus-kasus awal pembukaan lahan tanpa kajian NKT memiliki kewajiban kompensasi yang lebih rendah ketimbang yang ada pada beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, prosedur ini membedakan beberapa jenis pembukaan lahan yang menyalahi aturan RSPO berdasarkan periode-periode berikut ini (lih. Bagian 7). Pasca November 2005 hingga November 2007 (masa dilakukannya uji coba pelaksanaan P&C RSPO) Antara November 2007 dan 31 Desember 2009. Pembukaan yang dilakukan pada periode mulai tanggal 1 Januari 2010 (saat diperkenalkannya NPP) hingga 9 Mei 2014. Terkait semua pembukaan lahan di masa yang akan datang yang dilakukan dengan menyalahi aturan RSPO, tanggung jawab kompensasi dirancang sedemikian rupa agar dapat secara efektif mencegah para pihak melakukan buka dan bayar. Namun 8

demikian, RSPO membolehkan anggota baru yang akan bergabung dengan RSPO di masa yang akan datang dan anggota yang ada pada saat ini untuk memperoleh lahan dari pihak-pihak non-anggota RSPO dan masih menjalani proses sertifikasi. ii. iii. iv. Pembukaan lahan yang dilakukan anggota dengan cara yang menyalahi aturan RSPO yang berlaku pada saat kegiatan tersebut, khususnya pekebun bersertifikat RSPO, akan menghadapi tanggung jawab kompensasi yang lebih besar daripada jika hal ini dilakukan oleh non-anggota RSPO. Hal ini dikarenakan para anggota terikat dengan RSPO melalui komitmen secara formal dan diharapkan untuk dapat mengetahui lebih baik mengenai persyaratan-persyaratan RSPO ketimbang non-anggota. Untuk diperhatikan, Prosedur Remediasi dan Kompensasi berlaku di semua belahan dunia, termasuk juga para pekebun di daerah di mana RSPO belum secara aktif menjalankan kegiatannya dan pihak-pihak yang mungkin akan mengajukan permohonan keanggotaan RSPO dan/atau mengikuti sertifikasi RSPO di masa yang akan datang. Prosedur ini dirancang untuk membantu agar pekebun dapat memenuhi tanggung jawab kompensasinya secara fleksibel sekaligus mendorong tindakan-tindakan konservasi yang memaksimalkan hasil konservasi terkait dengan sumber daya yang telah dicadangkan. Meskipun RSPO berusaha untuk memastikan agar para anggota menjalankan uji tuntas (due diligence) dalam memperoleh lahan untuk kelapa sawit, RSPO juga mengakui bahwa perusahaan tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas apa pun pembukaan lahan yang dilakukan sejak tahun 2005 sebelum peralihan manajemen. Secara khusus, RSPO mendorong para anggotanya untuk melakukan perluasan kegiatan ke lahan-lahan yang sebagaimana mestinya, dan ini sering kali merupakan lahan yang sebelumnya telah dibuka oleh orang perorangan atau kelompok lain untuk pemanfaatan sendiri. Oleh karena itu pada beberapa kasus, Prosedur Remediasi dan Kompensasi membedakan antara lahan yang dibuka untuk tujuan komersial dan non komersial (lih. kamus untuk definisi) di mana pekebun tidak diwajibkan untuk melakukan kompensasi atas lahan yang dapat dibuktikan oleh pihaknya sebagai lahan yang dahulu tidak dibuka untuk tujuan non komersial. 4. Disklosur/Pengungkapan terhadap Pembukaan Lahan yang Menyalahi Aturan RSPO Anggota pekebun 5 RSPO wajib mengungkapkan kepada Sekretariat RSPO perihal segala pembukaan lahan yang berada dalam pengelolaan dan/atau kendalinya (dimiliki, dikelola, disewagunakan, atau dibeli) dengan tujuan perluasan, yang dilakukan pasca tahun 2005 tanpa didahului kajian NKT atau wajib menyatakan secara tertulis bahwa tidak dilakukan pembukaan lahan demikian untuk kemudian menjalani proses kompensasi untuk semua pembukaan lahan yang menyalahi aturan RSPO. Pekebun yang mengajukan permohonan keanggotaan RSPO wajib mengungkapkan kepada Sekretariat RSPO perihal perluasan lahan yang berada dalam kendalinya, yang dilakukan pasca tahun 2005 tanpa didahului kajian NKT atau wajib menyatakan secara tertulis sebelum masa 5 Pekebun didefinisikan RSPO sebagai perorangan ataupun badan yang memiliki dan/atau mengelola pembangunan minyak kelapa sawit. 9

komentar publik selama dua pekan terkait permohonan keanggotaan yang ditayangkan di laman situs RSPO, bahwa tidak dilakukan pembukaan lahan demikian. Pekebun bersertifikat RSPO atau pekebun yang mengikuti proses sertifikasi wajib mengungkapkan kepada Badan Sertifikasi yang terakreditasi dan Sekretariat RSPO perihal pembukaan lahan yang dilakukan untuk perluasan lahan yang berada dalam kendalinya, yang dilakukan pasca tahun 2005 tanpa didahului kajian NKT, atau wajib menyatakan secara tertulis bahwa tidak dilakukan pembukaan lahan demikian. Badan Sertifikasi akan mengaudit kesesuaian dengan persyaratan ini, dan segala hal yang tidak dimasukkan dalam disklosur tersebut akan dilaporkan kepada Panel Pengaduan. Agar dapat memenuhi persyaratan sertifikasi pertama di kawasan yang tidak memiliki tanggung jawab kompensasi, pekebun terlebih dahulu harus menjalani proses kompensasi untuk semua pembukaan lahan yang menyalahi aturan RSPO. Prinsip yang harus diketahui di sini adalah bahwa pekebun wajib melakukan disklosur secara penuh perihal segala informasi yang berkaitan dengan semua lahannya pada waktu menjalani proses sertifikasi pertama. Jika pekebun mengajukan disklosur mengenai pembukaan lahan yang dilakukan pihaknya dengan menyalahi aturan RSPO kepada Sekretariat RSPO, maka hal ini akan dianggap sebagai kasus kompensasi. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya: unit pengelolaan yang tidak memiliki tanggung jawab untuk melakukan remediasi atau tanggung jawab final untuk sosial atau konservasi dapat melanjutkan proses sertifikasi RSPO setelah Analisis LUC disetujui oleh Panel Kompensasi RSPO; unit pengelolaan yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan remediasi dan/atau tanggung jawab final untuk sosial dan konservasi hanya dapat melanjutkan proses sertifikasi RSPO setelah selesai menyusun rencana konsep proyek kompensasi NKT dan disetujui oleh Panel Kompensasi RSPO. Dalam hal dilaporkannya pembukaan lahan kepada RSPO oleh pihak selain anggota RSPO yang bersangkutan (contohnya diajukannya pengaduan kepada Panel Pengaduan atau ditunjukkannya informasi demikian oleh Badan Sertifikasi), maka kasus ini akan dianggap sebagai kasus pengaduan dan bukan kasus kompensasi. Oleh karena itu sebagai konsekuensinya: unit-unit pengelolaan yang dimiliki pekebun yang bersangkutan tidak diperbolehkan melanjutkan proses sertifikasi baru hingga kasus tersebut diselesaikan oleh Panel Pengaduan; Panel Kompensasi dapat meminta pekebun untuk mengikuti prosedur remediasi dan kompensasi ini sebagai bagian dari persyaratan dalam penyelesaian pengaduan tersebut. 6 5. Panel Kompensasi Setiap kasus kompensasi akan ditangani oleh Panel Kompensasi yang dibentuk oleh para Ketua Bersama (co-chair) BHCV-WG. Panel ini terdiri dari empat anggota RSPO, diutamakan dari anggota BHCV-WG, dengan keterwakilan berimbang yang berasal dari kategori pemangku kepentingan yang 6 Lih. Catatan dari BHCV-WG kepada Panel Pengaduan RSPO dalam dokumen pendukung. 10

berbeda dan memiliki keahlian yang sesuai dengan proyek-proyek konservasi keanekaragaman hayati, dan satu orang anggota dari sekretariat RSPO, serta dapat juga didukung oleh anggota tambahan lainnya sebagaimana diperlukan, termasuk dari pihak-pihak non-anggota RSPO 7. Panel Kompensasi dibentuk selambatnya 20 hari kerja setelah tanggal pemberitahuan kasus kompensasi. Ketua Bersama BHCV-WG akan memberitahukan para anggota kelompok kerjanya (WG) perihal penunjukan Panel Kompensasi. Panel ini akan melaporkan keputusan mengenai kasus kompensasi yang mereka tangani kepada BHCV-WG. Mereka yang telah terpilih menjadi anggota Panel Kompensasi bersama dengan narasumber yang diminta untuk membantu diwajibkan untuk mengungkapkan segala konflik kepentingan pada saat pencalonan. Segala keberatan mengenai konflik kepentingan harus disampaikan selambatnya lima hari kerja terhitung sejak tanggal penunjukan Panel Kompensasi. Ketua Bersama BHCV-WG akan meninjau semua konflik kepentingan yang ada dan akan mengganti anggota yang bersangkutan sebagaimana diperlukan agar memenuhi aspek keseimbangan dan keahlian dalam panel tersebut. Seleksi anggota Panel Kompensasi harus mendapatkan sekurangnya satu anggota yang memiliki pengetahuan lokal dan mampu melakukan penyelidikan pada tingkat lokal sekaligus menjaga kemandiriannya. Peran narasumber yang dimintakan bantuannya terbatas pada pemberian informasi selama pengambilan keputusan oleh Panel Kompensasi. 6. Pengajuan SOP Pekebun wajib mengajukan SOP yang sesuai (sebagaimana telah disetujui oleh pihak manajemen paling tinggi di perusahaan tersebut) selama mengungkapkan tanggung jawab dengan tujuan untuk menunjukkan Panel Kompensasi bahwa pihaknya memiliki tindakan-tindakan yang sebagaimana mestinya untuk menghindari pembukaan lahan baru yang menyalahi aturan RSPO. 7 Semua narasumber non RSPO yang diminta bantuannya harus menandatangani Perjanjian Kerahasiaan dan Kode Etik RSPO. 11

CTF membutuhkan masukan Anda untuk pertanyaan berikut: Apakah cara ini sudah tepat, efektif dan dapat dilakukan: meminta perusahaan untuk menyampaikan SOP yang telah disetujui pihak manajemennya yang paling tinggi sebagai bukti bahwa pihaknya telah mengambil tindakan untuk menghindari pembukaan lahan baru yang menyalahi aturan RSPO? Jika cara ini tidak tepat, maka apa lagikah yang dapat dijadikan sumber bukti alternatif. 7. Analisis LUC Pekebun yang menjalani proses kompensasi memiliki opsi sebagai berikut: a) mengompensasi total kawasan yang telah dibuka menggunakan nilai koefisien 1 (lihat di bawah ini) tanpa melakukan analisis LUC; atau b) melakukan analisis LUC terkait dengan kasus pembukaan lahan oleh perorangan pasca tanggal 1 November 2005 yang tidak didahului kajian NKT. Kewajiban kompensasi mencakup hal-hal sebagai berikut. 7.1. Segala kewajiban kompensasi yang disebabkan adanya potensi kehilangan NKT 4-6 harus diidentifikasi selama pengungkapan serta dikaji, melalui bukti-bukti yang masih ada atau proses baru yang melibatkan dialog bersama pemangku kepentingan dan masyarakat terdampak (lih. Bagian 12 di bawah ini). 7.2 Kawasan-kawasan yang dilarang oleh P&C untuk ditebang vegetasinya dan ditanami kelapa sawit (contohnya zona tepian sungai/riparian dan kawasan dengan tingkat kelerengan curam) harus diidentifikasi dan diremediasi. 7.3 Untuk mengompensasi potensi kehilangan NKT 1-3, maka semua pembukaan lahan yang dilakukan tanpa didahului kajian NKT (termasuk di dalamnya kawasan-kawasan yang diidentifikasi untuk remediasi dalam ketentuan 7.2) harus dikalkulasikan dan dikategorikan sebagai kegiatan yang dilakukan pada waktu: antara November 2005 dan November 2007; antara November 2007 dan 31 Desember 2009; antara 1 Januari 2010 dan 9 Mei 2014; dan setelah tanggal 9 Mei 2014. Analisis juga harus menilai apakah suatu lahan: 12

dibuka untuk tujuan komersial (oleh anggota ataupun non-anggota) sebagaimana didefinisikan dalam kamus di bawah ini; dibuka untuk tujuan non komersial sebagaimana didefinisikan dalam kamus di bawah ini. Kawasan-kawasan yang dibuka tanpa didahului kajian NKT (termasuk kawasan yang diidentifikasi untuk remediasi dalam ketentuan 7.2) harus diklasifikasikan ke dalam empat kategori sesuai Tabel 1 di bawah ini melalui analisis data penginderaan jauh (inderaja) terhadap status vegetasi bulan November 2005 (atau waktu lainnya paling dekat dengan tahun ini lih. Lampiran 1: Panduan Analisis Perubahan Pemanfaatan Lahan). Masing-masing dari keempat kategori ini diberikan koefisien perkalian sebagai proksi untuk nilainya sebagai habitat keanekaragaman hayati. Koefisien ini memiliki rentang mulai dari 1 (hutan dengan struktur yang kompleks termasuk hutan primer, hutan yang sedang beregenerasi dan ditebang pilih dengan unsur-unsur tajuk tinggi) hingga nol (hutan tanaman monokultur, baik kayu maupun non kayu; serta lahan lain yang dibudidayakan atau dikembangkan secara permanen, atau terbuka dan mengalami degradasi) 8 (lih. Catatan Penjelasan). Pada beberapa kasus yang ada, tantangan bagi analisis data inderaja dan LUC dapat timbul dari pihak pekebun, Panel Kompensasi ataupun pemangku kepentingan lainnya. Oleh karena itu, Panel Kompensasi dapat meminta pekebun yang bersangkutan untuk memberikan informasi tambahan untuk digunakan dalam analisis tersebut, atau menerima informasi tambahan dari pekebun seperti misalnya laporan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), peta sejarah pembukaan lahan, wawancara dengan anggota masyarakat setempat, dsb. 9 Keputusan akhir mengenai koefisien ini ada di tangan Panel Kompensasi. Tabel 1: Kategori kawasan/lahan yang dibuka tanpa didahului kajian NKT Koefisien 1,0: Hutan dengan struktur yang kompleks (termasuk hutan primer) dan hutan yang sedang beregenerasi dan ditebang pilih dengan unsur-unsur tajuk tinggi. Koefisien 0,7: Hutan alam yang yang mengalami degradasi struktural akan tetapi masih menjalankan fungsi ekologis.* Koefisien 0,4: Wanatani/agroforestri dengan spesies ganda. Koefisien 0: hutan tanaman monokultur, baik kayu maupun non kayu; serta lahan lain yang dibudidayakan atau dikembangkan secara permanen, atau terbuka dan mengalami degradasi. *mencakup jenis lainnya dari hutan sekunder bertajuk rendah yang mengalami degradasi akan tetapi masih berfungsi serta hutan yang didominasi tetumbuhan pionir, mengalami pembalakan berat dan/atau berulang-ulang atau bekas terbakar, dan hutan yang beregenerasi. Catatan: Interpretasi terhadap nilai-nilai koefisien ini harus mengacu kepada panduan NKT yang berlaku pada saat dilakukannya pembukaan lahan tersebut. Contohnya: ekosistem lahan basah yang mencakup ekosistem rawa (khususnya rawa yang masih berhutan, rawa air tawar, hutan bakau, danau dan rawa padang rumput diidentifikasi sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) di Indonesia pada tahun 2008 [disebutkan sebagai NKT 4.1 dalam Indonesian HCV Toolkit 2008]. 8 CTF dan para ahli teknis tengah mengembangkan rincian teknis untuk bagian ini dan Lampiran 1 tentang Analisis LUC. Oleh karena itu, mungkin terdapat beberapa revisi pada versi akhir dokumen tersebut. 9 Ini harus dimasukkan dalam TOR panel kompensasi. 13

Pekebun wajib mengajukan laporan temuan dari analisis LUC kepada Sekretariat dalam waktu 60 hari kerja sejak mulai mengikuti proses tersebut. Laporan ini harus mencakup konfirmasi bahwa SOP yang dimilikinya telah diubah atau sudah ada SOP baru yang dilaksanakan untuk menghindari ketidakpatuhan di masa yang akan datang. CTF membutuhkan masukan untuk pertanyaan berikut ini: Setelah disetujui RSPO, apakah ringkasan temuan dari Analisis LUC harus dipublikasikan atau tetap dijaga kerahasiaannya antara RSPO dengan anggota yang bersangkutan? Apakah alasannya? Selain diwajibkan menanggung kompensasi atas semua NKT yang hilang sebagai akibat dari pembukaan lahan yang tidak didahului kajian NKT, pekebun juga diwajibkan untuk meremediasi kawasan-kawasan yang dilarang oleh P&C RSPO untuk ditanami kelapa sawit. Kawasan dimaksud dapat mencakup zona tepian sungai (riparian) dan lahan dengan kemiringan curam. Remediasi harus dilakukan dengan tujuan untuk seefektif mungkin memulihkan fungsi-fungsi ekologis yang dimiliki lahan tersebut yang akan telah didapatkan jika vegetasi alaminya dilestarikan (contohnya pengendalian erosi dan perlindungan Daerah Aliran Sungai/DAS). Selain dari pemenuhan segala tanggung jawab kompensasi sebagaimana telah diidentifikasi, tindakan-tindakan ini juga harus dilakukan. Pengelolaan kawasan semacam ini harus dilakukan sesuai standar yang diatur dalam panduan P&C yang terkait. 8. Penghitungan tanggung jawab konservasi Selain memberikan ganti rugi/kompensasi kepada masyarakat untuk kehilangan NKT 4, 5 dan 6, pekebun yang memegang kendali atas kawasan yang dibuka tanpa didahului kajian NKT pasca tahun 2005 juga diwajibkan untuk memberikan kontribusi tambahan bagi konservasi keanekaragaman hayati yang dilakukan di lokasi operasi atau di luar kawasan tersebut. Total tanggung jawab konservasi tergantung pada kapan pembukaan lahan tersebut dilakukan, siapa yang melakukannya, dan untuk tujuan apa, di mana ini akan dihitung menggunakan data dari analisis LUC. Tanggung jawab ini (disebutkan dalam jumlah hektar yang dicadangkan atau dikelola untuk melestarikan sumber daya hayati sebagai tujuan utamanya) dihitung menggunakan Tabel 2 berikut ini. 10 10 Latar belakang lebih lanjut untuk alasan untuk perancangan matriks dan mekanisme tanggung jawab dapat dilihat pada Catatan Penjelasan untuk bagian ini. 14

Tabel 2: Menentukan besar tanggung jawab konservasi Lahan yang dikendalikan oleh non-anggota pada saat dibuka Lahan yang dikendalikan oleh anggota RSPO yang pada saat dibukanya tidak memiliki unit pengelolaan yang bersertifikat RSPO Lahan yang dikendalikan oleh pekebun yang pada saat dibukanya memiliki unit pengelolaan bersertifikat RSPO Termasuk lahan yang diakuisisi dari anggota RSPO yang pada saat dibukanya tidak memiliki unit pengelolaan bersertifikat RSPO (acuan silang dengan 4.2.4) Termasuk lahan yang diakuisisi dari pekebun lain yang pada saat dibukanya memiliki unit pengelolaan bersertifikat RSPO (acuan silang dengan 4.2.4) Lahan yang dibuka pada waktu antara November 2005 dan November 2007 11 Diharuskan untuk melakukan remediasi dan/atau kompensasi untuk nilai NKT Sosial (NKT 4, 5 dan 6) dalam hal kurangnya bukti untuk proses dan/atau hasil negosiasi yang sebagaimana mestinya. Bukti mencakup perjanjian hasil negosiasi dan peta partisipatif yang menunjukkan pemanfaatan lahan oleh masyarakat sebelum pembukaan lahan berdasarkan Indikator 2.3.1 dan 2.3.3. 12 Diharuskan untuk melakukan remediasi dan/atau kompensasi untuk nilai NKT Sosial (NKT 4, 5 dan 6) dalam hal kurangnya bukti untuk proses dan/atau hasil negosiasi yang sebagaimana mestinya. Bukti mencakup perjanjian hasil negosiasi dan peta partisipatif yang menunjukkan pemanfaatan lahan oleh masyarakat sebelum pembukaan lahan berdasarkan Indikator 2.3.1 dan 2.3.3. Tidak ada [belum ada kawasan yang bersertifikat] Lahan yang dibuka pada waktu antara Desember 2007 dan 31 Desember 2009 Diharuskan untuk melakukan remediasi dan/atau kompensasi untuk nilai NKT Sosial (NKT 4, 5 dan 6) dalam hal kurangnya bukti untuk proses dan/atau hasil negosiasi yang sebagaimana mestinya. Bukti mencakup perjanjian hasil negosiasi dan peta partisipatif yang menunjukkan pemanfaatan lahan oleh masyarakat sebelum pembukaan lahan berdasarkan Indikator 2.3.1 Jumlah dari: semua kawasan yang dibuka untuk tujuan komersial tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005 Jumlah dari: semua kawasan yang dibuka untuk tujuan komersial tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005 11 P&C diperkenalkan selama periode uji coba selama dua tahun, yakni dari November 2005 hingga November 2007. 12 Interpretasi dari apa yang dipersyaratkan sebagai bukti pemetaan partisipatif harus mengacu secara spesifik kepada panduan NKT yang berlaku pada waktu dibukanya lahan tersebut. 15

dan 2.3.3. Lahan yang dibuka pada waktu antara 1 Januari 2010 dan 9 Mei 2014 Jumlah dari: semua kawasan yang dibuka untuk tujuan komersial tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005 Jumlah dari: semua kawasan yang dibuka untuk tujuan komersial tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005 Dua kali jumlah dari: semua kawasan yang dibuka untuk tujuan komersial tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005 Pembukaan lahan yang dilakukan pasca tanggal 9 Mei 2014 1. Jumlah semua kawasan yang dibuka tanpa didahului kajian NKT X koefisien vegetasinya pada November 2005. Dikeluarkan dari RSPO* Dikeluarkan dari RSPO* 2. Semua lahan hasil bukaan yang dimiliki anggota harus dikelola sepenuhnya mematuhi standar RSPO dan mendapatkan sertifikat sesegera mungkin. 3. Jika lahan hasil bukaan memiliki sertifikat, maka produk kelapa sawit dari kawasan dengan koefisien vegetasi < 0,4 pada November 2005 dapat dijual sebagai produk bersertifikat. 4. Produk kelapa sawit dari lahan hasil bukaan yang memiliki koefisien vegetasi < 0,4 pada November 2005 tidak dapat diklaim sebagai bersertifikat RSPO meskipun unit pengelolaan yang bersangkutan telah memegang sertifikat (harus menjadi bagian dari keseimbangan massa (mass balance) atau dipisahkan melalui segregasi fisik (physical segregation)). 5. Anggota RSPO yang mengakuisisi lahan baru pasca tanggal 9 Mei 2014 harus berjanji secara tertulis untuk tidak mengajak, 16

menganjurkan atau mendukung pihak lain, baik secara langsung maupun tidak, untuk melakukan pembukaan lahan tanpa didahului kajian NKT. 6. Dikeluarkan dari keanggotaan atau ditolak permohonan keanggotaannya jika ketentuan di atas tidak dipenuhi. *Panel Pengaduan BHCV (BHCV-CP) RSPO dapat meninjau kasus-kasus tertentu yang dianggap luar biasa mengenai pembukaan lahan yang bersifat insidental atau terbatas yang tidak didahului kajian NKT. 9. Opsi untuk memenuhi tanggung jawab konservasi Tabel 2 di atas dan data dari analisis LUC menghasilkan nilai tanggung jawab akhir untuk konservasi dalam bentuk hektar. Selain dari remediasi, ada dua opsi yang dapat dilakukan untuk kompensasi yang dapat dilakukan oleh pekebun untuk memenuhi tanggung jawab konservasi ini. Keduanya disajikan dalam urutan prioritas dan dapat digunakan sekaligus satu sama lainnya untuk memenuhi tanggung jawab akhir konservasi (lihat Catatan Penjelasan). Opsi 1: Luasan lahan yang sama dengan tanggung jawab akhir konservasi dikelola perusahaan dan/atau pihak ketiga dengan tujuan utama untuk melestarikan keanekaragaman hayati, di dalam ataupun luar kawasan yang dikelola oleh perusahaan tersebut. Opsi 2: Perusahaan memberikan pendanaan kepada pihak ketiga untuk proyek-proyek atau program yang mendukung pencapaian tujuan konservasi di luar kawasan yang dikelola perusahaan tersebut. Nilai keseluruhan pendanaan tersebut sama dengan tanggung akhir konservasi dalam jumlah hektar dikalikan dengan nilai 2.500 Dolar Amerika Serikat (lih. Catatan Penjelasan). CTF membutuhkan masukan untuk pertanyaan berikut ini (harap baca Bagian 9 Catatan Penjelasan): Apakah cara ini sudah tepat: menawarkan perusahaan untuk membayar sejumlah uang dalam Dolar AS untuk memenuhi tanggung jawab konservasi? Jika nilai yang sedang diajukan saat ini tidak sesuai, maka cara dan/atau data apakah yang dapat digunakan untuk membantu CTF merumuskan nilai yang lebih baik? 17

Pada semua opsi yang ada, pekebun akan selalu bertanggung jawab untuk menunjukkan disampaikannya hasil sesuai dengan paket kompensasi yang dipilih, dengan mempertimbangkan segala hal yang berada di luar kendali pihaknya seperti penataan zona, tekanan dari populasi masyarakat, dsb. Dalam hal di mana proyek konservasi membutuhkan bantuan ekonomi selama waktu yang cukup lama (contohnya pembayaran berkala selama beberapa tahun) maka pekebun yang bersangkutan harus menunjukkan bahwa pihaknya tengah menyediakan sumber daya yang sesuai untuk keperluan tersebut. Sebagai contoh, akun yang diawasi oleh pihak wali amanat/penyantun yang ditunjuk sesuai hukum yang berlaku atau mekanisme lainnya yang serupa di negara tempat dilaksanakannya rencana kompensasi tersebut dapat diatur sedemikian rupa untuk memastikan agar proyek dapat berjalan dalam jangka panjang. Perlu diperhatikan bahwa pekebun yang bersangkutan akan selalu bertanggung jawab atas pengelolaan dana yang ada dan bahwa RSPO tidak akan masuk terlibat langsung dalam mekanisme pembiayaan. 10. Rencana Remediasi Lingkungan Dalam hal telah dilakukannya pembukaan lahan yang tidak didahului kajian NKT, maka Prosedur Remediasi dan Kompensasi mengharuskan agar semua lahan yang ada dalam unit sertifikasi diperbaiki keadaannya sehingga sesuai dengan aturan RSPO. Hal ini membutuhkan pengelolaan yang setidaknya setara dengan standar yang diatur dalam P&C 2013 beserta panduan terkait lainnya dan praktik terbaik yang disetujui RSPO. P&C mengatur kawasan-kawasan yang dilarang untuk dibudidayakan dengan kelapa sawit (seperti misalnya di zona penyangga tepian sungai/riparian dan pada lahan dengan kemiringan yang terlalu curam) dan kawasan lainnya yang membutuhkan pengelolaan kelapa sawit dengan penuh kehatihatian agar terhindar dari kerusakan lingkungan (seperti pada kawasan lereng curam, tanah ringkih dan bermasalah, dan lahan gambut). Jika kawasan penyangga tepian sungai tidak dilindungi dan/atau kawasan lereng curam telah dibuka dan ditanami, maka harus dilakukan remediasi (dalam kebanyakan praktiknya, biasanya pekebun yang bersangkutan harus menghentikan kegiatan budi daya kelapa sawitnya di lokasi tersebut dan mengubahnya menjadi kawasan dengan tutupan vegetasi alami dengan cara menanami dengan tetumbuhan asli berukuran lebih kecil di sekitar pohon-pohon kelapa sawit yang ada). Mungkin juga perlu dilakukan remediasi dan modifikasi terhadap praktik-praktik pengelolaan yang dilakukan di perkebunan untuk memitigasi dampak yang terjadi, contohnya pada tanah rentan atau gambut, atau menghidupkan kembali area yang penting untuk ketersambungan. Cara paling sederhana bagi anggota untuk memastikan kepatuhan adalah dengan melakukan audit penuh P&C dan sertifikasi atas unit yang bersangkutan. Oleh karena itu, CTF menganjurkan semua anggota yang memiliki tanggung jawab remediasi dan/atau kompensasi untuk sesegera mungkin mengikutkan unit dimaksud ke dalam proses sertifikasi. 18

Jika unit pengelolaan yang memiliki tanggung jawab ini tidak dapat memperoleh sertifikat, maka anggota yang bersangkutan wajib untuk menunjukkan bahwa unit tersebut sudah mematuhi ketentuan P&C 2013, panduan terkait, dan Praktik Pengelolaan Terbaik (PPT) yang telah disetujui RSPO untuk hal-hal berikut ini sebagai ketentuan paling minimal yang harus dipenuhi. Meminimalkan dan mengendalikan erosi pada lereng curam (mengacu pada Indikator 4.3.2) dengan cara mengembangkan dan melaksanakan rencana kegiatan untuk menghentikan budi daya kelapa sawit dan memulihkan vegetasi alami di kawasan dengan lereng curam yang dilarang untuk ditanami kelapa sawit dan mengelola erosi pada lereng yang masih diperbolehkan untuk ditanami sesuai dengan P&C dan panduan RSPO. Meminimalkan subsidensi (pelesakan ke dalam tanah) untuk semua tanaman kelapa sawit yang masih dibudidayakan di atas gambut (mengacu pada Indikator 4.3.4) dengan cara mengembangkan dan melaksanakan program pengelolaan air dan tumbuhan penutup tanah sebagaimana dijelaskan dalam Panduan RSPO untuk Praktik Pengelolaan Terbaik (PPT) bagi Budi Daya Kelapa Sawit yang Masih Beroperasi di Lahan Gambut, Juni 2012. Mencegah terjadinya degradasi terhadap tanah ringkih dan tanah bermasalah, termasuk di antaranya tanah berpasir, bahan organik rendah, dan Tanah Sulfat Masam (TSM) (mengacu kepada Indikator 4.3.6). Mempertahankan kualitas dan ketersediaan air permukaan dan air tanah dalam serta semua fungsi habitat yang diberikan oleh zona tepian sungai/riparian (mengacu pada Indikator 4.4.2) dengan cara mengembangkan dan melaksanakan rencana kegiatan untuk menghentikan budi daya kelapa sawit, memulihkan vegetasi alami dan mempertahankan zona tepian sungai/riparian sesuai dengan panduan PPT (mengacu kepada PPT sesuai judul jika disetujui). Untuk dapat melakukan demikian, maka rencana remediasi harus mencakup berikut ini untuk masing-masing hal di atas. Pengidentifikasian dan pemetaan semua kawasan terdampak yang tidak memenuhi standar P&C sehingga memerlukan remediasi. Pengidentifikasian indikator-indikator P&C serta panduan dan PPT yang telah disetujui RSPO yang sesuai untuk dilaksanakan. Rencana kegiatan untuk memulihkan dan mengelola kawasan-kawasan tersebut sesuai dengan P&C, serta panduan dan standar PPT yang telah disetujui. Pengidentifikasian para pemangku kepentingan terkait, termasuk di dalamnya penjabaran proses yang dilakukan untuk memperoleh persetujuan mereka atas kegiatan-kegiatan yang direncanakan sesuai dengan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free, Prior and Informed Consent atau FPIC ). Pengidentifikasian segala risiko proyek dan asumsi-asumsi yang ada. Anggaran kerja. 19

Jadwal, lengkap dengan capaian-capaiannya. Rencana Pemantauan dan Verifikasi, khususnya untuk risiko-risiko yang telah teridentifikasi beserta asumsi yang ada. 11. Perancangan proyek keanekaragaman hayati untuk tujuan kompensasi Proyek kompensasi keanekaragaman hayati harus direncanakan dan dilaksanakan dengan cara-cara yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat dan hasil kompensasi dalam kaitannya dengan sumber daya yang telah diinvestasikan dengan menjelaskan konteks lanskap yang ada, prioritas konservasi kawasan (regional) dan kerangka kerja kelembagaan/hukum yang berlaku. Proyek kompensasi dapat dirancang untuk berdiri sendiri atau bisa juga menjadi proyek bersama (dengan menggunakan opsi kompensasi nomor 1 atau 2, atau kombinasi keduanya) yang dikerjakan oleh beberapa anggota sekaligus yang memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab atau oleh satu anggota dengan kewajiban beberapa tanggung jawab. Masing-masing anggota wajib memenuhi tanggung jawab akhir kompensasinya sendiri, meskipun sumber daya mereka bersama dimasukkan dalam satu proyek. Disarankan untuk melaksanakan proyek secara bersama-sama jika peluangnya lebih besar untuk meningkatkan capaian/hasil sosial dan konservasi serta skala ekonominya. Sebagai contoh, beberapa anggota dapat menyediakan dukungan finansial bagi suatu konsesi pemulihan ekosistem yang diakui oleh hukum yang berlaku. Mereka dapat memberikan dukungan sebagai bentuk kontribusi finansial dana perwalian (trust fund) jangka panjang, bantuan pendanaan operasional, atau pembiayaan pemulihan/restorasi. Kegiatan proyek dapat dialokasikan untuk dilakukan di dalam kawasan unit pengelolaan yang membutuhkannya (in situ), di luarnya (ex situ), atau bisa juga di kedua tempat tersebut untuk menyertai remediasi (contohnya zona tepian sungai) sebagaimana diwajibkan P&C. Tindakan yang dilakukan dalam unit tersebut dapat mencakup, sebagai contoh, pemulihan vegetasi asli pada lokasi terdampak yang digabungkan dengan kegiatan untuk menghilangkan penyebab kehilangan atau degradasi keanekaragaman hayati. Tabel panduan prioritas di bawah ini memberikan hierarki yang terdiri dari empat jenis tindakan dasar yang dapat dilakukan oleh produser minyak kelapa sawit untuk tujuan kompensasi sebagai (atau dalam) suatu program konservasi untuk memaksimalkan keuntungan ekologis yang dapat diperoleh dengan cara yang efektif dari segi biaya. Prioritas Tindakan Dasar Alasan dan Catatan Penjelas Contoh Paling Penghindaran Biasanya menyelamatkan Kawasan hutan tertentu yang utama terjadinya habitat alami (bahkan jika masih tersisa (baik (prioritas deforestasi habitat tersebut mengalami terdegradasi maupun tidak) pertama, dan/atau degradasi parah sekalipun) yang telah dicadangkan jika dapat penghindaran memerlukan biaya yang lebih Pemerintah untuk tujuan non dilakukan) terjadinya rendah, lebih cepat, dan lebih kehutanan, jika kepentingan 20