BAB II LANDASAN TEORI A. Komitmen Organisasi 1. Definisi Komitmen Organisasi Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendefinisikan komitmen organisasi yaitu attitudinal commitment dan behavioral commitment (Mowday, Porter, & Steers, 1982; Reichers, 1985; Salancik, 1977; Scholl, 1981; Staw, 1977, dalam Meyer & Allen, 1997). Pendekatan sikap (attitudinal commitment) berfokus pada proses berpikir individu tentang hubungan mereka dengan organisasi. Individu akan mempertimbangkan kesesuaian nilai dan tujuan mereka dengan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan ditunjukkan dengan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tujuan dari organisasi tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku (behavioral commitment) berhubungan dengan proses dimana individu itu telah terikat dengan organisasi tertentu. Komitmen individu tersebut ditunjukkan dengan adanya tindakan. Contohnya individu dengan komitmen yang tinggi akan tetap berada di organisasi dan akan mempunyai pandangan yang positif tentang organisasinya. Selain itu individu akan menunjukkan perilaku yang konsisten untuk tetap mempunyai persepsi diri yang positif (Mowday, dalam Meyer & Allen, 1997). Meyer dan Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen berarti karyawan yang setia dan produktif yang mengidentifikasikan dirinya pada tujuan dan nilai perusahaan menurut (Buchanan, dalam Meyer & Allen, 1997), maka banyak bentuk perilaku yang dihubungkan dengan pekerjaan seperti komitmen untuk tetap bekerja, pelaksanaan tugas, kehadiran, komitmen kerja, kualitas kerja dan pengorbanan pribadi demi kepentingan organisasi (Robinowitz, Hall & Randall, dalam Meyer & Allen, 1997). Komitmen yang berhubungan dengan pekerjaan adalah serangkaian variabel dengan lima hal yaitu: pekerjaan, organisasi, kelompok kerja, karir dan nilai kerja (Blau, Morrow & Mcelroy, dalam Meyer & Allen, 1997). Bentuk komitmen yang paling banyak diterima adalah keterikatan emosional terhadap organisasi yang meliputi penerimaan nilai-nilai organisasi dan keinginan untuk tetap tinggal bersama organisasi (Porter, dalam Meyer & Allen, 1997). Komitmen adalah kesepakatan atau janji untuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan disertai dengan loyalitas berdasarkan kesamaan nilai atau visi pribadi dan visi organisasi. (1) Komitmen berhubungan dengan visi pribadi, memiliki kekuatan yang berasal dari keyakinan, nilai-nilai, kepercayaan diri, konsistensi, sikap optimis dan totalitas berkomitmen. Sikap yang lahir dari
keyakinan yang kuat, optimis dan totalitas akan membentuk pribadi dengan sikap komitmen tinggi. Sikap ini memiliki kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, yang berarti individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi secara berarti terhadap organisasi. (2) komitmen berhubungan dengan visi organisasi, karyawan yang memiliki tingkat sekedar bergabung dengan perusahaan secara fisik melainkan juga bersedia melakukan pekerjaan di luar tugasnya (Kushariyanti, 2007). Organisasi nonprofit seperti lembaga pendidikan, upaya untuk meningkatkan keterlibatan kerja dan komitmen dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan pendekatan manusiawi, menganggap karyawan bukan sebagai faktor produksi semata tapi juga memberikan penghargaan kepada mereka sebagai individu yang memiliki rasa tanggung jawab, keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan aktivitas kerjanya didasarkan pada pendapat Schwartz (dalam Wahyono, 2010). Selanjutnya Luthans (2006) mengatakan sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai berikut: 1. Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu. 2. Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi. 3. Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi mempunyai penekanan pada proses individu atau karyawan dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan dan tujuan organisasi. Disamping itu komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi secara aktif karena karyawan yang menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab yang lebih dalam kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja (Kushariyanti, 2007). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan menimbulkan keyakinan yang menunjang aktivitas dan keterlibatannya. Sehingga seseorang pekerja dengan komitmen yang tinggi pada umumnya mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di organisasi tempat mereka bekerja. Hasilnya mereka jarang terlambat, tingkat absensi yang rendah, produktivitas yang tinggi, serta berusaha menampilkan kinerja yang terbaik dan pekerja dengan komitmen yang tinggi juga dapat menurunkan turn over. 2. Komponen Komitmen Organisasi Menurut Meyer dan Allen (1997) terdapat tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu:
1. Komitmen Affective Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut (Meyer dan Allen, 1997). Hasil beberapa penelitian (Adler dan Araya, 1984; Angle dan Perry, 1983; Brief dan Alday, 1980, dalam Chairy, 2002), komitmen afektif terhadap organisasi terbukti berkolerasi dengan umur dan masa kerja. Menurut penelitian Charrington menemukan hubungan antara usia dan komitmen disebabkan karena semakin tua karyawan, semakin berkomitmen pada organisasi serta karyawan yang lebih tua memiliki atau merasa memiliki pengalaman positif dengan organisasi. Analisis tentang usia tidak menunjukkan efek yang sama, namun temuan (Gould, dalam Meyer & Allen, 1997) menunjukkan bahwa hubungan antara kompleksitas kerja dengan kepuasan kerja lebih kuat dirasakan oleh karyawan yang muda dibandingkan yang tua. Hal ini dimungkinkan adanya hubungan antara komitmen organisasional dengan usia karyawan yang berbeda. Menurut Meyer dan Allen (1997) penyebab keterkaitan komitmen afektif pada organisasi meliputi karakteristik individu, karakteristik organisasi, pengalaman kerja namun menurut Meyer dan Allen (1997), menunjukkan bahwa bukti yang terkuat dijumpai pada penyebab berupa pengalaman kerja. Hal ini
menunjukkan semakin banyak pengalaman kerja baik berupa pengalaman khas perusahaan maupun pengalaman dalam menghadapi tantangan pekerjaan. 2. Komitmen Continuance Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans sejalan dengan pendapat (Becker s, dalam Meyer dan Allen, 1997) yaitu bahwa komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain (Meyer & Allen, 1997). Menurut Meyer dan Allen (1997), komitmen kontinuans terhadap organisasi menunjukkan keterikatan psikologis terhadap suatu organisasi yang berhubungan dengan persepsi nilai yang telah ditanamkan dalam suatu organisasi dan efeknya pada kesempatan keluar dari organisasi. Komitmen kontinu merupakan persepsi seseorang atas biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi. Artinya, terdapat dua aspek pada komitmen kontinu, yaitu: melibatkan pengorbanan pribadi (investasi) apabila meninggalkan organisasi dan ketiadaan alternatif yang tersedia bagi orang tersebut.
Meyer dan Allen (1997), komitmen afektif dan komitmen kontinuans mencerminkan hubungan antara karyawan dan organisasi yang menurunkan turnover, namun sifat hubungannya berbeda. Karyawan yang mempunyai komitmen afektif kuat akan tetap pada organisasi karena mereka menginginkannya, sedangkan mereka yang memiliki komitmen kontinuans akan tetap tinggal di organisasi karena mereka harus melakukannya. Mowday, dkk (dalam Meyer & Allen, 1997), mengungkapkan mereka yang menginginkan untuk tetap bertahan di organisasi akan bersedia melakukan peran ekstra demi organisasi namun mereka yang terpaksa bertahan di organisasi untuk menghindari tingginya biaya dan tidak banyak melakukan peran ekstra. 3. Komitmen Normative Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Meyer dan Allen (1997) memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe atau dimensi komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Selain itu setiap komponen komitmen berkembang sebagai hasil dari pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya, seorang karyawan secara bersamaan dapat merasa terikat dengan
organisasi dan juga merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Sementara itu, karyawan lain dapat menikmati bekerja dalam organisasi sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan dalam organisasi karena situasi ekonomi yang tidak menentu. Namun, karyawan lain merasa ingin (want to), butuh (need to), dan juga wajib (ought to) untuk terus bekerja dalam organisasi. Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif. 3. Faktor-faktor Penyebab yang Mempengaruhi Komitmen Kontinuans Menurut Becker s, 1960 (dalam Meyer & Allen (1997) menyatakan bahwa ada dua variabel yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi yang juga merupakan bagian dari komitmen kontinu yaitu: 1. Variabel Investasi yaitu melibatkan investasi dari sesuatu yang berharga seperti waktu, tenaga, uang yang merupakan bagian dari internal individu, bahwa seorang karyawan akan kehilangan itu jika ia meninggalkan organisasi. Karyawan dapat melakukan investasi dalam organisasi pada banyak hal, misalnya dengan menimbulkan biaya relokasi keluarganya dari kota lain atau dengan menghabiskan waktu memperoleh keterampilan khusus dari organisasi tersebut. Meninggalkan organisasi bisa berarti bahwa karyawan akan kehilangan atau telah menyia-nyiakan waktu, uang, usaha yang diinvestasikan.
2. Variabel Alternatif yaitu melibatkan persepsi karyawan terhadap alternatif pekerjaan. Karyawan berpikir bahwa mereka memiliki alternatif yang sedikit. Misalnya, seorang karyawan mungkin mendasarkan persepsinya terhadap lingkungan eksternal (tingkat lapangan kerja dan iklim ekonomi) karyawan lain mungkin mendasarkan alternatif sejauh mana keahliannya tampak berharga, masih dapat dipakai dan cocok di organisasi yang lain. Persepsi alternatif juga dapat dipengaruhi oleh hal seperti hasil dari upaya pencarian kerja sebelumnya, apakah organisasi lain telah mencoba untuk merekrutnya, dan sejauh mana faktor keluarga mendukung individu untuk pindah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa variabel investasi dan variabel alternatif menurut Becker s (dalam Meyer & Allen, 1997) adalah yang mempengaruhi komitmen kontinu dalam organisasi B. Kepemimpinan Menurut Maxwell (dalam Wahjono, 2010) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh dan kemampuan memperoleh pengikut, dan menjadi seorang yang diikuti oleh orang lain dengan senang hati dan penuh keyakinan. Kepemimpinan itu sebagai The ability to influence a group toward the achievement of goal (Seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian suatu sasaran atau tujuan) (Robbins, dalam Wahjono, 2010).
Robbins dan Judge (dalam Robbins, 1998) juga mengatakan bahwa kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa kepada pengikutnya, pengorganisasian dari aktivitas untuk mencapai tujuan, dan memelihara hubungan kerjasama. Kepemimpinan merupakan faktor penggerak organisasi melalui penanganan dan manajemen yang dilakukannya sehingga keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai simbol yang ada atau setidaknya tidak menjadi masalah tetapi keberadaannya memberikan dampak positif bagi perkembangan organisasi (Aan Komariah dan Cepi Triatna, dalam Wahjono, 2010). 1. Defenisi Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass (1999) Pemimpin transformasional disisi lain di mana mereka yang merangsang dan proses mengembangkan kapasitas kepemimpinan mereka sendiri. Pengikut dari pemimpin transformasional membantu tumbuh dan berkembang menjadi pemimpin dengan menanggapi kebutuhan pengikutnya dengan memberdayakan mereka dan menyelaraskan tujuan dan sasaran dari pengikutnya dalam organisasi yang lebih besar. Bukti menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat mengerakan pengikutnya untuk melebihi
kinerja yang diharapkan, serta mengakibatkan tingginya tingkat kepuasan pengikut dan komitmen untuk kelompok dan organisasi. Menurut Bass dan Steidlmeier (dalam Wahjono, 2010) menengaskan bahwa kepemimpinan transformasional yang sesungguhnya harus dibangun dari dasar atau fondasi moral. Hal senada juga dikemukakan pada pendapat (Burn, dalam Wahjono, 2010) yang menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional yang otentik harus bersandar pada nilai yang sah (legitimate value). Robbins dan Judge (dalam Robbins, 1998) juga mengatakan bahwa pemimpin transformasional (transformational leaders) adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Pemimpin transformasional bisa memotivasi karyawan untuk bekerja di atas ekspektasi dan mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi kepentingan organisasi. perhatian individual, stimulasi intelektual, motivasi inspirasional dan pengaruh yang ideal, seluruhnya mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras, meningkatkan produktivitas, memiliki moril kerja serta kepuasan kerja yang lebih tinggi, meningkatkan efektivitas organisasi, meminimalkan perputaran karyawan, menurunkan tingkat ketidakhadiran dan meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri secara organisasional yang lebih tinggi. Menurut Bass (1985) kepemimpinan transformasional menjelaskan imbalan kontinjen ditunjukkan antara lain dalam bentuk perilaku pemimpin yang memberitahukan kepada bawahan apa yang harus dilakukan jika ingin
memperoleh imbalan tertentu, berbicara banyak mengenai rekomendasi dan promosi untuk setiap pekerjaan yang dilakukan dengan baik, menjamin bawahan akan memperoleh apa yang diinginkannya sebagai pengganti usaha yang dilakukan (bawahan dapat merundingkan apa yang diperolehnya dari usaha yang dilakukannya) dan memberikan apa yang bawahan inginkan sebagai pengganti atas dukungan yang diberikan bawahan kepada pemimpin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional berhubungan dengan komitmen organisasi, dimana pemimpin mempengaruhi dan membantu bawahannya untuk mencapai level yang lebih tinggi dari komitmen dan performansi, mengawasi hasil dari kelompok secara individu untuk mencapai potensi yang lebih tinggi, memberikan semangat pada bawahannya untuk berpikir secara kritis, setia pada organisasi didasarkan pada pendapat Parry, dkk (dalam Silalahi, 2008). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah seseorang pemimpin yang mempunyai visi dan menggunakannya untuk mentransformasikan ke anggota-anggota organisasi, dimana di dalam hal ini anggota-anggotanya terinspirasi, percaya dan yakin pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dalam pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama. Dimana pemimpin transformasional membuat sikap-sikap baru dan memberi gairah kepada pengikutnya untuk mengarahkan dan mencapai nilai-nilai dan keyakinan yang tinggi, memotivasi bawahannya untuk melakukan apa yang mereka harapkan sebelumnya.
2. Pengertian Kepala Sekolah Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, kepala sekolah terdiri dari dua kata yang pertama kepala yang dapat diartikan ketua atau orang yang memimpin. Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk mengajar dan belajar serta tempat memberi dan menerima pelajaran. Seorang kepala sekolah adalah seorang pemimpin yang akan menentukan langkah-langkah pendidikan yang efektif di lingkungan sekolah (Juariah, dalam Wagiman, 2005). Sedangkan menurut Wagiman (2005) kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional yang diberi tugas memimpin suatu lembaga sekolah yang menyelenggarakan proses belajar mengajar dalam. 3. Pengertian Guru Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru (Mulyasa, 2007). Selain siswa, faktor penting dalam proses belajar mengajar adalah guru. Guru sangat berperan penting dalam menciptakan kelas yang komunikatif. Menurut Breen dan Candlin (dalam Mulyasa, 2007) mengatakan bahwa peran
guru adalah sebagai fasilitator dalam proses yang komunikatif, bertindak sebagai partisipan, dan yang ketiga bertindak sebagai pengamat. 4. Pengertian Persepsi Guru Menurut Robbins, 2005 (dalam Simbolon, 2008) mendefinisikan bahwa persepsi sebagai suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan atau menginterpretasikan kesan-kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Menurut Mc Shane dan Von Glinow, 2000 (dalam Simbolon, 2008) persepsi adalah proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran. Intinya persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang menerima informasi dan menyesuaikan dengan lingkungannya. Ini berarti adanya interpretasi dalam memahami informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan yang menerimanya atau adanya seleksi terhadap berbagai rangsangan yang ditangkap oleh panca indera. Hal ini nantinya akan mempengaruhi perilaku masing-masing individu yang menerima informasi tersebut. 5. Komponen Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass (1985) kepemimpinan transformasional yang otentik mengandung empat komponen yakni : 1. Idealized Influence yaitu memimpikan, yakin dan membentuk standar yang tinggi usaha penyamaannya. Kepemimpinan dengan pengaruh
idealisme menginspirasikan bawahan untuk menerima nilai-nilai, normanorma dan prinsip-prinsip bersama. Pengaruh idealisme dapat menghasilkan dorongan yang sangat besar lebih dari biasanya dan menginspirasikan bawahan untuk mewujudkan standar perilaku yang tinggi. Perilaku pengaruh idealisme juga berusaha untuk mewujudkan etika secara konsisten serta menunjukkan tanggung jawab sosial dan jiwa pelayanan sejati. 2. Inspirational Motivation yaitu akan menjadi bekal motivasi para pengikut dalam menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan. Pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui optimisme. 3. Intellectual Stimulation yaitu kepemimpinan transformasional membantu para pengikut untuk menjawab asumsi dan untuk membangkitkan solusi yang lebih kreatif terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Pemimpin transformasional juga mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatanpendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. 4. Individualized Consideration yaitu kepemimpinan transformational memperlakukan masing-masing bawahan sebagai individu dan mendampingi, memonitor dan menumbuhkan peluang. Dalam komponen
ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Keempat komponen dari kepemimpinan transformasional ini saling berhubungan, dan dapat menumbuhkan komitmen karyawan pada organisasi dan mempengaruhi efektivitas dan performansi sebagai karyawan yang loyal pada organisasi. Tiap organisasi diharapkan dapat berhasil, bertahan dan memberikan kesejahteraan bagi karyawan sebagai anggota dari organisasi. untuk dapat bertahan, organisasi memerlukan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Dengan demikian, pengukuran kepemimpinan transformasional juga merefleksikan keempat komponen kepemimpinan transformasional tersebut yaitu idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration 6. Karakteristik KepemimpinanTransformasional Menurut Bass (dalam Wahjono, 2010) memberi ciri kepada pemimpin yang menjalankan Kepemimpinan Transformasional mendefinisikan: Leader are authentically transformational when they increase awareness of what is right, good, important, and beautiful, when they help to evelate followers needs for achievement and self-actualization, when they foster in followers higher moral maturity, and when they move followers to go beyond their self-interests for the good of their group, organization or society (Bass dalam Wahjono, 2010). Yang memiliki arti bahwa ( para pemimpin transformasional yang sesungguhnya yakni ketika mereka memberikan kesadaran tentang apa itu benar,
baik, indah, ketika mereka membantu meninggikan kebutuhan dari para bawahan dalam mencapai apa yang diinginkan dan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapai tingkat kedewasaan moral yang lebih tinggi dan ketika para pemimpin itu mampu menggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri mereka sendiri untuk kebaikan kelompok, organisasi, maupun masyarakat ). Menurut Tichy dan Devanna (dalam Wahjono, 2010) mengatakan bahwa pemimpin transformasional memiliki karakter yaitu : a. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai alat perubahan. b. Mereka berani. c. Mereka mempercayai orang lain. d. Mereka penggerak nilai. e. Mereka pembelajar sepanjang masa. f. Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas dan ketidakpastian. g. Mereka visioner. Berdasarkan karateristik tersebut, seorang pemimpin transformasional mempunyai tujuan dan visi misi yang jelas serta memiliki gambaran yang menyeluruh terhadap organisasinya di masa depan. Pemimpin dalam hal ini berani mengambil langkah-langkah yang tegas tetapi tetap mengacu pada tujuan yang telah ditentukan guna keberhasilan organisasinya, misalnya saja dalam menerapkan metode dan prosedur kerja, pengembangan karyawan secara menyeluruh, menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, juga termasuk di
dalamnya berani menjamin kesejahteraan bagi para karyawan. Disamping itu, hubungan kerjasama dan komunikasi dengan bawahan selalu diperhatikan, memperhatikan perbedaan individual bawahan mengenai pelaksanaan kerja maupun kreativitas kerja masing-masing bawahan dalam mencapai produktivitas tertentu. C. Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Dengan Komitmen Organisasi Guru McShane dan Von Glinow (dalam Simbolon 2008) persepsi adalah proses penerimaan informasi dan pemahaman tentang lingkungan, termasuk penetapan informasi untuk membentuk pengkategorian dan penafsiran. Intinya persepsi berkaitan dengan bagaimana seseorang menerima informasi dan menyesuaikan dengan lingkungannya dan nantinya akan mempengaruhi perilaku masing-masing individu yang menerima informasi tersebut. Hasil penelitian dari Tsai (dalam Silalahi, 2008) yang meneliti tingkat komitmen kontinuan para pekerja pada beberapa perusahaan di Taiwan, dimana pekerja akan menurun tingkat komitmen kontinuans dikarenakan ketidakdisiplinan pekerja terhadap perusahaannya. Komitmen kontinuans akan tinggi apabila pemimpin tetap mampu menjaga kepuasan para karyawannya yang masih bekerja dengan memberikan reward begitupula sebaliknyan, komitmen kontinuan akan menurun bila karyawan mendapat punishment dari pemimpin dengan teguran bahkan dapat diberhentikan secara tidak hormat atas pekerjaan yang tidak sesuai dengan visi dan disiplin yang diterapkan organisasi.
Pemimpin transformasional memiliki karakter-karakter seperti berani, mengidentifikasikan dirinya sebagai alat perubahan, memiliki kemampuan menghadapi ketidakpastian, dan lain-lain (Tichy & Devanna, dalam Wahjonno, 2010). Hal ini akan membuat seorang guru yang memiliki komitmen kontinuan tinggi akan menurun dengan keberanian pemimpin untuk memberikan teguran bahkan diberhentikan tidak hormat (dengan proses yang panjang) apabila guruguru tidak dapat disiplin dan hanya mementingkan keuntungan diri sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan transformational berhubungan dengan komitmen organisasi, dimana pemimpin bergaya transformasional mempengaruhi dan membantu bawahannya untuk mencapai level yang lebih tinggi dari komitmen dan performansi dengan mengawasi hasil kelompok sasaran dan membangun anggota kelompok secara individu untuk mencapai potensi yang lebih tinggi, memberi semangat pada bawahan untuk berpikir secara kritis dan setia pada organisasi (Parry, dkk, dalam Silalahi, 2008). Menurut Bass (1985) kepemimpinan transformasional mengandung empat komponen yakni: Idealized Influence yaitu berkharisma sehingga menginspirasikan bawahan untuk menerima nilai-nilai, norma-norma dan prinsip bersama, Inspirational Motivation yaitu menginspirasikan untuk termotivasi para pengikutnya dalam menghadapi tantangan untuk mencapai tujuan, Intellectual Stimulation yaitu memberikan stimulus untuk ide-ide baru terhadap permasalahan yang dihadapi dan Individualized Considerationi yaitu memberikan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam pengembangan karir pengikutnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dapat membentuk suatu komitmen kontinuan guru dikarenakan seorang pemimpin transformasional memiliki komponen idealized influence yaitu seorang pemimpin yang memberikan pengaruh kepada karyawannya untuk menerima nilai-nilai, norma-norma dan prinsip-prinsip, dan pemimpin transformasional memiliki karakter berani untuk membuat suatu keputusan seperti menegur dan bahkan memberhentikan tidak hormat kepada bawahannya yang tidak sesuai dan tidak disiplin di dalam suatu organisasi. Oleh sebab itu, karyawan yang memiliki komitmen kontinuan yang tinggi pada organisasi dapat menurun dikarenakan seorang pemimpin yang memiliki gaya transformasional. D. Hipotesa Penelitian Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas maka hipotesa penelitian adalah ada hubungan negatif antara persepsi guru terhadap gaya kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan komitmen kontinuans guru. Maka hubungan negatif ini adalah semakin kuat persepsi guru terhadap gaya kepemimpinan transformasional kepala sekolah, maka semakin lemah komitmen kontinuans guru tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin lemah persepsi guru terhadap gaya kepemimpinan transformasional kepala sekolah, maka semakin kuat komitmen kontininuans guru tersebut.