II. TINJAUAN PUSTAKA. R = k (10g+f)

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS PERIODISITAS SUHU DAN TEKANAN PARAS MUKA LAUT DI INDONESIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN AKTIVITAS MATAHARI R. HIKMAT KURNIAWAN

BAB I PENDAHULUAN. Matahari adalah sebuah objek yang dinamik, banyak aktivitas yang terjadi

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Matahari merupakan sumber energi terbesar di Bumi. Tanpa Matahari

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

Atmosfer Bumi. Meteorologi. Peran Atmosfer Bumi dalam Kehidupan Kita. Atmosfer Bumi berperan dalam menjaga bumi agar tetap layak huni.

Musim Hujan. Musim Kemarau

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS PRESENTASI ILMU PENGETAHUAN BUMI & ANTARIKSA ATMOSFER BUMI

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BAB I PENDAHULUAN. Agro Klimatologi ~ 1

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Angin Meridional. Analisis Spektrum

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

ATMOSFER BUMI A BAB. Komposisi Atmosfer Bumi

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB II LANDASAN TEORITIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISA KEJADIAN LUBANG KORONA (CORONAL HOLE) TERHADAP NILAI KOMPONEN MEDAN MAGNET DI STASIUN PENGAMATAN MEDAN MAGNET BUMI BAUMATA KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. yang landas bumi maupun ruang angkasa dan membahayakan kehidupan dan

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tidak hanya di Bumi, cuaca juga terjadi di Antariksa. Namun, cuaca di

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoana Nurul Asri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

METEOROLOGI LAUT. Sirkulasi Umum Atmosfer dan Angin. M. Arif Zainul Fuad

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Kelima (SUHU UDARA)

Bab II Tinjauan Pustaka

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

BAB VII TATA SURYA. STANDAR KOMPETENSI : Memahami Sistem Tata Surya dan Proses yang terjadidi dalamnya.

Suhu Udara dan Kehidupan. Meteorologi

SUHU UDARA, SUHU TANAH Dan permukaan laut

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

POKOK BAHASAN : ANGIN

PENGEMBANGAN PIRANTI LUNAK WEIGHTED WAVELET Z-TRANSFORM (WWZ) DALAM ANALISIS SPEKTRAL AKTIVITAS MATAHARI

I. INFORMASI METEOROLOGI

GEJALA-GEJALA YANG TERJADI DI ATMOSFER

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Bab IV Analisis dan Pembahasan

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ke-8 (TEKANAN UDARA)

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah.

SUHU UDARA DAN KEHIDUPAN

IPA TERPADU KLAS VIII BAB 14 BUMI, BULAN, DAN MATAHARI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

Daftar Isi. Tata Surya. Matahari. Gerak edar bumi dan bulan. Lithosfer. Atmosfer.

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH SEBARAN SUHU UDARA DARI AUSTRALIA TERHADAP SUHU UDARA DI BALI. Oleh, Erasmus Kayadu

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Keterkaitan Variasi Sinar Kosmik dengan Tutupan Awan Riza Adriat 1)

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bintik Matahari ( Sunspot ) Di permukaan matahari terjadi gejolak gejolak yang kadang menguat dan kadang melemah yang dikenal dengan aktivitas matahari. Salah satu bentuk aktivitas matahari adalah bintik matahari atau dikenal dengan sunspot. Kombinasi aktivitas matahari dan magnetiknya diduga berperan besar pada siklus aktivitas matahari (Djamaluddin, 2001). Bintik yang terjadi di lapisan fotosfer matahari memiliki suhu relatif rendah (4000K) dari sekitar (6000K). Strukturnya terdiri dari umbra dan penumbra. Umbra terletak di bagian dalam bintik dan memiliki suhu yang relatif rendah (4500K) sehingga warnanya lebih gelap daripada penumbra. Diameter umbra kurang lebih setengah dari diameter bintik matahari total. Untuk bintik kecil, batas antara umbra dan penumbra tidak jelas sehingga sulit untuk dijelaskan. Bintik matahari merupakan suatu fenomena akibat adanya aktivitas magnetik yang terjadi di dalam matahari itu sendiri. Di permukaan matahari kadang terjadi pusaran gas yang hebat dimana terjadi rotasi partikel-partikel bebas yang menimbulkan arus dan menimbulkan medan magnet. Di dalam pusat matahari terjadi rekasi inti dengan mengeluarkan panas bersuhu tinggi (orde jutaan Kelvin) sehingga semua atom atom dan gasnya terionisasi. Tekanan dipusat matahari lebih tinggi daripada di luarnya sehingga partikel partikel tadi berusaha untuk keluar menuju ke permukaan. Aliran partikel dari bawah permukaan tidak dapat melewati medan magnet, melainkan dibelokkan sehingga menyebar ke samping, yang berakibat di bagian tersebut bersuhu lebih tinggi dari bagian dalam atau kabur gelap (Pambudi,2000) Bintik matahari bisa diamati dengan menggunakan teleskop dan akan tampak bintik-bintik hitam dipermukaan matahari. Bintik matahari muncul secara berkelompok tetapi ada juga yang secara individu. Ukuran kelompok bintik bervariasi dari 10.000 km untuk bintik ukuran sedang hingga 50.000 km untuk bintik ukuran besar. Ukuran bintik selalu berubah terhadap posisi dan waktu. Bintik yang berukuran kecil sering bertahan dalam hitungan hari sedangkan bintik berukuran besar dapat bertahan lebih dari sebulan. Bintik matahari tidak hanya periodik dalam hal bilangan (jumlah) tetapi juga terhadap posisi lintang matahari. Pada awal siklus baru, bintik mulai muncul pada sabuk 30 LU dan 30 LS matahari. sabuk ini kemudian begerak menuju ekuator. Bintik akan terlihat jelas dan mencapai maksimum pada sabuk 16 LU dan 16 LS. Setelah itu aktivitasnya akan menyusut dan akhirnya menghilang disekitar 8 LU dan 8. Pada pusat tata surya, tidak ada fenomena lain selain bintik matahari yang kemunculannya bersifat periodik. Selama satu periode waktu, beratus-ratus bintik matahari mungkin membentuk kelompok kelompok besar tetapi pada satu waktu yang lain sama sekali tidak ditemukan bintik. Periode tersebut dinamakan periode matahari tenang, jika sebaliknya dinamakan matahari aktif. Periode bintik matahari adalah 11.1 tahun yaitu hasil perataan selama 80-90 tahun, bervariasi antara 9-14 tahun. Setiap satu siklus bintik matahari (sunspot cycle) terjadi periode solar max dan periode solar min (Christiany,2002) Gambar 1. Fluktuasi tahun maksimum dari sunspot number (Djamaluddin, 2005). Pada tahun 1948, Rudolf Wolf merumuskan bilangan bintik matahari harian untuk memperkirakan keaktifan matahari berdasarkan sunspot number R. adapun persamaannya adalah : R = k (10g+f) dengan f adalah total bintik matahari yang tampak pada permukaan mataharinya, g adalah jumlah total grup bintik matahari, k adalah faktor reduksi yang tergantung pada pengamat dan jenis teleskop yang sedang digunakan, agar setara dengan perhitungan wolf yang didefinisikan k=1. Bilangan bintik matahari tersebut merupakan sebuah index basis harian, tetapi karena variasi antar harinya besar maka menjadi basis bulanan dan tahunan (Thompson, 1985)

Gambar 2. Variasi bilangan bintik matahari dan prediksinya (http://science.nasa.gov/ast14oct99_1.htm). Pada Gambar 2 ditunjukkan variasi bilangan bintik matahari dari tahun 1995 hingga 1999 dan prediksinya sampai tahun 2007. Pengamatan bintik matahari pertama kali diamati dengan menggunakan teleskop dimulai pada tahun 1611. Penelitian bintik matahari terus berlangsung hingga kini dengan metode dan teknologi yang lebih maju sehingga pengkajiannya menjadi lebih berkembang. 2.2. Suhu Udara Suhu mencerminkan energi kinetik ratarata dari pergerakan molekul-molekul. Pada udara, energi kinetik dijabarkan sebagai setengah dari perkalian massa sebuah molekul dengan kecepatan kuadrat rata- rata dari gerakan molekul tersebut. Pada lapisan troposfer, secara umum suhu makin rendah menurut ketinggian. Rata-rata penurunan suhu berdasarkan ketinggian di Indonesia sekitar 5-6 C tiap kenaikan 1 km. Variasi suhu menurut tempat dipengaruhi juga oleh posisi daerah tersebut terhadap daratan dan lautan serta keadaan unsur iklim, seperti perawanan. Di daerah tropika fluktuasi suhu rata-rata harian relatif konstan sepanjang tahun sedangkan fluktuasi suhu diurnal lebih besar daripada fluktuasi suhu rata-rata harian. Waktu tunda antara radiasi surya maksimum dan suhu maksimum adalah sekitar 2 jam. (Handoko et al). 2.3. Tekanan Paras Muka Laut (Sea Level Pressure) Tekanan paras muka laut merupakan besaran tekanan udara di suatu tempat pada level permukaan laut (0 mdpl). Besarnya tekanan paras muka laut dapat dikonversi dari tekanan udara stasiun dengan persamaan : -dp = g ρ dz dengan dp adalah perubahan tekanan udara, g adalah gravitasi, ρ adalah kerapatan udara, dan dz adalah perubahan ketinggian. Artinya bahwa, tekanan pada ketinggian z adalah sebanding dengan massa (berat) udara pada kolom vertikal pada ketinggian tersebut. Tekanan udara adalah gaya berat kolom udara dari permukaan tanah sampai puncak atmosfer persatuan luas (Handoko, 1995). Tekanan udara pada setiap titik merupakan berat total udara di atas titik tersebut persatuan luas. Tekanan udara berkurang dengan bertambahnya ketinggian, karena lapisan atmosfer yang makin tipis. Kita dapat menghubungkan tekanan baik dengan suhu maupun perubahan kerapatan (ρ) karena faktor- faktor ini mempengaruhi jumlah molekul pada volume udara tertentu dan kecepatan geraknya. Kerapatan udara rendah disebabkan oleh jumlah molekul yang sedikit persatuan volume, berakibat pada tekanan udara yang rendah. Kerapatan dapat diubah dengan mengurangi jumlah energi kinetik molekul- molekul udara pada suatu volume udara tanpa merubah massanya. Kecepatan gerak molekul-molekul udara dipengaruhi oleh suhu, apabila suhu meningkat energi kinetiknya makin tinggi, sehingga semakin cepat molekul- molekul udara bergerak. Oleh karena itu untuk suatu volume udara tetap, tekanannya akan semakin tinggi dengan bertambahnya suhu. Kenaikan suhu akan menyebabkan molekul-molekul lebih aktif bergerak dan tumbukan yang lebih sering terjadi akan mengakibatkan naiknya tekanan apabila volumenya tetap. Variasi tekanan secara horisontal lebih kecil dibandingkan secara vertikal. Hubungan antara kerapatan, tekanan dan suhu udara untuk lapisan troposfer dapat dijelaskan sebagai berikut : - berdasarkan persamaan hidrostastik : dp = - g ρ dz dengan dp adalah perubahan tekanan, ρ adalah kerapatan udara, g adalah gravitasi dan dz adalah perubahan ketebalan lapisan udara. - menurut persamaan gas ideal : P V = n R T dengan n adalah jumlah mol. R adalah tetapan Boltzman (8,3143 JK -1 mol -1 ), V adalah volume udara, dan T adalah suhu mutlak (dalam Kelvin).

2.4. Karakteristik Geografis Wilayah Jakarta, Medan dan Ambon. Indonesia merupakan salah satu wilayah bumi yang terletak di wilayah tropika, yaitu wilayah yang terletak antara 23,5 LU dan 23,5 LS. Tipe iklim tropika dicirikan dengan suhu, kelembapan, penguapan, dan curah hujan yang tinggi. Daerah tropika menerima jumlah radiasi matahari yang relatif lebih banyak sehingga tekanan udaranya lebih rendah dibanding sekitarnya, oleh sebab itulah wilayah tropika termasuk kedalam zona divergensi inter tropika (ITCZ). Menurut Koppen, tropika termasuk kedalam tipe iklim A dimana suhu bulan terdingin >18 C. 2.4.1. Jakarta Terletak pada 106 0 BT dan 6 0 LS, berada di lautan rendah pantai utara pulau Jawa bagian barat. Wilayah bagian selatan relatif lebih berbukit dibandingkan dengan wilayah bagian utara sampai sekitar 10 km ke selatan dan memiliki ketinggian maksimum 7 mdpl. Pada lokasi tertentu letaknya malah berada di bawah permukaan laut, bahkan terdapat pula penurunan muka tanah. Jakarta beriklim panas. Pada tahun 1986 suhunya rata-rata 31,7 0 C pada siang hari, sedangkan pada malam hari mencapai 23,9 0 C. Perbedaan suhu udara rata-rata antara musim hujan dan kemarau tidak mencolok. Kelembapan udara rata-rata tahun 1985 adalah 78%. Curah hujan mencapai 1935 mm pada tahun 1986, tertinggi pada bulan Januari, terendah 52,4m pada bulan Oktober 2.4.2. Medan Medan terletak di bagian timur sebelah utara propinsi Sumatera Utara (yang terletak pada ketinggian 0 2829 mdpl, antara 1 0 LU 4 0 LU dan 98 0 BT 100 0 BT). Dataran rendahnya ada yang berupa pantai, seperti di pantai timur, tetapi ada juga yang bergelombang. Dataran tingginya ada yang berupa pegunungan rendah dengan ketinggian 25 300 mdpl. Medan beriklim tropis tanpa suhu tertinggi yang ekstrim 2.4.3. Ambon Ambon berada pada posisi 128,08 0 BT dan 3,7 0 LS terletak di kepulauan wilayah timur Indonesia. Topografi kota Ambon dan juga wilayah lainnya di Maluku adalah kepulauan dengan tanah yang bergelombang dan berpegunungan dan sebagian dataran rendah. Karena bentang wilayahnya yang sangat luas, maka masing-masing pulau ini memiliki iklim lokal sendiri. Angin laut sangat berpengaruh terhadap iklim di wilayah ini sehingga iklim lokal dapat menyimpang sama sekali. Suhu rata-ratanya mencapai 26,3 0 C dengan suhu minimum 15,1 0 C dan suhu maksimum 33 0 C 2.5. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Tekanan Paras Muka Laut. Tidak semua aktivitas matahari berpengaruh pada iklim bumi. Hal ini karena bumi mempunyai medan magnet yang dapat menahan sebagian besar angin matahari. Ada suatu keuntungan yang sangat besar dimana bumi mempunyai medan magnet, garis-garis medan magnet bumi, magnetosfer, akan melindungi atmosfer dari hujan partikel kosmis (Pambudi, 2000). Adapun parameter aktivitas matahari yang cukup mempengaruhi bumi diantaranya adalah bintik matahari (Syahrina, 2005). Aktivitas matahari berhubungan dengan cuaca dan iklim dalam skala yang luas. Emisi gelombang pendek yang berasal dari letusan di permukaan matahari mampu mempengaruhi tingkat pemanasan pada atmosfer bumi hanya dalam waktu tunda yang relatif pendek, kemudian pola sirkulasi atmosfer ke arah kutub pada daerah lintang tinggi. Indikator yang dapat diamati dengan jelas yaitu perubahan tekanan paras muka laut yang bertambah besar dari daerah lintang yang mendapatkan suplai panas maksimum (ekuator) (Pambudi, 2000). Christoforou dan Hameed (1997) (dalam Djamaluddin, 2001) menganalisis hubungan aktivitas matahari (indikator bintik matahari) terhadap aktivitas cuaca di Pasifik. Dua daerah sistem tekanan semi permanen di Pasifik belahan utara, yaitu Aleut (35 0 70 0 LU, 120 0 BB 13 0 BT) yang bertekanan rendah, dan Hawaii (20 0 50 0 LU, 100 0 BB 140 0 BT) yang bertekanan tinggi, dianalisis perubahan lokasi pusat tekanannya selama Desember Januari tahun 1900-1994. Hasilnya menunjukkan adanya pengelompokkan yang signifikan. Pada saat aktivitas matahari minimum, pusat tekanan rendah Aleut berpindah sejauh ratarata 700 km ke arah timur, sedangkan pusat tekanan tinggi Hawaii berpindah ke utara dari sekitar 31,6 0 LU ke sekitar 33,2 0 LU.

2.6. Hubungan-hubungan Aktivitas Matahari Terhadap Suhu. Pengaruh aktivitas matahari terhadap suhu udara di bumi diteliti oleh beberapa ilmuwan di dunia. Respon suhu udara permukaan global terhadap variabilitas aktivitas matahari 11 tahunan diteliti Stevens dan North (1996) (dalam Djamaluddin, 2001) dengan memanfaatkan data suhu udara permukaan jangka panjang (1934-1993) dan data irradiansi matahari yang dikalibrasi dengan data bintik matahari. Mereka menunjukkan (gambar 3 dan 4) bahwa perubahan suhu udara global dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Pengaruh terbesar terjadi di daratan dekat ekuator, terutama wilayah Arab dan Afrika utara yang merespon perubahan irradiansi matahari 1 Wm -2 dengan perubahan suhu sekitar 0,06 0 C dan di Amerika selatan dengan 0,05 0 C. Sedangkan di Indonesia sekitar 0,045-0,05 0 C. Dari simulasi itu juga ditunjukkan bahwa respon aktivitas matahari terhadap suhu itu tidak langsung, tetapi ada selang waktu 8-24 bulan. Asia tengah paling cepat merespon, hanya dengan selang waktu 8 bulan, sedangkan Indonesia sekitar 18 bulan. Gambar 3. Amplitudo respon perubahan suhu udara permukaan terhadap forcing irradiansi 1 Wm -2. (dalam Djamaluddin, 2001). Gambar 4. Selang waktu respon (dalam bulan) setelah forcing matahari 1 Wm -2. (dalam Djamaluddin, 2001). Friis-Christensen dan Lassen (1991,1994) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan hal lain bahwa hubungan aktivitas matahari (dengan indikator bilangan bintik matahari) dan suhu permukaan sulit diinterpretasikan bila dikorelasikan secara langsung. Walaupun menunjukkan yang mirip tetapi perubahan suhu udara ternyata mendahului 20 tahun daripada perubahan bilangan bintik matahari. Mereka lalu menunjukkan perubahan suhu permukaan rata-rata global (1750-1990) ternyata berkorelasi sangat baik dengan panjang siklus aktivitas matahari, bukan dengan bilangan bintik mataharinya. Sedangkan Charvatova dan Strestik (1995) (dalam Djamaluddin, 2001) menunjukkan bahwa dari analisis data suhu udara permukaan jangka panjang dijumpai indikasi peranan gerak inersial matahari di sekitar pusat massa surya. Dengan membandingkan antara spektra periodisitas bilangan bintik matahari dan gerak inersia matahari, mereka menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pada saat gerak matahari teratur (pada rentang waktu 1727-1777 dan 1906-1956), suhu udara permukaan relatif lebih hangat dibandingkan saat gerakan tidak teratur. Lean (1991) (dalam Djamaluddin, 2001) mengungkapkan bahwa perbedaan irradiansi (solar constant) antara saat siklus matahari minimum dan maksimum adalah 0,1%. Perubahan tingkat irradiansi matahari dari aktivitas minimum ke maksimum yang sekitar 0,1% hanya berdampak pada pengurangan pemanasan langsung di permukaan bumi sekitar 0,25 Wm -2 (Schiffer dan Unninayar, 1991) (dalam Djamaluddin, 2001) dan perubahan suhu global 0,02 0 C (Foukal dan Lean, 1990) (dalam Djamaluddin, 2001). Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Svensmark (1998) menyatakan bahwa pada dekade-dekade akhir, variasi suhu bumi lebih mendekati variasi flux sinar kosmik dan panjang siklus matahari, dibanding parameter aktivitas matahari lainnya. Kesimpulan utamanya bahwa gejala-gejala di heliosfer dapat mempengaruhi iklim bumi. Selain itu Svensmark bersama Christensen juga meneliti hubungan flux sinar kosmik dengan penutupan awan global yang menyimpulkan bahwa variasi sistem penutupan awan global selama siklus aktivitas matahari terakhir dapat disebabkan oleh variasi aktivitas matahari 11 tahunan dari flux sinar kosmik meskipun hubungannya tidak bersifat langsung.

2.7. Weighted Wavelet Z-Transform WWZ) WWZ merupakan suatu metode analisis spektrum yang digunakan untuk menganalisis data runtut waktu (time series) yang tidak lengkap. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh G. Foster tahun 1996 untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi sinyal periodik. Metode ini dikembangkan dalam piranti lunak oleh The American Association of Variable Star Observes (AAVSO). Awalnya metode ini dibuat untuk keperluan analisis data bintang variabel yang juga memerlukan evolusi periodisitasnya, namun karena segala data runtut waktu dapat digunakan dengan metode tersebut, maka penggunaannya dapat diperluas termasuk untuk data meteorologi dan astronomi lainnya. Keunggulan metode ini dibanding metode lain adalah WWZ memungkinkan untuk mendeteksi periode sesaat (transient periodic) dengan nilai periode, amplitude, dan fase yang senantiasa berubah-ubah (Djamaluddin, 1998b). Selain itu WWZ juga dapat memroses data yang tidak lengkap dan dapat menyeragamkan selang waktu dari setiap data runtut waktu tanpa perlu melakukan interpolasi sebelum memroses. Data hilang tidak masalah karena analisisnya bersifat sesaat. Metode lain yang digunakan untuk mendapatkan periodisitas atau komponenkomponen periodik yang lain dari suatu data runtut waktu lain mengharuskan masukan data yang lengkap dalam selang waktu yang tetap, padahal dalam kenyataannya data runtut waktu seringkali tidak lengkap atau selang waktu antar data tidak seragam. Cara yang biasa dilakukan adalah interpolasi, dengan periodisitas yang dihasilkan tidak tepat. Salah satu penggunaan wavelet untuk menganalisis aktivitas matahari dilakukan oleh Djamaluddin (2001) yang menyimpulkan bahwa periode aktivitas matahari bervariasi antara 9-13 tahun. III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung pada bulan Januari-Mei 2006. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah personal komputer dengan perangkat lunak pengolah kata, pengolah angka, notepad, Numerical Data Package (NDP) 041, Winsurf, dan Weighted Wavelet Z-Transform (WWZ) 11. Bahan yang digunakan adalah data bulanan bintik matahari (Sunspot Number/SSN), suhu, dan tekanan paras muka laut (Sea Level Pressure / SLP) jangka panjang (1889-1988) stasiun kota Jakarta, Medan, dan Ambon. 3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Studi Pustaka Metode ini digunakan untuk mencari berbagai literasi dan referensi keterkaitan suhu udara dan tekanan paras muka laut dengan aktivitas matahari (dengan indikator bintik matahari). 3.3.2. Pengolahan Data Pengolahan awal yang dilakukan adalah mengelompokkan data bilangan bintik matahari, suhu udara, tekanan paras muka laut Jakarta, Medan, dan Ambon (periode Desember-Februari, Maret-Mei, Juni- Agustus, dan September-November). Periode didasarkan pada perbedaan posisi matahari terhadap letak lintang bumi sehingga mempengaruhi jumlah penerimaan intensitas radiasi matahari yang kemudian berpengaruh pada suhu dan tekanan udara. Wilayah kajian yang dianalisis adalah Jakarta, Medan, Ambon didasarkan atas perbedaan pola curah hujan masing-masing wilayah, dimana Jakarta berpola hujan monsoon (puncak hujan pada musim panas), Medan berpola bimodal (dua puncak hujan dalam setahun), dan Ambon berpola lokal (puncak hujan pada musim dingin). Pengelompokkan ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan suhu dan tekanan paras muka laut pada masing-masing periode, serta keterkaitannya dengan keterpengaruhan aktivitas matahari. Proses selanjutnya adalah memanggil data bilangan bintik matahari, suhu udara, dan tekanan paras muka laut. Data bilangan