Kinerja Membran Reverse Osmosis Terhadap Rejeksi Kandungan Garam Air Payau Sintetis: Pengaruh Variasi Tekanan Umpan Jhon Armedi Pinem, Marina Hayati Adha Laboratorium Pemisahan dan Pemurnian Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Jl. Raya Soebrantas Km 12,5 Pekanbaru e-mail: jhonarmedi@yahoo.com, rinad_ha@yahoo.com Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari unjuk kerja membran reverse osmosis (RO) pada proses desalinasi air payau dan mengkaji pengaruh variasi tekanan operasi terhadap kinerja membran RO. Sampel yang digunakan adalah sampel air payau sintetis berupa larutan NaCl dengan variasi konsentrasi 2.000, 2.250, 2.500, 2.750 dan 3.000 mg/l dan variasi tekanan operasi 0,5 sampai 7 bar. Membran RO yang digunakan membran spiral wound merk Filmtec USA model TW30-1812- 100. Parameter yang diukur adalah fluks dan Total Dissolved Solid (TDS) umpan dan permea serta flukst. Data konsentrasi NaCl dan TDS dianalisa menggunakan konduk-tivitimeter untuk mengetahui persen rejeksi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan fluks dan rejeksi akibat kenaikan tekanan. Fluks maksimal diperoleh pada tekanan umpan 7 bar dengan sampel larutan umpan air payau sintetis 2.000 mg/l yakni sebesar 43,14 L/m 2 jam. Rejeksi maksimal diperoleh pada tekanan umpan 6,5 bar dengan sampel larutan air payau sintetis 2.000 mg/l yakni sebesar 92,30%. Kata kunci: desalinasi; reverse osmosis; air payau; spiral wound. 1. Pendahuluan Provinsi Riau memiliki luas wilayah lebih kurang 107.932,71 km 2 dan sekitar 19,89 % dari luas tersebut merupakan lautan [Badan Pusat Statistik, 2005]. Besarnya daerah lautan Riau menyebabkan ketersediaan air bersih pada daerah pesisir sangat terbatas. Sumber air bersih utama seperti sungai dan mata air diintrusi oleh air laut sehingga air tersebut menjadi payau. Air payau adalah campuran antara air tawar dan air laut (air asin) [Wikipedia, 2006]. Air disebut sebagai air payau jika dalam satu liter air terdapat antara dua sampai lima gram garam [Sagle dan Benny, 2006]. Air payau dapat diolah menjadi air bersih dengan mengurangi kandungan garam terlarut didalamnya dengan desalinasi. Desalinasi merupakan proses pemisahan garam terlarut yang ada di dalam air [Kalaswad, 2008]. Metode desalinasi secara konvensional yang selama ini digunakan sulit untuk menghasilkan air minum sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan teknologi desalinasi yang lebih efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Apabila dibandingkan dengan pengolahan secara konvensional dalam pengolahan air minum, teknologi membran menggunakan energi yang lebih sedikit, desain dan konstruksi untuk sistem skala kecil, peralatan yang modular memudahkan scale up, dan tidak membutuhkan kondisi ekstrim [Wenten, 1996]. Membran reverse osmosis (RO) merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk desalinasi air payau dan air laut [Otles dan Otles, 2004]. Teknologi RO mampu memisahkan komponenkomponen pada temperatur kamar, konsumsi energi dan bahan kimia aditif cukup rendah, tidak menghasilkan produk samping berupa limbah, bersifat modular dan kompak, serta hanya membutuhkan ruangan yang kecil untuk instalasinya dan karena kemampuannya dalam memisahkan garam-garaman, teknologi ini cocok digunakan dalam pengolahan air laut menjadi air tawar (desalinasi) [Hidayat, 2007]. 2. Tinjauan Pustaka 2.1 Karakteristik Air Payau Secara kualitatif, beberapa karakteristik air payau diantaranya memiliki kandungan garam yang cukup tinggi (5000-15000 ppm), memiliki kesadahan yang cukup tinggi, kemungkinan 1
mengandung padatan tersuspensi [Sagle dan Benny, 2006]. Kandungan garam yang mencapai 5.000 mg/l ini menjadikan air payau tidak baik dikonsumsi langsung sebagai air minum. 2.2 Pengolahan Air Payau dengan Teknologi Membran Teknologi membran merupakan teknologi pengolahan air yang sedang berkembang dewasa ini. Teknologi ini telah tumbuh dan berkembang secara dinamis sejak pertama kali dikomersialkan oleh Sartorius-Werke di Jerman pada tahun 1927, khususnya untuk membran mikrofiltrasi [Dep. Teknik Kimia ITB, 2006]. Beberapa keunggulan teknologi ini terletak pada kebutuhan energi yang rendah, permasalahan korosi peralatan yang minimum dan penggantian dan penginstalasian alat yang mudah berintegrasi dengan sistem yang ada. Teknologi membran yang dapat digunakan dalam pengolahan air adalah RO, ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF) dan mikrofiltrasi (MF). Prinsip kerja membran adalah memisahkan zat terlarut dengan berat molekul kecil dan memisahkan larutan cair yang mengandung zat organik dalam jumlah yang kecil. Pada proses ini, membran akan permeable terhadap air tetapi tidak terhadap garam dan senyawa dengan berat molekul besar. Akibatnya membran hanya dilalui oleh pelarut, sedangkan zat terlarut berupa garam maupun zat organik akan ditolak [Scott 1995]. 2.3 Membran RO Membran RO umumnya digunakan untuk memisahkan bahan-bahan dengan berat molekul rendah atau garam-garam organik dari larutan. Teknologi membran RO merupakan teknologi desalinasi yang ramah lingkungan dan tidak memerlukan lahan yang luas. Contoh penerapan RO dapat dilihat pada desalinasi air laut. Pada proses ini, membran RO akan menahan komponenkomponen lain selain pelarut. Atau dengan kata lain, membran ini bersifat permeabel terhadap air, tetapi tidak untuk garam dan senyawa yang memiliki berat molekul yang lebih besar. Skema proses RO dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. RO [Otles, 2004] Proses RO dikenal juga sebagai proses hiperfiltrasi, sebab tekanan yang dibutuhkan untuk melewatkan umpan lebih besar dari tekanan osmosis umpan sebelum umpan dilewatkan melalui membran. Umumnya tekanan operasi yang diperlukan minimal tiga kali lipat dari tekanan osmosis larutannya, yakni berkisar antara 10-100 bar dengan batasan fluks sebesar 0,05-1,4 L/m 2 jam [Mulder,1996]. Membran ini memiliki suatu lapisan tidak berpori yang tidak terdeteksi oleh SEM. Dengan kata lain struktur model membran yang digunakan bersifat dense skin layer. 3. Metodologi Sebagai larutan umpan air payau sintetis digunakan serbuk natrium klorida (NaCl) p.a yang dilarutkan dalam akuades. Larutan NaCl dibuat pada konsentrasi 2.000, 2.250, 2.500, 2.750 dan 3.000 mg/l. Percobaan dilakukan dengan menggunakan seperangkat unit RO, beaker glass 2 L, gelas ukur 50 ml, stopwatch dan tabung penyimpanan sampel. Unit RO yang digunakan terdiri dari 2
sebuah modul membran spiral wound, sebuah pompa, dua buah pressure gauge, sebuah retentate throttle valve yang berfungsi untuk mengatur beda tekanan dalam membran, speed control dan satu unit alat pengukur konduktivitas tipe Orion 125 Aplus. Membran RO yang digunakan merk Filmtec USA model TW30-1812-100. Bahan membran adalah Polyamide Thin-Film Composite dengan luas penampang 5,5 ft 2. Skema rangkaian unit RO ini dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Rangkaian Unit RO Pada umpan air payau sintetis dilakukan analisa awal yaitu analisa Total Dissolved Solid (TDS), salinitas dan konduktivitas. Sebelum melakukan percobaan utama, terlebih dahulu dilakukan forward flushing dengan menggunakan akuades pada membran. Setelah forward flushing selama 30 menit, maka percobaan utama dapat dilakukan. Umpan larutan NaCl dilewatkan melalui membran, dengan variasi konsentrasi 2.000, 2.250, 2.500, 2.750 dan 3.000 mg/l dan variasi tekanan 0,5-7 bar.fluks untuk masing-masing tekanan diukur setiap sepuluh menit percobaan. Permeat yang dihasilkan kemudian dianalisa. Penelitian dengan menggunakan membran RO tekanan rendah ini dilakukan pada skala laboratorium. Umpan larutan sintetis NaCl yang digunakan dianggap dapat mewakili karakteristik air payau. Metode analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode curve fitting, yang meliputi grafik antara tekanan terhadap fluks permeat dan faktor rejeksi membran. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Pengaruh Tekanan Terhadap Fluks Permeat RO adalah salah satu operasi membran yang menggunakan tekanan sebagai gaya dorong (driving force). Adanya perbedaan tekanan adalah syarat mutlak bagi berlangsungnya operasi ini. Pengaruh tekanan terhadap fluks permeat dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan adanya peningkatan fluks seiring dengan peningkatan tekanan operasi. Pada umpan dengan konsentrasi NaCl 2.000 ppm dan tekanan operasi 0,5 bar diperoleh fluks sebesar 4,78 L/m 2 jam. Sedangkan pada konsentrasi yang sama dengan tekanan operasi 7 bar diperoleh fluks 44,08 L/m 2 jam. Fenomena yang sama juga ditemui oleh Winduwati dkk (2000). Dengan menggunakan variabel tekanan 40 sampai 120 psi dan konsentrasi NaCl 20 hingga 100 mg/l, didapatkan adanya kenaikan fluks permeat akibat dari kenaikan tekanan operasi. 3
Fluks Permeat (L/m 2 jam) 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 2000 ppm 2250 ppm 2500 ppm 2750 ppm 3000 ppm 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Tekanan Operasi (bar) Gambar 3. Grafik Pengaruh Tekanan Terhadap Fluks Permeat Fluks merupakan laju volum fluida yang melewati penampang membran [Cheryan, 1986]. Fluks ini diukur dengan mengukur waktu yang diperlukan untuk menampung permeat dalam volume tertentu. Secara matematis fluks dirumuskan sebagai [Mulder, 1996]: V J = (1) A t dengan J adalah fluks (L/m 2 jam), V adalah volum permeat (ml), A adalah luas permukaan membran (m 2 ), dan t adalah waktu (jam). Gambar 4. Grafik Hubungan Gaya Dorong Tekanan terhadap Fluks Fluks permeat disepanjang membran memiliki hubungan langsung dengan tekanan umpan, dimana fluks akan meningkat seiring dengan adanya peningkatan tekanan [Kaliappan, dkk, 2005]. Semakin besar tekanan yang diberikan, maka volum fluida yang dapat melewati membran akan meningkat, seperti yang terlihat pada Gambar 4 [Cath dkk, 2006]. Peningkatan fluks akibat adanya peningkatan tekanan juga telah dirumuskan oleh Darcy pada persamaan 2 yang menghubungkan fluks (j v) dengan pressure drop (P), koefisien rejeksi Staverman (), perbedaan tekanan osmotik (), konstanta permeabilitas (k), dan viskositas (). 4
j v k = (P ) (2) L c 4.2 Pengaruh Tekanan Terhadap Rejeksi Rejeksi adalah ukuran kemampuan membran untuk menahan atau melewatkan padatan terlarut [Cheryan, 1986]. Secara matematis rejeksi dinyatakan dengan [Mulder, 1996]: Cp R = 1 100% (3) Cf dengan R adalah koefisien rejeksi (%) dan C p serta C f adalah konsentrasi zat terlarut dalam permeat dan umpan. Pengaruh tekanan operasi terhadap faktor rejeksi ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Pada gambar tersebut, terlihat adanya peningkatan rejeksi seiring dengan peningkatan tekanan operasi. 1.0 0.9 0.8 Faktor Rejeksi 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 2000 ppm 2250 ppm 2500 ppm 2750 ppm 3000 ppm 0.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Tekanan (bar) Gambar 5. Grafik Pengaruh Tekanan Terhadap Rejeksi Garam Gambar 5 menunjukkan pengaruh tekanan umpan terhadap rejeksi garam. Pada umpan dengan konsentrasi NaCl 2.000 ppm dan tekanan 0,5 bar diperoleh rejeksi NaCl sebesar 83%. Sedangkan pada umpan dengan konsentrasi yang sama dan tekanan 7 bar diperoleh rejeksi 92%. Pada umpan dengan 2.250 ppm hingga 3.000 ppm terjadi penurunan rejeksi setelah tekanan 6,5 bar. Rejeksi maksimum rata-rata membran pada range tekanan 0,5 bar hingga 7 bar diperoleh pada larutan umpan dengan konsentrasi 2.000 mg/l yaitu sebesar 90 %. Peningkatan tekanan umpan menyebabkan rejeksi garam meningkat. Namun terdapat batasan tertentu bagi jumlah garam yang dapat direjeksi untuk tekanan umpan yang digunakan. Semakin tinggi tekanan yang diberikan mengakibatkan garam yang melewati membran semakin banyak. Hal ini terjadi karena umpan didorong melalui membran pada kecepatan tinggi sehingga garam yang berada pada permukaan membran ikut menembus membran bersama umpan [Kaliappan, dkk, 2005]. Hal yang sama juga terjadi pada rejeksi TDS di dalam umpan seperti yang terlihat pada Gambar 6. Pada umpan dengan konsentrasi 2.000 mg/l, terjadi peningkatan rejeksi dari 0,66 pada tekanan 0,5 bar menjadi 0,82 pada tekanan 5 bar. 5
Faktor Rejeksi 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 2000 ppm 2250 ppm 2500 ppm 2750 ppm 3000 ppm 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Tekanan (bar) Gambar 6. Grafik Pengaruh Tekanan Terhadap Rejeksi TDS 4. Kesimpulan a. Kenaikan tekanan umpan menyebabkan kenaikan fluks permeat dan faktor rejeksi sebaliknya menurunkan konsentrasi NaCl dalam permeat. b. Fluks maksimal diperoleh pada tekanan umpan 7 bar pada konsentrasi sampel 2.000 mg/l yaitu sebesar 43,13 L/m 2. jam. c. Penurunan TDS dengan menggunakan proses RO cukup signifikan pada konsentrasi larutan NaCl umpan 2.000 mg/l dan 2.250 mg/l dimana permeat yang dihasilkan sudah memenuhi baku mutu zat padat terlarut yang disyaratkan untuk air minum. d. Rejeksi maksimum yang dihasilkan sebesar 92,6 % pada tekanan umpan 6,5 bar dan konsentrasi NaCl dalam larutan umpan 2.000 mg/l. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik. 2005. Riau Dalam Angka 2005. Percetakan Fajar Harapan. Pekanbaru. 2. Cheryan M.. 1986. Ultrafiltration Handbook. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. 3. Departemen Teknik Kimia ITB. 2006. Desalinasi Air Payau dengan Membran Reverse Osmosis (RO) Tekanan Rendah. http://library.its.ac.id. Diakses pada 31 Mei 2007. 4. Hidayat, W.. 2007. Teknologi Membran. http://majarimagazine.com/2007/11/ teknologimembran/. Diakses pada 2 Desember 2007. 5. Kalaswad, S.. 2008. Desalination. http://www.twdb.state.tx.us/iwt/desal/faq.html #topofpage. Diakses pada 17 Agustus 2008. 6. Kaliappan, S., Sathish, C., dan Nirmalkumar, T.. 2005. Recovery and Reuse of Water From Effluents of Cooling Tower. http://journal.library.iisc. ernet.in/vol200504/paper5/215.pdf. Diakses pada 10 September 2008. 7. Mulder M.. 1996. Basic Principles of membrane Technology. 2 nd edition. Kluwer Academic Publisher. Netherland. 8. Otles, S., Otles, S.. 2004. Desalination Techniques. http://ejeafce.uvigo.es/index. php?option=com_docman&task=doc_view&gid=83. Diakses pada 5 Juni 2008 9. Sagle, A., dan Benny F.. 2006. Fundamentals of Membranes for Water Treatment. University of Texas. Austin. 10. Scott K.. 1995. Handbook of Industrial Membranes. 1 st edition. Elsevier Science Publishers. Oxford. 6
11. Wenten, I. G.. 1996. Ultrafiltration in Water Treatment and Its Evaluation as Pretreatment for Reverse Osmosis System. Dept. Of Chemical Engineering, ITB. 12. Wikipedia. 2006. Air Payau. http://id.wikipedia.org/wiki/air_payau. Diakses pada 20 November 2007. 13. Winduwati, S., Yohan, Rifaid, M. N.. 2000. Karakteristik Osmosis Balik Membran Spiral Wound. http://digilib.batan.go.id/sipulitbang/fulltext/2636.pdf. Diakses pada 15 Desember 2007. 7