LIPI PANDANGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI
|
|
- Yandi Irawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 LIPI PANDANGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jakarta, 6 Maret 2006
2 PANDANGAN LIPI TENTANG RUU PEMERINTAHAN ACEH DISAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DENGAN PANSUS RUU PA DPR RI Jakarta, 6 Maret 2006 Sehubungan dengan permintaan Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh DPR RI, di bawah ini disampaikan beberapa pandangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai RUU tersebut: I. Pandangan Umum Pembahasan dan diskusi tentang RUU Pemerintahan Aceh bagaimana pun harus bertolak dari desain besar agenda desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Problematiknya, desain besar itu justru tidak dimiliki, baik oleh pemerintah yang menyiapkan RUU ini maupun DPR yang membahasnya. Benar bahwa RUU PA merupakan implementasi dari nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), namun materi RUU ini tentu saja tidak bisa "didikte" oleh MoU Helsinki karena konteks kesepakatan tersebut adalah sebagai prasyarat bagi tercapainya perdamaian menyeluruh di Aceh. Adanya sebuah desain besar tentang agenda desentralisasi dan otonomi daerah -yang unsur-unsur pokoknya disepakati oleh pemerintah, DPR, dan segenap pemangku kepentingan jelas penting sebagai dasar berpijak bagi penyusun UU untuk menilai kualitas sebuah RUU, apakah berada dalam koridor konsitusi negara atau tidak. Naskah akademik suatu RUU mestinya bertolak dari desain besar tersebut. Suatu desain besar sekurang-kurangnya mencakup: (1) Pilihan perspektif teoritis tertentu yang agak jelas, sehingga struktur, ruang lingkup, dan arah agenda desentralisasi dan otonomi daerah menjadi cukup jelas. Kejelasan pilihan terhadap perspektif teoritis desentralisasi akan memperjelas pula, apakah otoritas pemerintah daerah dalam bidang tertentu lebih bersifat pelimpahan tugas, pendelegasian, dan perbantuan dari pemerintah di atasnya (Pusat), atau penyerahan, pembagian, dan pendistribusian; (2) Kejelasan mengenai format dan status sistem pemerintahan daerah, apakah merupakan duplikasi sekaligus turunan dari sistem pemerintahan nasional -dalam hal ini yang cenderung mengarah pada format presidensiil-seperti diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen, atau suatu format pemerintahan lokal yang terpisah sekaligus berbeda dari sistem pemerintahan nasional. Kejelasan diperlukan agar sistem pemerintahan daerah tidak berubah-ubah mengikuti "selera" para penyusun UU; (3) Kejelasan mengenai sistem perwakilan di daerah pun menjadi sangat penting untuk didiskusikan dan kemudian disepakati garis-garis besarnya. Kejelasan mengenai soal ini penting agar status DPRD benar-benar jelas, sebagai bagian Pemerintah Daerah (eksekutif), atau semacam lmbaga legislatif lokal yang memiliki hak-hak politik yang relatif sama dengan parlemen di tingkat nasional. Ditinjau dari implementasi dalam aturan-perundangan, diakui atau tidak, pemerintah dan DPR dewasa ini menerapkan empat level otonomi daerah, yaitu (1) otonomi luas pada tingkat kabupatenlkota; (2) otonomi terbatas pada tingkat propinsi; (3) daerah khusus atau istimewa pada tingkat propinsi; dan (4) otonomi khusus pada tingkat propinsi. Posisi Aceh dewasa ini seperti isi UU No. 18 Tahun 2001 adalah gabungan dari daerah istimewa di satu pihak, dan daerah dengan otonomi khusus di pihak lain. Pertanyaannya kemudian, apakah RUU PA yang sedang dibahas ini hendak konsisten dengan posisi Propinsi Aceh dewasa ini, atau lebih merupakan perluasan, atau sebaliknya merupakan penyempitan atasnya?
3 Apabila disepakati bahwa MoU Helsinki adalah "jalan tengah" antara tuntutan kemerdekaan yang diajukan oleh GAM dan tawaran otonomi khusus oleh pemerintah, maka cakupan dan ruang lingkup RUU PA mestinya adalah "UU No. 18 Tahun 2001 Plus". Artinya, cakupan kekuasaan dan otonomi yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh dalam RUU PA mestinya tidak boleh kurang dari UU No. 18 Tahun 2001, namun lebih merupakan perluasan atasnya. II. Model Ideal Otonomi Daerah dan Masalah "Pemerintahan Sendiri" II.1 Model Ideal Otonomi Daerah Secara teoritis, dikenal ada 3 (tiga) model Otonomi Daerah, yang umumnya diaplikasikan di negara-negara yang bertentuk kesatuan (unitary state). Tiga model otonomi daerah tersebut adalah: 1. Otonomi Terbatas. Apabila kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah sangat terbatas, yakni hanya sebahagian kecil saja dari kewenangan diluar kewenangan pokok dan kewenangan sektoral pemerintah pusat. Dengan demikian maka hak otonomi yang dimiliki oleh "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat terbatas. 2. Otonomi Luas. Apabila kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah sangat luas, yakni sebahagian besar (bahkan hampir seluruh) dari kewenangan-kewenangan sektoral diluar kewenangan pokok yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian maka hak otonomi yang dimiliki oleh "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat luas. Otonomi Luas dalam hal ini lebih dalam pengertian hak yang Was dimiliki oleh pemerintah daerah berserta masyarakat daerah, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan, atas kewenangan-kewenangan yang telah diserahkan oleh perintah pusat kepada pemerintah daerah. 3. Otonomi Khusus. Apabila "daerah" hanya diberi kewenangan luas dalam mengelola urusan-urusan tertentu, baik yang merupakan bagian dari kewenangan pokok pernerintah pusat, maupun kewenangan-kewenangan sektoral yang sangat khusus sifatnya. Sementara untuk negara-negara yang bertentuk federal, umumnya hanya mengenal 1 (satu) model Otonomi Daerah, yaitu apa yang dikenal dengan Otonomi Penuh. Dalam model Otonomi Penuh ini, relasi kekuasaan antara pemerintah federal dan negara-negara bagian didasarkan pada prinsip "pemisahan kekuasaan" (separation of power), dan oleh karenanya, maka kewenangan yang dimiliki oleh negara-negara bagian adalah seluruh kewenangan-kewenangan diluar kewenangan pokok yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, maka "daerah" (negara bagian) memiliki hak penuh, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan atas seluruh urusan diluar kewenangan pokok yang telah didefinisikan menjadi milik pemerintah pusat (federal). Secara singkat, perbedaan karakteristik dari relasi kekuasaan dan model otonomi daerah pada negara federal dan negara kesatuan, dapat dilihat pada Matriks berikut: Self Fovernance Desentralisasi Otonomi Daerah Negara Federal Pemisahan Kekuasaan (Separation of Power) Otonomi Penuh Negara Kesatuan Berbagi Kekuasaan/Kewenangan (Sharing of Power) Otonomi Luas Otonomi Khusus Otonomi Terbatas
4 II.2 Konsep Dasar "Pemerintahan Sendiri" (Self Governance): Prinsip Dasar dari Sistem Self Governance: (1) Adanya unit-unit pemerintahan yang secara legal-formal memiliki hak otonom atau berstatus independen; (2) Tetapi diantara unit pemerintahan tersebut tetap terintegrasi dan saling mengisi serta membutuhkan (interdependensi) satu dengan lainnya; dan (3) Adanya koorporasi dan kompetisi antar unit-unit pemerintahan dalam upaya mencapai suatu tujuan kolektif yang telah desepakati. Sementara itu persyaratan yang harus dipenuhi: (1) Harus adanya pengaturan secara spesifik tentang mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan; dan (2) Masyarakat (those who are governed) harus memiliki hak kebebasan yang sama dalam mengekpresikan kepentingannya vis-a-vis pemerintah, serta memiliki hak konstitusi dalam mengendalikan otoritas yang dijalankan oleh pemerintah. 1. Secara historis, konsep self governance memang sangat dipengaruhi oleh ide federalisme. Rasionalitas teoritisnya cukup sederhana, yaitu dengan bentuk negara federal maka diyakini akan lebih memungkinkan unit-unit pemerintahan memiliki otonomi penuh, sehingga lebih dapat menjamin ditegakkannya kedaulatan rakayat, atau terwujudnya apa yang Ostrorn (1991: 5-6) sebut sebagai a system of governance that would be appropriate to circumstance where people govern rather than presuming that governments govern. 2. Dalam upaya merealisasikan cita-cita people govern tersebut, maka desain institusi penyelenggara negara, harus bersifat polycentric, yaitu: Suatu sistem pemerintahan yang terdiri dari sejumlah unit, dimana antara unit pemerintahan satu dengan lainnya secara legal formal berstatus otonom, tetapi tetap terintegrasi dan saling akomodasi (inter-dependensi) guna mencapai suatu tujuan yang telah disepakati secara kolektif (Ostrom, 1991: 224). 3. Definisi sistem poly centric tersebut secara jelas memperlihatkan sedikitnya ada tiga prinsip dasar yang harus ditegakkan dalam sistem self governance: (a) adanya unitunit pemerintahan yang secara legal-formal berstatus OTONOM; (b) tetapi diantara unit pemerintahan tersebut tetap terintegrasi dan Baling mengisi serta membutuhkan (interdependensi) satu dengan lainnya; dan (c) adanya koorporasi dan kompertisi antar unitunit pemerintahan dalam upaya mencapai tujuan kolektif yang telah desepakati. 4. Bahwa sistem self governance hanya akan mampu merefleksikan dirinya dalam bentuk sistem "pemerintahan sendiri" yang demokratis (democratic self governance system) bila terpenuhinya beberapa prasyarat utama, antara lain: (a) harus adanya pengaturan secara spesifik tentang mekanisme check and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan itu sendiri; dan (b) masyarakat (those who are governed) harus memiliki hak kebebasan yang sama dalam mengekpresikan kepentingannya vis-a-vis pemerintah, serta memiliki hak konstitusi dalam mengendalikan otoritas yang dijalankan oleh pemerintah (Ostrom, 1991:227). 5. Bila beberapa syarat utama tersebut tidak dipenuhi, maka praktik sistem "pemerintahan sendiri" juga sangat potensial membawa sejumlah bahaya. Diantara bahaya yang dimaksud adalah, akan terjadinya sentralisasi kekuasaan pada unit-unit pemerintahaan yang ada, ketika prinsip pembagian kekuasaan dilakukan, dan hak otonomi penuh diberikan, namun tidak disertai oleh pengaturan mekanisme check and balances yang jelas, dan tidak berperannya secara maksimal partisipasi masyarakat. III. Pemerintahan Sendiri dalam konteks NKRI 1. Dengan menyimak secara teliti konsep dasar tentang keterkaitan antara konsep self governance dan ide federalisme, maka sangat jelas tergambarkan bahwa bentuk negara federal, dan praktik self governance bukanlah tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana
5 atau media untuk mewujudkan apa yang Ostrom (1991) sebut sebagai people govern rather than governments govern. Dalam bahasa yang lebih konkrit, tujuan akhir yang hendak dicapai tidak lain adalah menegakkan kedaulatan rakyat. 2. Dengan pemaknaan sistem self governance hanya sebagai salah satu "alat" untuk mewujudkan "kedaulatan rakyat", maka sesungguhnya is pun dapat tumbuh dan bekerja dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan kerangka pemahaman seperti ini, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa, upaya untuk terus mempertentangkan antara sistem self governance dengan bentuk Negara Kesatuan adalah sesuatu yang tidak sepenuhnya relevan. 3. Pengalaman negara-negara federal, antara lain, menunjukkan bahwa praktik self governace dalam penyelenggaraan pemerintahan, telah dimanifestasikan dalam bentuk adanya pemisahan kekuasaan (separation of power) antara pemerintah federal (pemerintah pusat) dan negara-negara bagian (pemerintah daerah). 4. Prinsip relasi kekuasaan pada negara yang berbentuk federal tersebut, tidak dapat diadopsi dalam format "yang sama dan sebangun" pada negara-negara yang berbentuk kesatuan. Ini karena, secara teoritis, negara kesatuan tidak mengenal adanya pernisahan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah, tetapi lebih dalam bentuk pembagian kekuasaan (sharing of power). Dengan prinsip sharing of power ini, maka pemerintah pusat, selain memiliki kewenangan pokok, juga memiliki kewenangan sektoral yang harus dikelola secara berasama-sama dengan pemerintah daerah melalui azas desentralisasi. 5. Dengan prinsip sharing of authorities tersebut, maka maka status otonomi yang dimiliki oleh "daerah" pun akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. 6. Bila kewenangan yang diserahkan sangat terbatas (hanya sebahagian kecil kewenangan sektoral diluar kewenangan pokok pemerintah pusat) maka hak yang dimiliki "daerah" dalam pengambilan keputusan maupun dalam implementasi kebijakan akan sangat terbatas, dan otonomi yang dimiliki akan lebih bersifat otonomi terbatas. 7. Sebaliknya, jika "daerah" diberi kewenangan luas dalam mengelola seluruh urusan/sektor diluar kewenangan pokok pemerintah pusat, maka otonomi yang dimiliki "daerah" pun akan lebih bersifat otonomi luas. 8. Sementara, bila yang terjadi adalah, "daerah" hanya diberi kewenangan luas dalam mengelola urusan/sektor tertentu, maka otonomi yang dimiliki akan lebih bersifat otonomi khusus. 9. Jadi di sini sangat jelas terlihat, bahwa bentuk otonomi paling tinggi yang dapat dimiliki oleh "daerah" dalam konteks Negara Kesatuan adalah otonomi luas (bukan otonomi penuh). IV. IV.1. Masalah-masalah Krusial dan Solusi bagi Aceh Beberapa Masalah Krusial Calon independen. Peluang bagi kandidat perseorangan dan/atau independen dalam pilkada mestinya dibuka, sehingga pencalonan dalam pilkada tidak hanya melalui satu pintu partai dan/atau gabungan partai politik. Kekhawatiran bahwa proses pilkada menjadi lebih rumit -karena kandidat menjadi lebih banyak-tidak cukup beralasan jika disepakati bahwa persyaratan bagi calon independen dirancang lebih ketat. Misalnya saja melalui prasyarat dukungan minimal dan penyetoran dana penjaminan (deposit) kepada Komite Independen Pemilihan (KIP) -yang akan dikembalikan jika menang, dan tidak dikembalikan jika kandidat independen tersebut kalah. Pemerintahan sendiri. Konsep "pemerintahan sendiri dalam kerangka NKRI" tidak perlu dikhawatirkan jika hal itu dipandang sebagai "jalan tengah" antara tuntutan merdeka di satu pihak, dan tawaran otonomi khusus di pihak lain. Titik temu ataupun solusi antara RUU PA usulan DPRD Aceh dan RUU PA usulan pemerintah dapat dicapai dengan menyepakati bahwa "pemerintahan sendiri" tersebut harus dilaksanakan atas dasar
6 prinsip NKRI dan eksistensinya hanya sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Akuntabilitas Elite dan Partisipasi Masyarakat. RUU PA mestinya tidak hanya terfokus pada pengaturan tentang distribusi kekuasaan di antara elite Jakarta dan elite lokal di Aceh, atau di antara sesama elite lokal, melainkan juga harus mengatur mekanisme pertanggung-jawaban elite politik lokal secara transparan terhadap rakyat Aceh. Di sisi lain, RUU mestinya memberi peluang dan akses yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara politik sehingga rakyat dapat turut mengawasi pemerintah dan wakil-wakilnya di DPRA dan DPRK. Relasi PA dan DPRA. Kalau ada desain besar tentang arah desentralisasi dan otonomi daerah -sehingga jelas apa perbedaan otonomi terbatas, otonomi luas, daerah istimewa dan otonomi khusus/sangat luas-jmestinya relasi pemerintahan Aceh dan DPRA tidak perlu dipersoalkan. Jika penyusun UU konsisten bahwa otonomi khusus memang berbeda dengan otonomi luas dan otonomi terbatas, maka relasi PA-DPRA tidak harus sama dengan hubungan Pemda-DPRD yang dianut oleh UU No. 32 tahun Artinya, format DPRA sebagai lembaga legislatif lokal tidak perlu dipersoalkan jika pengaturan demikian justru diciptakan untuk menjamin adanya mekanisme checks and balances di antara unsur-unsur pemerintahan Aceh. Sebagai konsekuensi logisnya, DPRA mestinya memiliki hak mengajukan rancangan Qanun dan rancangan APBA. Qanun Pemerintah Aceh. Status Qanun jelas tidak mungkin diperlakukan sama dengan Peraturan Pemerintah (PP). Oleh karena itu, pengaturan lebih lanjut atas UU PA hanya bisa dilakukan melalui PP sebagaimana berlaku dalam sistem perundanganundangan RI. Meskipun demikian, Qanun bisa saja mengatur urusan-urusan tertentu dalam hubungan segitiga PA-DPRA/DPRK-rakyat Aceh sepanjang tidak bertentangan aturan perundangan lain. IV.2. Solusi Untuk Aceh: Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang berstatus sebagai daerah istimewa dan diberi kewenangan luas untuk mengatur dan mengurus sendri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sehubungan dengan itu: 1. Untuk tetap dapat mempraktikkan sistem self governance di Aceh, namun tidak melanggar prinsip dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka diantara model yang paling realitis untuk diterapkan adalah memposisikan Aceh tetap sebagai unit pemerintahan daerah, namun memiliki status Otonomi Luas, dan hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. 2. Dengan model seperti ini, maka kekhawatiran akan keberadaan "Aceh" sebagai "negara dalam negara" dapat terhilangkan. Namun pada sisi lain, praktik self governance tidak kehilangan essensinya, karena dengan status otonomi luas akan menjamin pemerintahan daerah di Aceh untuk memiliki kewenangan luas dalam mengatur rumah tangganya. 3. Bila solusi tentang status "otonomi luas" tersebut dapat dipertimbangkan, maka halhal mendasar yang perlu diatur secara spesifik dan eksplisit di dalam UndangUndang Pemerintahan Aceh (UU PA), antara lain: - Prinsip dan Mekanisme Relasi Kekuasaan/Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh: Relasi kekuasaan diatur berdasarkan prinsip "pembagian kewenangan" (sharing of authorities). Atau dengan kata lain, bukan "pemisahan kekuasaan" (seperation of power) antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan prinsip dasar seperti ini, maka kalau pun
7 Aceh diberi kewenangan luas mengelola ruamah tangganya, namun hal tersebut merupakan "pembagian kewenangan" oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. - Kedudukan, Tugas dan Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Aceh: DPRD Aceh adalah Lembaga Legislatif daerah Aceh, dan oleh karenanya DPRD Aceh memiliki fungsi Legislasi, Pengawasan, dan fungsi Anggaran. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Legislatif Daerah, maka tidak semua keptusan DPR-RI yang berkaitan dengan Aceh harus mendapat persetujuan DPRD Aceh.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH I. UMUM Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar
Lebih terperincikeberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara
Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL
QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang
Lebih terperinciFaridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan
TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara
187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan
Lebih terperinciTugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan
Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis. dengan ini menjawab rumusan masalah sebagai berikut :
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis dengan ini menjawab rumusan masalah sebagai berikut : Pertama, terkait Penerapan Desentralisasi Asimetris Terhadap
Lebih terperinciCita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.
Disampaikan dalam acara Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Mahkamah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan
Lebih terperinciDIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI
DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi disampaikan dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi 2 DPR RI, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 3
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), dengan pengertian bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari negara berdasarkan hukum pada
Lebih terperinciPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law
Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015
UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:
34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan
Lebih terperinciMEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum
MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan
Lebih terperinciPERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan
PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan
Lebih terperinciPOLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)
A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran strategis Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai lembaga perwakilan yang mempunyai kewenangan merancang, merumuskan dan mengesahkan Undang-undang.
Lebih terperinciPEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN
PEMERINTAHAN DAERAH DESENTRALISASI, DEKONSENTRASI, TUGAS PEMBANTUAN DALY ERNI http://dalyerni.multiply.com daly972001@yahoo.com daly97@ui.edu daly.erni@ui.edu Kontribusi Bahan dari: Dian Puji Simatupang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu negara. Di Indonesia
Lebih terperinciPERTAMA: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD
PENDAPAT FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS ; ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD, & PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Disampaikan
Lebih terperinciArgumentasi/ Rasionalisasi
No Draft DPRD NAD RUU PA (PEMERINTAH) RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2006 Argumentasi/ Rasionalisasi TENTANG PEMERINTAHAN ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciH. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI
H. Marzuki Alie, SE.MM. KETUA DPR-RI Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/kota Angkatan III 2010 di Lembaga Ketahanan Nasional(Lemhannas-RI).
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TOR (TERM OF REFERENCE) KUNJUNGAN KERJA PANITIA KHUSUS DPR RI DALAM RANGKA MENDAPAT MASUKAN UNTUK PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG DESA KE NEGARA BRAZIL
Lebih terperinciMembanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia
Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Pendahuluan Program Legislasi Nasional sebagai landasan operasional pembangunan hukum
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konteks pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. Tujuan dari dibagi-baginya
Lebih terperinciJANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!
JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA! MATERI KHUSUS MENDALAM TATA NEGARA Sistem Pembagian Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut Uud 1945 Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak
Lebih terperinci- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;
- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Lebih terperinciHubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI
Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Aceh dengan fungsi merumuskan kebijakan (legislasi) Aceh, mengalokasikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) merupakan salah satu unsur penyelenggara Pemerintahan Aceh yang bertindak sebagai lembaga legislatif di Aceh dengan fungsi merumuskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memburuk, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan serta
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Terjadinya krisis ekonomi diindonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya
Lebih terperinciBEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
BEBERAPA CATATAN TENTANG LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1 (Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.) 2 KEBERADAAN LEMBAGA-LEMBAGA KHUSUS Lembaga-lembaga khusus atau special
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan
Lebih terperinciMAKALAH. Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia. Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang
MAKALAH Kedudukan dan Fungsi DPD dalam Kerangka Kelembagaan Legislatif Indonesia Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang Sebagai persyaratan pendaftaran Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM dengan Konsentrasi
Lebih terperinciDINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH
Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016), pp. 459-458. DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Fakultas
Lebih terperinciDibacakan Oleh: Dr. Ahmad Farhan Hamid, MS No. Anggota: A-134
PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERINTAHAN ACEH Dibacakan Oleh: Dr. Ahmad Farhan Hamid,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Kuliah ke 13) suranto@uny.ac.id 1 A. UUD adalah Hukum Dasar Tertulis Hukum dasar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (a) Hukum dasar tertulis yaitu UUD, dan
Lebih terperinciMENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA
MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA A. SISTEM PEMERINTAHAN PARLEMENTER Sistem pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENEGUHKAN PROFESIONALISME DPRD SEBAGAI PILAR DEMOKRASI DAN INSTRUMEN POLITIK LOKAL DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN RAKYAT H. Marzuki Alie, SE. MM. Ph.D. KETUA DPR-RI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan
Lebih terperinciBAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah
BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,
Lebih terperinciKata Kunci : Pengawasan DPRD, dan Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah serta DPRD.
Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 1. RAHMAT, S.H.,M.H 2. JUNINDRA
Lebih terperincikinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,
i K Tinjauan Mata Kuliah onsep perwakilan di Indonesia telah terejawantahkan dalam berbagai model lembaga perwakilan yang ada. Indonesia pernah mengalami masa dalam pemerintahan parlementer meski dinyatakan
Lebih terperinciEXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS
EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, tercatat beberapa daerah yang memiliki otonomi khusus
Lebih terperinciKOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH
KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH OMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH KEPUTUSAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH NOMOR 16/Kpts/KIP Aceh/TAHUN 2017 TENTANG PENDAFTARAN, VERIFIKASI, DAN PENETAPAN PARTAI POLITIK
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan gagasan meniadakan. kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
82 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain bertujuan untuk menutup penyalahgunaan atau penyimpangan praktek
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG DASAR IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA
UNDANG-UNDANG DASAR IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya mahasiswa adalah pemuda-pemudi yang memiliki keyakinan kepada kebenaran dan telah tercerahkan pemikirannya
Lebih terperinciTinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1
Tinjauan Konstitusional Penataan Lembaga Non-Struktural di Indonesia 1 Hamdan Zoelva 2 Pendahuluan Negara adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsifungsi, yang secara singkat oleh Logeman, disebutkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah yaitu: Undang-
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Reformasi yang diperjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat membawa perubahan dalam kehidupan politik nasional maupun di daerah. Salah satu agenda reformasi
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014, Jaminan Hak Interplasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat DPR, serta Komposisi Wakil Ketua
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG ACEH TAHUN
QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG ACEH TAHUN 2012-2032 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM Sejalan dengan perkembangan kehidupan
Lebih terperinciProdi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Asahan Kata Kunci : Pengawasan DPRD, Pemerintah Daerah, Harmonisasi Hubungan Kepala Daerah dan DPRD
Kolaborasi Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah Kota Tanjungbalai di Tinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Lebih terperinciRINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9
RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan
Lebih terperinciYth. Sdr. Pimpinan Pansus dan Rekan-rekan Anggota Pansus ; Yth. Sdr. Menteri Dalam Negeri beserta Staf ; Para hadirin sekalian yang kami hormati,
PENDAPAT FRAKSI BINTANG PELOPOR DEMOKRASI DPR RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MPR, DPR, DPD, DAN DPRD Disampaikan oleh
Lebih terperincimekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem penyelenggaraan negara pada hakekatnya merupakan uraian tentang bagaimana mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
Lebih terperinciURGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014
KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014 Disampaikan pada acara Round Table Discussion (RTD) Lemhannas, Jakarta, Rabu 12 Oktober
Lebih terperinciTEMA: PERAN DPR-RI DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA. Kamis, 12 November 2009
KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PIDATO KETUA DPR-RI PADA ACARA ULANG TAHUN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIPOL) KE-15 UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA DAN DIES NATALIS KE-56 UNIVERSITAS
Lebih terperinciKUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 15/PUU-XIII/2015 Hak Interpelasi, Hak Angket, Hak Menyatakan Pendapat, dan komposisi jabatan wakil komisi Dewan Perwakilan Rakyat I. PEMOHON Abu Bakar. KUASA HUKUM Munathsir
Lebih terperinciKinerja rendah, DPRA harus berbenah!
Kinerja rendah, DPRA harus berbenah! (Pandangan Komponen Masyarakat Sipil Untuk Parlemen yang lebih baik terhadap Kinerja DPRA) DPRA merupakan lembaga legislatif di Aceh. Berdasarkan UU No. 11 tahun 2011
Lebih terperinciPimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,
PANDANGAN FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR RI TERHADAP PENJELASAN PEMERINTAH ATAS RUU TENTANG PEMILU ANGGOTA DPR, DPD, DPRD, DAN RUU TENTANG PEMILU PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Disampaikan Oleh : Pastor
Lebih terperinciMakalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN
Makalah Mengenai Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Dalam Ketatanegaraan Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik,
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh I. PEMOHON 1. Hendra Fauzi (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Robby Syahputra (selanjutnya disebut sebagai
Lebih terperinci-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan rakyat didalam konstitusinya. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat merupakan suatu
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan
136 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan dalam hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pilkada di Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang menjadi bagian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. demorasi secara langsung, desa juga merupakan sasaran akhir dari semua program
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Desa merupakan basis bagi upaya penumbuhan demokrasi, karena selain jumlah penduduknya masih sedikit yang memungkinkan berlangsungnya proses demorasi secara
Lebih terperinciMAKNA PEMILU/PILKADA DEMOKRATIS DAN EFISIEN DALAM RANGKA PENGUATAN SISTIM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL
11 MAKNA PEMILU/PILKADA DEMOKRATIS DAN EFISIEN DALAM RANGKA PENGUATAN SISTIM PEMERINTAHAN PRESIDENSIIL Oleh : Makmur Amir * Abstrak Amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadi acuan dalam melakukan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:
Lebih terperinciKEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
KEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Be KEWENANGAN ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Bentuk dan Peluang Sengketa Hubungan Pusat-Daerah)
Lebih terperinciBAB V. Kesimpulan. lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1
BAB V Kesimpulan A. Kesimpulan DPD RI merupakan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang lahir dalam amandemen ketiga. Secara de facto DPD RI baru ada pada tanggal 1 Oktober 2004 yaitu ketika
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP FUNGSI REPRESENTASI ANGGOTA DPD DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI DAERAHNYA (YOGYAKARTA)
BAB IV ANALISIS TERHADAP FUNGSI REPRESENTASI ANGGOTA DPD DALAM PENINGKATAN PEMBANGUNAN DI DAERAHNYA (YOGYAKARTA) A. Rencana Pembangunan DIY Rencana pembangunan merupakan sarana kebutuhan yang vital untuk
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif
Lebih terperinciPENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP RANCANGAN UNDANG - UNDANG
PENDAPAT AKHIR FRAKSI PARTAI BINTANG REFORMASI TERHADAP RANCANGAN UNDANG - UNDANG tentang KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK Disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR-RI Tanggal : 03 April 2008 Juru Bicara : H.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (DPRD) mempunyai tiga fungsi yaitu : 1) Fungsi legislatif (fungsi membuat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Secara umum lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai tiga fungsi yaitu : 1) Fungsi legislatif (fungsi membuat peraturan perundang-undangan),
Lebih terperinciBAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Semenjak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, prinsip penyelenggaraan otonomi
Lebih terperinciINTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2
INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Intelijen negara diperlukan sebagai perangkat deteksi dini adanya ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja ancaman
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil
Lebih terperinciBAB I. tangganya sendiri (Kansil, C.S.T. & Christine S.T, 2008). perubahan dalam sistem pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke desa.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan, dimana didalam negara kesatuan dibagi menjadi 2 bentuk, yang pertama adalah negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
Lebih terperinciSUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA
SUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA SISTEM PEMERINTAHAN SISTEM PEMERINTAHAN Sistem Pemerintahan di seluruh dunia terbagi dalam empat kelompok besar: Sistem
Lebih terperinciPemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia. Oleh Syamsuddin Haris
Pemilu Serentak 2019 dan Penguatan Demokrasi Presidensial di Indonesia Oleh Syamsuddin Haris Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (1) Pemilu-pemilu (dan Pilkada) semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung,
Lebih terperinciKekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan
KMA Kekuasaan & Proses Pembuatan Kebijakan Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Proses Pembuatan Kebijakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Memasuki abad 21, hampir seluruh negara diberbagai belahan dunia (termasuk Indonesia) menghadapi tantangan besar dalam upaya meningkatkan sistem demokrasi,
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH
QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Mas Soeroso, SE. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Wahyu Naga Pratala, SE. (selanjutnya disebut sebagai
Lebih terperinciPOLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH
POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH BAGI POLITIK HUKUM. Negara perlu disatu sisi karena Negara merupakan institusi pelembagaan kepentingan umum dan di lain
Lebih terperinciDAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi
Lebih terperinci