Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si. PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
Dinamika Politik Pemekaran Daerah

Prayudi POSISI BIROKRASI DALAM PERSAINGAN POLITIK PEMILUKADA

Penyunting: DR. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. PUTUSAN PENGADILAN TERKAIT SENGKETA TANAH DI INDONESIA

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Dr.jur Udin Silalahi, SH., LL.M. KAJIAN SEPUTAR PROBLEMATIKA KEUANGAN NEGARA, ASET NEGARA, DAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN

SINKRONISASI DAN HARMONISASI HUKUM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH: STUDI DI PROVINSI BALI

PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Ujianto Singgih Prayitno KONTEKSTUALISASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Editor: DR. Lili Romli DPR RI PERIODE : Catatan Akhir Masa Bakti

POTENSI DAN MASALAH PULAU PERBATASAN: KABUPATEN PULAU MOROTAI DAN KABUPATEN PULAU RAJA AMPAT

TENAGA KERJA: PERSPEKTIF HUKUM, EKONOMI, DAN SOSIAL

Upaya Peningkatan Kerjasama INDONESIA - AS DI SEKTOR PERTAMBANGAN

POLITIK PEMILUKADA 2010: Sebuah Kajian Terhadap Penyelenggaraan Pemilukada di Dumai dan Indragiri Hulu

PENGENTASAN KEMISKINAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN KONSERVASI: Studi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Model Desa Konservasi. Sri Nurhayati Qodriyatun

Bunga Rampai Model Penyelenggaraan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PNPM-MANDIRI PERKOTAAN DI KOTA BATAM (Sebuah Perspektif Intervensi Sosial)

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI OTONOMI KHUSUS DI PAPUA DAN ACEH

Humphrey Wangke TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INDONESIA

Judul: Perlindungan TKI Perempuan Sektor Informal

MASALAH NEGARA KEPULAUAN Di ERA GLOBALISASI

DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI

FUNGSI LEGISLASI: PEmbENtUkAN dan PELAkSANAAN beberapa UNdANG-UNdANG republik INdoNESIA

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM LEMBAGA LEGISLATIF

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI INDONESIA DAN UPAYA PENANGANANNYA. Penyunting Humphrey Wangke

Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

BAB I PENDAHULUAN. memperlakukan rakyat sebagai subjek bukan objek pembangunan, sehingga

INTER-PARLIAMENTARY UNION DAN AGENDA GLOBAL ABAD 21

PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM. Penyunting Poltak Partogi Nainggolan

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas EKONOMI. Program Studi MANAJEMEN. Nabil Ahmad Fauzi, M.Soc.

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

TENAGA KERJA INDONESIA: ANTARA KESEMPATAN KERJA, KUALITAS, DAN PERLINDUNGAN. Penyunting: Sali Susiana

GUBERNUR Kedudukan, Peran dan Kewenangannya

HUKUM ADAT DAN KEARIFAN LOKAL

PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN

PERMASALAHAN PEMILIH TANPA KTP ELEKTRONIK MENJELANG PILKADA SERENTAK 2018

I. UMUM. Dalam...

Cetakan 1, Januari 2016

Dr. Ujianto Singgih Prayitno, M.Si. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PEMBANGUNAN SOSIAL: WACANA, IMPLEMENTASI DAN PENGALAMAN EMPIRIK. Penyunting: Dr. Ujianto Singgih Prayitno, M.Si

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

KONSTITUSIONALITAS PENGALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN PENDIDIKAN MENENGAH DARI KABUPATEN/KOTA KE PROVINSI 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI: PERSPEKTIF POLITIK. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

Prof. Carunia Mulya Firdausy, MADE, Ph. D., APU SINERGI, PEMBIAYAAN, PERAN MASYARAKAT, DAN DAYA SAING DALAM PENGUATAN KONEKTIVITAS NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

Mendesain 3 Dimensi Secara Cepat dengan AutoCAD 2008

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

(The Decentralization of Investment: a Legal Study based on the Law Number 25 of 2007 regarding the Investment)

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

DOMINASI PENUH MUSLIHAT AKAR KEKERASAN DAN DISKRIMINASI

HUKUM EKONOMI AGUNG EKO PURWANA, SE, MSI.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 2009

Penerbit Universitas Pancasila

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

BAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.

Sistem Informasi Manajemen Integrasi subsistem dan komponennya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

Kebijakan Desentralisasi dalam Kerangka Membangun Kualitas Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah di Tengah Tantangan Globalisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Evi Purnama Wati, Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena Pemekaran Wilayah di Indonesia, Halaman

Prof.Dr.Azhar Susanto,MBus,CPA,Ak,CA Universitas Padjadjaran

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. adanya amandemen besar menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan,

SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

LIPI PANDANGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI

Dr. Yansen T.P., M.Si

Pendidikan Agama Islam

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Otonomi Daerah PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MODUL PERKULIAHAN 10. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Transformasi Menuju Indonesia Baru

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA VERTIKAL

Pilkada Langsung; Entry Point Dalam Menuju Good Governance

IDENTIFIKASI DAN PENANGANAN MASALAH PILKADA ANDI APRASING,SH.MH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KPU Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumedang BAB I PENDAHULUAN

OLAHRAGA DAN BENCANA. (Kontribusi Olahraga dalam Pemulihan Pasca Bencana)

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH DAN FENOMENA PEMEKARAN WILAYAH DI INDONESIA

Feliza Zubair CSR, PR, & Etika Bisnis

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

Program Sasaran

H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

MEMAHAMI ASPIRASI DAERAH UNTUK MENGUKUHKAN NKRI Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara Palembang, 26 Juni 2011

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Transkripsi:

Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si. PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika 2013

Judul: Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) ix+135 hlm.; 17x24 cm ISBN: 978-979-9052-97-1 Cetakan Pertama, 2013 Editor: Prof. Dr. Syamsuddin Haris, M.Si. Penulis: Prayudi Riris Katharina Siti Nur Solechah Debora Sanur L. Dewi Sendhikasari Desain Sampul: Ferry C. Syifa Tata Letak: Zaki Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012 Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Graha Azza Grafika Perumahan Alam Asri B-1 No. 14 Serua Bojongsari Kota Depok 16520 Telp. +62 21-49116822 Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

PENGANTAR EDITOR Sulit dipungkiri bahwa salah satu pencapaian reformasi politik di Indonesia pasca-orde Baru adalah bergulirnya agenda desentralisasi dan kebijakan otonomi luas bagi daerah. Terlepas dari berbagai kritik atas implementasi otonomi daerah yang dianggap cenderung melahirkan rajaraja kecil baru di daerah, kebijakan tersebut harus diakui memberi ruang lebih lebar bagi segenap entitas daerah untuk memaksimalkan potensi lokal mereka yang selama rezim Soeharto terkekang oleh kebijakan yang seragam dan sentralistik. Terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menandai bergulirnya kebijakan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah di Indonesia. Kebijakan yang diimplementasikan sejak 2001 tersebut kemudian diperbaharui kembali melalui UU No. 32 Tahun 2004. Meskipun kebijakan desentralisasi sesungguhnya telah dimulai sejak periode awal kemerdekaan, namun secara umum dapat dikatakan, perubahan kebijakan secara mendasar baru berlangsung sejak era reformasi. Persoalannya, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 meskipun tidak sedikit kritik yang muncul terkait UU terakhir tidak hanya memberi ruang yang lebih besar bagi daerah untuk mengurus rumah tangganya sesuai kewenangan yang didesentralisasikan oleh pemerintah (pusat), melainkan juga mengubah secara cukup mendasar format relasi Pusat-Daerah. Seperti diketahui, berakhirnya rezim otoriter Orde Baru pada 1998 menandai dimulainya era demokratisasi yang memungkinkan terbangunnya pola relasi baru antara Pusat dan Daerah, yakni dari yang bersifat eksploitatif-sentralistik pada era Soeharto menjadi format relasi yang lebih bersifat kemitraan-desentralistik pada era reformasi pasca-orde Baru. Selain itu, tuntutan dan kebutuhan akan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis meniscayakan diakhirinya pula kebijakan yang seragam untuk daerah-daerah yang sangat beragam, baik dari segi potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan ekonomi, maupun dari aspek demografi, geografi, sosio-kultural, dan bahkan sejarah. Apabila ditelusuri ke belakang, urgensi desentralisasi dan otonomi daerah bagi tatanan politik dan pemerintahan Indonesia telah dikemukakan oleh proklamator Bung Hatta sejak 1932. Dalam menyampaikan pandangan politiknya yang berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka, Bung Hatta mengatakan bahwa desentralisasi-lah, bukan sentralisasi, yang menjadi iii

dasar bagi cita-cita tolong-menolong dalam asas kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Pada bagian lain Hatta mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan, kecil dan besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri 1. Namun demikian sejak Indonesia merdeka cita-cita desentralisasi dan otonomi daerah tidak pernah benar-benar bisa diwujudkan seperti yang diimpikan Bung Hatta. Meskipun berbagai kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah dicoba sejak 1945 hingga berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 1998, hubungan Pusat-Daerah tetap saja diwarnai dengan konflik dan ketegangan politik yang tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa. Semangat dan praktik sentralisasi yang berlebihan di satu pihak, dan implementasi desentralisasi yang bersifat administratif di lain pihak, tampaknya merupakan faktor penting di balik kegagalan agenda desentralisasi yang dicanangkan pemerintah-pemerintah sebelumnya 2. Karena itu ketika pada akhirnya sistem otoriter yang sentralistik dan koruptif tersebut runtuh bersamaan dengan mundurnya Soeharto pada Mei 1998, sejumlah daerah yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Jakarta menuntut untuk memisahkan diri dari Republik 3. Kalau disepakati bahwa tujuan akhir tuntutan reformasi adalah tercapainya demokrasi, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyat, maka arah kebijakan otonomi daerah perlu dilihat sebagai bagian dari agenda demokratisasi. Otonomi daerah tidak akan menjanjikan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat apabila agenda demokratisasi diabaikan di dalamnya. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh unsur bangsa kita tidak sematamata ditentukan oleh bentuk negara --dalam pengertian negara kesatuan dan negara federal. Sistem politik yang menjamin berlakunya mekanisme checks and balances, distribusi kekuasaan secara sehat dan fair, adanya akuntabilitas pemerintahan, tegaknya supremasi hukum dan HAM, serta struktur ekonomi yang adil dan berorientasi kerakyatan, jauh lebih penting dari sekadar bentuk negara. 1 Ke Arah Indonesia Merdeka dalam Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, Jakarta- Amsterdam-Surabaya: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, 1953, hal. 76-77. 2 Lihat misalnya, S. Pamudji, Pelaksanaan Asas Desentralisasi dan Otonomi Daerah di dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Politik 1, Jakarta: Gramedia, 1986, hal. 56-69. 3 Antara lain lihat, Syamsuddin Haris, et al., Indonesia di Ambang Perpecahan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999; juga, Michael Malley, Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan, dalam Donald K. Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soehartot., Jakarta: Gramedia dan TAF, 2001, hal. 122-181. iv

Pada dasarnya cara pandang yang menempatkan desentralisasi sebagai bagian dari demokratisasi itu antara lain yang secara implisit berada di balik tujuan utama desentralisasi seperti dikemukakan oleh Smith 4. Menurut Smith, tujuan desentralisasi itu mencakup tujuan bagi pemerintah pusat, dan tujuan bagi pemerintah serta masyarakat daerah. Bagi pemerintah pusat, desentralisasi diagendakan dalam rangka pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan nasional, dan stabilitas politik, sementara tujuan bagi pemerintah daerah dan masyarakat lokal, desentralisasi diagendakan dalam rangka tercapainya kesamaan politik (political equality), pertanggungjawaban publik pemerintah daerah (local accountability), dan daya tanggap (responsiveness) pemerintahan lokal terhadap pelayanan yang dibutuhkan masyarakat 5. Namun demikian konteks demokratisasi yang dimaksud jauh lebih luas dari kerangka Smith, karena mencakup pula reformasi dan restrukturisasi lembaga perwakilan, sistem pemilihan, dan penegakan keadilan atas dasar supremasi hukum. Meminjam Hatta, demokrasi yang dimaksudkan itu tak hanya berorientasi kedaulatan rakyat, melainkan juga suatu demokrasi yang sebenarnya memakai sifat desentralisasi: memberi otonomi kepada golongan-golongan di bawah, dalam politik dan ekonomi 6. Konsekuensi logis dari cara pandang di atas adalah bahwa otonomi daerah ditempatkan sebagai instrumen demokratisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman (pluralitas) bangsa kita. Dalam kaitan ini, otonomi daerah sebenarnya bukan tujuan, melainkan cara demokratis untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua unsur bangsa tanpa kecuali. Implementasi otonomi daerah yang mengabaikan agenda demokratisasi pada akhirnya akan menjerumuskan rakyat kita ke dalam perangkap oligarki elite politik di tingkat lokal seperti tampak dalam praktik tata pemerintahan lokal produk Pilkada langsung dewasa ini. Konteks penting lain dari agenda desentralisasi adalah memahami esensi otonomi daerah sebagai otonomi masyarakat daerah, bukan sekadar otonomi pemerintah daerah (Pemda). Konsekuensi logis dari cara pandang ini adalah bahwa paket kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus berorientasi pada tercapainya keadilan dan kesejahteraan rakyat, meningkatnya kualitas 4 B. Smith, Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London: Asia Publishing House, 1985. 5 Selanjutnya lihat, Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Perspektif Teoritis dan Perbandingan, dalam Syamsuddin Haris, et al., Paradigma Baru Otonomi Daerah, Jakarta: LIPI, 2000, hal. 21-58; juga Riswanda Imawan, Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance, dalam Syamsuddin Haris, ed., Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: AIPI-PGRI, 2002, hal. 43-53. 6 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan, hal. 77. v

tata-kelola pemerintahan dan pelayanan publik bagi masyarakat lokal. Konsekuensi lainnya, masyarakat bukan hanya memiliki peluang untuk memilih dan menentukan secara langsung para wakil dan pemimpinnya, melainkan juga berhak untuk menggugat para wakil dan pemimpin daerah yang ternyata kinerja buruk dan tidak bertanggung jawab. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana agenda desentralisasi dan kebijakan otonomi luas bagi daerah bisa menjadi solusi, dalam arti meningkatkan efektifitas kinerja dan tata-kelola pemerintahan daerah dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, pelayanan publik, dan daya saing daerah? Atau sebaliknya, lebih merupakan problem bagi pemerintah (Pusat) karena meningkatnya beban fiskal yang turut didesentralisasikan dan kurang optimalnya sinergi dan efektifitas kebijakan Pusat di Daerah? Dalam kaitan tersebut buku yang ditulis oleh para peneliti Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia ini berusaha memotret praktik dan implementasi desentralisasi kewenangan dan atau urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan mengambil kasus Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Sulawesi Utara, para penulis membahas dan menyoroti antara lain, kewenangan gubernur dalam sengketa daerah, persoalan pegawai daerah, masalah urusan dan perizinan pertambangan yang menjadi kewenangan daerah, masalah implementasi asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan implementasi urusan pembiayaan pemerintahan di daerah. Seperti bisa diduga, tidak semua urusan yang diserahkan kepada daerah tersebut tanpa masalah. Studi ini justru membenarkan sinyalemen bahwa kebijakan luhur otonomi daerah belum benar-benar dinikmati oleh masyarakat daerah sebagai pemberi mandate politik melalui pemilu dan pilkada. Barangkali disinilah letak urgensi peninjauan kembali dan atau revisi UU No. 32 Tahun 2004 agar ke depan agenda desentralisasi dan otonomi daerah bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik bagi masyarakat di daerah. Terlepas dari berbagai kekurangannya, buku ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa kebijakan yang baik belum tentu menghasilkan buah yang baik jika tidak ada konsistensi komitmen semua pihak, khususnya pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, untuk mewujudkan dalam kehidupan nyata. Kalau tidak, maka masyarakat kita pada akhirnya hanya merajut mimpi dari pemilu dan pilkada ke pemilu dan pilkada berikutnya. Jakarta, Desember 2013. Editor, Syamsuddin Haris vi

DAFTAR ISI Pengantar Editor... iii Daftar Isi...vii KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENANGANAN SENGKETA BATAS DAERAH DAN PERMASALAHANNYA Prayudi... 1 A. PENDAHULUAN... 1 1. Latar Belakang... 1 2. Rumusan Masalah... 6 3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7 4. Metodologi Penelitian... 8 5. Kerangka Pemikiran...10 6. Lokasi Penelitian...16 B. TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISIS...17 1. Sulawesi...17 2. Provinsi Bangka Belitung...28 C. PENUTUP...46 1. Kesimpulan...46 2. Saran-Saran...48 DAFTAR PUSTAKA...51 KONDISI PEGAWAI DAERAH DI MASA PEMERINTAHAN DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 Riris Katharina...55 A. PENDAHULUAN...55 B. MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DALAM PRINSIP DESENTRALISASI...57 C. METODE PENELITIAN...60 D. KEBIJAKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH...61 E. ADAKAH POTENSI MASALAH?...64 F. PENUTUP...71 DAFTAR PUSTAKA...73 vii

PELAKSANAAN URUSAN PERTAMBANGAN DI DAERAH (STUDI TENTANG PERIZINAN PADA USAHA PERTAMBANGAN DI PROVINSI SULAWESI UTARA DAN PROVINSI BANGKA BELITUNG) Siti Nur Solechah...75 A. PENDAHULUAN...75 B. KERANGKA TEORI...76 C. PELAKSANAAN URUSAN PERTAMBANGAN...81 1. Masalah Pertambangan di Provinsi Sulawesi Utara...81 2. Masalah Pertambangan di Provinsi Bangka Belitung...84 D. PENUTUP...86 DAFTAR PUSTAKA...89 IMPLEMENTASI DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN DI DAERAH Debora Sanur L...91 A. PENDAHULUAN...91 1. Latar Belakang...91 2. Rumusan Masalah...93 B. KONSEP TEORI...93 1. Konsep Otonomi Daerah...93 2. Konsep Tugas Pembantuan dan Dekonsentrasi...94 C. PEMBAHASAN...97 1. Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Daerah...97 2. Kendala Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan...102 3. Harapan terhadap Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan...106 D. KESIMPULAN...107 DAFTAR PUSTAKA...109 IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI DAERAH Dewi Sendhikasari...111 A. PENDAHULUAN...111 B. PERUMUSAN MASALAH...113 C. TUJUAN...113 D. OTONOMI DAERAH...114 viii

E. PENGELOAAN KEUANGAN DAERAH...115 F. IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI DAERAH...118 F.1. Pembiayaan Urusan di Provinsi Sulawesi Utara...120 F.2. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung...124 G. KESIMPULAN...127 DAFTAR PUSTAKA...129 Tentang Penulis...130 Indeks... 132 ix