Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit. Indonesia 2050 Pathway Calculator

dokumen-dokumen yang mirip
Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Reboisasi Lahan Kritis. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Sektor Pertanian dan Perkebunan. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kehutanan. Indonesia 2050 Pathway Calculator

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kehutanan. Indonesia 2050 Pathway Calculator

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

BAB I PENDAHULUAN. pada 2020 dan berdasarkan data forecasting World Bank diperlukan lahan seluas

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

PELUANG DAN PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB 1. PENDAHULUAN. peningkatan pesat setiap tahunnya, pada tahun 1967 produksi Crude Palm Oil

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sangat diunggulkan, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Kelapa

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gambar 1 Produksi dan ekspor CPO tahun 2011 (Malaysian Palm Oil Board (MPOB))

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

1.1 Latar Belakang Masalah

Optimalisasi Pemanfaatan Biodiesel untuk Sektor Transportasi- OEI 2013

OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT

LINGKUNGAN BISNIS PROSPEK BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan perekonomian masyarakat maupun Negara. Bisa melalui

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Proyeksi Emisi CO 2 untuk Jangka Panjang

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti

M.Ikhlas Khasana ( ) Mengetahui berbagai dampak kebijakan persawitan nasional saat ini. Pendahuluan. ekspor. produksi.

OUTLOOK KELAPA SAWIT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perkebunan memegang peranan penting dalam meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Papua Barat West Papua Province Indonesia

Pertanyaan yang Sering Diajukan PalmGHG Calculator

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae).

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

DEWAN ENERGI NASIONAL OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2014

Disampaikan pada Annual Forum EEP Indonesia 2012 di Provinsi Riau Pekanbaru, Oktober 2012

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Lampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Barat West Kalimantan Province Indonesia

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

BAB I PENDAHULUAN. dicapai. Ketiga tujuan tersebut antara lain: laba perusahaan yang maksimal,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

Transkripsi:

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit Indonesia 2050 Pathway Calculator

Daftar Isi 1. Ikhtisar Sektor Kelapa Sawit Indonesia... 3 2. Asumsi... 7 3. Metodologi... 9 4. Hasil Pemodelan... 11 5. Referensi... 13 1

Daftar Tabel Tabel 1. Tren produktivitas kelapa sawit Indonesia... 6 Tabel 2. Perbandingan kandungan karbon di atas tanah untuk kelapa sawit dan tutupan lahan lain... 8 Daftar Gambar Gambar 2. Pembagian tutupan lahan Indonesia dan Malaysia... 3 Gambar 3. Tren perubahan luas areal kelapa sawit Indonesia... 4 Gambar 4. Tren total produksi kelapa sawit Indonesia (sumber: PUSDATIN 2014, hal. 12)... 5 Gambar 5. Produktivitas kelapa sawit dunia... 7 Gambar 6. Proyeksi Luas Perkebunan Kelapa Sawit hingga tahun 2050... 11 Gambar 7. Proyeksi Produktivitas Kelapa Sawit hingga tahun 2050... 11 2

1. Ikhtisar Sektor Kelapa Sawit Indonesia Sektor kelapa sawit Indonesia telah berkembang pesat selama tiga dekade terakhir dan perkembangan ini seringkali dikaitkan dengan pembukaan tutupan hutan dan peningkatan emisi. Mengingat tren perkembangan ini tampaknya masih akan bertahan pada masa yang akan datang, oleh karena itu, proyeksi perkembangan sektor kelapa sawit perlu diperhatikan sebagai suatu bentuk antisipasi terhadap peningkatan emisi. Menurut Wicke dkk (2011, hal 201), luasan lahan kelapa sawit cenderung bertambah dalam tiga dekade dari tahun 1975-2005 dimana perluasan lahan untuk kelapa sawit pada tiga dekade tersebut cenderung diperoleh dari konversi area hutan (Gambar 1). Kecenderungan pembukaan tutupan hutan ini tentunya sangat berpengaruh pada potensi pengurangan emisi Indonesia dari sektor kelapa sawit. Gambar 1. Pembagian tutupan lahan Indonesia dan Malaysia (sumber: Wicke dkk 2011, hal. 201) Pada saat yang bersamaan, data dari PUSDATIN pertanian menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir sektor kelapa sawit Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan baik dalam tiga aspek yaitu luas total lahan yang digunakan, total produksi CPO (Crude Palm Oil), maupun tingkat produktivitas. Pertama, dalam rentang waktu tiga dekade tersebut, lonjakan peningkatan luas lahan kelapa sawit paling pesat baru terjadi sejak satu dekade terakhir, lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 3

4 juta hektar pada tahun 2000 menjadi sekitar 9000 hektar pada tahun 2011 (Gambar 2). Kedua, selama tiga dekade terakhir tersebut pula, terjadi pula peningkatan signifikan produksi CPO Indonesia, yang terdiri dari produksi Perkebunan Besar Negara (PBN), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Rakyat (PR), dari ratusan ribu ton pada tahun 80an hingga mencapai sekitar 28 juta ton pada tahun 2013 (Gambar 3). Kemudian, mengacu pada data dari World Growth (2011), Indonesia sudah menjadi produsen minyak kelapa sawit yang cukup besar sejak dua puluh tahun yang lalu tetapi baru sekitar tahun 2006 negara ini berhasil melampaui Malaysia untuk menjadi produsen terbesar dunia (hal. 6-7). Gambar 2. Tren perubahan luas areal kelapa sawit Indonesia (sumber: PUSDATIN 2013a, hal. 1) 4

Gambar 3. Tren total produksi kelapa sawit Indonesia (sumber: PUSDATIN 2014, hal. 12) 5

Tabel 1. Tren produktivitas kelapa sawit Indonesia Sumber: PUSDATIN 2014, hal. 55 Ketiga, bersamaan dengan peningkatan luas total lahan yang digunakan dan total produksi CPO, produktivitas kelapa sawit Indonesia cenderung meningkat pula. Tabel 1 diatas menunjukan bahwa luas Tanaman Menghasilkan (TM) Indonesia saat ini adalah sekitar 70% dari total luas tanam yang telah ditunjukkan dalam Gambar 2. Selain itu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa tingkat produktivitas kelapa sawit Indonesia terus meningkat dengan angka rata-rata saat ini sekitar 3,8 ton/ha. Meskipun demikian, Kongsager & Reenberg (2012) menunjukkan bahwa, walau Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia, tingkat produktivitasnya masih lebih rendah daripada China, Colombia, atau Malaysia (Gambar 4). Mereka juga mengatakan bahwa rata-rata 6

produktivitas sekitar 5,5 ton/ha sudah dapat dicapai oleh beberapa perkebunan swasta di Malaysia (hal. 12). Selanjutnya, mereka mengindikasikan bahwa pemanfaatan minyak inti sawit dapat meningkatkan produktivitas hingga 0,5 ton/ha (hal. 12). Selain itu, mereka juga menunjukkan bahwa beberapa uji coba pembiakan telah berhasil menghasilkan hingga 10 ton/ha, sebuah kemajuan yang cukup signifikan mengingat bahwa secara teoretis produktivitas maksimum kelapa sawit adalah 18 ton/ha (hal. 12). Kesemua ini menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk perbaikan dalam hal produktivitas kelapa sawit Indonesia tanpa harus mengakibatkan perluasan lahan yang eksesif. Gambar 4. Produktivitas kelapa sawit dunia (sumber: Kongsager & Reenberg 2012, hal. 12) 2. Asumsi Berdasarkan tren perkembangan sektor kelapa sawit yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dilihat bahwa sektor ini kemungkinan besar masih akan berkembang pesat pada masa yang akan datang. Kesimpulan serupa juga dikemukakan dalam dua stakeholder consultation yang telah dilakukan untuk sektor kelapa sawit dalam proses pembuatan model I2050PC ini. Walaupun para pemangku kebijakan cenderung setuju bahwa total luas yang diperlukan akan terus meningkat, mereka mengatakan bahwa tren perkembangan ini kedepannya akan lebih landai dibandingkan apa yang terjadi ketika lonjakan besar satu dekade terakhir sebelum tahun 2010. Pada saat yang bersamaan, para pemangku kebijakan juga sangat tertarik dengan pembahasan potensi pengembangan produktivitas kelapa sawit. Menurut paparan mereka pada kedua stakeholder consultations yang diadakan, Indonesia dapat saja mengejar produktivitas Malaysia saat ini, tapi untuk mencapai nilai yang lebih tinggi mungkin akan lebih susah. Walau demikian, para pemangku kebijakan cukup setuju dengan temuan-temuan studi literatur yang ada dimana hasil 7

manajemen perkebunan sawit intensif dapat saja mencapai peningkatan lebih dari 100% dibandingkn nilai saat ini. Oleh karena itu, level empat pilihan produktivitas akan dianggap sebagai best possible scenario dimana rata-rata nasional produktivitas minyak sawit Indonesia mencapai 8 ton/ha. Untuk kandungan karbon di atas tanah (AGC), dipergunakan nilai rata-rata yang diajukan oleh BAPPENAS (2015) yaitu sebesar 63 ton/ha. Nilai ini dipilih karena masih serupa dengan rentang AGC yang diajukan oleh literatur-literatur lain seperti Agus dkk (2013) dan Carre dkk (2010). Sebagai acuan, bisa dilihat perbadingan nilai AGC yang dipilih dengan nilai AGC dari Agus dkk (2013) yang disajikan di Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan kandungan karbon di atas tanah untuk kelapa sawit dan tutupan lahan lain Sumber: Agus dkk 2013 8

3. Metodologi Dengan pertimbangan ease of use dan user-friendliness, maka emisi dari sektor kelapa sawit akan dihitung berdasarkan peningkatan stok karbon yang terkandung. Oleh karena itu, persamaan yang akan digunakan adalah: Emisi = Luas Area x Kandungan Karbon atau E = A x AGC dimana E = Emisi (dalam ton CO 2eq ) A = Luas Area (dalam hektar atau ha) AGC = Kandungan karbon diatas tanah (dalam ton CO 2eq per hektar). Berdasarkan latar belakang dan asumsi yang telah dijabarkan diatas, maka pemodelan sektor kelapa sawit dalam I2050PC dibagi menjadi dua tuas (lever): satu untuk luas lahan dan satu untuk produktivitas. Walau perhitungan kontribusi emisi dari sektor kelapa sawit hanya akan dipengaruhi tuas luas, tuas produktivitas juga akan dipresentasikan ke pengguna. Hal ini untuk mengakomodasi pengguna yang menginginkan trajektori peningkatan luas yang paling minimal namun tetap ingin terus meningkatkan total produksi minyak kelapa sawitnya, sehingga skenario tersebut dapat direalisasikan melalui tuas produktivitas. Maka dari itu, pemodelan kedua tuas untuk sektor kelapa sawit akan dilakukan sebagai berikut: Luas Perkebunan Kelapa Sawit Level 1 Level 1 mengasumsikan luas perkebunan kelapa sawit bertambah hingga mencapai 20 juta ha pada tahun 2050. Walau terdengar sangat besar, hal ini sangat mungkin terjadi bila laju pertumbuhan luas perkebunan kelapa sawit dua dekade terakhir terus meningkat hingga tahun 2050. Level 2 Level 2 mengasumsikan luas perkebunan kelapa sawit bertambah hingga mencapai 18 juta ha pada tahun 2050. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat pengaruh internasional dan nasional. Pengaruh internasional adalah permintaan pasar global cenderung melandai. Pengaruh nasional adalah penerapan kebijakan-kebijakan nasional seperti insentif untuk intensifikasi produktivitas kelapa sawit ataupun penentuan batasan pembukaan lahan hutan baru. Level 3 9

Level 3 mengasumsikan luas perkebunan kelapa sawit bertambah hingga mencapai 16 juta ha pada tahun 2050. Hal ini dapat dicapai bila kebijakan-kebijakan pembukaan lahan baru benar-benar diperketat bersamaan dengan persyaratan rotasi peremajaan yang eksplisit bagi semua perkebunan kelapa sawit. Level 4 Level 4 mengasumsikan luas perkebunan kelapa sawit hanya bertambah hingga mencapai 14 juta ha pada tahun 2050. Hal ini dapat dicapai bila regulasi pembukaan lahan benar-benar diperketat, program-program KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) diperkuat, serta kebijakan dan dukungan untuk peremajaan perkebunan disalurkan secara merata. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit Level 1 Level 1 mengasumsikan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2050 masih sama dengan tahun dasar 2011 yaitu 3,5 ton/ha. Hal ini dapat terjadi apabila pengelolaa pekebunan kelapa sawit pada tingkat nasional tidak mengalami perbaikan yang berarti. Tanpa adanya kebijakan-kebijakan yang mendorong perbaikan produktivitas nasional secara terarah, produktivitas kelapa sawit nasional tidak akan banyak berubah. Level 2 Level 2 mengasumsikan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2050 mengalami peningkatan hingga 4,2 ton/ha. Hal ini dapat dicapai melalui beberapa kebijakan yang mendukung perbaikan pengelolaan perkebunan rakyat seperti penyuluhan dan bantuan peremajaan. Level 3 Level 3 mengasumsikan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2050 telah mencapai 5,6 ton/ha. Hal ini dapat dicapai melalui dukungan pemerintahan yang jelas terhadap sektor kelapa sawit seperti insentif dan bantuan peremajaan untuk PR dan PBN. Level 4 Level 4 mengasumsikan terjadinya peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2050 hingga mencapai 8 ton/ha dengan cara memberikan bantuan input pertanian lebih besar ke PR 10

dan PBN serta dukungan akses infrastruktur pengangkutan dan pemrosesan TBS (Tandan Buah Segar). 4. Hasil Pemodelan Dari paparan iktisar, asumsi yang dipergunakan, dan metodologi di atas, maka diperoleh hasil pemodelan dalam bentuk proyeksi luas perkebunan kelapa sawit dan produktivitas kelapa sawit Indonesia hingga tahun 2050 yang disajikan pada Gambar 5 & 6. Luas (juta ha) 20.0 17.5 15.0 12.5 10.0 7.5 Luas Perkebunan Kelapa Sawit Level 1 (2050) 20 juta ha Level 2 (2050) 18 juta ha Level 3 (2050) 16 juta ha Level 4 (2050) 14 juta ha 5.0 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050 Gambar 5. Proyeksi Luas Perkebunan Kelapa Sawit hingga tahun 2050 (sumber: Penulis) Produktivitas (ton/ha) 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 Produktivitas Kelapa Sawit 2.00 1990 2000 2010 2020 2030 2040 2050 Level 4 (2050) 8 ton/ha Level 3 (2050) 5.6 ton/ha Level 2 (2050) 4.2 ton/ha Level 1 (2050) 3.5 ton/ha Gambar 6. Proyeksi Produktivitas Kelapa Sawit hingga tahun 2050 (sumber: Penulis) 11

Selanjutnya, proyeksi potensi kontribusi emisi sektor kelapa sawit Indonesia untuk masing-masing level dapat dihitung sebagai berikut: Level 1 Pembukaan lahan kelapa sawit hingga 20 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 1,412 miliar ton CO 2eq. Level 2 Pembukaan lahan kelapa sawit hingga 18 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 1,152 miliar ton CO 2eq. Level 3 Pembukaan lahan kelapa sawit hingga 16 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 887,1 juta ton CO 2eq. Level 4 Pembukaan lahan kelapa sawit hingga 14 juta ha mengakibatkan peningkatan emisi sekitar 622,3 juta ton CO 2eq. Walaupun angka potensi emisi dari semua level menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, perlu diingat bahwa jangkauan keempat level yang dipresentasikan jauh lebih rendah dibandingkan apa yang mungkin terjadi. Dari level-level tersebut, kita bisa membuka opsi-opsi kemungkinan berbagai skenario pengendalian emisi dari sektor perkebunan kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh berbagai aktor, mulai dari tingkatan global hingga lokal. 12

5. Referensi Agus, F, Henson, IE, Sahardjo, BH, Haris, N, van Noordwijk, M & Killeen, TJ 2013, Review of Emission Factors for Assessment of CO 2 Emission From Land Use Change to Oil Palm in Southeast Asia, Reports from the Technical Panels of the 2 nd Greenhouse Gas Working Group of the Roundtable on Sustainable Palm Oil, hal. 7-28. BAPPENAS (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional) 2015, Pembentukan BAU Baseline Bidang Berbasis Lahan, Sekretariat RAN-GRK, diunduh 30 Maret 2015, <http://www.sekretariat-rangrk.org/english/home/9-uncategorised/173-baulahan>. Carre, F, Hiederer, R, Blujdea, V & Koeble, R 2010, Background Guide for the Calculation of Land Carbon Stocks in the Biofuels Sustainability Scheme Drawing on the 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Office for Official Publications of the European Communities, Luxembourg. Kongsager, R & Reenberg, A 2012, Contemporary land-use transitions: The global oil palm expansion, GLP Report No. 4, GLP-IPO, Copenhagen. PUSDATIN (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian) 2013, Kelapa Sawit, Informasi Ringkas Komoditas Perkebunan, No. 01/01/I, 7 Januari 2013, diunduh 28 Januari 2015, <http://pusdatin.setjen.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/a1_jan_klp_sawit.pdf>. Wicke, B, Sikkema, R, Dornbug, V & Faaij, A 2011, Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia, Land Use Policy, no. 28, hal. 193-206. World Growth 2011, The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia, World Growth, Arlington. 13